Friday, May 15, 2015

Aqidah tanpa Ilmu akan Merusak

Beranjak dari pernyataan pada judul, seyogiyanya kita dapat memahami bahwa potensi-potensi besar yang dibangkitkan oleh aqidah dalam kehidupan ini harus berpijak pada pemahaman terhadap agama Allah dan arahan-Nya. Karena mengenakan baju agama tanpa landasan ilmu akan mendatangkan bahaya besar dan melahirkan potensi yang membabi buta serta kekuatan destruktif yang akan merusak sendi-sendi sistem sosial. Pemilik aqidah ini akan mengira dirinya berada di atas petunjuk dan melakukan perbaikan, padahal sebenarnya ia tak ubahnya bagai angin topan yang merusak kehidupan di mana pun mereka berada.

Iman yang benar akan memberi pemiliknya kesabaran, keteguhan, dan kekuatan untuk menanggung penderitaan di jalan Allah tanpa menyia-nyiakan agama yang haq ini dan tuntutan-tuntutannya. Sumaiyyah, Yasir, Bilal, dan yang lainnya, bahkan tokoh-tokoh dari kalangan pergerakan Islam yang mengalami fitnah, tuduhan palsu, penyiksaan, dan gangguan-gangguan dahsyat merupakan contoh terbaik untuk hal ini. Dan pada hakikatnya, kesabaran dan keteguhan adalah karunia Allah. Karenanya Allah Mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo'a pada saat mengalami kondisi seperti ini, "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 250)

Iman ini akan mendorong orang-orang beriman kepada kecintaan, persaudaraan, dan sikap itsar (mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri) untuk meraih ridha Allah.

"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)

Iman yang benar akan mendorong kepada jihad fi sabilillah tanpa ada perasaan berat sedikit pun, akan mendorong kepada cinta kesyahidan di jalan Allah dan pengorbanan dengan jiwa dan harta demi tegaknya kalimah Allah menjadi yang tertinggi.

Iman ini akan menjadikan pemiliknya mengatakan yang haq demi meraih ridha Allah dan tiada pernah takut sedikit pun pada cercaan orang-orang yang mencerca, serta tidak pernah terbersit keraguan dan keputus asaan. Karena seorang mukmin mengetahui bahwa kebathilan, betapa pun besarnya pasti akan terkalahkan, dan ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan bergeser. Allah berfirman:

"Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra'd:17)

Seorang mukmin akan melakukan ikhtiar, tetapi ia tidak bertumpu pada ikhtiar ini saja, melainkan tetap bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya. Ia akan merasa tenang karena meyakini bahwa Allah akan mencukupi keperluannya.

"Dan sesiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq:3)

Dengan demikian ia bisa menempuh jalan yang benar dengan penuh keberanian, ketenangan jiwa, dan kepasrahan kepada Allah serta meyakini bahwa ia telah berlindung pada sendi pertahanan yang kuat (Allah), tidak gentar sedikit pun kepada orang-orang yang menghadang dan menyimpangkannya dari jalan Allah, tidak akan terbuai oleh rayuan dan tidak akan takut oleh teror karena ia menyandarkan diri kepada Allah dan berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak akan terputus.

Iman yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menaati Rasul S'AW dan mengikuti sunnahnya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah.

Iman melahirkan dalam diri pemiliknya perasaan bangga sekaligus tanggung jawab sebagai guru bagi umat manusia. Perasaan bangga ini tidak mendorongnya kepada kesombongan, tetapi justru perasaan bangga yang menghantarkan kasih sayang kepada orang lain dan menuntun tangan mereka kepada jalan petunjuk.

"Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)


Sumber: Bab XIV Fiqh Dakwah Jilid 2


No comments:

Post a Comment