Showing posts with label Wanita2 Teladan. Show all posts
Showing posts with label Wanita2 Teladan. Show all posts

Sunday, January 18, 2015

Fatimah Puteri Rasulullah S'AW

Fatimah adalah puteri pemimpin para makhluk, Abul Qasim, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim. Ibundanya Ummul Mukminin Khadijah binti Khuwailid. Dia juga digelari Al-Batuul, yaitu yang memusatkan perhatiannya pada ibadah atau tiada bandingnya dalam hal keutamaan, ilmu, akhlak, adab, hasab, dan nasab. Dia adalah puteri keempat Rasulullah yang paling beliau cintai sehingga beliau bersabda, "Fatimah adalah darah dagingku, apa yang menyusahkannya juga menyusahkan aku, dan apa yang mengganggunya juga menggangguku."

Cinta Rasulullah S'AW kepada Fatimah terlukis dalam sebuah hadits dari Musawwar bin Mughramah, ia berkata: "Aku mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata ketika beliau sedang berdiri di mimbar, "Sesungguhnya Bani Hasyim bin Mughirah meminta izin kepadaku agar menikahkan puteri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, aku tidak mengizinkan mereka. Kemudian tidak aku izinkan kecuali bila Ali menceraikan putriku dan menikah dengan putri-putri mereka. Sesungguhnya Fatimah adalah bagian dariku, meragukanku apa yang meragukannya, dan menyakitiku apa yang menyakitinya." (HR. Ash-Shahihain)

Fatimah lahir tahun ke-5 sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul, bertepatan dengan peristiwa besar yaitu ditunjuknya Rasulullah S'AW sebagai penengah ketika terjadi perselisihan antara suku Quraisy tentang siapa yang berhak meletakkan kembali Hajar Aswad setelah ka'bah diperbaharui. Dengan kecerdasan akalnya beliau mampu memecahkan persoalan yang hampir menjadikan peperangan di antara kabilah-kabilah yang ada di Mekah.

Kelahiran Fatimah disambut gembira oleh Rasulullah S'AW dengan memberikannya nama Fatimah dan julukannya Az-Zahra, sedangkan kunyahnya adalah Ummu Abiha (Ibu dari bapaknya). Al Batuul (yang mencurahkan perhatiannya pada ibadah), Az-Zahra (yang cemerlang), Ath-Thahirah (yang suci), yang taat beribadah dan manjauhi keduniaan.

Ketika menginjak usia 5 tahun, terjadi peristiwa besar terhadap ayahnya, yaitu turunnya wahyu dan tugas besar yang diemban oleh ayahnya. Ia juga menyaksikan kaum kafir melancarkan gangguan kepada ayahnya. Sampai cobaan yang berat dengan wafatnya ibunda Khadijah. Ia pun sangat sedih dengan kepergian ibunya.

Pada saat kaum muslimin hijrah ke Madinah,Fatimah, dan kakaknya Ummu Kultsum tetap tinggal di Mekkah sampai Nabi S'AW mengutus orang untuk menjemputnya. Setelah Rasulullah S'AW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para shahabat berusaha meminang Fatimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dulu untuk meminang, namun Nabi menolak mereka dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abu Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar Fatimah, Nabi S'AW bertanya kepada Ali bin Abu Thalib, "Apakah engkau mempunyai sesuatu?" Ali pun menjawab, "Aku tidak memiliki apa-apa wahai Rasulullah." Beliau lantas bertanya lagi, "Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang aku berikan kepadamu." Ali menjawab, "Masih ada padaku wahai Rasulullah." Nabi berkata, "Berikan itu kepadanya (Fatimah) sebagai mahar."

Lalu Ali pun bergegas pulang dan membawa baju besinya, setelah itu Nabi menyuruh menjualnya, dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan seharga 470 Dirham, kemudian, kemudian hasil penjualan itu diberikan kepada Rasulullah yang lantas beliau serahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin.

Kaum muslimin merasa gembira atas perkawinan Fatimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah mereka dikaruniai anak bernama Hasan, saat Hasan putranya genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya'ban tahun ke-4 H. Pada tahun ke-5 H ia melahirkan anak wanita bernama Zainab dan Ummu Kultsum.

Rasulullah S'AW sangat menyayangi Fatimah, setiap kali Rasulullah tiba dari bepergian ia lebih dulu menemui Fatimah sebelum menemui isteri-isterinya . Aisyah R'A berkata, "Aku tidak melihat seseorang yang perkataan dan pembicaraannya menyerupai Rasulullah selain Fatimah, jika ia datang mengunjungi Rasulullah, Rasulullah berdiri lalu mencium dan menyambutnya dengan hangat, begitu juga sebaliknya yang diperbuat Fatimah bila Rasulullah datang mengunjunginya."

Rasulullah S'AW mengungkapkan rasa cintanya kepada putrinya tatkala beliau berdiri di atas mimbar. "Sungguh Fatimah bagian diriku, Siapa saja yang membuatnya marah berarti ia telah membuat aku marah."

Setelah Rasulullah S'AW menjalankan haji wada' dan ketika ia melihat Fatimah, beliau menemuinya dengan ramah sambil berkata, "Selamat datang wahai putriku." Lalu beliau menyuruhnya duduk di samping kanan beliau dan membisikkan sesuatu, sehingga Fatimah menangis dengan tangisan yang keras, tatkala Fatimah sedih, beliau membisikkan sesuatu kepadanya yang membuat Fatimah tersenyum.

Tatkala Aisyah R'A bertanya tentang apa yang dibisikkan Rasulullah S'AW kepadanya, Fatimah menjawab, "Saya tak ingin membuka rahasia." Setelah Rasulullah S'AW wafat, Aisyah bertanya lagi kepada Fatimah tentang apa yang dibisikkan Rasulullah S'AW kepadanya sehingga membuat Fatimah menangis dan tersenyum. Lalu Fatimah menjawab, "Adapun yang beliau bisikkan kepadaku pertama kali adalah beliau memberitahu bahwa sesungguhnya Jibril 'AS telah membacakan Al Quran dengan hafalan kepada beliau setiap tahun sekali, sekarang dia membacakannya setahun 2 kali, lalu beliau bersabda, "Sungguh aku melihat ajalku telah dekat, maka bertakwalah dan bersabarlah, sebaik-baik salaf (pendahulu) untukmu adalah aku." Maka aku pun menangis, itu yang engkau lihat saat kesedihanku. Dan saat beliau membisikkan yang kedua kali, beliau bersabda, "wahai Fatimah, apakah engkau tidak suka menjadi penghulu wanita-wanita penghuni surga, dan engkau adalah orang pertama dari keluargaku yang akan menyusulku." Kemudian aku tersenyum.

Tatkala 6 bulan sejak wafatnya Rasulullah, Fatimah jatuh sakit, namun ia merasa bahagia karena kabar gembira yang diterima dari ayahnya. Tak lama kemudian ia pun kembali ke sisi Rabb nya pada malam selasa tanggal 13 Ramadhan tahun 11 H dalam usia 27 tahun.


Sumber: Mushaf Fatimah

Tuesday, October 8, 2013

Khafsah binti Sirin

Beliau adalah saudara perempuan Muhammad bin Sirin: Seorang Tabi'in yang senantiasa beribadah dan sekaligus ahli dalam bidang Fikih.

Khafsah hapal al Qur'an dengan sangat baik sejak berusia 12 tahun. Bahkan Muhammad bin Sirin sendiri saat merasa kesulitan dalam memahami sesuatu yang berhubungan dengan Al Qur'an, memerintahkan kepada muridnya untuk pergi menghadap khafsah.

Kemuliaannya sangat dikenal oleh ulama-ulama semasanya. Terbukti dari perkataan Iyyas bin Muawwiyah, "aku tak pernah melihat satu pun orang yang lebih mulia dari Khafsah binti Sirin." Hasan basri bin Sirin sendiri mengakui, tak ada seorang pun yang bisa menandingi keutamaan Khafsah. Sehingga tidaklah mengherankan lagi, jika bin Dawud menggolongkannya sebagai wanita-wanita mulia dari kalangan Tabi'in.

