Friday, September 9, 2011

Minat Baca Siswa Indonesia

MINAT BACA SISWA SEKOLAH

OLEH: AGUS M. IRKHAM (Instruktur Literasi Forum Indonesia Membaca)

Minat baca siswa sekolah di Indonesia sangat rendah. Ini serius. Bukan Isu, Bukan Gosip, apalagi fitnah. International Educational Achievement mencatat minat baca siswa Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN. Dari 39 negara yang dijadikan sampel penelitian, Indonesia menempati urutan ke-38.

Faktor utama penyebab masih rendahnya minat baca. Hal itu berbeda dengan yang terjadi di beberapa negara dan maju seperti Jepang, Belanda, Australia, dan Singapura, seperti yang pernah tersiar di seminar internasional Gerakan Pemasyarakatan Minat Baca bertema "Membaca untuk Semua" yang berlangsung di Jakarta, beberapa waktu silam.

Jepang misalnya, negara yang tiap tahunnya mencetak lebih dari 1 miliar buku ini - wow banget kan?! - sekarang memiliki prinsip: teman duduk terbaik adalah buku. sekolah-sekolah di Jepang mewajibkan para siswa membaca selama 10 menit sebelum melakukan kegiatan belajar mengajar.

Lain Jepang, lain pula Belanda. Di negeri kincir angin ini, peningkatan minat baca disiasati dengan mengharuskan para siswa memperkaya pengetahuan dengan membaca, ditunjang sistem perpustakaan sekolah yang memenuhi kebutuhan mereka.

Sementara itu di Singapura minat baca para siswa ditumbuhkan lewat kurikulum. Misalnya guru mengharuskan siswa menyelesaikan pekerjaan sekolah dengan dukungan sebanyak mungkin buku.

Tak kalah menarik, adalah yang dilakukan pemerintah Australia. Para siswa di negeri Kanguru dibekali dengan semacam kartu untuk menuliskan judul buku yang dibaca. Catatan hasil membaca dan penilaian atas buku yang dibaca dilakukan setiap hari, sebelum kelas dimulai. Guru menyuruh setiap siswa menceritakan isi buku yang telah dibacanya. Jadi mereka tidak hanya gila baca, tapi otot tangan mereka juga terlatih menulis. Berbicara di hadapan banyak orang pun sudah tidak lagi menjadi masalah.

Bagaimana dengan kita? Di negeri elok nan permai ini,membaca buku belum seluruhnya dijadikan menu wajib di sekolah. Kalau toh ada kegiatan membaca buku, itu bersifat insidental. Satu contoh sederhana, kita tidak memiliki standar minimal tentang bacaan wajib (karya sastra) yang harus dikhatamkan siswa di tiap jenjang pendidikan. Entah itu berdasarkan jumlah maupun judul-judul tertentu.

Hal itu sangat bertolak belakang dengan kondisi yang berlaku di negara lain, seperti yang sering dikemukakan oleh sastrawan senior ternama, Taufiq Ismail. Menurut penulis puisi Rindu Rasul itu, tiap tahun di Amerika, siswa ditugasi membaca novel sastra sebanyak 32 judul. Belanda 30 judul, Prancis 20, Jerman 22, Jepang 15, Kanada 13, Singapura 6, Brunei 7, dan Thailand 5 judul.

Lantas pertanyaan pentingnya adalah: melalui sarana apa penyebaran minat baca pada siswa itu dapat dilakukan?

Pertama, membawa siswa mengikuti acara perbukuan. Mulai dari pameran buku, peluncuran buku, jumpa penulis, hingga bedah buku. Cara ini digunakan untuk memberikan pengalaman pra membaca kepada siswa. Memberikan kesan kepada mereka bahwa (membaca) buku itu asyik, fun, dan gaul.

Kedua, mengundang artis atau selebritas yang seumur dengan para siswa, untuk hadir ke sekolah. Sosok terkenal tersebut diminta agar bisa berbagi pengalamannya ketika pertama kalinya jatuh cinta pada buku. Sekaligus memberikan testimoni arti penting buku bagi hidup dia. Strategi ini ditempuh mengingat modus gaya anak sekolah saat ini cenderung meniru sosok yang mereka idolakan.

cara ketiga, menjadikan perpustakaan sekolah sebagai sarana pembelajaran. Artinya tiap mata pelajaran, sedapat mungkin mengharuskan siswa masuk ke perpustakaan, meminjam buku sekaligus membacanya. Jika sudah berjalan, selanjutnya dapat ditingkatkan lagi dengan menambah satu kegiatan, yaitu mengikat makna. Menuliskan kembali buku-buku yang dibaca tersebut dengan gaya bahasa mereka sendiri.

wallahu a'lam bish showwab

No comments:

Post a Comment