Tuesday, February 4, 2014

Alhamdulillah dimuat lagi... ^_^

Alhamdulillah, Tulisan Bunga tentang peran aktif perempuan dalam Pembangunan di Kabupaten Batang Hari dimuat di Jurnal Balitbangda Provinsi Jambi (Jurnal 'Khazanah Intelektual' di penghujung 2013 lalu). Ini Tulisan ke-2 Bunga yang dimuat :))


PERAN AKTIF PEREMPUAN DALAM PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN PROGRAM PEMBANGUNAN YANG RESPONSIF GENDER PEMERINTAH KABUPATEN BATANG HARI

ACTIVE ROLE OF WOMEN IN PLANNING AND BUDGETING FOR GENDER RESPONSIVE PROGRAM DEVELOPMENT IN BATANG HARI DISTRICT GOVERNMENT

Oleh: Bunga mardhotillah, S.Si,M.Stat
(Bappeda Kabupaten Batang Hari)


ABSTRAK

Permasalahan gender kerap kali bermula dari relasi gender yang cenderung timpang/tidak adil antara perempuan dan laki-laki serta merugikan salah satu pihak. Hal ini muncul karena berbagai aspek, mulai dari pengaruh nilai-nilai budaya, rendahnya kapasitas perempuan, interpretasi agama dan sebagainya. Seringkali kesenjangan gender berawal dari tingkat keluarga dan kemudian meluas ke tingkat makro. Program pemberdayaan perempuan merupakan program-program yang berpihak pada kebutuhan perempuan dan diarahkan untuk mewujudkan kemitra-sejajaran perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan, yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah responsif gender. Di sisi lain peranan perempuan sangat menentukan berjalannya program pembangunan responsif gender. Karena tentunya perempuan yang dapat memperjuangkan hak-hak kaumnya sendiri, agar tidak terjadi ketimpangan gender dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Sehingga peran-peran aktif yang strategis dari kalangan perempuan, akan dapat memperkuat Perencanaan Program Pembangunan yang responsif gender. Di Kabupaten Batang Hari, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan secara umum sudah lebih tinggi dibandingkan jumlah PNS laki-laki. Selain itu, dibentuknya Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) yang lebih fokus dalam mengoptimalkan peranan perempuan, cukup memberikan pengaruh positif dalam peningkatan kualitas dan kuantitas perencanaan program dan penganggaran yang responsif gender di Kabupaten Batang Hari. Sehingga kajian ini difokuskan untuk membahas lebih lanjut terkait Peran Aktif Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan Responsif Gender pada Pemerintah Kabupaten Batang Hari Tahun Anggaran 2012 dan 2013.



ABSTRACT

Gender concerns often stems from unequal gender relations tend/unfair between women and men as well as detrimental to either party . It arises due to a variety of aspects, ranging from the influence of cultural values, low capacity of women, religious interpretations and so on. Often the gender gap starts from the family level and then extends to the macro level. Women's empowerment programs are programs in favor of women's needs and geared to realize equal partners between women and men in life, which in turn is better known by the term gender responsive. On the other hand the role of women is crucial passage of gender- responsive development programs. Because of course women can fight for the rights of their own rights , in order to avoid gender inequality with men in all aspects of life. So that the active roles of strategic among women, will be able to strengthen the Development Planning gender responsive budgeting . In Batang Hari, the number of female civil servants in general are higher than the number of male civil servants . In addition, the establishment of Family Planning Agency and the Empowerment of Women are more focused on optimizing the role of women, quite a positive influence in improving the quality and quantity of program planning and gender responsive budgeting in Batang Hari. So the study is focused to discuss further related Active Role of Women in Program Planning and Development Gender Responsive Budgeting in Batang Hari District Government for Fiscal Year 2012 and 2013.


I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Gender merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan peran antara laki-laki dan perempuan. Permasalahan gender kerap kali bermula dari permasalahan relasi gender yang tidak adil antara perempuan dan laki-laki serta merugikan salah satu pihak. Hal ini muncul karena berbagai aspek, mulai dari pengaruh nilai-nilai budaya, rendahnya kapasitas perempuan, interpretasi agama dan sebagainya.
Seringkali kesenjangan gender berawal dari tingkat keluarga dan kemudian meluas ke tingkat makro, seperti kualitas Human Development Indeks (HDI) yang rendah, pertumbuhan ekonomi yang terhambat, kualitas pendidikan yang rendah, kualitas kesehatan rendah, masalah sosial yang tinggi dan sebagainya.

Permasalahan Gender, Kemiskinan dan Pengarus Utamaan Gender (PUG) berfokus pada ketidakadilan yang tercermin pada data yang memperlihatkan terjadinya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan (ketimpangan gender), antarkelompok umur, antarlokasi, dan seterusnya. Berdasarkan data tadi, kemudian akan dilakukan penelusuran sebab-sebab dan dampak yang ditimbulkannya (kaitan antara gender dan kemiskinan). Pemetaan atas realita akan dilanjutkan dengan strategi bagaimana mengatasi kesenjangan yang terjadi. Strategi yang digunakan adalah pengarus utamaan gender untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender.

