Sunday, December 22, 2013
Resensi Buku: Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta ~ Karya Tasaro GK
Readers, lebih tepatnya apa ya, sebutan untuk ulasan kali ini? Resensi atau Review? Terserah Readers deh, boleh disebut Resensi karena cetakan tahun 2013, boleh juga disebut Review, kalo ternyata Readers dah baca juga, hehehehe :D
Tasaro GK adalah salah satu penulis favorit Bunga (selain Tere Liye, Kang Abik, dan Ilana Tan). Secara penampakan, buku ini unik, lebih cocok dibilang cantik. Karena kertasnya tebal, pinggiran buku didesain berborder warna-warni. Tiap Cerita dibedakan dengan warna border berbeda. Oiya, ini bukan novel, bukan pula kumcer. Biar bunga tebak, buku ini mengikuti pendefinisian karya pada 'Filosofi Kopi' karya Dee (Dewi Lestari). Tapi bedanya, 'Filosofi Kopi' memuat cerita-cerita yang sangat sangat pendek (bahkan belum bisa disebut Flash Fiction), sekaligus juga cerita yang sangat panjang, tapi belum bisa dikategorikan sebagai novel, jika didefinisikan sebagai cerpen, tentunya kepanjangan. Nah buku ini, memuat kumpulan cerita yang lebih panjang dari cerpen, tapi belum bisa disebut novel. Keunikan berikutnya adalah di halaman pembuka, Tasaro menuliskan: Untuk Dewi "Dee" Lestari. Mungkin karena alasan yang bunga sebutin tadi, semua yang ada lebih panjang dari cerpen, sehingga dibukukan. Atau mungkin dulu atau sekarang ini Tasaro dan Dee pernah temenan atau yang lainnya (gak perlu juga menduga-duga hehehe). Penampakan lain yang bisa didapat dari buku ini adalah: Lukisan Abstrak di setiap cerita baru akan dimulai. Lukisan-lukisan Abstrak ini merupakan karya jenius dari Dredha Gora Hadiwijaya.
Buku ini terdiri dari 9 cerita, di antaranya Puisi (Akhir Cerita ditutup dengan puisi karya Rahne Putri), Roman Psikopat, Galeri, Bukan Malaikat Rehat, Tetap Saja Kusebut (Dia) Cinta, Tuhan Nggak Pernah Iseng, Separuh Mati, Atarih, dan Kagem Ibuk. Di beberapa cerita, ada kemiripan dari segi tema (bisa dirasakan benang merahnya). Dan Tasaro kali ini berusaha membuat sensasi sad ending menjadi flat ending. Karena jujur saja, walaupun beberapa cerita sejatinya gak happy end, Tasaro menyulapnya menjadi terasa flat, gak nyakitin, jadi kita yang baca gak perlu mengurut dada. Tenang saja, ada kata-kata penenang di sana, dan...Thank God, jika diselami maknanya, bener banget deh tuh kata-kata.
Okay, ulasannya dimulai dengan menanggapi Cerita berjudul: Tetap Saja Kusebut (Dia) cinta. Kenapa bunga pilih mengulas yang ini? karena Cerita ini yang dijadikan cover (sederhana aja siyh alasannya :)). Kisah ini diawali dengan latar Gunung Tengger, kondisi demografis penduduknya, adat istiadat Tengger, dan penggambaran gunung Brahma (Bromo) secara geografis. Cerita ini sebetulnya secara tidak langsung mengajarkan agar kita tidak mengkambing hitamkan perbedaan, dikemas dalam perjuangan jiwa dua insan, adalah Angaraka dan Arumdhati, bergulat dengan pikiran-pikirannya, dengan keyakinan-keyakinannya, saling memikirkan meski tak bertemu hingga hampir 25 tahun. Hingga akhirnya dipertemukan kembali pun, tak serta-merta membuat mereka menyatu. Berakhir dengan kenyataan bahwa mereka memilih menikmati sensasi yang berbeda dari keadaan yang ada. Terlepas dari perbedaan yang disinggung-singgung, seperti biasa, bunga akan mengutip bagian-bagian berkesan dari buku ini (bukan soal perbedaan yang bunga soroti kali ini):
Gejolak Batin Arumdhati
Entah sudah berapa kali matahari tenggelam mereka saksikan, ketika langit keemasan dan siluet Gunung Batok bersinggungan dengan Pegunungan Tengger menjadi kehitaman. Ketika pikiran dan ingatan terhadap Angaraka begitu meringkusnya, bagi Arumdhati, mengirimkan bingkisan ke kaki Gunung Brahma (bingkisan untuk ibu Angaraka) adalah pelepasannya. Sebab, dia percaya, dengan Angaraka, tak mungkin lagi ia berjumpa. Kalau pun berjumpa, Arumdhati tak tahu lagi apa gunanya.
Bagi Arumdhati, menerima kehendak takdir bahwa dia tak berjodoh dengan Angaraka adalah satu hal, sedangkan melupakannya benar-benar adalah hal lain.
Arumdhati meniatkan diri untuk tidak pernah menyentuh kehidupan Angaraka, namun memohon kepada Penguasa Alam agar dibolehkan melepaskan energi kasih sayangnya. Tak akan mudah untuk dipahami. Sepuluh tahun, sepuluh bingkisan, sepuluh kebahagiaan. Dia lalu melakukan ini, sesuatu yang telah dia lakukan puluhan tahun lamanya. Memejamkan mata, lalu mengulang lagi kenangan-kenangan dalam benaknya. Dulu sekali, ketika senyum Angaraka begitu mengayomi, melunakkan hati Arumdhati.