Beliau selalu berpuasa selama setahun penuh, kecuali pada hari-hari yg tidak diperbolehkan berpuasa. Setiap malam ia selalu membaca separuh dari ayat-ayat Al Qur'an. Ia mempunyai sebuah kain kafan yg senantiasa ia pakai saat sedang melakukan ibadah di malam ke-10 hari terakhir pada bulan suci Ramadhan.

Salah satu dari kata-kata bijaknya adalah, "Wahai para pemuda, pergunakan waktumu sebaik-baiknya di saat kalian dalam keadaan muda. Sesungguhnya, aku melihat banyak sekali amal perbuatan yg bisa dilakukan oleh para pemuda."

Ia mengambil riwayat hadits dari saudara laki-lakinya sendiri yang bernama Yahya, begitu pula dari Anas bin Malik, Ummu Athiah Al-Anshariyah, dan selain dari mereka.

Sedangkan orang-orang yg mengambil periwayatan hadits darinya adalah Muhammad bin Sirin, Qatadah, Asyim Al-Ahwal, dan selainnya.

Ibnu Hibban, Yahya bin Muayyan dan Ahmad bin Abdullah, menganggap Khafsah termasuk para perawi hadits yang dapat dipercaya.

Khafsah binti Sirin meninggal dunia pada tahun 101 Hijriyah di Madinah, dengan usia mendekati 70 tahun.

Wednesday, October 31, 2012

19 Atlet Berhijab yang Berlaga di Olimpiade 2012

1. Rand al-Mashhadani (Irak) Panahan

2. Noor Amer al-Ameri (Irak) Menembak

3. Tahmina Kohistani (Afghanistan) Atletik

4. Azza Alqasmi (Bahrain) Menembak

5. Maziah Mahusin (Brunei) Atletik

6. Nada Kamel (Mesir) Panahan

7. Arezou Hakimimoghaddam (Iran) Dayung

8. Mahlaga Jambozorg (Iran) Menembak

9. Maryam Arzouqi (Kuwait) Menembak

10. Nur Suryani Mohd Taibi (Malaysia) Menembak

11. Shinoona Salah al-Habsi (Oman) Atletik

12. Woroud Sawalha (Palestina) Atletik

13. Bahya Mansour al-Hamad (Qatar) Atletik

14. Noor Husain al-Maliki (Qatar) Atletik

15. Aia Mohamed (Qatar) Tenis Meja

16. Wojdan Shaherkani (Arab Saudi) Judo

17. Ibtihaj Muhammad

18. Ruqaya Al Ghasara

19. Sarah Attar



Taken From: Majalah Annisa

Friday, November 5, 2010

Cut Nyak Dien...

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi dalam melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja, di mana pada usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda dan akhirnya ditangkap.

Cut Nyak Dien merupakan pahlawan kemerdekaan nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848 yang sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya, dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan, bahkan juga pahlawan kemerdekaan nasional.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami, dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Cut Nyak Dien memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.

Cut Nyak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana Perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Perlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya. SEtelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, suami Cut Nyak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. karena itu, Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Cut Nyak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Cut Nyak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya, atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu membebaskan tanah Aceh dari penjajahan kaum kafir terkabul, karena Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang juga terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar bersama dengan Cut Nyak Dien berjuang membebaskan Aceh dari penjajahan Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Cut Nyak Dien, Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Cut Nyak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.

Teuku Umar sendiri terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, ia pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengkoordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun. Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekali pun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh tampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Masjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, "Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid kita dibakar! Mereka menentang ALLAH! Tempatmu beribadah dibinasakan! Nama ALLAH dicemarkan! Camkanlah itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?"

Lama-lama pasukan Cut Nyak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu, jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Cut Nyak Dien menjadi sangat marah. Tapi Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia berkhianat dan kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak tertangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap, wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya ALLAH ya Tuhan, inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir."

Cut Nyak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu, sikap menentang mujahidah ini masih tampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya. Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga Cut Nyak Dien pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, yang berarti Belanda mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

Di Sumedang tak banyak orang yang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangan di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan tua yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang, banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena ibu Perbu (sebutan masyarakat untuk Cut Nyak Dien) tak bersedia menerima apa pun yang diberikan oleh Belanda. Keadaa ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah kompleks pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an, berdasarkan keterangan pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Cut Nyak Dien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal, telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No.23. Akhirnya, dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Cut Nyak Dien yang diasingkan Belanda bersama seorang Panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Cut Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanitalah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Dari Malahayati hingga Cut Nyak Dien adalah cermin zaman yang membuat kita harus bersyukur bahwa dari nenek moyang kita ada yang menjadi pahlawan zamannya dengan penuh ketulusan untuk membela kehormatan agama dan tanah air dari tindak kesewenangan dan ketidak adilan.

Berangkat dari perjuangan yang telah dilakukan oleh perempuan pada masa lampau maka dapat dikatakan bahwa perempuan muslimah zaman lampau memiliki keberanian yang tinggi. Mereka membuktikan bahwa perempuan bukan makhluk lemah dalam mempertahankan cita-cita, agama, dan hak asasinya, walaupun tidak melupakan tugas utama kodrat mereka sebagai ibu yang melahirkan anak-anak negeri penerus perjuangan. Hal inilah yang penting untuk terus diingatkan kepada perempuan muslimah pada saat ini, khususnya bagi perempuan muslimah dan bagi perempuan di seluruh Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa perjuangan perempuan telah dilakukan sejak zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dari adanya sejarah yang bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat dijadikan sebuah semangat untuk membangun jiwa perempuan yang kuat dan berkarakter.

Malahayati

Malahayati merupakan salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1585-1604, Malahayati memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Malahayati memimpin 2000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda Pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.

Laksamana Malahayati merupakan sosok pahlawan yang jarang disebut namanya dan tidak pernah diungkit searahnya. Dia adalah laksamana perempuan pertama di dunia dan seorang petarung garis depan. Laskar Inong Balee yang dipimpinnya disegani musuh dan kawan. Kisah Laksamana Malahayati, walaupun tidak banyak, semua bercerita tentang kepahlawanannya. Suami Malahayati gugur pada pertempuran melawan Portugis. Konon kabarnya, pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.

Karier militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin zaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut selat Malaka. Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda yang pertama tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang kedua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1559, Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini kena batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda dipukul mundur armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang terbunuh dan ditawan, sedangkan Cornelis de Houtman sendiri mati di tangan Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.

Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugerahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.

Markas pasukan Inong Balee berada di Lam Kuta, Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Salah satu jejak perjuangan yang masih tersisa hingga kini adalah kompleks makam Malahayati yang berada di puncak bukit dan sebuah benteng yang disebut Benteng Inong Balee di tepi pantai Selat Malaka, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


Sumber: Buku 'KOntribusi Muslimah dalam Mihwar Daulah'

Dewi Sartika

Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh untuk menyekolahkan Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika diasuh oleh pamannya (kakak ibunnya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan kebudayaan Barat diperolehnya dari didikan seorang nyonya Asisten Residen bangsa Belanda.

Sejak kecil Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik di sekolah, mengajari baca tulis, dan bahasa Belanda kepada anak-anak pembantu di kepatihan. Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar-mengajar.

Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan oleh kemampuan baca tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak (apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan seorang anak perempuan.

Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh pamannya, Bupati Martanagara, yang memang memiliki keinginan yang sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta-merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu, membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namun karena kegigihan semangatnya yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan mendirikan sekolah untuk perempuan.

Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seorang yang memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu merupakan Sekolah Latihan Guru.

Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan sebagainya menjadi materi pelajaran saat itu.

Usai konsultasi dengan Bupati R.A.Martanagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika membuka sakola istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia Belanda. Tenaga pengajarnya tiga orang, yaitu Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Nyi Poerwa dan Nyi Oewid. Murid-murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten Bandung.