Dewasa ini di Indonesia terdapat fakta ketidakadilan/ketidaksetaraan gender dalam beberapa tipe dan bentuknya berbeda di masing-masing daerah dan harus ada usaha untuk menghilangkan atau meminimalisasi ketimpangan/ketidakadilan tersebut. Program pemberdayaan perempuan, awalnya diarahkan untuk mendorong kemajuan perempuan. Namun dalam perjalanannya, diarahkan untuk mewujudkan kemitra-sejajaran perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan, yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah responsif gender.

Di sisi lain peranan perempuan sangat menentukan berjalannya program pembangunan responsif gender. Karena tentunya perempuan yang dapat memperjuangkan hak-hak kaumnya sendiri, agar tidak terjadi ketimpangan gender dengan laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Kecil kemungkinannya laki-laki akan memperjuangkan hak-hak perempuan secara menyeluruh. Dan peran perempuan yang diharapkan dalam program pembangunan responsif gender ini, adalah peran aktif dan strategis perempuan. Sehingga peran-peran aktif yang strategis dari kalangan perempuan, akan dapat memperkuat Perencanaan Program Pembangunan yang responsif gender. Responsif gender di Kabupaten Batang Hari telah mulai meningkat, dengan adanya upaya untuk menghargai peran aktif perempuan ini berupa pembentukan Badan/Lembaga yang khusus mengurus permasalahan perempuan yaitu BKBPP (Badan Keluarga Berncana dan Pemberdayaan Perempuan) pada tahun 2012. Namun adanya BKBPP tersebut, tidak menjamin program pembangunan yang responsif gender telah diterapkan pula di bidang/fokus pembangunan lainnya di Kabupaten Batang Hari.

Berlatar belakang dari uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas lebih lanjut mengenai Peran Aktif Perempuan dalam Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan Responsif Gender di Kabupaten Batang Hari.




1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1.Bagaimana Gambaran Umum Gender Responsive Budgeting di Kabupaten Batang Hari Tahun Anggaran 2012 dan Tahun Anggaran 2013?

2.Bagaimana Meningkatkan Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan Responsif Gender yang mengutamakan pembangunan dalam berbagai aspek yang menunjang Pemberdayaan Perempuan di Kabupaten Batang Hari?

3.Bagaimana Merencanakan Program Penyadaran Dan Penguatan Hak Otonomi Perempuan Untuk Berperan dalam Pembangunan Kabupaten Batang Hari?

4.Bagaimana Strategi Pembangunan Responsif Gender di Kabupaten Batang Hari?


1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Penulisan karya ilmiah populer dengan tema Responsif Gender ini bertujuan dan diupayakan bermanfaat untuk:

1.Meningkatkan wawasan penulis dalam bidang Pemberdayaan Perempuan.

2.Mengkaji dan Membahas lebih jauh mengenai Peningkatan Peran Aktif Perempuan dalam Perencanaan Program Pembangunan dan Penganggaran Responsif Gender di Kabupaten Batang Hari.

3.Memberikan Informasi kepada pembaca mengenai bidang Pemberdayaan Perempuan, khususnya permasalahan Responsif Gender di Kabupaten Batang Hari.



II. LANDASAN TEORI

2.1. Responsif Gender di Indonesia

Sebagaimana kita ketahui, berdasarkan data sensus penduduk yang dilaksanakan oleh BPS, jumlah penduduk perempuan melebihi separuh penduduk Indonesia. Bila ditunjang oleh kualitas yang tinggi, maka penduduk perempuan Indonesia akan menjadi potensi yang menjadi modal pembangunan. Program pemberdayaan perempuan, awalnya diarahkan untuk mendorong kemajuan perempuan. Namun dalam perjalanannya, diarahkan untuk mewujudkan kemitra-sejajaran perempuan dengan laki-laki dalam kehidupan, yang selanjutnya lebih dikenal dengan istilah responsif gender.

Secara umum dalam konteks menganalisis tentang ketimpangan gender merupakan jenis ketimpangan yang bisa dikombinasikan dengan jenis ketimpangan lainnya yaitu ketimpangan berdasarkan kelompok usia, ras, etnis, kemampuan yang berbeda, lokasi geografis. Kondisi ini menjadikan perempuan mengalami diskriminasi berlapis. (Zurweni: 2010)

Pengarusutamaan gender adalah salah satu strategi yang bisa dipakai untuk menghilangkan atau meminimalisasi ketimpangan yang terjadi menuju kesetaraan dan keadilan gender. Data dan fakta ketimpangan diperlukan sebagai dasar penyusunan program pembangunan di daerahnya masing-masing, sehingga program disusun untuk menyelesaikan masalah, termasuk masalah ketimpangan gender.


