Prasangka yang baik akan terjadi bersama ihsan (perbuatan yang baik). Seorang muhsin (orang yang suka berbuat baik) tentu mempunyai prasangka yang baik terhadap Tuhannya, yakni bahwa Allah akan memberi ganjaran atas perbuatan baiknya. Dia tidak akan mengingkari janji dan akan menerima permohonan ampun dari hambaNya.
(Sumber: Tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah)
Showing posts with label Islamic View. Show all posts
Showing posts with label Islamic View. Show all posts
Thursday, April 2, 2020
Ketika Mengharapkan Sesuatu...
Siapa saja yang mengharapkan sesuatu, maka diisyaratkan adanya tiga hal:
Pertama, menyukai apa yang diharapkan.
Kedua, khawatir kehilangan sesuatu yang diharapkan.
Ketiga, berusaha keras untuk mendapatkannya.
Harapan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu disebut angan-angan. Harapan berbeda dengan angan-angan. Setiap orang yang berharap pasti disertai rasa khawatir. Seorang yang berjalan di jalan raya bila merasa khawatir kehilangan sesuatu, ia akan mempercepat jalannya. (Sumber: Tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah)
Pertama, menyukai apa yang diharapkan.
Kedua, khawatir kehilangan sesuatu yang diharapkan.
Ketiga, berusaha keras untuk mendapatkannya.
Harapan yang tidak dikaitkan dengan sesuatu disebut angan-angan. Harapan berbeda dengan angan-angan. Setiap orang yang berharap pasti disertai rasa khawatir. Seorang yang berjalan di jalan raya bila merasa khawatir kehilangan sesuatu, ia akan mempercepat jalannya. (Sumber: Tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah)
Tentang Kealpaan...
Amr az-Zahid berkata, "Karena kealpaanmu tentang dirimu dan berpalingnya engkau dari Allah swt, engkau akan melihat hal-hal yang membuat Allah murka. Engkau diam, tidak mengajak kepada kebaikan, dan tidak mencegah kemungkaran. Engkau takut kepada orang yang sebenarnya tidak bisa mendatangkan mudharat atau pun manfaat."
Allah Maha Penyayang...
Allah Maha Penyayang dan menyukai orang yang penyayang. Dia Maha Pemurah dan menyukai orang yang murah hati. Dia Maha Pandai dan menyukai orang yang pandai. Dia Maha Kuat dan menyukai orang yang kuat. Orang yang paling tidak Dia sukai di antara orang mukmin adalah orang yang lemah. Dia amat malu dan menyukai orang yang pemalu. Dia Maha Indah dan menyukai orang yang menyukai keindahan. Dia Tunggal dan menyukai orang yang melakukan sholat ganjil (witir).
Friday, March 27, 2020
Sabda Rasulullah S'AW tentang Dosa
Auza'i menyebutkan dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah, dari Abi Hurairah, Rasulullah S'AW bersabda, "Bila dosa itu tersembunyi, maka tidak berbahaya kecuali terhadap orangnya itu sendiri. Dan bila timbul ke permukaan dan engkau tidak mengubahnya, maka ia berbahaya bagi umum."
Faktor Penyebab Suatu Negeri Dihancurkan Allah SWT
Imam Ahmad menyebutkan, Umar bin Khaththab berkata, "Hampir saja sebuah negeri dihancurkan, padahal ia adalah negeri makmur." Ia ditanya, "Mengapa akan dihancurkan sedangkan ia subur?" Ia menjawab, "Karena orang-orang yang jahat mengungguli orang-orang yang baik dan orang-orang munafik telah memimpin suku bangsa di sana."
Firman Allah kepada Bangsa/Bani Israil
Imam Ahmad menyebutkan dari Wahb, Allah Yang Maha Mulia berfirman kepada bangsa Israil, "Sesungguhnya bila ditaati, Aku senang. Kalau senang (ridha), aku beri berkah. Berkah-Ku tidak ada putusnya. Kalau dilanggar, Aku Marah. Kalau marah, Aku mengutuk dan Kutukan-Ku mencapai tujuh turunan."
Penyesalan Seorang Hamba...
Jika seorang hamba berpaling dari Allah swt dan sibuk dengan kemaksiatan, akan hilanglah hari-hari hidupnya yang hakiki. Akhirnya ia menyesal dan berkata, "Aduhai, sekiranya dulu aku berbuat untuk hidupku sekarang ini." (QS. Al-Fajr: 24).
Thursday, March 26, 2020
Wasiat Rasulullah kepada Mu'adz
Kitab Musnad menyebutkan wasiat Rasulullah kepada Mu'adz, "Janganlah engkau menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun walaupun engkau dibunuh atau dibakar. Janganlah engkau durhaka kepada kedua orang tuamu meskipun mereka menyuruhmu untuk keluar dari keluargamu dan hartamu. Janganlah sekali-kali engkau meninggalkan sholat wajib secara sengaja. Sesungguhnya meninggalkan sholat wajib secara sengaja, berarti engkau lepas dari perlindungan Allah. Janganlah engkau meminum minuman keras/khamr. Sesungguhnya minuman keras itu merupakan pangkal berbagai kejahatan. Awaslah engkau terhadap maksiat. Sesungguhnya maksiat itu mendatangkan murka Allah swt.
