Thursday, April 1, 2010

IBROH SIROH NABAWIYAH (Part 1)

Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Perumpamaan aku dengan Nabi sebelumku ialah seperti seorang lelaki yang membangun sebuah bangunan kemudian ia memperindah dan mempercantik bangunan tersebut kecuali satu tempat batu bata di salah satu sudutnya. Ketika orang-orang mengitarinya, mereka kagum dan berkata, ‘amboi, jika batu bata ini diletakkan?’ Akulah batu bata itu dan aku adalah penutup para Nabi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hubungan antara dakwah Nabi Muhammad SAW dan dakwah Nabi terdahulu berjalan di atas prinsip ta’kid (penegasan) dan tatmim (penyempurnaan).

Semua Nabi diutus dengan membawa Islam yang merupakan agama di sisi 4wl.

“Dan berjihadlah pada jalan 4wl dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama (millah) orang tuamu Ibrahim. Dia (4wl) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu…” (al-Hajj [22]:78).

“Katakanlah, ‘Benar (apa yang difirmankan) 4wl. ’Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus (hanif), dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang musyrik.” (Ali Imran [3]:95)

Di antara konsekuensi mencintai Rasulullah SAW ialah mencintai kaum dan kabilah di mana Rasulullah SAW lahir.

Hikmah 4wl telah menghendaki agar musuh-musuh Islam tidak menemukan jalan kepada keraguan sehingga Rasul-Nya tumbuh dan berkembang jauh dari tarbiyah (asuhan) ibu, bapak, dan kakeknya.

Kehadiran dan keberadaan Rasulullah menjadi sebab utama bagi datangnya keberkahan. Ini karena Rasulullah SAW merupakan rahmat bagi manusia, sebagaimana ditegaskan 4wl dalam firman-Nya, ”Dan Kami tidak mengutus kamu kecuali sebagai rahmat bagi segenap alam.

Peristiwa pembelahan dada yang dialami oleh Rasulullah SAW ketika berada di pedalaman Bani Sa’ad dianggap sebagai salah satu pertanda kenabian dan isyarat pemilihan 4wl kepadanya untuk suatu perkara besar dan mulia.

Hadits Bahira tentang Rasulullah SAW yakni hadits yang diriwayatkan oleh jumhur ulama sirah dan para perawinya dan dikeluarkan oleh Tirmidzi secara panjang lebar dari hadits Abu Musa al-Asy’ari menunjukkan bahwa para ahli kitab dari yahudi dan nasrani memiliki pengetahuan tentang bi’tsah Nabi dengan mengetahui tanda-tandanya. Ini mereka ketahui dari berita kenabiannya serta penjelasan tentang tanda-tanda dan sifat-sifatnya yang terdapat di dalam Taurat dan Injil. Dalil tentang ini banyak sekali.

Ka’bah:
1.Urgensi, kemuliaan, dan kekudusan Ka’bah yang telah ditetapkan 4wl.
2.Penjelasan menyangkut beberapa peristiwa perusakan dan pembangunan Ka’bah.
3.Kebijaksanaan Nabi SAW dalam menyelesaikan masalah dan mencegah terjadinya permusuhan.
4.Ketinggian kedudukan Nabi SAW di kalangan tokoh Quraisy dari berbagai tingkatan dan kelas.

’Uzlah yang dilakukan Rasulullah SAW menjelang bi’tsah (pengangkatan sebagai Rasul) menjelaskan bahwa seorang Muslim tidak akan sempurna keislamannya-betapapun ia memiliki akhlak-akhlak yang mulia dan melaksanakan segala macam ibadah-sebelum menyempurnakannya dengan waktu-waktu ’uzlah dan khalwah (menyendiri) untuk ”mengadili diri sendiri” (muhasabatun nafsi). Merasakan pengawasan 4wl dan merenungkan fenomena-fenomena alam semesta yang menjadi bukti keagungan 4wl. Jika seorang muslim telah melakukannya dan siap untuk melaksanakan tugas ini, akan tumbuh di dalam hatinya mahabbah Ilahiyah yang akan membuat segala yang besar menjadi kecil, melecehkan segala bentuk tawaran duniawi, memandang enteng segala gangguan dan siksaan, mampu mengatasi setiap penghinaan dan pelecehan. Itulah bekal yang harus dipersiapkan oleh para penyeru kepada 4wl. Karena bekal itulah yang dipersiapkan 4wl kepada Nabi-Nya, Muhammad SAW, untuk mengemban tugas-tugas dakwah Islamiyah.