Setahun kemudian, yaitu pada tahun 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya, serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909, membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya dengan laki-laki. Pada tahun 1910, dengan menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi sehingga bisa lebih memenuhi syarat kelengkapan sekolah formal.

Pada tahun-tahun berikutnya, di beberapa wilayah Pasundan bermunculan beberapa Sakola Istri, terutama yang dikelola oleh perempuan-perempuan sunda yang memiliki cita-cita yang sama dengan Dewi Sartika. Pada tahun 1912 sudah berdiri sembilan Sakola Istri di kota-kota kabupaten (setengah dari seluruh kota kabupaten se-Pasundan). Memasuki usia kesepuluh, tahun 1914, nama sekolahnya diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri (Sekolah Keutamaan Perempuan). Kota-kota kabupaten wilayah Pasundan yang belum memiliki Sakola Kautamaan Istri tinggal tiga per empat. Semangat ini menyebrang ke Bukittinggi, di mana Sakola Kautamaan Istri didirikan oleh Encik Rama Saleh. Seluruh wilayah Pasundan lengkap memiliki Sakola Kautamaan Istri di tiap kota kabupatennya pada tahun 1920, ditambah beberapa yang berdiri di kota kewedanan.

Pada bulan September 1929, Dewi Sartika mengadakan peringatan pendirian sekolahnya yang telah berumur 25 tahun, yang kemudian berganti nama menjadi "Sakola Raden Dewi". Atas jasanya dalam bidang ini, Dewi Sartika dianugerahi bintang jasa oleh pemerintah Hindia-Belanda.

Dewi Sartika meninggal pada tanggal 11 September 1947 di Tasikmalaya dan dimakamkan dengan suatu upacara pemakamam sederhana di pemakaman Cigagadon, Desa Rahayu, Kecamatan Cineam. Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan Karang Anyar, Bandung.

Thursday, October 21, 2010

SUMARLINA (Menciptakan Metode Sensus Serangga Air)

Meski tinggal jauh dari pusat kota di Kecamatan Wringinanom, Gresik, Jawa Timur, upaya Sumarlina untuk menyelamatkan lingkungan patut untuk ditiru. Bersama tim-nya, ia menawarkan metode sensus serangga air, yaitu penelitian kualitas air sungai melalui ketersediaan keragaman serangga air. Melalui parameter biologis serta alat-alat pengamatan yang sederhana, wanita kelahiran Gresik, 10 Januari 1993 ini berhasil menyajikan data informasi kualitas air yang aktual kepada masyarakat.

Tahun 2008, lulusan SMAN 1 Wringinanom, Gresik ini ditunjuk mewakili sekolahnya untuk mengikuti training motivator sahabat air yang diadakan oleh LSM Ecoton. Salah satu materi yang diberikan dalam kegiatan tersebut adalah pemantauan kualitas air dengan bioindikator makroinvertebrata bentos. "Saya sangat takjub karena dapat mengetahui berbagai jenis biota air yang dapat menjadi parameter kualitas air sungai. Dalam kegiatan tersebut ditunjukkan pula beberapa aktivitas manusia yang dapat mencemari sungai seperti pertanian, limbah domestik, dan industri," papar anak pertama dari dua bersaudara ini. Sejak itulah, ia mulai menggali ide untuk melestarikan sungai.


Akhir tahun 2008, Sumarlina mulai mengajukan sebuah gagasan berjudul Jambore Pemantauan Kualitas Air Kali Brantas dalam lomba pelestarian sungai yang diadakan oleh JPKPA (Jaring-jaring Komunikasi Pemantauan Kualitas Air) dan Perum Jasa Tirta. Tahun 2009, ia kembali mengajukan gagasan yang sama dengan perubahan judul menjadi Mata-mata Kali Brantas dalam lomba pelestarian Sumber Daya Air yang diadakan oleh Puslitbang SDA (Departemen Pekerjaan Umum). Kedua gagasan tersebut adalah sebuah ide untuk mengadakan pemantauan terpusat bagi sekolah-sekolah di DAS Brantas sebagai upaya peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengawasan dan pengelolaan sungai. Akan tetapi, gagasan tersebut belum dapat diterima.


Akhirnya pada bulan Juni 2009, Sumarlina kembali mendapat tawaran dari guru biologi dan pembimbing KIR SMANIWA serta LSM Ecoton untuk mewujudkan gagasan awalnya tersebut dalam sebuah proyek yang juga diikutkan dalam Young Change Makers Award Competition yang diadakan oleh Ashoka Indonesia. "Sejak itulah Sensus Serangga Air (SSA) terbentuk dan saya mulai menyusun strategi pelaksanaan program," paparnya. Timnya sendiri terdiri dari 20 siswa dari SMAN 1 Wringinanom. Anggota tim inilah yang mengatur dan melaksanakan program SSA.


Sensus Serangga Air (SSA) merupakan sebuah program pemantauan kualitas air dengan menggunakan bioindikator serangga air. Sensus serangga air ini memiliki keunggulan 5M yaitu: MUDAH = Kita dapat mengetahui kualitas air sungai hanya dengan melakukan identifikasi jumlah dan jenis serangga air di lokasi yang kita amati. MURAH = Tidak memerlukan alat laboratorium yang mahal. SSA menggunakan alat-alat sederhana seperti jaring bentos berukuran 1 mm dengan pegangan sepanjang 1,5 meter, nampan plastik, pinset atau sendok, Cawan petri, Lup, kamera, Plot yang terbuat dari pipa berukuran 1 meter persegi, kantong plastik, Alat tulis (pena, buku catatan, dll.), kuas, Buku panduan (berisi bagan kelompok serangga air dan skor untuk tiap jenis serangga untuk menentukan nilai kualitas air pada titik lokasi sensus). MASSAL = SSA dapat dilakukan oleh semua kalangan masyarakat dari berbagai usia dan dapat dilakukan secara bersama. MANFAAT = Melalui SSA, kita dapat mengetahui kualitas air, dan MITIGASI PENCEMARAN = SSA dapat menjadi early warning system bagi masyarakat untuk lebih peduli terhadap sungai.


Bersama tim-nya, putri pasangan Suyatim dan Sriami ini juga mengadakan sosialisasi dan training sensus serangga air bagi pelajar SMP-SMA yang ada di Kecamatan Wringinanom. "Hingga saat ini, saya telah berhasil mengajak 650 orang yang terdiri dari pelajar yang berasal dari 2 SMP dan 1 SMA, pemuda karang taruna, warga desa, pemerintah desa yang terdapat di Kecamatan Wringinanom dan mahasiswa Universitas Ciputra Surabaya. Selain itu, kegiatan SSA telah diadopsi oleh BLH Jatim dan Dispendik Jatim dan diikuti oleh pelajar dari 20 SD dari kota Surabaya", ujarnya bangga.


Taken From: Majalah Kartika

Sunday, September 5, 2010

Barirah,,,Sahaya Berjiwa Merdeka...

Salah satu miliknya yang paling berharga adalah kemerdekaan atas dirinya sendiri. Barirah pun merasakan hal itu. Barirah yang merupakan budak milik Bani Hilal kemudian memutuskan untuk menjadi orang merdeka dengan jalan menebus dirinya sendiri pada majikannya. Ia ikat dirinya dengan perjanjian seharga sembilan uqiyah. Jika sembilan uqiyah telah lunas, maka kemerdekaan menjadi milik Barirah. Dalam waktu satu tahun Barirah membayar dirinya sebanyak satu uqiyah.


Dorongan yang begitu kuat untuk merdeka membawa Barirah menemui istri Rasulullah S'AW, Aisyah R'A., untuk membantu menebus dirinya. "Katakan pada majikanmu bahwa aku mau membayar lunas untukmu dan engkau akan aku merdekakan. Namun wala'-mu untukku,"jawab Aisyah atas permintaan Barirah. Wala' adalah hak orang yang memerdekakan seorang sahaya untuk mendapatkan warisan dari sahaya tersebut apabila si sahaya meninggal dunia.