Saturday, June 17, 2017
Puasa...
Allah telah menetapkan kewajiban puasa pada bulan Ramadhan yang disitimewakan oleh Allah dengan banyak kebaikan sebagai penghormatan atas turunnya Al-Quran pada bulan tersebut. Bahkan Allah telah menjadikan malam turunnya Al-Quran sebagai malam yang lebih baik dari seribu bulan. Puasa bukan hanya sekadar mencegah diri dari pemuasan syahwat perut dan kemaluan beberapa saat dalam sehari, tetapi puasa adalah kehidupan yang total bersama Allah dengan hati dan semua anggota badan. Menyadari pengawasan Allah dan perjuangan melawan nafsu serta komitmen untuk berpegang teguh dengan adab dan akhlak Islam, dan penjagaan diri secara total dari semua ucapan dan tindakan yang dilarang oleh Islam. Begitulah kita melihat bahwa bulan puasa sebagai karantina bagi seorang muslim yang memasukinya selama sebulan penuh untuk diterapi dan disembuhkan dari berbagai penyakit dan kelemahan sehingga bisa keluar dari karantina itu pada hari Raya Idul Fitri dalam keadaan sehat dan bebas dari segala penyakit sehingga bisa bergembira dengan puasa dan kesembuhannya.
Puasa menundukkan semua anggota badan untuk meraih ridha Allah, sehingga mata, telinga, lisan, tangan, kaki, mulut, dan kemaluan ikut berpuasa dengan menjauhkan diri dari semua yang diharamkan oleh Allah. Puasa akan memberi sifat hilm (mudah memaafkan) terhadap sikap orang-orang yang jahil, mampu menahan amarah dan menolak perbuatan jahil orang lain dengan ucapan, "Aku sedang berpuasa". Alangkah butuhnya seseorang pejuang kepada sikap berlapang dada, kelemah lembutan dan ketiadaan amarah untuk diri sendiri.
Puasa menumbuhkan sifat belas kasih dalam hati orang yang melakukannya. Orang yang berpuasa akan merasakan kasih sayang kepada orang faqir dan membutuhkan, sehingga di tengah kaum muslimin akan muncul sikap saling mengasihi dan memberikan pertolongan.
Puasa juga membiasakan seorang agar selalu teliti dalam semua waktunya, di mana ketika berpuasa ia harus memperhatikan waktu imsak (menahan diri dari makan) dan waktu berbuka agar puasanya tidak batal. Sebagaimana puasa juga memiliki manfaat medis yang signifikan.
Sumber: Buku Fiqh Dakwah
Puasa menundukkan semua anggota badan untuk meraih ridha Allah, sehingga mata, telinga, lisan, tangan, kaki, mulut, dan kemaluan ikut berpuasa dengan menjauhkan diri dari semua yang diharamkan oleh Allah. Puasa akan memberi sifat hilm (mudah memaafkan) terhadap sikap orang-orang yang jahil, mampu menahan amarah dan menolak perbuatan jahil orang lain dengan ucapan, "Aku sedang berpuasa". Alangkah butuhnya seseorang pejuang kepada sikap berlapang dada, kelemah lembutan dan ketiadaan amarah untuk diri sendiri.
Puasa menumbuhkan sifat belas kasih dalam hati orang yang melakukannya. Orang yang berpuasa akan merasakan kasih sayang kepada orang faqir dan membutuhkan, sehingga di tengah kaum muslimin akan muncul sikap saling mengasihi dan memberikan pertolongan.
Puasa juga membiasakan seorang agar selalu teliti dalam semua waktunya, di mana ketika berpuasa ia harus memperhatikan waktu imsak (menahan diri dari makan) dan waktu berbuka agar puasanya tidak batal. Sebagaimana puasa juga memiliki manfaat medis yang signifikan.
Sumber: Buku Fiqh Dakwah
Friday, June 16, 2017
Ambisi VS Motivasi
Di salah satu update-an status fb teman, ybs menulis kurang lebih seperti ini: "Terkadang kemurahan hati merupakan bentuk ambisi terselubung". Saya jadi teringat beberapa bulan lalu, eh, mungkin hampir setahun yang lalu, saya pernah ngobrol dengan seorang teman tentang efek bersedekah. Saya mengutip kata-kata ust.Yusuf Mansur bahwa sedekah dapat melipat gandakan harta, bahwa sedekah itu ajaib. Saya kembali ceritakan bahwa saya mulai menerapkan prinsip sedekah ini sejak masa-masa kuliah S1, sedekah pada siapa pun, orang susah atau orang berduit, saya gak pilih-pilih kalo insting memberi itu lagi kuat, saya sedekahkan sebagian rejeki saya tanpa banyak pertimbangan. Dan alhamdulillah hingga saat ini, saya belum pernah merasakan kekurangan rezeki secara signifikan. Mengalami masa-masa sulit pasti pernah, tapi paling hanya sehari-dua hari, selanjutnya rezeki kembali mengalir lancar. Meskipun pas-pasan, tapi entah karena efek sedekah atau apa, saya selalu merasa pas butuh pas ada.
Nah, kembali ke status fb teman tadi, dia menyebut 'kemurahan hati', identik dengan sedekah. Entah ada kaitannya dengan ceramah UYM atau tidak, Mungkin maksudnya si teman ini 'sedikit menyindir' orang yang murah hati/dermawan/suka bersedekah, bahwa orang-orang yang murah hati cenderung memiliki ambisi terselubung yakni ingin dilipat gandakan hartanya. Hm, saya sih gak nyalahin statusnya itu, cuma pengen ngelurusin aja, harusnya kata-katanya 'kemurahan hati memiliki motivasi tersendiri' itu baru benar. 'Ambisi terselubung' koq rada berlebihan ya menurut saya.
Dalam bersedekah, sebenarnya kita sedang bertransaksi dengan Allah, terkoneksi dengan Allah. Mungkin ada orang yang sedang membutuhkan, lalu dia meminta kepada Allah, kebetulan kita yang dipilih Allah untuk titipan rejekinya. Jadi kalo kita tahan rejeki itu, bayangkan betapa kecewanya Allah dengan sikap kita. Di masa depan Allah akan mencari orang lain untuk dititipi rejeki dan bukan kita. Beda kalo kita murah hati, Allah akan semakin percaya untuk menitipkan banyak rejeki lewat tangan kita. Allah yakin, ketika kita yang diberi kelancaran rejeki, akan membantu distribusi rejeki pada orang-orang di sekitar kita. Jadi semakin berlipat-lipatlah rejeki kita.
Jadi sah sah saja kita bersedekah dengan motivasi agar Allah melipat gandakan rejeki. Itu bukan ambisi kalo menurut saya. Sangat boleh kita mengharapkan rejeki kepada Allah. Daripada kita berambisi melipat gandakan rejeki lewat meja judi online misalnya, atau mengharap pelipat gandaan rejeki lewat riba, mana yang lebih baik? Sebagaimana janji Allah, bahwa Allah mengharamkan riba dan menyuburkan shodaqoh. riba semakin ditanam semakin merugikan praktisinya, rejeki itu akan keluar misalkan melalui sakit yang penyembuhannya butuh biaya mahal, ketidak tenangan hati karena makan uang hasil riba, dan lain sebagainya. Sedangkan shodaqoh, Allah janjikan akan tumbuh subur, semakin di tanam, akan semakin rimbun. Dan sedekah juga dapat menghapus dosa dan memanjangkan umur, itu diketahui dengan membaca riwayat para sahabat rasulullah di masa lalu yang gemar bersedekah, sedekahnya gak tanggung-tanggung pula, kadang sedekah kebun kurma, kadang sedekah onta, dan lain sebagainya. Subhanallah.
Wallahu a'lam bish showwab....
Nah, kembali ke status fb teman tadi, dia menyebut 'kemurahan hati', identik dengan sedekah. Entah ada kaitannya dengan ceramah UYM atau tidak, Mungkin maksudnya si teman ini 'sedikit menyindir' orang yang murah hati/dermawan/suka bersedekah, bahwa orang-orang yang murah hati cenderung memiliki ambisi terselubung yakni ingin dilipat gandakan hartanya. Hm, saya sih gak nyalahin statusnya itu, cuma pengen ngelurusin aja, harusnya kata-katanya 'kemurahan hati memiliki motivasi tersendiri' itu baru benar. 'Ambisi terselubung' koq rada berlebihan ya menurut saya.
Dalam bersedekah, sebenarnya kita sedang bertransaksi dengan Allah, terkoneksi dengan Allah. Mungkin ada orang yang sedang membutuhkan, lalu dia meminta kepada Allah, kebetulan kita yang dipilih Allah untuk titipan rejekinya. Jadi kalo kita tahan rejeki itu, bayangkan betapa kecewanya Allah dengan sikap kita. Di masa depan Allah akan mencari orang lain untuk dititipi rejeki dan bukan kita. Beda kalo kita murah hati, Allah akan semakin percaya untuk menitipkan banyak rejeki lewat tangan kita. Allah yakin, ketika kita yang diberi kelancaran rejeki, akan membantu distribusi rejeki pada orang-orang di sekitar kita. Jadi semakin berlipat-lipatlah rejeki kita.
Jadi sah sah saja kita bersedekah dengan motivasi agar Allah melipat gandakan rejeki. Itu bukan ambisi kalo menurut saya. Sangat boleh kita mengharapkan rejeki kepada Allah. Daripada kita berambisi melipat gandakan rejeki lewat meja judi online misalnya, atau mengharap pelipat gandaan rejeki lewat riba, mana yang lebih baik? Sebagaimana janji Allah, bahwa Allah mengharamkan riba dan menyuburkan shodaqoh. riba semakin ditanam semakin merugikan praktisinya, rejeki itu akan keluar misalkan melalui sakit yang penyembuhannya butuh biaya mahal, ketidak tenangan hati karena makan uang hasil riba, dan lain sebagainya. Sedangkan shodaqoh, Allah janjikan akan tumbuh subur, semakin di tanam, akan semakin rimbun. Dan sedekah juga dapat menghapus dosa dan memanjangkan umur, itu diketahui dengan membaca riwayat para sahabat rasulullah di masa lalu yang gemar bersedekah, sedekahnya gak tanggung-tanggung pula, kadang sedekah kebun kurma, kadang sedekah onta, dan lain sebagainya. Subhanallah.