Mencari aneka sarana untuk mewujudkan dorongan-dorongan spiritual dalam hati merupakan suatu keharusan. Jumhur ulama menyebutnya tasawuf atau sebagian yang lain seperti Ibnu Taimiyah menyebutnya ilmu suluk.

Maksud khalwah di sini ialah sebagai obat, hal ini tidak boleh dilakukan kecuali dengan kadar tertentu dan sesuai keperluan.

Hadits mengenai permulaan wahyu merupakan asas yang menentukan semua hakikat agama dengan segala keyakinan dan syariatnya. Memahami dan meyakini kebenarannya merupakan persyaratan mutlak untuk meyakini semua berita ghaib dan masalah syariat yang dibawa Nabi SAW. Sebab, hakikat wahyu ini merupakan satu-satunya faktor pembeda antara manusia yang berpikir dan membuat syariat dengan akalnya sendiri dan manusia yang hanya menyampaikan (syariat) dari Rabbnya tanpa mengubah, mengurangi, atau menambah.

Beberapa Tahapan Dakwah Islamiyah dalam Kehidupan Rasulullah SAW
1.Tahapan pertama: Dakwah secara rahasia selama tiga tahun.
2.Tahapan kedua: Dakwah secara terang-terangan dengan menggunakan lisan saja tanpa perang, berlangsung sampai hijrah.
3.Tahapan ketiga: Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi orang-orang yang menyerang dan memulai peperangan atau kejahatan. Tahapan ini berlangsung sampai tahun Perdamaian Hudaibiyah.
4.Tahapan keempat: Dakwah secara terang-terangan dengan memerangi setiap orang yang menghalangi jalannya dakwah atau menghalangi orang yang masuk Islam-setelah masa dakwah dan pemberitahuan-dari kaum musyrik, antiagama, atau penyembah berhala. Pada tahapan inilah syariat Islam dan hukum jihad dalam Islam mencapai kemapanannya.

Islam sama sekali tidak mengandung unsur tradisi, baik yang berkaitan dengan aqidah, hukum, maupun sistem, karena aqidah didasarkan pada landasan akal & logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada landasan akal dan logika. Demikian pula hukum, ia didasarkan pada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi. Kemaslahatan ini tidak dapat diketahui kecuali melalui pemikiran dan perenungan walaupun oleh sebagian akal manusia tidak dapat diketahui karena sebab-sebab tertentu. Karena itu, jelaslah kesalahan orang-orang yang mengistilahkan peribadatan, hukum-hukum syariat, dan akhlak Islam dengan tradisi Islam.

Sesungguhnya tidak ada tradisi dalam Islam. Islam adalah agama yang datang untuk membebaskan akal manusia dari segala ikatan tradisi, sebagaimana kita lihat pada langkah-langkah awal dakwah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.

Sesungguhnya, semua sistem dan perundang-undangan yang dibawa oleh Islam merupakan prinsip. Prinsip adalah sesuatu yang tegak di atas landasan pemikiran dan akal, dan bertujuan mencapai tujuan tertentu. Prinsip Islam tidak pernah sama sekali menyalahi kebenaran karena yang menyariatkannya adalah Pencipta akal dan pemikiran (4wl SWT). Ini saja sudah cukup menjadi dalil ’aqli untuk menerima dan meyakini kebenaran prinsip-prinsip Islam.

Sesungguhnya, sifat pertama bagi manusia di dunia ini ialah bahwa dia itu mukallaf, yakni dituntut oleh 4wl untuk menanggung beban (taklif). Melaksanakan perintah dakwah Islam dan berjihad menegakkan kalimat 4wl merupakan taklif yang terpenting. Taklif merupakan konsekuensi terpenting dari ’ubudiyah kepada 4wl. ’ubudiyah manusia kepada 4wl merupakan salah satu dari konsekuensi uluhiyah-Nya. Taklif menuntut adanya kesiapan menanggung beban dan perlawanan melawan hawa nafsu dan syahwat.