Maka pergilah Barirah untuk menyampaikan hal tersebut pada majikannya. Namun dengan licik sang majikan mengemukakan keinginannya, "kalau dia memang mau membantumu karena ALLAH, lakukan saja. Namun wala'-mu tetap untukku."


Barirah pun kembali kepada Aisyah untuk mengadukan hal tersebut. Rasulullah yang mendengar percakapan tersebut kemudian bertanya kepada Aisyah tentang persoalan ini. "Belilah dia dan merdekakan. Sesungguhnya wala' untuk orang yang memerdekakan," ucap Rasul setelah mendapat penjelasan dari 'Aisyah. Kemudian Rasul pun bangkit untuk berkhutbah di hadapan kaum Muslimin. "Bagaimana bisa suatu kaum mengajukan syarat yang tidak ada dalam Kitabullah? Seratus kali pun syarat itu tetap batil karena tidak ada dalam Kitabullah," Rasul berwasiat.


Bagi Barirah,wasiat Rasul itu menjadi kunci kebebasannya. Sekrang, ia adalah wanita merdeka, setelah dimerdekakan Aisyah. Kini ia bukan lagi seorang budak, ia pun memutuskan untuk tidak lagi bersama suaminya, seorang sahaya bernama Mughits milik Bani Al Mughirah, yang sebenarnya dibencinya.


Ketika Rasul mengatakan agar sebaiknya Barirah rujuk dengan suaminya, Barirah bertanya, "Apakah engkau menyuruhku, ya Rasulullah?" Maksud Barirah adalah apakah Rasulullah memerintahkan dirinya utk rujuk dg suaminya. "Tidak." jawab Rasul, "Aku mengatakan itu hanya untuk menolong, bukan untuk mewajibkanmu." Maka Barirah menjawab, "Kalau begitu, aku tidak membutuhkannya." Bagi Barirah, keputusan hidupnya ada di tangannya sendiri. Lain hal bila Rasul mewajibkan hal itu atas dirinya, maka suka atau tidak, Barirah akan taat. Itulah prinsip hidupnya.


Hubungan Barirah dengan keluarga Rasulullah terjalin makin erat sejak peristiwa pembebasan Barirah oleh Aisyah. Sebelum dimerdekakan, Barirah kerap bertandang ke rumah Aisyah untuk membantu Aisyah. Kedekatan Barirah dengan Aisyah ini membuat Rasulullah, atas saran Ali Bin Abi Thalib R'A bertanya pada Barirah ketika terjadi peristiwa fitnah atas Aisyah. Fitnah tersebut digembar-gemborkan oleh Abdullah bin Ubay bin Salul, seorang munafik.


"Wahai Barirah, apakh engkau pernah melihat sesuatu pada Aisyah yang membuatmu bimbang?" tanya Rasulullah. "Demi Zat Yang Mengutusmu dengan yang haq, tidak ada suatu pun yang pantas kucela darinya, kecuali ia masih sangat muda sehingga kadang tertidur di sebelah adonan makanan untuk keluarganya, sehingga hewan datang untuk memakan adonan tersebut," jawab Barirah mantap.


Selama hidupnya, Barirah mengalami beberapa kali pergantian kepemimpinan kaum Muslimin. Barirah berpulang ke rahmatullah pada masa Khalifah Mu'awiyah bin Abi Sufyan.


Sumber: Majalah Ummi...

Saturday, March 13, 2010

Ummu Al Hakam Binti Abu Sufyan...

Ummu Al Hakam adalah seorang wanita dari Bani Quraisy. Ayahnya adalah Abu Sufyan, orang yang setelah masa hijrah menjadi sahabat dekat Rasulullah. Ibunya adalah Hindun Binti Utbah, wanita yang pernah sangat memusuhi Islam di masa jahiliyahnya.

Sebelum masuk Islam, Ummu Al Hakam termasuk mereka yang sulit diajak membuka hati menuju hidayah. Karena keturunan bangsawan, ia berpikir derajatnya akan turun bila masuk Islam. Ia begitu terlena dan dimanjakan dengan kehidupan yang menyenangkan karena ayahnya termasuk salah seorang pembesar kaum Quraisy.

Apalagi setelah ia menikah dengan Iyadh Bin Ghunm Al Fihri. Kehidupannya begitu indah dan menyenangkan. Ummu Al Hakam tidak sudi menyamai derajatnya dengan para budak yang telah lebih dulu masuk Islam. Ia tidak rela kehidupannya yang serba mudah terenggut dan berganti dengan kehidupan yang serba sederhana seperti yang diajarkan Islam.

Berbeda dari Ummu Al Hakam, suaminya, Iyadh Bin Ghunm adalah seorang sahabat yang mulia. Di kaumnya, Iyadh Bin Ghunm cukup terpandang, terkenal sebagai orang yang sholih, toleran, mulia, juga dermawan. Ia juga orang rela mengorbankan diri dan hartanya untuk sahabat-sahabat yang membutuhkannya.

Ketika hidayah Islam datang, Iyadh Bin Ghunm memang segera mengikrarkan syahadat dan menyatakan diri beriman kepada ALLAH dan Rasul-Nya. Ia meyakini bahwa agama yang dibawa Rasulullah Muhammad S'AW adalah sebuah kebenaran. Tanpa ragu, Iyadh juga berbaiat kepada Rasulullah Muhammad S'AW. Sayangnya, pilihan Iyadh Bin Ghunm tidak didukung oleh istrinya. Ummu Al Hakam tetap bertahan dengan keyakinannya.

Sampai suatu ketika, ALLAH Menurunkan perintah-NYA melalui Q.S. Al Mumtahanah ayat 10, yang memerintahkan kaum Muslimin untuk menceraikan istri-istri mereka yang masih musyrik. "Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir." Sebagai muslim yang telah berserah diri pada ALLAH, Iyadh Bin Ghunm mematuhi perintah itu. Maka ia ceraikan Ummu Al Hakam.

Setelah dicerai, Ummu Al Hakam pergi meninggalkan suaminya. Meski akhirnya menikah lagi dengan Abdullah Bin Utsman Ats-Tsaqafi, namun Ummu Al Hakam mulai merenungi betapa keyakinan suaminya dengan Islam begitu kuat, hingga suaminya mau menuruti perintah ALLAH untuk menceraikannya. Ia mencari jawaban mengapa sebuah agama bisa membuat seorang suami rela melepas kan istri-istri mereka yang tidak sepaham. Sedikit demi sedikit Ummu Al Hakam mulai menyadari keagungan dan kebesaran Islam. Apalagi pengikut Rasulullah Muhammad S'AW juga semakin besar dan berkembang.

Semakin hari kekaguman dan keyakinan Ummu Al Hakam terhadap Islam semakin kuat. Akhirnya ketika penaklukan Mekkah terjadi, Ummu Al Hakam mengikuti jejak Iyadh Bin Ghunm, mantan suaminya. Bersama ayah dan ibu serta beberapa saudaranya, keluarga Abu Sufyan berbaiat kepada Rasulullah dan menyatakan diri mereka termasuk orang yang percaya dan yakin kepada ALLAH SWT dan Rasul-Nya. Sejak itu keluarga Abu Sufyan menjadi orang-orang yang gigih membela Islam dan rela menginfakkan harta mereka di jalan ALLAH.


Sumber: Majalah Ummi

Sunday, September 6, 2009

Kartini... (Perjuangannya sesungguhnya...)

Perjalanan R.A. Kartini

Kehidupan Raden Ajeng Kartini merupakan kisah tragedi. Bukan semata hidup Kartini yang demikian,namun sejarah yg ditulis oleh penguasa telah menunggangi pemikiran-pemikiran Kartini untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita-cita murni Kartini.Kini kita lihat,,,betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai Kartini.

Kartini berasala dari keluarga bangsawan Jawa,,,ayahnya RMAA Sosroningrat,,,merupakan bupati Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara,,,kandung dan tiri,,,sekaligus sebagai perempuan tertua. Keluarga Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang Kakek,,,Pangeran Ario Tjondronegoro IV,,menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini bernama Sosrokartono,,,mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa-bahasa negeri Timur dan 9 bahasa barat. Kala itu anak-anak perempuan di Jawa tidak ada yang disekolahkan tinggi-tinggi. Menurut tradisi,,,buat apa perempuan bersekolah tinggi-tinggi,,, toh nantinya akan ke dapur jua. Sebab itu,,,walau termasuk ningrat,,,sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian,,,Kartini termasuk anak cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tidak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda,,,salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.