2.2. APBD dan Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender

Penerapan strategi pengarus utamaan gender mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi setiap program/kegiatan di setiap sektor. Dengan kata lain, strategi pengarusutamaan gender dilakukan pada setiap tahapan siklus APBD. Untuk dapat menerapkan strategi pengarusutamaan gender itu, pemahaman terhadap siklus APBD menjadi perlu.

Dalam merencanakan dan menganggarkan program pembangunan responsif gender, dibutuhkan Strategi Advokasi Anggaran Responsif Gender. Yang perlu diketahui dalam hal ini adalah tujuan advokasi anggaran responsif gender dan strategi untuk mencapai tujuan advokasi. Peserta diajak memahami dan sepakat mengenai pentingnya membangun kemitraan (partnership) antara LSM, eksekutif dan legislatif untuk advokasi yang efektif. Dengan demikian, perjuangan mewujudkan anggaran responsif gender oleh ketiga aktor utama tadi, dilakukan dengan mengoptimalkan peran yang mereka miliki. Salah satu langkah konkret advokasi adalah membuat komitmen “memperjuangkan anggaran responsif gender” dalam Rencana Tindak Lanjut yang disusun bersama antara LSM, eksekutif dan legislatif. Beberapa isu yang menarik untuk dibahas dewasa ini yaitu isu gender dan peraturan perundangan. Hal-hal tersebut sangat diperlukan agar tampak keterkaitan program pembangunan dengan isu gender sekaligus sebagai proses internalisasi isu gender di pemerintahan daerah. Sementara itu, tema peraturan perundangan harus dipedomani dengan cara membahas aturan perundangan yang terkait. (Maya Rostanty: 2007)

Salah satu asas umum pengelolaan keuangan daerah adalah keadilan dan manfaat untuk masyarakat. Maka ditekankan bahwa keadilan dan manfaat serta pemenuhan hak-hak dasar masyarakat adalah untuk semua kelompok, terutama bagi kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya (anak, penyandang cacat, lansia dan perempuan) dengan argumen bahwa dengan sumber daya yang terbatas maka Anggaran untuk kelompok rentan tersebut belum menjadi prioritas karena intervensi pemerintah. Isu gender yang dihadirkan adalah mengenai partisipasi perempuan di setiap tahapan dalam siklus APBD.


2.3. Peraturan Perundangan (Dasar Hukum) Terkait Responsif Gender

Peraturan perundangan yang menjadi dasar dalam Perencanaan adalah pasal-pasal tentang fungsi, asas umum pengelolaan keuangan daerah, urusan wajib dan urusan pilihan daerah. Pasal-pasal ini dibahas untuk menegaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk melaksanakan aturan hukum itu agar hak rakyat terpenuhi. Dalam hal ini peraturan perundangan yang dapat dijadikan pedoman adalah Inpres No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan dan Kepmendagri No 132 Tahun 2003 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah. Selanjutnya, berpedoman pula pada pasal-pasal yang terkait dengan proses dan tahapan dalam siklus APBD sesuai UU No 25 Tahun 2005 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU No 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara, PP No 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No 13 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Nasional 2012.

Semangat yang ingin dibangun adalah bagaimana menegakkan peraturan perundangan yang ada. Terkait dengan upaya mewujudkan anggaran responsif gender, maka peluang-peluang yang ada dioptimalkan dan ancaman-ancaman yang ada diminimalisasi. Peluang-peluang itu muncul dari pasal-pasal yang ada dalam peraturan perundangan. Misalnya, pasal tentang urusan wajib yang harus dilaksanakan oleh daerah dapat dijadikan argumen ketika berhadapan dengan pihak pemerintah tentang pentingnya pembangunan sektor pendidikan. Selain itu, pasal tentang asas transparansi dan prinsip-prinsip dalam pengelolaan keuangan daerah dapat dijadikan bekal untuk menangkal argumen bahwa dokumen APBD bersifat rahasia dan tidak boleh disebarluaskan.


2.4. Ketimpangan sebagai Masalah Lama yang Kerap Terabaikan

Ketimpangan yang semakin lebar antara kaya dan miskin adalah salah satu fenomena pembangunan yang dijalankan selama ini. Sebagaimana terungkap dalam banyak kajian, tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi yang terjadi pada saat pra krisis ekonomi telah memberikan keuntungan yang luas bagi penduduknya secara umum. Hal ini terbukti dari tingkat kemiskinan yang menurun dengan pesat disertai berbagai indikator kesejahteraan lainnya yang semakin membaik. Namun, ternyata manfaatnya tidak dirasakan secara merata oleh seluruh lapisan masyarakat. Segelintir kelompok masyarakat, khususnya yang berada pada puncak distribusi pendapatan dan kekuasaan politik, menikmati potongan kue pertumbuhan ekonomi yang terbesar, sementara kelompok lainnya harus puas mengunyah remah-remahnya. Kondisi ini diperkuat dengan data statistik tentang rasio gini dan didukung oleh persepsi masyarakat. Rasio Gini adalah suatu ukuran ketimpangan yang memiliki kisaran nilai antara 0 dan 1. Semakin tinggi nilainya Rasio Gininya semakin tinggi tingkat ketimpangan. Pada 1990, nilai Rasio Gini di Indonesia adalah 0,32, sedangkan nilai Rasio Gini di 1996 adalah 0,34. Artinya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam kurun waktu tersebut diikuti dengan peningkatan ketimpangan. Sementara pada tahun 1999, tingkat ketimpangan turun drastis yang ditandai dengan turunnya indeks Rasio Gini menjadi 0,30, data yang memperkuat banyak temuan krisis ekonomi paling banyak mempengaruhi kelompok ekonomi atas. Hal yang mengkhawatirkan, pada 2002 nilai Rasio Gini adalah 0,32 yang menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan pasca krisis meningkat. Hingga pada tahun 2005-2012 indeks Gini/Gini Rasio berkembang secara fluktuatif bahkan dapat dikatakan cenderung meningkat. Ketimpangan secara ekonomi hanyalah salah satu dari jenis ketimpangan dan merupakan jenis ketimpangan yang paling sering diukur. Namun, ketimpangan juga meliputi dimensi kesejahteraan lainnya seperti pendidikan, kesehatan, partisipasi politik, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, ketimpangan dapat diukur pada tingkat individu atau rumah tangga, namun juga bisa diukur pada tingkat kelompok. Ketimpangan berawal dari diskriminasi.

Diskriminasi adalah pembedaan antara manusia berdasarkan gender, usia, ras, kelas, atau faktor yang lain. Satu orang diberi kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya yang pada akhirnya menjadikan seseorang lebih memiliki kekuasaan dibandingkan dengan yang lainnya. Faktor-faktor diskriminasi bermacam-macam, ada yang sifatnya ada sejak lahir dan ada yang bentukan sosial, meliputi:

1.Gender
Gender merujuk pada deskripsi sosial, peran, dan tanggungjawab yang dilabelkan kepada perempuan dan laki-laki. Jika seks adalah fakta biologis yang tidak bisa berubah, maka gender dihasilkan secara kultural, bisa berubah, bervariasi sepanjang waktu yang dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi. Stereotip gender secara umum adalah: laki-laki kuat/perempuan lemah, laki-laki adalah pencari nafkah/perempuan pengelola rumah tangga, laki-laki rasional/perempuan emosional.

2.Ras
Secara lugas, ras merujuk pada penduduk asli. Namun di politik, ras biasanya merujuk pada warna kulit dan bentuk wajah. Orang dengan kulit berwarna telah mengalami diskriminasi selama ratusan tahun. Warisan diskriminasi ini bisa dilihat dari kondisi saat ini dalam hal perekonomian, politik, dan sistem hukum, yang sejalan juga dengan stereotipe yang kuat.

3.Etnis
Etnis merujuk pada pembagian asal, tradisi, nilai sosial, dan praktik budaya. Etnis adalah istilah yang lebih jelas dibandingkan ras. Sebagai contoh, tidak semua orang kulit hitam memiliki etnis yang sama.

4.Agama
Agama merujuk pada kepercayaan dan ibadah yang bersifat transendental dan supranatural. Agama biasanya diikuti dengan pandangan tentang benar dan salah yang diberikan oleh otoritas moral tertinggi.

5.Status/kelas sosial-ekonomi
Istilah ini memiliki banyak arti. Secara umum, merujuk pada posisi seseorang di masyarakat yang ditentukan oleh banyak faktor, seperti pendidikan dan harta kekayaan. Status sosial ekonomi merupakan salah satu sumber ketidakberuntungan atau keistimewaan yang paling penting.

6.Umur
Umur seseorang adalah sederet tahun kronologis seseorang. Umur adalah sumber umum dari diskriminasi yang berakibat berbeda bagi perempuan dan laki-laki, dan berbeda pula jika konteks berbeda. Sebagai contoh, di Afrika dan Asia Selatan umur memberikan perempuan status lebih, sedangkan di beberapa bagian di Barat perempuan tua kurang memiliki atau tidak memiliki status.

7.Lokasi Geografis Lokasi dimana seseorang tinggal sering ditentukan oleh pilihan, kesempatan dan sumber daya. Sebagai contoh, penduduk di daerah pedesaan biasanya mengalami diskriminasi dibandingkan dengan penduduk perkotaan sebab mereka kurang memiliki akses ke sumber daya, pelayanan dan pengambilan keputusan. Pembagian wilayah penting lainnya adalah wilayah utara yang mengontrol hampir seluruh sumber daya dunia dengan wilayah selatan.