Kewajiban hamba 4wl di dunia ini ialah berpegang teguh pada Islam dan membangun masyarakat Islam yang benar. Serta menempuh segala kesulitan dan menghadapi segala resiko dengan mengorbankan nyawa dan harta demi mewujudkan kewajiban tersebut.

4wl Mewajibkan kita mempercayai tujuan dan sasaran, di samping mewajibkan kita menempuh jalan yang sulit dan panjang untuk mencapai tujuan tersebut, betapapun bahaya yang harus kita hadapi.

”Sesungguhnya, 4wl telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan 4wl, lalu mereka membunuh atau terbunuh.” (at-Taubah [9]: 111).

Dakwah Nabi SAW bersih dari segala kepentingan dan tujuan pribadi yang biasanya menjadi motivasi para penyeru ideologi baru serta penganjur pembaruan dan revolusi.

Sesungguhnya syariat Islam telah menentukan sarana kepada kita sebagaimana telah menentukan tujuan. Kemuliaan dan kejujuran, baik menyangkut sarana maupun tujuan, adalah landasan utama falsafah agama ini (Islam). Tujuan harus sepenuhnya didasarkan pada kejujuran, kemuliaan, dan kebenaran. Demikian pula sarana harus didasarkan kepada prinsip kejujuran, kebenaran, dan kemuliaan.

Hikmah ialah meletakkan sesuatu pada tempatnya. Di sinilah perbedaan antara hikmah dan tipu daya, antara hikmah dan menyerah.

Tidak seorang pun dibenarkan untuk mengubah, melanggar, dan meremehkan hukum-hukum dan prinsip-prinsip Islam dengan dalih kebijaksanaan dalam berdakwah. Hal ini karena suatu kebijaksanaan tidak bisa disebut bijaksana jika tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan syariat dan prinsip-prinsipnya.

Firman 4wl dalam al Quran surat al-Qashash [28]: 5):
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).

Beberapa ibroh yang dapat dipetik dari peristiwa hijrah ke Habasyah:
1.Berpegang teguh dengan agama dan menegakkan sendi-sendinya merupakan landasan dan sumber bagi setiap kekuatan. Juga merupakan pagar untuk melindungi setiap hak, baik berupa harta, tanah, kebebasan, maupun kehormatan. Karena itu, para penyeru kepada Islam dan mujahidin di jalan 4wl wajib mempersiapkan diri secara maksimal untuk melindungi agama dan prinsip-prinsipnya serta menjadikan negeri, tanah air, harta kekayaan, dan kehidupan sebagai sarana untuk mempertahankan dan memancangkan aqidah sehingga apabila diperlukan, ia siap mengorbankan segala sesuatu di jalan-Nya.
2.Menunjukkan adanya titik persamaan antara prinsip Nabi Muhammad SAW dengan Nabi Isa ’alaihis salam. Najasyi adalah seorang yang mukhlis dan jujur dalam kenasraniannya. Salah satu bukti keikhlasannya adalah bahwa dia tidak mengikuti ajaran yang menyimpang dan tidak berpihak kepada orang yang aqidahnya berbeda dengan ajaran injil dan apa yang dibawa oleh Isa ‘alaihis salam.
3.Bila diperlukan, kaum muslimin boleh meminta “perlindungan” kepada non-Muslim, baik dari ahli kitab, seperti Najasyi yang pada waktu itu masih Nasrani (tetapi setelah itu masuk Islam) atau dari orang musyrik, seperti mereka yang dimintai perlindungan oleh kaum Muslimin ketika kembali ke Makkah, antara lain Abu Thalib, paman Rasulullah SAW, ketika masuk Makkah sepulangnya dari Tha’if. Tindakan ini dibenarkan selama perlindungan tersebut tidak membehayakan dakwah Islam, mengubah sebagian hokum agama, atau menghalangi nahi munkar. Jika syarat ini tidak terpenuhi, seorang muslim tidak dibenarkan meminta perlindungan kepada non-Muslim. Sebagai dalil adalah sikap Rasulullah SAW ketika diminta Abu Thalib untuk menghentikan dakwahnya dan tidak mengecam tuhan-tuhan kaum musyrik maka ketika itu Rasulullah SAW menyatakan diri keluar dari perlindungan pamannya dan menolak mendiamkan sesuatu yang harus dijelaskan kepada umat manusia.