Kartini dan Islam

Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memeluk Islam,,,sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru ngaji ke rumah. Namun yang namanya 'ngaji' kala itu ternyata hanya menghafal surat-surat al-Quran dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan makna dari ayat-ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memarahinya.

Kartini sedih. Kepada sahabatnya Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899: "Mengenai agamaku Islam, Stella,,aku harus menceritakan apa?? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagipula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku,,,kalau aku tidak menegrti, tidak boleh memahaminya?? Al-Quran terlalu suci,,,tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun.Di sini,,,tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Quran tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya.Kupikir,,,pekerjaan orang gilakah,,,orang diajar membaca tetapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris,,,aku harus hafal kata demi kata,,,tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi orang sholeh pun tidak apa-apa,,,asalkan jadi orang yang baik hati,,,bukankah begitu Stella???


Kepada sahabat lainnya,,,E.E. Abendanon,,,Kartini menulis surat, 15 Agustus 1902:

"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Quran,,,,belajar menghafal perumpamaan2 dg bahasa asing yg tdk aku mengerti artinya,,,dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya,,,nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya."


Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan KH. Mohammad Sholeh bin Umar yang sering disebut Kyai Sholeh Darat. Suatu hari,,,ketika Kartini bertamu ke rumah pamannya,,,seorang bupati di Demak,,,Pangeran Ario Hadiningrat,,waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kyai Sholeh Darat,,,ulama besar asal Semarang,,,tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian,,,Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat,,,seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh,,,,cucu Kyai Sholeh Darat:

"Kyai,,,perkenankanlah saya menanyakan,,bagaimana hukumnya apabila seorang yg berilmu,,,namun menyembunyikan ilmunya??"

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

"Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?" Kyai Sholeh Darat balik bertanya,,,sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

"Kyai,,,selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama,,,,dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada ALLAH,,,namun aku heran tak habis-habisnya,,,mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia???"


Sejak pertemuan itu,,,Kyai Sholeh tergugah untuk menterjemahkan Quran ke dalam bahsa Jawa. Di hari pernikahan Kartini,,,Kyai Sholeh menghadiahkan kepadanya terjemahan Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran),,jilid pertama yang terdiri atas 13 juz,,,mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Sejak itu dimulailah era pembelajaran Kartini terhadap Islam. Namun sayang,,,,sebelum merampungkan semua tafsir Al-Qurannya,,, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya ini.

Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah: "Sudah lewat masanya,,,tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik,,,tiada taranya. Maafkan kami,,,tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna??? Dapatkah ibu menyangkal bahwa dibalik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban??? (surat Kartini kpd Ny. Abendanon)

Kartini juga menentang semua praktek kristenisasi di Hindia Belanda: "Bagaimana pendapatmu tentang zending,,,jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih,,,bukan dalam rangka kristenisasi??....Bagi orang Islam melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain,,,merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata,,,,boleh melakukan zending,,,tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan???" (surat Kartini kpd E.E. Abendanon)

Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 193,,berupaya untuk memperbaiki citra Islam yang selalu dijadikan bulan-bulanan dan sasaran fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan: "Moga-moga kami mendapat rahmat,,,dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai." (surat Kartini pada Ny. Van Kol)

Walau belum utuh dipelajari Kartini,,,perempuan tersebut langsung menerima ajaran-ajaran Islam yang diketahuinya. Ada sebuah ayat yang sangat membekas di hati Kartini yakni QS. Al-Baqarah ayat 257 yang menyatakan jika ALLAH-lah Yang Membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (minazh-zhulumaati ilan Nuur),,,sebab itu dia memberi judul kumpulan tulisannya mengutip ayat tersebut. Hanya saja,,,karena ditulis dalam bahasa Belanda "Door Duisternis Tot Licht", maka oleh Armijn Pane,,,seorang non-Islam,,,diterjemahkan menjadi "Habis Gelap Terbitlah Terang". Suatu perumpamaan yang kurang tepat.



Wallahu a'lam bish showwab....

taken from: Eramuslim Digest.......

Saturday, June 13, 2009

SAYYIDATINA FATIMAH R.'A

Dia besar dalam suasana kesusahan. Ibundanya pergi ketika usianya terlalu muda dan masih memerlukan kasih sayang seorang ibu. Sejak itu, dialah yang mengambil alih tugas mengurus rumahtangga seperti memasak, mencuci dan menguruskan keperluan ayahandanya.

Di balik kesibukan itu, dia juga adalah seorang yang paling kuat beribadah. Keletihan yang ditanggung akibat seharian bekerja menggantikan tugas ibunya yang telah pergi itu, tidak pula menghalang Sayidatina Fatimah daripada bermunajah dan beribadah kepada Allah S.W.T. Malam- malam yang dilalui, diisi dengan tahajud, zikir dan siangnya pula dengan sholat, puasa, membaca Al Quran dan lain-lain. Setiap hari, suara halusnya mengalunkan irama Al Quran.

Di waktu umurnya mencapai 18 tahun, dia dikawinkan dengan pemuda yang sangat miskin hidupnya. Bahkan karena kemiskinan itu, untuk membayar mas kawin pun suaminya tidak mampu lalu dibantu oleh Rasulullah S.A.W.

Setelah menikah, kehidupannya berjalan dalam suasana yang amat sederhana, gigih dan penuh ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Digelari Singa Allah, suaminya Sayidina Ali merupakan orang kepercayaan Rasulullah SAW yang diamanahkan untuk berada di barisan depan dalam tentera Islam. Maka dari itu, seringlah Sayidatina Fatimah ditinggalkan oleh suaminya yang pergi berperang untuk berbulan-bulan lamanya. Namun dia tetap ridho dengan suaminya. Isteri mana yang tidak mengharapkan belaian mesra daripada seorang suami. Namun bagi Sayidatina Fatimah r.ha, saat-saat berjauhan dengan suami adalah satu kesempatan berdampingan dengan Allah S.W.T untuk mencari kasih-Nya, melalui ibadah-ibadah yang dibangunkan.

Sepanjang pemergian Sayidina Ali itu, hanya anak-anak yang masih kecil menjadi temannya. Nafkah untuk dirinya dan anak-anaknya Hassan, Hussin, Muhsin, Zainab dan Umi Kalsum diusahakan sendiri. Untuk mendapatkan air, berjalanlah dia sejauh hampir dua batu dan mengambilnya dari sumur yang 40 hasta dalamnya, di tengah teriknya matahari padang pasir.

Kadangkala dia lapar sepanjang hari. Sering dia berpuasa dan tubuhnya sangat kurus hingga menampakkan tulang di dadanya.

Pernah suatu hari, ketika dia sedang tekun bekerja di sisi batu pengisar gandum, Rasulullah datang berkunjung ke rumahnya. Sayidatina Fatimah yang amat keletihan ketika itu lalu meceritakan kesusahan hidupnya itu kepada Rasulullah S.A.W. Betapa dirinya sangat letih bekerja, mengangkat air, memasak serta merawat anak-anak. Dia berharap agar Rasulullah dapat menyampaikan kepada Sayidina Ali,kalau mungkin boleh disediakan untuknya seorang pembantu rumah. Rasulullah saw merasa terharu terhadap penanggungan anaknya itu.

Namun baginda amat tahu, sesungguhnya Allah memang menghendaki kesusahan bagi hamba-Nya sewaktu di dunia untuk membeli kesenangan di akhirat. Mereka yang rela bersusah payah dengan ujian di dunia demi mengharapkan keridhoan-Nya, mereka inilah yang mendapat tempat di sisi-Nya. Lalu dibujuknya Fatimah r.ha sambil memberikan harapan dengan janji-janji Allah. Baginda mengajarkan zikir, tahmid dan takbir yang apabila diamalkan, segala penanggungan dan bebanan hidup akan terasa ringan.