8.Kemampuan berbeda (disability) Kemampuan berbeda merujuk kepada kondisi metal atau fisik yang membuat seseorang berbeda dengan kondisi yang biasanya disebut dengan “normal.” Kemampuan berbeda sering membuat seseorang beraktivitas di tempat berbeda dan membutuhkan bantuan untuk dapat beraktivitas secara normal. Masyarakat sering berlaku kasar kepada orang dengan kemampuan berbeda.


2.5.Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan Responsif Gender dalam berbagai Aspek yang Menunjang Pemberdayaan Perempuan

Pada hakikatnya sasaran program pemberdayaan perempuan diarahkan untuk mengembangkan potensi yang ada pada diri perempuan, yang memungkinkan perempuan dapat memanfaatkan hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki terhadap Sumber Daya Pembangunan.
Partisipasi masyarakat di setiap siklus APBD masih sangat minim dan menempatkan pemerintah daerah dan DPRD sebagai aktor utama.

Di proses penyusunan APBD, aturan perundangan menempatkan Musrenbang sebagai saluran resmi partisipasi masyarakat. Namun, tujuan Musrenbang adalah mendapatkan masukan atas Draft Awal dari dokumen perencanaan. Pada saat pembahasan APBD di DPRD, tidak ada aturan yang secara eksplisit menerangkan tentang keterlibatan masyarakat dalam proses APBD. Begitu juga dengan tahap pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBD. Jika kondisinya demikian, apakah partisipasi masyarakat dalam setiap tahap siklus APBD penting? Bukankah masyarakat sudah memiliki wakil yang duduk sebagai anggota DPRD? Setidaknya ada lima alasan mengapa partisipasi masyarakat dalam setiap tahap siklus APBD penting, sebagai berikut:

Pertama, dalam sistem demokrasi perwakilan, ada kecenderungan wakil rakyat adalah kelompok elite yang seringkali tidak memiliki hubungan langsung dengan konstituennya. Proses ini sering disebut sebagai proses pembajakan demokrasi oleh kelompok elite (capture by elite). Selain itu ada kelemahan internal dari mekanime demokrasi perwakilan, yaitu jarak yang lama antara satu Pemilu dengan Pemilu berikutnya (rata-rata empat sampai lima tahun). Jarak yang lama memungkinkan para wakil rakyat melupakan janji-janji waktu kampanye, baik karena kebutuhan pragmatis, kepentingan pribadi, maupun penyalahgunaan jabatan. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan instrumen kelembagaan agar pejabat publik yang terpilih dan partai politik dapat terus menerus berkomunikasi dengan organisasi masyarakat sipil. Instrumen kelembagaan ini bukan merupakan pengganti dari demokrasi perwakilan melainkan instrumen untuk memperdalam demokrasi (deepening democracy). Kedua, kenyataan sosial bersifat komplek. Para ahli dan birokrat yang biasanya secara intens memproses kebijakan publik untuk diputuskan secara politik- tidak mungkin memiliki seluruh informasi yang memadai untuk membuat kebijakan yang menguntungkan semua orang (optimum). Ketiga, kecenderungan semakin rendahnya rasa kepemilikan rakyat terhadap pemerintahan yang terjadi dalam negara-negara yang menjalankan demokrasi perwakilan. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dapat meningkatkan kinerja administrasi pemerintahan. Kelima, ruang yang terbuka dan adil merupakan wahana bagi pembelajaran politik masyarakat sipil dalam bernegosiasi dan memutuskan mana yang terbaik mengenai kebijakan publik.

Berdasarkan alasan-alasan di atas, maka keterlibatan masyarakat dalam setiap tahapan siklus APBD menjadi penting untuk dilakukan. Karena aturan perundangan tidak secara jelas mengatur mekanisme keterlibatan masyarakat di setiap tahap dalam siklus APBD, maka para kader pembangunan harus kreatif dan inovatif melakukan terobosan partisipasi, memanfaatkan setiap peluang yang ada agar tangga partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan.


Proses perencanaan dan penganggaran yang ada saat ini masih memiliki banyak masalah, antara lain:

1.Musrenbang masih menjadi wilayah para elite (tokoh masyarakat, aparat desa/ kelurahan hingga pejabat) dan belum membuka akses seluas-luasnya bagi partisipasi masyarakat.

2.Proses Musrenbang masih jauh dari proses perencanaan partisipatif ideal karena pihak aparat desa/kelurahan dan kecamatan berperan dominan dalam mengambil keputusan. Dalam perencanaan partisipatif seharusnya setiap peserta memiliki kesempatan yang sama untuk bersuara dan keputusan diambil bersama.

3.Usulan musrenbang yang jarang diakomodasi dalam APBD mengakibatkan munculnya rasa skeptisisme dan apatis di kalangan masyarakat terhadap kegiatan musrenbang. Hal ini terjadi karena masyarakat tidak merasakan manfaat dari proses musrenbang yang diikutinya.

4.Anggaran pelaksanaan musrenbang yang sangat minim menjadikan out-putmusrenbang menjadi tidak optimal.

5.Tidak dipatuhinya jadwal tahapan siklus APBD sesuai dengan peraturan perundangan oleh pemerintah daerah mengakibatkan kebingungan masyarakat dalam mengawal proses APBD karena jadwal yang tidak pasti.

6.Masih adanya persepsi di sebagian masyarakat bahwa APBD adalah urusannya pemerintah dan masyarakat tidak perlu ikut campur.

7.Masih rendahnya kapasitas masyarakat dalam melakukan pencermatan dan pengkritisan usulan program karena minimnya sosialisasi tentang hak masyarakat dalam APBD. (Modul Perencanaan dan Penganggaran: 2013)


III METODE KAJIAN

Kajian ini merupakan kajian kualitatif yang bersifat deskriptif atau menggambarkan kondisi umum Analisis Responsif Gender secara sederhana, dengan data-data sekunder mengenai gender dan penganggaran program-program yang responsif gender di Kabupaten Batang Hari Tahun 2012 dan 2013. Beberapa di antaranya adalah data yang telah ada dalam Batang Hari dalam Angka (BHDA), Data Kepegawaian, dan Penganggaran Program-Program APBD yang Responsif Gender Tahun Anggara (TA) 2012 dan TA 2013.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Pembangunan Responsif Gender di Kabupaten Batang Hari

Secara Umum jika dilihat dari Rasio Jenis Kelamin (kuantitas) pada data Kepegawaian September 2013, Kabupaten Batang Hari secara kuantitas telah memadai untuk pelaksanaan peningkatan program pembangunan responsif gender. Hal tersebut mengingat dari total jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Batang Hari yakni sebanyak 5826 orang, sebanyak 3024 orang adalah perempuan. Dengan kata lain 51,9% PNS Kabupaten Batang Hari adalah perempuan, dengan komposisi 656 orang Pegawai Golongan IV, 1466 orang Pegawai Golongan III, 882 orang Pegawai Golongan II, dan 20 orang Pegawai Golongan I. Jika kita analisis secara umum, dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) elemen yang berperan adalah para pegawai Golongan III dan Golongan IV. Dan dari segi kuantitas tentu saja sudah lebih dari cukup, hanya saja kualitas peran aktif perempuan dalam pengambilan keputusan di Kabupaten Batang Hari masih tergolong rendah, terlihat dari beberapa Keputusan Bupati dalam pembentukan Tim Verifikasi Anggaran atau pun Pembentukan Kelompok Kerja Penyusunan Dokumen Perencaaan dan Pelaporan kerap kali perempuan tidak diikut sertakan, kecuali di beberapa lini yang dianggap ringan saja.

Alokasi Dana yang dianggarkan untuk program-program responsif gender Tahun Anggaran 2012 di Kabupaten Batang Hari cukup signifikan, terlebih sejak disahkannya pembentukan Badan khusus yang mengelola kepentingan perempuan, yaitu Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP) berdasarkan Peraturan Bupati Batang Hari Nomor 22 Tanggal 11 Januari 2012. Selain program pembangunan responsif gender di bidang kesehatan, Program-program dan Kegiatan-kegiatan terkait perempuan dan keluarga yang diusung oleh BKBPP mulai mewarnai Kabupaten Hari dengan intensitas yang tak kalah dengan program-program pembangunan lainnya serta disesuaikan dengan Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Nasional dan Renstra yang mereka susun. Demikian pula pada Tahun Anggaran 2013, Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam APBD cukup signifikan. Rincian berikut menunjukkan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam APBD Kabupaten Batang Hari TA 2012 dan 2013.


Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender dalam APBD Kabupaten Batang Hari TA 2012 dan 2013
Nama Program/Kegiatan dengan Pendanaan dari APBD 2012 dan APBD 2013:

1.Program Pemberdayaan Perempuan 2012 (Kegiatan Sosialisasi Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Rp.158.893.000,-
2.Pendataan Statistik Gender dan Keluarga Berencana 2013 Rp. 199.546.800,-
3.Program Ketahanan Pemberdayaan Keluarga 2012 Rp. 229.762.000,-
4.Peningkatan Kualitas Hidup dan Perlindungan Perempuan 2013 Rp. 115.015.300,-
5.Orientasi dan Penilaian Kader IMP 2012 Rp. 246.416.000,-
6.Penguatan Lembaga Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Rp. 74.887.200,-
7.Jambore PKK Rp. 301.620.800,-
8.Pembinaan Organisasi Perempuan Rp. 150.000.000,-
9.Pembinaan PKK Rp. 1.075.392.200,-
10.Program Ketahanan Pemberdayaan Perempuan Rp. 555.914.500,-
11.Lomba Pembinaan PKK Rp. 157.475.000,-
12.Orientasi dan Penilaian Kader IMP Rp. 249.206.500,-
13.Program Kesehatan Reproduksi Remaja (Advokasi dan KIE tentang KRR) Rp. 258.041.500,-
14.Program Keluarga Berencana Rp. 249.206.500,-
15.Program Pelayanan Kontrasepsi Rp.195.502.000,-
16.Program Kesehatan Reproduksi Remaja Rp. 191.403.410,-
17.Pengadaan Sarana dan Prasarana Pelayanan KB Rp.869.210.000,-
18.Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Pelayanan KB Rp. 1.092.858.723,-
19.Peningkatan Pelayanan dan Penanggulangan Masalah Kesehatan (termasuk penanggulangan kasus ibu dan balita gizi buruk, dan penurunan angka kematian bayi) Rp. 280.412.000,-
20.Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) pada anak usia 6-24 bulan bagi keluarga miskin Rp. 60.840.000,-
21.Program Pengembangan Lingkungan Sehat 2012 (termasuk pembinaan ibu-ibu rumah tangga dalam hal sanitasi/kesling)Rp. 201.608.000,- 22.Peningkatan Pemberdayaan Konsumen/Masyarakat di Bidang Obat dan Makanan (Sebagian besar sasarannya adalah kaum ibu/perempuan) Rp. 61.424.000,-
23.Program Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya (termasuk peningkatan pelayanan Bidan Desa terkait persalinan dan Posyandu) Rp. 3.333.287.000,-
24.Program Pengembangan Lingkungan Sehat 2013(termasuk pembinaan ibu-ibu rumah tangga dalam hal sanitasi/kesling) Rp. 202.008.000,-
25.Program Pengadaan, peningkatan, dan perbaikan sarana dan prasarana puskesmas/puskesmas pembantu dan jaringannya (termasuk peningkatan pelayanan Bidan Desa terkait persalinan dan Posyandu) Rp. 3.215.115.737,-
TOTAL: Rp.13.169.132.000,-

4.2. Perencanaan dan Penganggaran Program Pembangunan Responsif Gender dalam berbagai Aspek yang Menunjang Pemberdayaan Perempuan

Melihat fakta yang terjadi selama ini sepertinya sudah menjadi kelaziman ketidak hadiran perempuan. Padahal keterlibatan mereka sangat diperlukan demi suksesnya program pembangunan. Ada beberapa alasan mengapa mereka perlu terlibat, antara lain:
1.kewajiban dari pemerintah untuk memenuhi hak-hak dasar warganya, tanpa kecuali.
2.keterlibatan mereka merupakan kesempatan untuk mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan untuk mengatasi masalah mereka.
3.peran ideal yang seharusnya diberikan kepada kelompok ini adalah menjadikannya pelaku (subjek) dan bukannya sasaran (objek).
Peran sebagai subjek tentu membutuhkan keterlibatan mereka, mulai dari identifikasi masalah, pelaksanaan program untuk mengatasi masalah, sampai dengan evaluasi pelaksanaan program.


Setelah mengetahui pentingnya partisipasi masyarakat, maka langkah selanjutnya adalah menentukan strategi khusus untuk melibatkan mereka berdasarkan pemahaman atas kendala partisipasi. Terkait dengan strategi khusus untuk meningkatkan keterlibatan kelompok perempuan, bisa dilihat dari best practices yang terjadi di beberapa daerah berikut ini:

1.Aturan kuota 30% perempuan dalam musrenbang di Surakarta.
2.Musrenbang khusus perempuan di Nusa Tenggara Timur.
3.Pelaksana proyek infrastruktur pedesaan 2/3 perempuan di Lombok Tengah NTB.

Berdasarkan beberapa contoh di atas, Kabupaten Batang Hari seyogianya melalui Badan Keluarga Berencana dan Pemberdayaan Perempuan (BKBPP), dapat mengusung program pembangunan responsive gender serta meningkatkan peran aktif perempuan dalam penyusunan dan penganggaran APBD dengan beberapa langkah sebagai berikut:
1.Kategorisasikan Tipe Belanja untuk program/kegiatan yang diusung.
2.Diskusikan apakah program/kegiatan sudah responsif gender atau belum responsif gender
3.Jika sudah responsif gender, apa alasannya ?
4.Jika belum responsif gender, apa alasannya ?
5.Buatlah rekomendasi akhir atas program/kegiatan, dipertahankan, dihapus atau direvisi. Rekomendasi harus menyertakan alasan mengapa program/kegiatan dipertahankan, dihapus atau direvisi.