Dalam Islam, berhijrah dari Darul Islam (negeri Islam) memiliki tiga hokum antara wajib, boleh, dan haram.
1.Wajib manakala seorang muslim tidak dapat melaksanakan syiar-syiar Islam seperti sholat, puasa, adzan, haji, dan sebagainya di negeri tersebut.
2.Boleh manakala seorang Muslim menghadapi bala (cobaan) yang menyulitkannya di negeri tersebut. Dalam kondisi ini, ia boleh keluar darinya menuju negeri Islam yang lain.
3.Haram berhijrah dari darul Islam manakala hijrahnya itu mengakibatkan terabaikannya kewajiban Islam yang memang tidak dapat dilaksanakan oleh orang selainnya.

Firman 4wl dalam al Quran surat al-Qashash [28]: 52-55:
“Orang-orang yang telah kami datangkan kepada mereka al-Kitab sebelum al-Quran, mereka beriman (pula) dengan al-Quran itu. Dan apabila dibacakan (al-Quran) kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami beriman kepadanya; sesungguhnya al-Quran itu itu adalah suatu kebenaran dari Rabb kami, sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkan(nya).’ Mereka diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka berkata, ‘Bagi kami amal-amal kami, dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang yang bodoh.”

Pada saat Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang menghadapi siksaan dan gangguan dari kaum Quraisy, datanglah utusan dari luar Makkah menemui Rasulullah SAW ingin mempelajari Islam. Mereka berjumlah tiga puluh orang lebih-dari kaum Nasrani Habasyah-datang bersama Ja’far bin Abu Thalib. Setelah bertemu dengan Rasulullah SAW dan mengetahui sifat-sifatnya serta mendengar ayat-ayat al-Qur’an yang dibacakannya kepada mereka, segeralah mereka beriman semuanya. Kedatangan utusan itu ke Makkah untuk menemui Rasulullah SAW dan mempelajari Islam pada saat-saat kaum Muslimin sedang menghadapi siksaan, gangguan, pemboikotan, dan tekanan merupakan bukti nyata bahwa penderitaan dan musibah yang dialami oleh para aktivis dakwah Islamtidak berarti sama sekali sebagai suatu kegagalan, di samping tidak boleh menjadi lemah dan putus asa. Keimanan para utusan tersebut hanyalah kelanjutan dari keimanan yang terdahulu dan sekadar melaksanakan konsekuensi dari aqidah yang dianutnya. Mereka adalah (menurut istilah para perawi sirah) para penganut Injil yang beriman dan mengikuti petunjuknya. Injil memerintahkan agar mengikuti Rasul yang datang sesudah Isa ‘AS dan sebagai konsekuensi keimanannya ialah mengimani Nabi ini, yaitu Muhammad S’AW. Dengan demikian, keimanan mereka kepada Rasulullah S’AW bukan proses perpindahan dari suatu agama kepada agama lain yang lebih baik. Ini hanya merupakan kelanjutan dari hakikat keimanan kepada Isa ‘AS dan ajarannya.

Uraian pada point sebelumnya merupakan penegasan bahwa ad-Dinul Haq (agama yang benar) itu hanya satu semenjak Adam ’AS. Perkataan ”agama-agama langit” yang sering kita dengar adalah tidak benar. Memang terdapat syariat-syariat langit yang beraneka ragam dan setiap syariat langit menghapuskan syariat sebelumnya. Akan tetapi, tidak boleh disamakan antara ad-Din atau aqidah dan syariah yang berarti hukum-hukum amaliah yang berkaitan dengan peribadahan atau muamalah.

Firman 4wl dalam al-Quran surat al-An’am [6]: 33-35:
”Sesungguhnya, kami mengetahui bahwa apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zhalim itu mengingkari ayat-ayat 4wl. Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) Rasul-rasul sebelum kamu, tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorang pun yang dapat mengubah kalimat-kalimat (janji) 4wl. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebagian dari berita Rasul-rasul itu. Dan jika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu maka jika kamu dapat membuat lubang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan mukjizat kepada mereka (maka buatlah). Kalau 4wl Menghendaki tentu saja 4wl menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang jahil.”