Ketaatannya kepada Sayidina Ali menyebabkan Allah S.W.T mengangkat darjatnya. Sayidatina Fatimah tidak pernah mengeluh dengan kekurangan dan kemiskinan keluarga mereka. Tidak juga dia meminta-minta hingga menyusah-nyusahkan suaminya.

Dalam pada itu, kemiskinan tidak menghilang Sayidatina Fatimah untuk selalu bersedekah. Dia tidak sanggup untuk kenyang sendiri apabila ada orang lain yang kelaparan. Dia tidak rela hidup senang dikala orang lain menderita. Bahkan dia tidak pernah membiarkan pengemis melangkah dari pintu rumahnya tanpa memberikan sesuatu meskipun dirinya sendiri sering kelaparan. Memang cocok sekali pasangan Sayidina Ali ini karena Sayidina Ali sendiri lantaran kemurahan hatinya sehingga digelar sebagai 'Bapa bagi janda dan anak yatim di Madinah.

Namun, pernah suatu hari, Sayidatina Fatimah telah menyebabkan Sayidina Ali tersentuh hati dengan kata-katanya. Menyadari kesalahannya, Sayidatina Fatimah segera meminta maaf berulang-ulang kali.

Ketika dilihatnya raut muka suaminya tidak juga berubah, lalu dengan berlari-lari bersama anaknya mengelilingi Sayidina Ali. Tujuh puluh kali dia 'tawaf' sambil merayu-rayu memohon dimaafkan. Melihatkan aksi Sayidatina Fatimah itu, tersenyumlah Sayidina Ali lantas memaafkan isterinya itu.

"Wahai Fatimah, kalaulah dikala itu engkau mati sedang Ali tidak memaafkanmu, niscaya aku tidak akan menyembahyangkan jenazahmu," Rasulullah SAW memberi nasehat kepada puterinya itu ketika masalah itu sampai ke telinga baginda.

Begitu tinggi kedudukan seorang suami yang ditetapkan Allah S.W.T sebagai pemimpin bagi seorang isteri. Betapa seorang isteri itu perlu berhati-hati dan sopan di saat berhadapan dengan suami. Apa yang dilakukan Sayidatina Fatimah itu bukanlah disengaja. bukan juga dia membentak - bentak, marah-marah, meninggikan suara, bermasam muka, atau lain-lain yang menyusahkan Sayidina Ali k.w. meskipun demikian Rasulullah SAW berkata begitu terhadap Fatimah.

Ketika perang Uhud, Sayidatina Fatimah ikut merawat luka Rasulullah. Dia juga turut bersama Rasulullah semasa peristiwa penawanan Kota Makkah dan ketika ayahandanya mengerjakan 'Haji Wada' pada akhir tahun 11 Hijrah. Dalam perjalanan haji terakhir ini Rasulullah SAW telah jatuh sakit. Sayidatina Fatimah tetap di sisi ayahandanya. Ketika itu Rasulullah membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah r.ha membuatnya menangis, kemudian Nabi SAW membisikkan sesuatu lagi yang membuatnya tersenyum.

Dia menangis karena ayahandanya telah membisikkan kepadanya berita kematian baginda. Namun, sewaktu ayahandanya menyatakan bahwa dialah orang pertama yang akan berkumpul dengan baginda di alam baqa', gembiralah hatinya. Sayidatina Fatimah meninggal dunia enam bulan setelah kewafatan Nabi SAW, dalam usia 28 tahun dan dimakamkan di Perkuburan Baqi', Madinah.

Demikianlah wanita utama, agung dan namanya harum tercatat dalam al-Quran, disusahkan hidupnya oleh Allah S.W.T. Sengaja dibuat begitu oleh Allah kerana Dia tahu bahawa dengan kesusahan itu, hamba-Nya akan lebih hampir kepada-Nya. Begitulah juga dengan kehidupan wanita-wanita agung yang lain. Mereka tidak sempat berlaku sombong serta membangga diri atau bersenang-senang. Sebaliknya, dengan kesusahan-kesusahan itulah mereka dididik oleh Allah untuk senantiasa merasa sabar, ridho, takut dengan dosa, tawadhuk (merendahkan diri), tawakkal dan lain-lain.

Ujian-ujian itulah yang sangat mendidik mereka agar bertaqwa kepada Allah S.W.T. Justru, wanita yang sukses di dunia dan di akhirat adalah wanita yang hatinya dekat dengan Allah, merasa terhibur dalam melakukan ketaatan terhadap-Nya, dan amat bersungguh-sungguh menjauhi larangan-Nya, biarpun diri mereka menderita.



Sumber: 9695 Artikel Islami

Friday, December 19, 2008

Ummu Habibah

Ummul Mukminin Ummu Habibah (Wanita yang jujur dalam berhijrah)

Dia adalah wanita yang lahir di tengah keluarga yang memiliki nasab dan kehormatan yang dalam.

Ia mendapatkan berbagai macam kesenangan dan bergelimang di atas kemewahan.

Kejujuran beragama di sisinya mengalahkan kebenaran nasab, kecintaan kepada Allah dan RasulNya mengalahkan kecintaan kepada keluarga dan tanah air.

Dialah Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan Shakhr bin Harb, Ummul Mukminin Radhiyallahu 'anha.

Di saat hijrah, rombongan orang-orang yang suci itu memasuki negeri Ethiopia dengan mendapatkan sambutan dan berbagai macam kemuliaan serta kemeriahan dari sang raja yang tak ada seorang pun yang teraniaya di sisinya sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah S'AW.

Ummu Habibah menghabiskan hari-harinya dalam keterasingan bersama suaminya Ubaidillah bin Jahsy karena jauh dari kampung halaman dan kaumnya.

Di negeri Ethiopia, Ummu Habibah melahirkan putrinya, Habibah binti Ubaidillah bin Jahsy.

Wanita shalihah ini bermimpi dalam tidurnya melihat sesuatu yang sangat menakutkannya dan mengisyaratkan akan adanya sesuatu yang buruk yang bakal terjadi. Ia melihat dalam mimpinya itu suaminya Ubaidillah bin Jahsy dalam rupa yang sangat jelek.

Ketika di pagi hari suaminya datang kepadanya dan berkata, "Wahai Ummu Habibah, aku telah menimbang agama, maka aku tak melihat agama yang lebih baik daripada agama nashrani, agama yang dahulu aku anut, lalu aku masuk ke dalam agama Islam dan kini aku kembali lagi kepada agama Nashrani."

Maka istri yang jujur ini (ummu habibah) menjawab dengan jawaban dari seorang wanita yang imannya telah terhujam dalam di hatinya, ia berkata, "Demi Allah tidak ada kemuliaan bagimu!"

Ia sampaikan mimpi yang ia lihat, namun suaminya tidak mempedulikannya dan ia tetap meminum khamr hingga meninggal.

Sungguh menakjubkan tekad wanita mukminah lagi shalihah ini yang keimanannya tak tergoyahkan oleh cintanya kepada suaminya, minimnya penolongnya dan kelemahannya sebagai seorang wanita. Bahkan ia tetap teguh dalam keimanannya dan tetap mantap dalam keyakinannya.

Baru saja iddahnya selesai, seorang utusan Najasyi datang kepadanya, lalu seorang gadis bernama Abrahah menemuinya untuk menyampaikan berita bahagia baginya. Ia berkata, "Sesungguhnya sang raja berkata bahwa Rasulullah S'AW mengirim surat kepadaku untuk menikahkanmu dengannya."

Ummu Habibah berkata, "Semoga Allah memberimu berita gembira dengan kebaikan!"

Walinya yang menikahkannya dengan Rasulullah S'AW adalah Khalid bin Sa'id bin al-'Ash Radhiyallahu 'anhum.

Begitulah Allah SWT telah menggantikan bagi wanita mukminah yang jujur ini dengan suami terbaik dan manusia paling mulia, Rasulullah S'AW sebagai balasan atas kejujuran dan kesabarannya yang luar biasa.