4.3. Program Penyadaran Dan Penguatan Hak Otonomi Perempuan Untuk Berperan Dalam Pembangunan

Berikut ini beberapa program yang dapat Menguatkan Peran Perempuan dalam Program responsive gender:
1.Mengadakan diskusi rutin
2.Mengadakan kegiatan peningkatan ekonomi perempuan dan keluarga
3.Mendalami masalah-masalah yg berkaitan dengan pemberdayaan perempuan beserta haknya seperti yang diakui secara universal berdasarkan Piagam Hak Azasi Manusia
4.Membongkar mitos-mitos yang merugikan perempuan serta membangun konsep kesetaraan di lingkungan kerja.
5.Melakukan pembelaan dan pendampingan terhadap kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
6.Penyadaran kepada perempuan akan pentingnya pendidikan agar perempuan bisa menggunakan hak-haknya.


Strategi Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan


Suatu pemerintahan harus menjalankan amanahnya untuk mensejahterakan seluruh lapisan masyarakat. Agar amanah tersebut bisa terwujud, maka perlu perubahan paradigma pemerintahan, yaitu melihat bahwa masyarakat tidak homogen. Kondisi bahwa masyarakat bersifat heterogen memunculkan fakta bahwa ada kebutuhan-kebutuhan spesifik dari masing-masing kelompok masyarakat. Misalnya, kelompok dengan kemampuan berbeda (disability) memiliki kebutuhan khusus dalam hal prasarana publik yang ramah dengan kondisi mereka. Begitu pula dengan perempuan dan laki-laki. Perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda dibandingkan dengan laki-laki, misalnya karena perbedaan fisik (perempuan hamil, sementara laki-laki tidak) maupun karena perbedaan karena kontruksi sosial (perempuan lebih banyak mengurus rumah tangga, sementara laki-laki tidak). Pemahaman dan pemenuhan atas kebutuhan yang berbeda ini merupakan pijakan awal jika ingin melakukan penguatan dan pemberdayaan kelompok-kelompok yang selama ini kurang beruntung (seperti kelompok miskin, perempuan, kemampuan berbeda) menuju tercapainya kesetaraan dan keadilan gender. Dengan mengakomodasikan adanya kebutuhan yang berbeda diharapkan penyelesaian masalah pembangunan akan dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya strategi pembangunan yang dinamakan dengan strategi pengarusutamaan dan keberpihakan gender (responsif gender).


V. SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Analisis anggaran responsif gender adalah analisis yang dilakukan untuk melihat sejauh mana APBD telah mengakomodasi perspektif gender dalam program dan kegiatan karena program dan kegiatan yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai seharusnya merupakan upaya untuk mengatasi kesenjangan gender dalam rangka mencapai keadilan dan kesetaraan gender.
Penyebab utama gagalnya peningkatan kualitas dan kuantitas program responsif gender adalah faktor kemiskinan. Kemiskinan merupakan sumber diskriminasi hak perempuan untuk hidup secara layak di tengah keluarga dan pembangunan bangsa. Kebodohan identik dengan Kemiskinan, karena dengan kebodohan, perempuan tidak akan dapat berperan dalam Pembangunan Bangsa. Sehingga perempuan harus berupaya untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kualitas dirinya dengan menempuh jenjang pendidikan secara maksimal.

5.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, disarankan agar BKBPP dan pihak-pihak terkait Pemberdayaan Perempuan memperjuangkan program pembangunan responsive gender serta kepada semua pihak disarankan untuk dapat :

1.Memahami bagaimana problem sosial memberikan dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan, maka dibutuhkan solusi secara komprehensif dan adil.
2.Mengindentifikasi dan menemukan perbedaan sebagai penghalang untuk berpartisipasi.
3.Melibatkan baik laki-laki maupun perempuan dengan menyesuaikan waktu dan struktur dari kegiatan advokasi untuk menyesuaikan dengan perbedaan jadwal mereka.
4.Meminimalisasi peran kekuatan antara laki-laki dan perempuan di ranah privat dan publik, yang telah diprovokasi dengan upaya perubahan.
5.Memahami bagaimana kemiskinan, gender, usia, lokasi, ras, etnis, agama, faktor lainnya berinteraksi untuk membentuk ketidakberuntungan.
6.Memahami eksepresi yang terlihat dan tidak terlihat dan dampak dari kekuatan. Memahami arti dari keadilan (justice), hak menurut keadilan (equity), dan menghormati hak asasi manusia dengan cara yang berbeda.


REFERENSI:
1.Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Batang Hari TA 2012 dan APBD TA 2013
2.Batang Hari dalam Angka 2011-2013
3.Data Kepegawaian Kab. Batang Hari 2013 (Simpeg September 2013), BKD Kab. Batang Hari
4.Materi Seminar: Peranan Perempuan Dalam Pembangunan Bangsa (2010), Pemateri: Dra. Zurweni, M.Si.
5.Modul Pelatihan Anggaran Responsif Gender (2007), Penerbit: PATTIRO; Penulis: Maya Rostanty.
6.Modul Perencanaan dan Penganggaran Kursus Keuangan Daerah Dirjen Perimbangan Keuangan Tahun 2013.
7.Panduan Perencanaan dan Penganggaran yang Responsif Gender Nasional 2012.



No comments:

Post a Comment