Nabi S’AW tidak bersedih hati sedemikian rupa atas meninggalnya paman dan istri beliau. Rasulullah S’AW juga tidak menyebut tahun meninggalnya paman dan istri beliau sebagai ”Tahun Dukacita” semata-mata karena kehilangan sebagian keluarganya, tetapi karena bayangan akan tertutupnya hampir seluruh pintu dakwah Islam setelah kematian kedua orang ini.

Semua bentuk penyiksaan dan penderitaan yang dialami Rasulullah S’AW, khususnya dalam perjalanan hijrah ke Tha’if ini, hanyalah merupakan sebagian dari perjuangan tabligh-nya kepada manusia. Diutusnya Rasulullah S’AW bukan hanya untuk menyampaikan aqidah yang benar tentang alam dan Penciptanya, hukum-hukum ibadah, akhlak, dan muamalah, melainkan juga untuk menyampaikan kepada kaum Muslimin kewajiban bersabar yang telah diperintahkan 4wl dan menjelaskan cara pelaksanaan sabar dan mushabarah (melipatgandakan kesabaran) yang diperintahkan 4wl dalam firman-Nya (Ali Imran [3]: 200).

Doa Rasulullah:
”Ya 4wl, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan ketidakberdayaan diriku berhadapan dengan manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Jika engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak kuhiraukan karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau Limpahkan kepadaku. Aku berlindung pada sinar cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan kepadaku. Hanya Engkaulah Yang Berhak Menegur dan Mempersalahkan diriku hingga Engkau Berkenan. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”

Jika kita perhatikan setiap peristiwa sirah Rasulullah S’AW bersama kaumnya, akan kita dapati bahwa penderitaan yang dialami oleh Rasulullah kadang sangat berat dan menyakitkan. Akan tetapi, pada setiap penderitaan dan kesengsaraan yang dialaminya selalu diberikan ’penawar’ yang melegakan hati dari 4wl. Penawar ini dimaksudkan sebagai hiburan bagi Rasulullah S’AW agar faktor-faktor kekecewaan dan perasaan putus asa tidak sampai merasuk ke dalam jiwanya. Dalam peristiwa hijrah Rasulullah S’AW ke Tha’if dengan segala penderitaan yang ditemuinya, baik berupa penyiksaan maupun kekecewaan hati, dapat kita lihat adanya ’penawar Ilahi’ terhadap kebodohan orang-orang yang mengejar dan menganiayanya. Penawar ini tercermin pada seorang lelaki Nasrani, Addas, ketika datang kepadanya seraya membewa anggur kemudian bersimpuh di hadapannya seraya mencium kepala, kedua tangan, dan kakinya setelah Nabi S’AW mengabarkan kepadanya bahwa dirinya adalah seorang Nabi.

Apa yang dilakukan oleh Zaid bin Haritsah, yaitu melindungi Rasulullah S’AW dengan dirinya dari lemparan batu orang-orang bodoh Bani Tsaqif sampai kepalanya menderita beberapa luka, merupakan contoh yang harus dilakukan oleh setiap Muslim dalam bersikap terhadap pemimpin dakwah. Ia harus melindungi pemimpin dakwah dengan dirinya sekalipun harus mengorbankan kehidupannya.

Apa yang dikisahkan oleh Ibnu Ishaq tentang beberapa jin yang mendengarkan bacaan Rasulullah S’AW ketika sedang melakukan sholat malam di Nikhlah, merupakan dalil bagi eksistensi jin dan bahwa mereka mukallaf (dibebani kewajiban melaksanakan syariat Islam). Di antara mereka terdapat jin-jin yang beriman kepada 4wl dan Rasul-Nya di samping mereka yang ingkar dan tidak beriman.

Semua penderitaan dan rintangan yang ada di jalan dakwah Islam tidak boleh menghalangi atau menghentikan perjuangan kita atau mengakibatkan kegentaran dan kemalasan dalam diri kita, selama kita berjalan di atas petunjuk keimanan kepada 4wl. Siapa saja yang telah mengambil bekal kekuatannya dari 4wl, dia tidak akan mengenal putus asa atau malas. Selama 4wl Yang Memerintahkan, pasti Dia akan menjadi Penolong dan Pembela.

