Saturday, November 10, 2018

Review Buku: Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat



Review Buku: Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat (The Subtle Art of Not Giving a Fuck)

Penulis Buku: Mark Manson

Buku ini diterbitkan pertama kali di New York, AS. Oleh Penerbit HarperOne, pada tahun 2016. Diterbitkan pertama kali dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia pada Februari 2018. Saat ini telah dicetak 11 kali, Cetakan XI, Oktober 2018. Dialihbahasakan oleh F. Wicakso dengan Editor Adinto F. Susanto.

Mark Manson sang penulis buku ini merupakan seorang blogger superstar, yang berusaha menunjukkan pada kita bahwa kunci untuk menjadi orang yang lebih kuat dan lebih bahagia adalah dengan mengerjakan segala tantangan dengan lebih baik dan berhenti memaksa diri untuk menjadi "positif" di setiap saat.

Tulisan Mark Manson memiliki karakteristik cenderung membantu mengoreksi harapan-harapan delusional kita, baik mengenal diri kita sendiri maupun dunia. Manson melontarkan argumen bahwa manusia tak sempurna dan terbatas. Menurut Manson, tidak semua orang bisa menjadi luar biasa, ada para pemenang dan pecundang di masyarakat, dan beberapa di antaranya akibat ketidak adilan serta bukan kesalahannya. Manson mengajak kita untuk mengerti batasan-batasan diri dan menerimanya. Konsep penerimaan diri inilah sumber kekuatan yang paling nyata. Tepat saat kita mampu mengakrabi ketakutan, kegagalan, dan ketidak pastian, pada saat itu pula lah kita berhenti melarikan diri dan mengelak, serta mulai menghadapi kenyataan-kenyataan yang menyakitkan. Di saat itu pula kita mulai menemukan keberanian dan kepercayaan diri yang selama ini kita cari dengan sekuat tenaga.

Menurut Manson, di dalam hidup, kita hanya punya kepedulian dalam jumlah terbatas. Karena itulah kita sebaiknya dapat lebih bijaksana dalam menentukan kepedulian.

Buku ini menyiratkan bahwa kita bisa memilih untuk mulai menjalani kehidupan yang lebih memuaskan, dan apa adanya. Di dalam buku ini penulisnya menyajikan beragam cerita yang menghibur serta bernuansa millenial. Sesekali diselingi humor, agar pembaca tidak merasakan kemonotonan.

Pembatas buku ini memuat quote yang persuasif, bahwa kunci untuk kehidupan yang baik bukan tentang mempedulikan lebih banyak hal, tapi tentang mempedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar dan mendesak, serta penting/urgent.

Bab favorit saya adalah Bab 2 yang bertajuk "Kebahagiaan itu Masalah". Di dalam bab ini disebutkan bahwa terkadang kita tidak perlu mempercayai emosi kita. Karena emosi hanyalah anjuran yang disampaikan oleh neurobiologi dalam diri kita, bukan perintah. Konsep emosi yang perlu kita pahami adalah bahwa setiap hal didapat melalui suatu pengorbanan. Apa pun yang membuat kita nyaman, juga akan membuat kita merasa buruk. Apa yang kita dapatkan adalah apa yang kita lepaskan. Apa yang menciptakan pengalaman positif kita, akan menentukan pengalaman negatif kita. Di dalam pembahasan konsep emosi ini dijelaskan bahwa pil pahit yang sulit ditelan adalah beberapa kebahagiaan yang menurut kita pada akhirnya dapat dicapai, pada kenyataannya kita tak mampu mencapainya. Karena itu Bab 2 menyiratkan bahwa kita perlu memilih medan juang dan fokus di sana.

Selain itu, pada Bab 7 penulis menjelaskan terdapat paradoks kegagalan/kesuksesan. Bahwa ketakutan untuk gagal, kebanyakan datang dari kesalahan dalam memilih nilai-nilai yang buruk dalam hidup kita. Contohnya dalam hal memikirkan penilaian orang lain, akan berdampak pada diri yang kehilangan kendali, karena penghargaan diri dipasrahkan kepada belas kasih penilaian dari orang lain.

Pada akhirnya buku 247 halaman yang terdiri dari 9 bab ini, mengingatkan pembaca bahwa "derita adalah bagian dari proses". Sehingga solusinya adalah dengan kembali melakukan sesuatu, agar kita dapat bersikap bodo amat terhadap derita dan segala nilai yang buruk.

Secara garis besar menurut saya buku ini sangat dahsyat, mungkin terdapat beberapa ketidak nyamanan dalam membaca dikarenakan adanya proses alih bahasa.

Reviewer: Bunga Mardhotillah