Wallahu a'lam bish showwab....
Thursday, June 15, 2017
Iman dan Pergaulan....
"Injak kepalaku ini, hai Bilal! Demi Allah, kumohon injaklah!" Abu Dzar Al-Ghifari meletakkan kepalanya di tanah berdebu. Dilumurkannya pasir ke wajahnya dan dia menunggu penuh harap terompah Bilal Ibn Rabah segera mendarat di pelipisnya.
"Kumohon Bilal Saudaraku," rintihnya, "injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliyah dari jiwaku." Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendirinya sendiri.
Sayangnya Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal hingga lisannya melontarkan kata-kata kasar, "Hai anak budak hitam!"
Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegurnya. "Engkau!" sabda beliau dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, "sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!"
Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon, tapi Bilal tegak mematung. Dia marah, sekaligus haru. "Aku memaafkan Abu Dzar Ya Rasulullah," Kata Bilal. "Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."
Hati Abu Dzar perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita???
Kemampuan berhubungan baik dengan sesama manusia rupanya bukan akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Agama ini menuntut kita beriman, tapi juga berakhlak mulia. Dan puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih memerlukan, menjadikan kita mulia. Dia yang berjuang agar menjadi peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi pribadi yang baik akhlaknya." Begitulah, Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan baik adalah hal yang sama-sama harus diikhtiarkan sengan segenap kemampuan.
Sumber: Tulisan Salim A. Fillah dalam Rubrik Tazkiyatun Nafs Majalah Ummi No.04/XXIX Tahun 2017
"Kumohon Bilal Saudaraku," rintihnya, "injaklah wajahku. Demi Allah aku berharap dengannya Allah akan mengampuniku dan menghapus sifat jahiliyah dari jiwaku." Abu Dzar ingin sekali menangis. Isi hatinya bergumul campur aduk. Dia menyesal. Dia sedih. Dia takut. Dia marah pada dirinya sendirinya sendiri.
Sayangnya Bilal terus menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Peristiwa itu memang berawal dari kekesalan Abu Dzar pada Bilal hingga lisannya melontarkan kata-kata kasar, "Hai anak budak hitam!"
Rasulullah yang mendengar hardikan Abu Dzar pada Bilal itu memerah wajahnya. Dengan bergegas bagai petir menyambar, beliau menghampiri dan menegurnya. "Engkau!" sabda beliau dengan telunjuk mengarah ke wajah Abu Dzar, "sungguh dalam dirimu masih terdapat jahiliyah!"
Maka Abu Dzar yang dikejutkan hakikat dan disergap rasa bersalah itu serta-merta bersujud dan memohon Bilal menginjak kepalanya. Berulang-ulang dia memohon, tapi Bilal tegak mematung. Dia marah, sekaligus haru. "Aku memaafkan Abu Dzar Ya Rasulullah," Kata Bilal. "Dan biarlah urusan ini tersimpan di sisi Allah, menjadi kebaikan bagiku kelak."
Hati Abu Dzar perih mendengar itu. Alangkah lebih ringan andai semua bisa ditebusnya di dunia. Alangkah tak nyaman menelusuri sisa umur dengan rasa bersalah yang tak terlupakan. Demikianlah Abu Dzar, sahabat Rasulullah yang mulia. Adapun kita, dengan segala kelemahan dan kealpaan dalam menjaga hubungan dengan sesama, mungkin tak hanya satu jari yang harus ditelunjukkan ke wajah kita???
Kemampuan berhubungan baik dengan sesama manusia rupanya bukan akibat serta-merta dari iman yang kokoh menjulang. Baik iman maupun kemampuan adalah dua hal yang memang seharusnya bersesuaian. Agama ini menuntut kita beriman, tapi juga berakhlak mulia. Dan puncaknya, kemanfaatan serta mendahulukan hajat sesama meski diri sendiri lebih memerlukan, menjadikan kita mulia. Dia yang berjuang agar menjadi peyakin sejati yang sempurna imannya, seharusnya juga berjuang untuk menjadi pribadi yang baik akhlaknya." Begitulah, Iman maupun daya kita untuk menjalin hubungan baik adalah hal yang sama-sama harus diikhtiarkan sengan segenap kemampuan.
Sumber: Tulisan Salim A. Fillah dalam Rubrik Tazkiyatun Nafs Majalah Ummi No.04/XXIX Tahun 2017
Wednesday, May 3, 2017
Indikator Suksesnya Kepemimpinan Rasulullah S'AW
Banyak orang mengira Rasulullah S'AW hanya memimpin sebuah negara bernama Madinah. Padahal, jauh lebih besar dari itu.