Arumdhati hanya tahu, ketika perasaan itu datang, segala sendi kekuatan benar-benar terlumpuhkan. Tinggal airmata yang menjadi pelepasan. Juga do'a kecil agar Angaraka mendapat kehidupan yang cemerlang. Tapi malam ini, Arumdhati hendak mengetahui untuk dirinya sendiri, apakah memang benar di masa depan tak akan ada lagi cerita dan dia hanya akan mati tanpa penjelasan yang pasti.
Tepat di saat Arumdhati merasa udara begitu pepat dan keras menekan dada, dunia seperti habis berguncang di dalam ruangan tempat Angaraka menyelesaikan lukisannya.
Kepasrahan Arumdhati tidak pernah benar-benar selesai. Setiap dia membisik, "Pergilah, semoga bernasib baik. Aku akan tetap mengingatmu," pada saat bersamaan separuh batinnya pun bicara, "dia ada di sana, masih pula menungguku. Ingin mengatakan perasaan itu kepadaku."
Tetapi kini, ketika dia berhasil hidup jauh dari kenangan-kenangan itu, Arumdhati pun tahu dia hanya berusaha untuk menipu diri sendiri. Sebab, pada puncak kesadarannya, Angaraka ada dimana-mana. Arumdhati tidak pernah benar-benar beranjak dari masa lalu. Bahkan ketika dia berusaha untuk mencipta dengan seninya, tetap saja itu tentang... Angaraka. Pemikiran itu memercikkan sesuatu ke dalam mata Arumdhati.
Arumdhati merasakan kenikmatan dan ketersiksaan pada waktu yang sama. Setelah dua puluh lima tahun, ini pertama kali dia berhadap-hadapan dengan Angaraka. Mendengarkan suaranya, merasakan kejernihan kalimatnya, melihat bahasa tubuhnya.
"Kamu sudah bertemu gadis yang kamu pilih," Arumdhati menggeleng. "Aku tidak mau mengganggu hidup kalian." Bertemu di udara, pandangan Arumdhati dan Angaraka. Berdiam kedua-duanya.
"Hadiah-hadiah itu," Arumdhati menyusun kalimatnya lagi,"...tidak pernah menjadi hadiah yang biasa. Aku mengusahakannya sekuat tenaga."
"Aku tahu..."
Jawaban itu...
Dua kata yang dari bibir Angaraka itu, lebih dari apa pun diingini Arumdhati menggema di lorong telinganya, saat ini.
"Dia tahu..."
Arumdhati tertahan napasnya. Tapi ada kalimat panjang yang berderet pada pikirannya. Arumdhati pun tidak pernah tahu dua puluh lima tahun ini, apa sebenarnya makna perasaan yang mengeram dalam batinnya....Mungkin...tetap saja, kusebut dia cinta.
Getaran Jiwa Angaraka
Menatap lukisan tanpa judul itu, Angaraka merasa telah tersesat. Lukisan yang mencampur banyak warna dan bentuk itu membuatnya berhenti. Tak bisa bergerak lagi. Gunung putih dengan kubah lava menganga di kiri kanvas menyeretnya pada kenyataan bahwa ada hal yang belum selesai di masa lalu.
Karena Angaraka merasa dirinya bagian dari kebanyakan orang dalam menjalani usianya, dia pun sama tak terbiasa membicarakan apa yang dia rasa. Hal-hal yang menggetarkan perasaan, yang mengerut dan mengulur waktu, membuat mimpi-mimpinya tak tenang, kadang justru indah secara berlebihan.
"Lukisan itu...", pandangan Arumdhati tertahan pada lukisan yang sedari tadi memang telah menarik hatinya. "Itu lukisan kanvas pertamaku," Angaraka bangkit. Mendatangi lukisannya, mendekatkannya ke sumber cahaya di ruangan itu. "Aku melukisnya untukmu."
"Tadinya aku tak sanggup menemukan judul untuk lukisan ini," Angaraka mengelus bagian pinggir lukisannya, "...tapi aku sudah menemukannya." Angaraka tersenyum lagi. Pada dinginnya senja, senyumnya semacam bara yang menghangatkan suasana. "Tetap Saja Kusebut Dia...", Angaraka menoleh ke Arumdhati, "...Cinta."
Angaraka masih tersenyum. Bukan sebuah senyum kesedihan. "Ada waktunya perasaan itu mencapai klimaksnya ketika terjadi sebuah pengakuan, kesepahaman, tak melulu mesti berupa penyatuan."
Angaraka bersedekap. "Cinta kadang memiliki dimensi yang terbatas pada rasa saja. Kebutuhannya sampai di situ."
Angaraka tampak teramat bahagia, "...ketika kita tidak sanggup melupakan seseorang hingga berpuluh-puluh tahun, dan orang itu tahu apa yang kita rasakan. Lalu dia juga merasakan hal yang sama," Angaraka memasukkan dua telapak tangannya ke saku jeans-nya, "...itu sudah cukup."
"Hidup masih berjalan. Sedangkan sensasi cinta itu justru terletak pada ketidak bersatuan, ketidak bersamaan," Angaraka meneruskan senyumnya. "Apa yang harus dikhawatirkan?"
Angaraka melihat`lagi lukisan istimewanya dengan mata menyendu, juga dada yang berdeburan. "Ruh cinta mendarat dengan cara yang berbeda dan memberi efek yang berbeda juga, pada setiap hati anak manusia." Tatapan Angaraka seolah menembus lukisan itu, menghidupkan gunung Brahma, tempat Arumdhati pada saat yang sama tengah tertawa dengan suara bahagia. Rambut panjangnya tak berkepang, bebas berkibaran diterjang angin pegunungan. Di sekelilingnya, bocah-bocah Tengger mengikutinya, menuruti gerakannya, menarikan tangan dan kaki mereka.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment