Monday, May 3, 2010

Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), Biar Dipenjara, Tak Pernah Mendendam


Ternyata yang namanya penjara itu nggak selalu bikin stress. Malah dalam penjara itu, Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan Buya Hamka ini ternyata berhasil menyelesaikan buku tafsir Al-Azhar 30 Juz.

Buya Hamka dipenjara selama dua tahun empat bulan karena berbeda pendapat dengan Bung Karno soal dasar negara Pancasila. Meskipun Bung Karno memenjarakannya, saat meninggal Buya Hamka lah yang menjadi imam untuk sholat jenazahnya.



SEKELUMIT TENTANG BUYA HAMKA

Sebagaimana umumnya anak-anak di Minangkabau, dia belajar mengaji dan tidur di surau selain belajar pencak silat. Dia juga masuk sekolah desa sampai kelas 2 tingkat dasar. Sore harinya ia belajar agama di Sekolah Diniyah (Sekolah agama-madrasah).

Katanya itu saat terindah pada dirinya. Pagi pergi ke sekolah dengan bergegas, supaya dapat bermain sebelum bersekolah, sampai pukul sepuluh tengah hari. Kemudian bermain-main lagi, main petak umpet, main galah, bergelut, bertinju, main banting-bantingan, seperti layaknya anak-anak lainnya bermain.

Tapi kemudian masa kecilnya yang indah itu berakhir. Hamka mengikuti ayahandanya yang mengajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Ia berkesempatan belajar di Perguruan Thawalib yang dipimpin oleh ayahnya selama beberapa waktu, namun tak sampai tamat. Selama belajar di Thawalib, ia bukan termasuk anak yang pandai. Hamka sangat malas belajar dan seringkali meninggalkan sekolahnya selama beberapa hari.

Hamka remaja punya banyak hobi. Salah satu kesukaannya ialah mengembara mengunjungi perguruan pencak silat, mendengar senandung dan kaba, yaitu kisah-kisah rakyat yang dinyanyikan dengan alat musik tradisional, rebab dan saluang (alat musik tiup khas Minang). Kegemarannya yang lain adalah menonton Film, bahkan demi hobinya itu ia pernah mengelabui ayahandanya yang merupakan guru mengajinya, dalam memenuhi hasratnya menonton. Melalui hobi itulah seringkali ia mendapat inspirasi untuk menulis.

Buya Hamka lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai Batang, di Tepian Danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.


DIASUH SANG NENEK

Saat Hamka berusia 12 tahun, kedua orang tuanya bercerai. Hal ini berakibat terhadap perkembangan kejiwaannya. Dia merasa kurang mendapatkan kasih sayang yang sewajarnya dari kedua orang tuanya. Hamka yang kemudian mengikuti ayahnya pindah ke Padang Panjang, harus menghadapi cemoohan dari keluarga ayahnya sendiri. Menurut adat Minang, seorang anak lelaki dianggap tidak pantas tinggal bersama ayahnya yang tidak lagi beristrikan ibu kandungnya. Sebaliknya, untuk tinggal bersama ibunya pun, dia tidak merasa nyaman, karena ada bapak tiri. Beruntung neneknya sangat menyayangi Hamka sejak buya Hamka dilahirkan. Dia pun tinggal dan lebih banyak menghabiskan masa kecil bersama neneknya.


MERANTAU KE JAWA

Pada tahun 1924, Buya Hamka merantau ke Pulau Jawa. Hal itu dipicu renggangnya hubungannya dengan sang ayah serta etos merantau orang Minangkabau. Hamka pergi ke pulau Jawa saat baru menyelesaikan pendidikan formalnya antara 1916 sampai 1923 di Sekolah Diniyah di Parabek, kemudian dilanjutkan belajar di Sumatera Thawalib di Padang Panjang.

Dorongan lain dia merantau adalah karena awal abad 20, di pulau Jawa mulai muncul gerakan-gerakan politik keagamaan, seperti Sarekat Islam yang dipimpin oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Muhammadiyah yang didirikan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta. Begitu juga gerakan-gerakan nasionalis yang kesemuanya bertujuan menuntut kemerdekaan Indonesia di bawah pimpinan Soekarno. Di Yogyakarta, Abdul Malik menumpang di rumah pamannya Jakfar Amrullah, seorang pedagang batik.

Selama bermukim di sana, Buya Hamka aktif mengikuti kursus-kursus yang diadakan oleh Organisasi Sarekat Islam. Dia belajar langsung pada H.O.S Tjokroaminoto, pimpinan Sarekat Islam. Belajar pengetahuan Sosiologi dari Soerjopranoto, Filsafat dan SEjarah (Islam) dari K.H. Mas Mansur, dan tafsir dari Ki Bagus Hadikusumo. Buya Hamka juga sempat mengembara ke Bandung, bertemu tokoh Masyumi A.Hassan dan M.Natsir yang memberinya kesempatan menulis dalam majalah Pembela Islam.