Sesungguhnya Rasulullah S'AW adalah seorang pemimpin agama dan negara dengan wilayah yang terbentang sepanjang jazirah Arab dan Syam atau Timur Tengah. Yaman, yang kita kenal sebagai sebuah negara, di zaman Rasulullah hanyalah sebuah provinsi. Hal itu terbukti dengan pengangkatan Sahabat Muaz bin Jabal R'A sebagai Gubernur di sana. Begitu juga dengan Syam yang meliputi beberapa negara di zaman kita sekarang, sesungguhnya wilayah itu di zaman Rasulullah hanyalah sebuah Provinsi dengan seorang Gubernur yang bernama Abu Musa Al-Asy'ari.
Dengan kekuasaan yang demikian luas, logiskah jika semua warga yang hidup di wilayah tersebut hanyalah warga muslim? Warga yang berdomisili di seluruh wilayah kekuasaan Rasulullah S'AW menganut agama yang berbeda-beda. Sebagian mereka bergama Yahudi dan sebagian lagi Nasrani, bahkan ada sebagian kecil yang menganut agama Majusi. Rakyat beliau S'AW juga multietnis, mulai dari yang berdarah Arab, Persia, Afrika, hingga Romawi/Eropa. Namun Rasulullah S'AW sukses memimpin seluruh keberagaman itu dalam harmoni.
Suksesnya kepemimpinan Rasulullah S'AW dapat diukur dengan beberapa indikator, di antaranya:
1. Terciptanya Keamanan secara Luas
Kota Yatsrib (Nama lama dari Kota Madinah), sebelum hijrahnya Rasulullah S'AW ke sana, selalu dilanda kekisruhan politik, ekonomi, dan sosial. Namun lihatlah kondisinya setelah Rasulullah S'AW berhijrah. Madinah menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi semua penduduknya. Perekonomian masyarakat meroket dan terciptalah kesejahteraan yang luas. Dengan demikian, kehidupan sosial mereka terasa sangat harmonis dan penuh cinta kasih antara satu dengan lainnya.
2. Meningkatnya taraf hidup dan ekonomi masyarakat
Sahabat dari kalangan Muhajirin yang dulu berhijrah bersama Nabi S'AW tanpa membawa bekal materi yang cukup, tidak menjadi beban bagi penduduk asli Madinah. Tidak sedikit dari golongan Muhajirin yang di kemudian hari justru menjadi konglomerat dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah, Kaum Anshar, mereka memiliki kekayaan yang berlipat ganda setelah Rasulullah S'AW menjadi pemimpin di negeri mereka. Padahal, saat Yahudi mendominasi kehidupan penduduk Madinah, mereka terlilit riba dan kehidupan ekonomi mereka sangatlah buruk.
3. Menyatunya Masyarakat
Awalnya, tawuran antar warga dan antar suku merupakan pemandangan sehari-hari di Kota Yastrib. Namun kondisi tidak nyaman itu segera lenyap dan berganti dengan keharmonisan dan kasih sayang setelah Rasulullah S'AW memimpin mereka. Rasulullah S'AW adalah pemimpin yang sukses secara fakta dan data. Kepemimpinan beliau sangat berkesan positif hingga kini, sehingga sangat layak dan pantas untuk menjadi inspirasi dan petunjuk bagi semua orang yang ingin memilih seseorang untuk menjadi pemimpin atau ingin menjadi pemimpin.
Sumber: Majalah Ummi April 2017
Sesungguhnya Rasulullah S'AW adalah seorang pemimpin agama dan negara dengan wilayah yang terbentang sepanjang jazirah Arab dan Syam atau Timur Tengah. Yaman, yang kita kenal sebagai sebuah negara, di zaman Rasulullah hanyalah sebuah provinsi. Hal itu terbukti dengan pengangkatan Sahabat Muaz bin Jabal R'A sebagai Gubernur di sana. Begitu juga dengan Syam yang meliputi beberapa negara di zaman kita sekarang, sesungguhnya wilayah itu di zaman Rasulullah hanyalah sebuah Provinsi dengan seorang Gubernur yang bernama Abu Musa Al-Asy'ari.
Dengan kekuasaan yang demikian luas, logiskah jika semua warga yang hidup di wilayah tersebut hanyalah warga muslim? Warga yang berdomisili di seluruh wilayah kekuasaan Rasulullah S'AW menganut agama yang berbeda-beda. Sebagian mereka bergama Yahudi dan sebagian lagi Nasrani, bahkan ada sebagian kecil yang menganut agama Majusi. Rakyat beliau S'AW juga multietnis, mulai dari yang berdarah Arab, Persia, Afrika, hingga Romawi/Eropa. Namun Rasulullah S'AW sukses memimpin seluruh keberagaman itu dalam harmoni.