Sejak hari itulah Ummu Habibah menjadi salah seorang wanita yang menempati salah satu kamar istri-istrinya untuk mendapat gelar Ummul Mukminin.

Ketika kaum Quraisy membatalkan perjanjian Hudaibiyah, mereka mengutus Abu Sufyan untuk memperbaharui perjanjian dan menambah masanya.

Abu Sufyan (waktu itu Abu Sufyan belum masuk Islam) lalu datang ke kota Madinah dan menemui Rasulullah S'AW untuk menyampaikan misinya.

Setelah urusannya selesai, ia mendatangi rumah putrinya, Ummu Habibah, rumah yang suci yang cahaya kenabian bersinar di sekelilingnya.

Setelah ia memberi salam kepada anaknya, ia hendak duduk di atas sebuah hamparan yang ia kira seperti hamparan lainnya.

Namun ia sangat kaget, ketika putrinya melipat hamparan itu. Dengan nada bertanya ia berkata, "Engkau jauhkan hamparan itu dariku?" Ummu Habibah menjawab, "Ya, karena itu hamparan Rasulullah S'AW, sedang engkau seorang yang najis dan musyrik."

Abu Sufyan bingung ketika mendengar jawaban putrinya, lalu ia berkata, "Wahai putriku, setelah engkau tinggalkan aku, engkau kini akan mendapatkan keburukan!"

Ummu Habibah berkata, "Allah telah Memberikan petunjukNya kepadaku dengan memeluk Islam, sedang engkau, wahai ayah, seorang pemimpin kaum Quraisy dan tokoh mereka dan engkau terhalang untuk memeluk Islam, engkau sembah batu yang tak dapat mendengar dan melihat."

Abu Sufyan berkata, "Sungguh mengherankan, dan ini satu lagi keburukan yang menimpamu, apakah aku tinggalkan apa yang disembah oleh nenek moyangku lalu aku ikuti agama Muhammad?" Akhirnya Abu Sufyan meninggalkan putrinya dan keluar.

Abu Sufyan keluar dari rumah putrinya setelah ia menyaksikan pengaruh keimanan yang jujur dan luar biasa.

Ketika Rasulullah S'AW meninggal dunia, Ummu Habibah adalah satu dari sekian wanita pendidik yang menyebarkan cahaya kenabian dan menyebarkan mutiara hidayah.

Itulah Ummu Habibah R.'A. Seorang wanita yang berhijrah karena Allah SWT dan RasulNya, seorang wanita yang sabar menerima berbagai ujian dan penyiksaan dan seorang wanita yang jujur dalam beriman dan bertekad.

Ketika kematian hampir datang kepadanya, Ummul Mukminin Aisyah R.'A berdoa untuknya dan ia berkata, "Dahulu terjadi di antara kami apa yang terjadi di antara para madu, semoga Allah Mengampuniku dan Mengampuninya atas apa-apa yang pernah terjadi."

Aisyah berkata, "Semoga Allah mengampuni semua kesalahanmu itu dan memaafkannya serta menghalalkannya." Lalu Ummu Habibah berkata, "Engkau telah menyenangkanku, semoga Allah Menyenangkanmu!"

Kemudian ia juga mengirimkan pesan kepada Ummul Mukminin Ummu Salamah seperti yang ia ucapkan kepada Aisyah R.'A.

Ummu Habibah R.'A. meninggal pada tahun 44 H. Pada masa kekhalifahan saudaranya Mu'awiyah bin Abu Sufyan R.'A.

Thursday, December 18, 2008

Mu'adzah Rahimahullah..

Mu'adzah Binti Abdullah Al-Adawiyah

Ia sering berkata, "Sungguh mengherankan mata yang tidur, padahal ia tahu bahwa ia akan tidur lama di dalam gelapnya kubur!"

Mu'adzah bukanlah wanita ahli ibadah yang menjauh dari manusia, tapi ia adalah seorang guru yang suka memberi nasehat, seorang da'i yang suka mendidik dan seorang berilmu yang mau menyebarkan ilmunya.

Mu'adzah Rahimahullah adalah salah seorang wanita yang memiliki karomah dan tergolong orang-orang yang do'anya dikabulkan.

Wanita shalihah ini tahu bahwa suami dan anaknya terbunuh dalam berjihad melawan kaum kafir, maka ia yakin dan percaya terhadap janji Allah SWT bagi orang yang terbunuh di jalanNya. Ia pun mengharap mereka mendapatkan pahala sebagai syuhada dan ia senang kepada mereka dengan akhir hayat ini.

Wanita shalihah ini tetap teguh memegang jalan hidupnya itu, bahkan keshalihannya semakin meningkat dan setelah suaminya tiada ia tidak pernah tidur di atas sebuah hamparan.

wanita ahli ibadah dan zahidah ini mengharap Allah SWT dapat menyatukannya dengan suami dan anaknya di dalam surga. Batapa agungnya cita-cita yang dimiliki wanita ini.

Demi mengharap perjumpaannya dengan Allah SWT, wanita ahli ibadah ini tetap teguh menjalankan ketaatan dan terus memompa cita-citanya untuk menggapai saat-saat yang membahagiakan itu.

Ketika kematiannya akan tiba, ia tidak bersedih karena berpisah dengannya, tapi ia bersedih karena melepaskan hari-hari yang terlewat, hari-hari dahaga di siang hari dan tahajjud di tengah gelapnya malam.

Kepergiannya terjadi pada tahun 83 H, untuk mengambil simpanan yang ia berikan dan barang titipan yang ia titipkan kepada Allah SWT yang tak akan disia-siakan satu kebaikan di sisiNya dan Dia tak akan menzhalimi siapa pun walau seberat biji atom.

Sunday, December 14, 2008

Ummul Banin

Ummul Banin Binti Abdul Aziz bin Marwan

Dia adalah wanita dari keturunan keluarga Marwan dan pemimpin kaum wanita keluarga itu.

Ia melihat cahaya kehidupan di bumi hijrah dan negeri Rasulullah S'AW, Madinah.

Di tanah yang suci itu Ummul Banin berdiam untuk menuntut ilmu yang bermanfaat dari bintang-bintang yang diberkahi, para pembesar tabi'in dan para tokoh ulama Rabbani dan para pewaris ilmu orang-orang yang diberkahi. Ia tumbuh dan berkembang dengan mempelajari sunnah-sunnah yang diridhai. Maka jadilah ia bangsawan wanita mulia dari keluarga Marwan dan wanita yang memiliki sikap yang menakjubkan.

Di sana, di Damaskus, sebuah negeri di Syiria, setelah Ummul Banin menjadi istri al-Walid bin Abdul Malik, Khalifah yang menjabat setelah ayahnya Abdul Malik bin Marwan, ia duduk untuk meriwayatkan ilmu yang ia pelajari di kota Madinah yang diberkahi. Maka jadilah ia berada dalam barisan para perawi hadits dan para penyampai petunjuk Nabi S'AW. Banyak para ulama besar dan tokoh mulia yang meriwayatkan darinya.

Sungguh menakjubkan pemimpin yang mulia ini, naungan istana tak melalaikannya dari menuntut kemuliaan yang luhur.

Usai sholat ia meminta maaf kepada teman-temannya dengan kata-katanya yang cerdas. Ia berkata, "Aku ingin berbincang-bincang dengan kalian, tapi jika aku sedang sholat, aku lalai dan lupa terhadap kalian."

Cukuplah engkau wahai putri Abdul Aziz, ranjang yang indah dan keindahan yang menyenangkan tak membuatmu lalai!

Di Istana, dimana Khalifah kaum muslim yang berkuasa saat itu, al-Walid bin Abdul malik tinggal di dalamnya terdengarlah berita kemenangan tentara Islam dan harta rampasan kaum kafir membanjiri istana Khalifah. Maka Ummul Banin Rahimahullah ikut pula merasakan kegembiraan bersama suaminya.