Dalam peristiwa Isra’ Mi’raj, beberapa ibroh yang dapat kita petik adalah, jika kita perhatikan fenomena wahyu yang tampak dengan jelas pada kehidupan Rasulullah SAW, nyatalah bagi kita bahwa sifat yang paling menonjol dalam kehidupannya adalah sifat ”kenabian”. Kenabian adalah termasuk nilai-nilai keghaiban yang tidak mengikuti kriteria-kriteria kita yang bersifat empirik. Kita akan dapati bahwa 4wl telah memberikan banyak mukjizat kepada Nabi SAW. Mu’jizat ialah sebuah kata yang jika direnungkan tidak memiliki definisi yang berdiri sendiri. Ia hanya suatu makna yang nisbi. Seandainya manusia mau berpikir lebih jauh sedikit, niscaya akan tampak baginya bahwa 4wl Yang Menciptakan mukjizat seluruh alam ini tidak pernah kesulitan untuk Menambahkan mukjizat lain atau Mengganti sebagian sistem yang telah berjalan di alam semesta ini.

Rasulullah SAW telah merasakan berbagai penyiksaan dan gangguan yang dilancarkan kaum Quraisy kepadanya. Kemudian datanglah ”undangan” Isra’ dan Mi’raj sebagai penyegaran semangat dan ketabahannya. Di samping sebagai bukti bahwa apa yang baru dialaminya dalam perjalanan hijrah ke Tho’if bukan karena 4wl Murka atau Melepaskannya, melainkan hanya merupakan sunnatullah. Sunnah dakwah Islamiyah pada setiap masa dan waktu.

Berlangsungnya perjalanan Isra’ ke Baitul Maqdis dan Mi’raj ke Langit tujuh dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, menunjukkan betapa tinggi dan mulia kedudukan Baitul Maqdis di sisi 4wl. Hal ini juga merupakan bukti nyata akan adanya hubungan yang sangat erat antara ajaran Isa ’Alaihis Salam dan ajaran Muhammad SAW. Ikatan agama yang satu.

Peristiwa ini juga memberikan isyarat bahwa kaum Muslimin di setiap tempat dan waktu harus menjaga dan melindungi rumah suci (Baitul Maqdis) ini dari keserakahan musuh-musuh Islam. Seolah-olah hikmah Ilahiyah ini mengingatkan kaum Muslimin zaman sekarang agar tidak takut dan menyerah menghadapi kaum Yahudi yang tengah menodai dan merampas rumah suci ini, untuk membebaskannya dari tangan-tangan najis dan mengembalikannya kepada pemiliknya, kaum Muslimin. Siapa tahu, barangkali peristiwa Isra’ yang agung inilah yang menggerakkan Sholahuddin al-Ayubi untuk mengerahkan kekuatannya melawan serbuan-serbuan Salibis dan mengusirnya dari rumah suci ini.

Pilihan Nabi SAW terhadap minuman susu, ketika Jibril menawarkan dua jenis minuman, susu dan khamr, merupakan isyarat secara simbolik bahwa Islam adalah agama fitrah yakni agama yang aqidah dan seluruh hukumnya sesuai dengan tuntutan fitrah manusia. Di dalam Islam tidak ada sesuatu pun yang bertentangan dengan tabiat manusia. Seandainya fitrah berbentik jasad, niscaya Islam akan menjadi bajunya yang pas. Faktor inilah yang menjadi rahasia mengapa Islam begitu cepat tersebar dan diterima manusia. Hal ini karena betapa pun tingginya budaya & peradaban manusia dan betapapun manusia telah mereguk kebahagiaan material, ia akan cenderung tetap melepaskan segala bentuk beban dan ikatan-ikatan yang jauh dari tabiatnya. Islam adalah satu-satunya sistem yang dapat memenuhi semua tuntutan fitrah manusia.

Jumhur ulama, baik salaf maupun khalaf, telah sepakat bahwa Isra’ dan Mi’raj dilakukan dengan jasad dan ruh Nabi SAW.

No comments:

Post a Comment