Suksesnya kepemimpinan Rasulullah S'AW dapat diukur dengan beberapa indikator, di antaranya:
1. Terciptanya Keamanan secara Luas
Kota Yatsrib (Nama lama dari Kota Madinah), sebelum hijrahnya Rasulullah S'AW ke sana, selalu dilanda kekisruhan politik, ekonomi, dan sosial. Namun lihatlah kondisinya setelah Rasulullah S'AW berhijrah. Madinah menjadi tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi semua penduduknya. Perekonomian masyarakat meroket dan terciptalah kesejahteraan yang luas. Dengan demikian, kehidupan sosial mereka terasa sangat harmonis dan penuh cinta kasih antara satu dengan lainnya.
2. Meningkatnya taraf hidup dan ekonomi masyarakat
Sahabat dari kalangan Muhajirin yang dulu berhijrah bersama Nabi S'AW tanpa membawa bekal materi yang cukup, tidak menjadi beban bagi penduduk asli Madinah. Tidak sedikit dari golongan Muhajirin yang di kemudian hari justru menjadi konglomerat dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Begitu juga dengan penduduk asli Madinah, Kaum Anshar, mereka memiliki kekayaan yang berlipat ganda setelah Rasulullah S'AW menjadi pemimpin di negeri mereka. Padahal, saat Yahudi mendominasi kehidupan penduduk Madinah, mereka terlilit riba dan kehidupan ekonomi mereka sangatlah buruk.
3. Menyatunya Masyarakat
Awalnya, tawuran antar warga dan antar suku merupakan pemandangan sehari-hari di Kota Yastrib. Namun kondisi tidak nyaman itu segera lenyap dan berganti dengan keharmonisan dan kasih sayang setelah Rasulullah S'AW memimpin mereka. Rasulullah S'AW adalah pemimpin yang sukses secara fakta dan data. Kepemimpinan beliau sangat berkesan positif hingga kini, sehingga sangat layak dan pantas untuk menjadi inspirasi dan petunjuk bagi semua orang yang ingin memilih seseorang untuk menjadi pemimpin atau ingin menjadi pemimpin.
Sumber: Majalah Ummi April 2017
Sunday, November 6, 2016
Senantiasa Membantu Saudara Sesama Muslim...
Rasulullah S'AW pernah menggunakan kata-kata mutiara jahiliyah yang dikenal masyarakat Arab sebelum Islam, yaitu: "Bantulah saudaramu dalam kondisi apa pun, saat dianiaya atau saat menganiaya," Para sahabat yang mendengar slogan yang tak asing itu langsung memberikan respons dan bertanya, "Bagaimana cara membantu orang yang menzhalimi?" Rasulullah S'AW menjawab, "Bantu dengan menghentikannya agar tidak larut dalam kezhalimannya."
Wednesday, April 6, 2016
Dahsyatnya Sholat Subuh Berjamaah...
Rasulullah bersabda: "Sesiapa yang melaksanakan sholat Subuh berjamaah, maka ia berada dalam jaminan Allah. Sesiapa yang membatalkan jaminan Allah, maka Allah menyungkurkan wajahnya di dalam neraka." (H.R. Thabrani)
Tuesday, January 5, 2016
Q.S. Asy-Syura' 19
Allah Mahalembut terhadap hamba-hamba-Nya. Dia Memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Mahakuat, Mahaperkasa...
Friday, May 15, 2015
Aqidah tanpa Ilmu akan Merusak
Beranjak dari pernyataan pada judul, seyogiyanya kita dapat memahami bahwa potensi-potensi besar yang dibangkitkan oleh aqidah dalam kehidupan ini harus berpijak pada pemahaman terhadap agama Allah dan arahan-Nya. Karena mengenakan baju agama tanpa landasan ilmu akan mendatangkan bahaya besar dan melahirkan potensi yang membabi buta serta kekuatan destruktif yang akan merusak sendi-sendi sistem sosial. Pemilik aqidah ini akan mengira dirinya berada di atas petunjuk dan melakukan perbaikan, padahal sebenarnya ia tak ubahnya bagai angin topan yang merusak kehidupan di mana pun mereka berada.
Iman yang benar akan memberi pemiliknya kesabaran, keteguhan, dan kekuatan untuk menanggung penderitaan di jalan Allah tanpa menyia-nyiakan agama yang haq ini dan tuntutan-tuntutannya. Sumaiyyah, Yasir, Bilal, dan yang lainnya, bahkan tokoh-tokoh dari kalangan pergerakan Islam yang mengalami fitnah, tuduhan palsu, penyiksaan, dan gangguan-gangguan dahsyat merupakan contoh terbaik untuk hal ini. Dan pada hakikatnya, kesabaran dan keteguhan adalah karunia Allah. Karenanya Allah Mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo'a pada saat mengalami kondisi seperti ini, "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 250)
Iman ini akan mendorong orang-orang beriman kepada kecintaan, persaudaraan, dan sikap itsar (mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri) untuk meraih ridha Allah.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)
Iman yang benar akan mendorong kepada jihad fi sabilillah tanpa ada perasaan berat sedikit pun, akan mendorong kepada cinta kesyahidan di jalan Allah dan pengorbanan dengan jiwa dan harta demi tegaknya kalimah Allah menjadi yang tertinggi.