Maka setiap hari Jum'at ia membeli seekor kuda lalu kuda itu ia berikan kepada seorang penunggang kuda agar ia ikut menjadi tentara dalam pasukan yang menang itu. Setiap hari Jum'at pula ia memerdekakan seorang budak.

Karena kecintaannya pada kedermawanan, terungkap dari lisannya kata-kata yang lebih indah dari kedermawanannya. Ia berkata, "Dijadikan bagi setiap kaum sebuah keinginan terhadap sesuatu, dan dijadikan keinginanku adalah pada perbuatan memberi. Demi ALLOH, menyambung tali silaturrahim dan membantu adalah lebih aku cintai daripada menikmati makanan enak di saat lapar dan meminum minuman dingin di saat dahaga.

Dialah yang mengatakan, "Aku tak pernah iri hati kepada siapa pun terhadap apa pun yang ia lakukan kecuali bila ia seorang yang suka berbuat baik, maka sungguh aku ingin bersama dengannya dalam perbuatan itu.

taken from: 14 wanita mulia dalam sejarah Islam

Wednesday, December 10, 2008

Zubaidah binti Ja'far

Dia adalah wanita yang senantiasa membaca al-Qur'an pagi dan sore, sehingga istananya semerbak dengan wangi al-Qur'an yang bersih.

Zubaidah memiliki seratus dayang-dayang yang hafal al-Qur'an dan masing-masing dari mereka setiap harinya membaca 1/10 al-Qur'an. Sehingga dari istana sang tuan putri ini terdengar lantunan al-Qur'an seperti suara lebah.

Sungguh wanita yang terpelihara dari perilaku buruk ini adalah wanita yang pemurah, suka memberi dan sangat dermawan. Ia tidak pernah menolak kebutuhan orang betapapun besarnya kebutuhan itu.

Wanita yang mulia ini bila ia pergi haji, ia selalu menolong orang yang teraniaya, menguatkan orang yang lemah dan memberikan hartanya baik yang mahal maupun yang murah.

Ia senantiasa memberikan harta yang banyak sejak ia keluar dari Baghdad hingga ia sampai ke Baitullah al-Haram. Dan setiap kali ia menempuh perjalanan sehari, maka ia memerintahkan agar digali sebuah sumur atau dibuatkan sarana bagi orang-orang yang akan menuju ke Baitullah al-Haram.

Ketika Zubaidah Rahimahullah melihat penderitaan yang dihadapi oleh penduduk Mekkah dan para haji dengan kurangnya air, ia bertekad untuk mendapatkan kemuliaan memberi minum para jemaah haji dan cita-citanya yang tinggi mendorongnya untuk memberikan hartanya untuk mewujudkan cita-cita ini.

Ia panggil bendaharanya dan ia perintahkan agar mendatangkan para pekerja untuk membuat terobosan di tengah pegunungan hingga menembus ke tengah kota Mekkah.


Bendahara mendatangkan para pekerja dan pekerjaan pun dimulai. Ini bukanlah pekerjaan yang mudah, di mana terobosan dibuat di gunung dan batu-batu besar sepanjang 10 mil.


Ketika bendaharanya datang kepadanya dan ia mengatakan, "Pekerjaan ini membutuhkan biaya yang besar," ia menjawab, "Kerjakanlah, walaupun harus membuat kampak dengan dinar."


Akhirnya Allah SWT Mewujudkan cita-cita wanita yang terpelihara ini dan terobosan yang dibuat itu lalu mengeluarkan air yang deras kepada penduduk Mekkah dan orang-orang yang ke Baitullah al-Haram, sehingga mereka minum setelah sebelumnya ditimpa kehausan dan tanah-tanah menjadi subur setelah sebelumnya tandus.

Itulah satu kebaikan Zubaidah yang amat besar dan betapa banyak lisan yang mengucapkan doa untuknya dan tangan yang diangkat untuknya.

1.000.000 dinar ia keluarkan untuk proyek pembuatan terobosan ini. Betapa mulianya kebaikan ini, demi Allah itu adalah bisnis yang menguntungkan!


Zubaidah adalah ibu al-Amin bin Harun ar-Rasyid, Khalifah yang menjabat setelah bapaknya Harun ar-Rasyid.

Al-Amin terdidik di bawah pangkuan wanita yang mulia ini dan ia terdidik dengan adab yang luhur dan jalan yang mulia. Maka jadilah ia seorang yang mulia dan pemimpin yang agung.


Ketika jabatan khilafah berpindah kepadanya, ia lepaskan saudaranya al-Ma'mun dari haknya. Dan begitu pula al-Ma'mun melepaskan saudaranya al-Amin dari haknya sebagai penerus tahta. Maka berkecamuklah peperangan antar dua saudara ini, lalu di manakah posisi wanita mulia ini terhadap peristiwa itu?


Zubaidah Rahimahullah adalah seorang wanita yang memiliki tekad besar dan cerdas.


Ia berwasiat kepada Ali bin Isa bin Mahan, komandan perang putranya al-Amin, dan inilah wasiat dari seorang wanita yang bijak dan cerdas, sedang Mahan berdiri di depan pintunya sambil mendengarkan nasehatnya.

Ia berkata kepadanya, "Wahai Ali, sesungguhnya Amirul Mukminin walaupun ia putraku dan aku sangat menyayanginya, namun aku juga mengasihi dan menyayangi Abdullah al-Ma'mun atas penderitaan yang menimpanya. Putraku hanyalah seorang raja yang bersaing dengan saudaranya dalam kekuasaan dan iri hati dengan apa yang ada di tangannya dan orang yang mulia memakan dagingnya sendiri, dan orang lain akan membinasakannnya. Maka ketahuilah hak Abdullah sebagai anakku dan saudaranya, janganlah pukul ia dengan ucapan, karena kamu tidak sepadan dengannya, jangan memaksa ia seperti budak dan jangan hinakan ia dengan ikatan dan belenggu, jangan halangi ia dari seorang budak dan pembantu, jangan berlaku keras terhadapnya dalam perjalanan, jangan berjalan sejajar dengannya, jangan naik tunggangan sebelumnya, dan tuntunlah tunggangannya, jika ia mencelamu, bersabarlah."

Kemudian Zubaidah memberikan kepadanya ikatan dari perak dan ia berkata, "Jika engkau menangkapnya, ikatlah dengan ikatan ini!" Ali bin Isa menjawab, "Aku akan lakukan seperti apa yang engkau perintahkan."


Namun angin peristiwa ternyata berbalik; Ibnu Mahan mengalami kekalahan dan ia terbunuh, lalu al-Ma'mun mengepung Baghdad dan setelah itu al-Amin, putra tuan putri Zubaidah binti Ja'far terbunuh. Maka ia pun kehilangan putra satu-satunya dan buah hatinya dan kesedihan sebagai seorang ibu masuk ke dalam hatinya.

Namun Zubaidah Rahimahullah adalah wanita yang cerdas. Ia tolak panasnya musibah itu dengan kesabaran seorang wanita yang merdeka dan yakin akan datang penggantinya dan mengharap pahala yang abadi.


Ia tidak berkeluh kesah seperti orang yang lemah, bahkan ia tampakkan kesabaran dan ketabahannya hingga membuat bingung orang-orang yang berakal.

Akhirnya setelah menguasai Baghdad, al-Ma'mun datang kepada Zubaidah dan ia mengira kesedihan telah menghancurkannya setelah kematian putranya, namun ia berkata, "Selamat untukmu dengan memangku jabatan khilafah yang jiwaku senang dengannya terhadapmu sebelum aku melihatmu. Bila kini aku kehilangan seorang putra yang menjadi khalifah,maka kini aku telah digantikannya dengan seorang anak yang menjadi khalifah yang tidak aku lahirkan. Dan tidaklah merugi orang yang mendapat pengganti sepertimu dan tidaklah seorang ibu yang tangannya penuh denganmu merasa kehilangan anaknya. Aku memeohon kepada Allah pahala atas apa yang Ia ambil dan nikmat atas apa yang ia ganti.


wallahu a'lam...


sumber: 14 Wanita Mulia dalam Sejarah Islam