ULAMA MUDA YANG DISEGANI

Setahun merantau, pada 1925 Buya Hamka kembali ke Minang. Saat itu usianya baru 17 tahun, tapi telah menjadi ulama muda yang disegani. Dia tumbuh jadi tukang pidato. Maka di Minang dia membuka kursus-kursus pidato untuk kalangan seusianya. Dengan telaten pidato kawan-kawannya itu diterbitkan jadi buku dengan judul Khatib ul-Ummah. Inilah karya perdana Abdul Malik sebagai seorang penulis. Tapi itu mendapat kritik dari sang ayah.

Karena kritik itu, Hamka kemudian merantau lagi untuk menambah pengetahuannya. Pada 1927, Hamka pergi tanpa pamit kepada ayahnya untuk menunaikan ibadah haji sekaligus memperdalam pengetahuan Islam pada ulama-ulama di sana.

Beberapa lama tinggal di Tanah Suci, Hamka berjumpa H. Agus Salim. Lalu Agus Salim menyarankan agar Hamka segera pulang ke Tanah Air. "Banyak pekerjaan yang jauh lebih penting menyangkut pergerakan, studi, dan perjuangan yang dapat engkau lakukan. Karenanya, akan lebih baik mengembangkan diri di tanah airmu sendiri," kata Agus Salim.

Kata-kata pemimpin besar itu oleh Hamka dianggap sebagai suatu 'titah'. Ia pun segera kembali ke tanah air setelah tujuh bulan bermukim di Mekah. Tetapi bukannya pulang ke Padang Panjang di mana ayahnya tinggal, Hamka malah menetap di Medan, kota tempat berlabuh kapal yang membawanya pulang.


DEKAT KEMBALI DENGAN SANG AYAH

Karena tidak langsung pulang ke Padang Panjang, rupanya Hamka mendapat kecaman dari orang-orang di kampungnya. Beberapa kali surat dikirimkan, namun Hamka bersikeras tak mau pulang.

Ayahnya kemudian meminta A.R.Sutan Mansur untuk menjemput Hamka. Kharisma dan pribadi lembut guru sekaligus kakak iparnya itu yang membuat Hamka luluh. Akhirnya ia pulang ke kampung dan diterima ayahnya dengan rasa haru yang dalam.

Kata Haji Rasul, "Mengapa tidak engkau beritahu bahwa begitu mulia dan suci maksudmu? Abuya (ayah) ketika itu sedang susah dan miskin. Kalau itu maksudmu, tak kayu jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah."

Hamka berurai air mata mendapat sambutan sehangat itu dari seorang ayah yang sepanjang masa mudanya terasa begitu jauh dari kehidupannya. Hapus sudah figur seorang ayah yang keras dan dingin.


BANYAK MENULIS BUKU

Selain jago pidato, Hamka juga jago menulis. Ada ratusan buku yang telah dikarangnya. Bukunya beragam. Mulai buku soal agama Islam hingga novel. Maka tak salah jika Hamka dijuluki Ulama Pujangga. Karya Hamka yang menjadi tonggak kepujanggaannya adalah LailaMajnun yang diilhami sebuah cerita pendek berjudul Majdulin yang dibacanya dalam sebuah majalah Arab.

Karya terbesar Hamka adalah buku Tafsir Al-Azhar lengkap 30 Juz. Hingga kini, bukunya tetap relevan dengan kehidupan beragama di Indonesia. Karyanya itu ia selesaikan ketika mendekam di tahanan saat berbeda pendapat dengan Bung Karno tentang Pancasila sebagai falsafah negara. Sejarah mencatat, ketika Soekarno wafat, Buya Hamka lah yang memimpin sholat jenazah Presiden pertama RI, kawan sekaligus lawan dalam kehidupannya itu.

Tidak hanya itu, jejak Buya Hamka ini banyak kita temui. Sebagai bukti penghargaan yang tinggi dalam bidang keilmuan, Persyarikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya pada sebuah perguruan tinggi yang berada di Yogyakarta dan Jakarta: Universitas Hamka (UHAMKA). Buya Hamka wafat di Jakarta, 24 Juli 1981.


MUSEUM BUYA HAMKA

Di tanah kelahirannya kini berdiri sebuah bangunan yang dijadikan museum untuk mengenang jasa dan pengabdiannya pada masyarakat. Museum ini sudah berjalan enam tahun. Bangunannya diresmikan 11 November 2001 oleh H. Zainal Bakar, gubernur Sumbar masa itu.

Di dalam museum itu tersimpan bebagai peninggalan Buya Hamka. Ada ruang tidur yang berisi ranjang bersalut kelambu yang dulu sempat menjadi tempat tidurnya. Di sudut ruangan lainnya tampak aneka barang, seperti sebilah tongkat yang dalam rak tersendiri, dua kursi rotan, juga ada lemari kaca berisi jubah dan juga aksesoris lain yang biasa dikenakan buya. Di semua dinding banyak foto buya.


Sumber: Majalah Pelajar






1 comment:

  1. Terima Kasih atas post ini, sangat membantu saya dalam tulisan di blog saya. Sila kungjungi rahmadhb.com

    ReplyDelete