Iman ini akan menjadikan pemiliknya mengatakan yang haq demi meraih ridha Allah dan tiada pernah takut sedikit pun pada cercaan orang-orang yang mencerca, serta tidak pernah terbersit keraguan dan keputus asaan. Karena seorang mukmin mengetahui bahwa kebathilan, betapa pun besarnya pasti akan terkalahkan, dan ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan bergeser. Allah berfirman:
"Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra'd:17)
Seorang mukmin akan melakukan ikhtiar, tetapi ia tidak bertumpu pada ikhtiar ini saja, melainkan tetap bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya. Ia akan merasa tenang karena meyakini bahwa Allah akan mencukupi keperluannya.
"Dan sesiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq:3)
Dengan demikian ia bisa menempuh jalan yang benar dengan penuh keberanian, ketenangan jiwa, dan kepasrahan kepada Allah serta meyakini bahwa ia telah berlindung pada sendi pertahanan yang kuat (Allah), tidak gentar sedikit pun kepada orang-orang yang menghadang dan menyimpangkannya dari jalan Allah, tidak akan terbuai oleh rayuan dan tidak akan takut oleh teror karena ia menyandarkan diri kepada Allah dan berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak akan terputus.
Iman yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menaati Rasul S'AW dan mengikuti sunnahnya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah.
Iman melahirkan dalam diri pemiliknya perasaan bangga sekaligus tanggung jawab sebagai guru bagi umat manusia. Perasaan bangga ini tidak mendorongnya kepada kesombongan, tetapi justru perasaan bangga yang menghantarkan kasih sayang kepada orang lain dan menuntun tangan mereka kepada jalan petunjuk.
"Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)
Sumber: Bab XIV Fiqh Dakwah Jilid 2
Iman yang benar akan memberi pemiliknya kesabaran, keteguhan, dan kekuatan untuk menanggung penderitaan di jalan Allah tanpa menyia-nyiakan agama yang haq ini dan tuntutan-tuntutannya. Sumaiyyah, Yasir, Bilal, dan yang lainnya, bahkan tokoh-tokoh dari kalangan pergerakan Islam yang mengalami fitnah, tuduhan palsu, penyiksaan, dan gangguan-gangguan dahsyat merupakan contoh terbaik untuk hal ini. Dan pada hakikatnya, kesabaran dan keteguhan adalah karunia Allah. Karenanya Allah Mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo'a pada saat mengalami kondisi seperti ini, "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 250)
Iman ini akan mendorong orang-orang beriman kepada kecintaan, persaudaraan, dan sikap itsar (mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri) untuk meraih ridha Allah.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)
Iman yang benar akan mendorong kepada jihad fi sabilillah tanpa ada perasaan berat sedikit pun, akan mendorong kepada cinta kesyahidan di jalan Allah dan pengorbanan dengan jiwa dan harta demi tegaknya kalimah Allah menjadi yang tertinggi.
Iman ini akan menjadikan pemiliknya mengatakan yang haq demi meraih ridha Allah dan tiada pernah takut sedikit pun pada cercaan orang-orang yang mencerca, serta tidak pernah terbersit keraguan dan keputus asaan. Karena seorang mukmin mengetahui bahwa kebathilan, betapa pun besarnya pasti akan terkalahkan, dan ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan bergeser. Allah berfirman:
"Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra'd:17)
Seorang mukmin akan melakukan ikhtiar, tetapi ia tidak bertumpu pada ikhtiar ini saja, melainkan tetap bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya. Ia akan merasa tenang karena meyakini bahwa Allah akan mencukupi keperluannya.
"Dan sesiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq:3)
Dengan demikian ia bisa menempuh jalan yang benar dengan penuh keberanian, ketenangan jiwa, dan kepasrahan kepada Allah serta meyakini bahwa ia telah berlindung pada sendi pertahanan yang kuat (Allah), tidak gentar sedikit pun kepada orang-orang yang menghadang dan menyimpangkannya dari jalan Allah, tidak akan terbuai oleh rayuan dan tidak akan takut oleh teror karena ia menyandarkan diri kepada Allah dan berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak akan terputus.
Iman yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menaati Rasul S'AW dan mengikuti sunnahnya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah.
Iman melahirkan dalam diri pemiliknya perasaan bangga sekaligus tanggung jawab sebagai guru bagi umat manusia. Perasaan bangga ini tidak mendorongnya kepada kesombongan, tetapi justru perasaan bangga yang menghantarkan kasih sayang kepada orang lain dan menuntun tangan mereka kepada jalan petunjuk.
"Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)
Sumber: Bab XIV Fiqh Dakwah Jilid 2
Thursday, May 14, 2015
Standar Mematuhi Para Pemimpin
Salah satu perkara fundamental yang terkait dengan akidah seorang muslim ialah ihwal kepatuhan atau ketaatan. Di dalam ucapan kalimat tauhid Laa ilaaha ill-Allah terdapat kata ilaah yang seringkali diterjemahkan dengan Tuhan.
Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu' (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti). Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat, maka pernyataan tersebut setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi, dan kutakuti selain daripada Allah SWT.
Seorang muslim dituntut untuk memfokuskan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah SWT. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah Ta'aala semata sebagai pihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan menaati pihak selain Allah Ta'ala? Tentu tidak. Ia boleh menaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau menaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah Ta'ala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah Ta'aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah Ta'aala sebelum yang lainnya.
Jangankan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan menaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan menaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta'aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah Ta'ala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk menaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.
Nabi S'AW mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata:
"Masuklah ke dalamnya." Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya, "Sesungguhnya kami lari dari api." Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi S'AW. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya, "Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat." Lalu beliau bersabda kepada yang lainnya, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf." (HR. Bukahri)
Itulah sebabnya hingga Nabi S'AW memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.
Rasulullah S'AW bersabda, "Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa)." Mereka bertanya, "Apakah kami perangi mereka? Nabi S'AW bersabda, "Tidak, selagi mereka masih sholat." (HR. Muslim)
Maka saudaraku, pandai-pandailah menyikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana umat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di tahun 1924/1324 H, umat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad S'AW bersama kita. Tidak ada khulafa ar-rasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib R'A bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al Quran dan as-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II Rahimahullah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkaan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak).
sumber: Suara langit_Penetrasi Ideologi_Ihsan Tanjung
Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu' (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti). Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat, maka pernyataan tersebut setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi, dan kutakuti selain daripada Allah SWT.
Seorang muslim dituntut untuk memfokuskan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah SWT. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah Ta'aala semata sebagai pihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan menaati pihak selain Allah Ta'ala? Tentu tidak. Ia boleh menaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau menaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah Ta'ala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah Ta'aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah Ta'aala sebelum yang lainnya.
Jangankan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan menaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan menaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta'aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah Ta'ala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk menaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.
Nabi S'AW mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata:
"Masuklah ke dalamnya." Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya, "Sesungguhnya kami lari dari api." Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi S'AW. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya, "Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat." Lalu beliau bersabda kepada yang lainnya, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf." (HR. Bukahri)
Itulah sebabnya hingga Nabi S'AW memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.
Rasulullah S'AW bersabda, "Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa)." Mereka bertanya, "Apakah kami perangi mereka? Nabi S'AW bersabda, "Tidak, selagi mereka masih sholat." (HR. Muslim)
Maka saudaraku, pandai-pandailah menyikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana umat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di tahun 1924/1324 H, umat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad S'AW bersama kita. Tidak ada khulafa ar-rasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib R'A bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al Quran dan as-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II Rahimahullah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkaan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak).
sumber: Suara langit_Penetrasi Ideologi_Ihsan Tanjung
Saturday, March 14, 2015
Jujur adalah Kedamaian...
Jujur adalah kedamaian, sedangkan kebohongan adalah kegundahan. Tirmidzi meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya kejujuran adalah ketenangan dan kebohongan adalah kegundahan (keraguan)" merupakan isyarat untuk selalu jujur dalam segala hal, termasuk ketika menjawab suatu pertanyaan, atau memberikan fatwa. Adapun tanda dari kejujuran adalah ketenangan hati, sedangkan tanda kebohongan adalah kegundahan yang menyebabkan hatinya tidak tenang.
sumber: Buku 'Al-Wafi'
sumber: Buku 'Al-Wafi'
Beberapa Sebab yang Memungkinkan Dikabulkannya Do'a
Berikut ini sebab dikabulkannya do'a:
1. Perjalanan Jauh --> Perjalanan jauh menjadi sebab dikabulkannya do'a karena beban yang dirasakan kerap kali sangat berat. Semakin lama suatu perjalanan, do'a akan semakin dikabulkan.
2. Baju yang kusut dan kondisi tubuh yang sangat lelah --> dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang kondisinya seperti ini (karena lelah atau pun kemiskinan) andai ia berdo'a, tentulah Allah akan mengabulkan.
3. Menengadahkan kedua tangan --> Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Pemalu dan Pemurah. Ia malu untuk tidak mengabulkan permohonan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
4. Benar-benar (sungguh-sungguh) berharap kepada Allah.
Sumber: Al Wafi
1. Perjalanan Jauh --> Perjalanan jauh menjadi sebab dikabulkannya do'a karena beban yang dirasakan kerap kali sangat berat. Semakin lama suatu perjalanan, do'a akan semakin dikabulkan.
2. Baju yang kusut dan kondisi tubuh yang sangat lelah --> dalam sebuah hadits disebutkan bahwa orang yang kondisinya seperti ini (karena lelah atau pun kemiskinan) andai ia berdo'a, tentulah Allah akan mengabulkan.
3. Menengadahkan kedua tangan --> Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya Allah itu Pemalu dan Pemurah. Ia malu untuk tidak mengabulkan permohonan hamba-Nya yang mengangkat kedua tangannya dalam berdo'a." (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
4. Benar-benar (sungguh-sungguh) berharap kepada Allah.
Sumber: Al Wafi
Subscribe to:
Posts (Atom)