Friday, June 16, 2017

Perspektif Kehampaan...

Selama ini kita menganggap kehampaan hati yang kita alami pada saat tertentu sebagai hal yang tidak wajar atau tidak normal. Batin kita berteriak, "Mengapa ini harus terjadi?" ini justru tambah menyakiti, karena kita sudah punya standar bahwa apa pun yang kosong harus diisi. Apa pun yang hampa harusnya terisi segera agar bahagia itu datang. Bagimana kalau kita balik perspektifnya? Andaikata yang kosong itu tetap tak terisi, yang hampa itu tidak diisi, tetap hampa dan kosong seperti itu, namun mengajari kita arti ketegaran hidup? Kalau kehampaan itu mengajari kita makna ketegaran hidup, sebenarnya ini adalah kebermaknaan. Ini hidup yang bermakna bila sanggup memaknai sedemikian rupa.

Saya berharap anda yang sedang membaca ini, bila anda sedang merasa kehilangan, hampa dan kosong serta ketiadaan harapan, tetaplah percaya bahwa bahkan dalam kekosongan sekalipun, Allah swt mendatangkan makna yang berharga bagi hidup, yaitu ketegaran. Tegar itu sebenarnya lebih mulia, lebih mahal dari sekadar bahagia. Orang yang tegar itu lebih mahal, lebih mulia daripada orang yang bahagia.

Orang yang bahagia belum tentu tegar, siapa tahu kebahagiaannya bersyarat. Berbeda dengan orang yang tegar, kondisi yang tidak bahagia pun dia sanggup tegar, bisa berdiri tegap, berdiri teguh dan kokoh.

Ada kondisi ketika memang jelas-jelas hidup ini tidak indah, baik secara indrawi maupun secara persepsi. Namun, kalau dalam ketidak indahan itu kita sanggup menemukan kesempatan emas, Allah swt ternyata mendidik kita untuk sederhana dalam pengharapan, bisa kokoh dalam berdiri. Ketika itu sudah terjadi, nikmatnya luar biasa. Kenikmatan itu luar biasa karena kita sanggup merasakan tuntunan Allah pada kondisi yang buruk. Orang yang tidak mengalami, tidak akan merasakan seperti ini.

Tidak selalu jiwa itu bekerja seperti matematika, 2+3 harus 5, 1x0 harus 0. Jiwa itu sangat kualitatif, tidak dapat diperlakukan dan dianggap kuantitatif. Parahnya, banyak orang yang menempatkan kebahagiaannya sebagai sesuatu yang kuantitatif, "Kalau aku punya uang 10 juta aku bahagia", "Kalau aku dapat proyek, aku bahagia". Itu kan kuantitatif, artinya, kita menentukan kebahagiaan berupa angka, bahagia juga sih akhirnya, tapi kita jadi terbiasa ke arah situ.

Mengapa dihubungkan dengan matematika? Sebenarnya saya ingin mengaitkan bahwa otak kita ini terbiasa memenuhi sebuah aturan, aturan yang umum dan mendunia. Dengan begitu barulah kita merasa nyaman dan bahagia. Kalau kita melihat jiwa kita kosong dan hampa, tanpa disadari kita menetapkan target-target (umum dan standar ketetapan manusia) yang diinginkan. Kita ingin yang hampa menjadi hilang dan digantikan dengan kebahagiaan. Dengan keinginan seperti ini, diri kita malah bertambah galau. Karena itu, sebagai solusi, lihatlah kehampaan dari perspektif berbeda, terimalah rasa hampa sebagai hal yang wajar dan lumrah, juga sebagai masa-masa emas untuk belajar ketegaran dari Allah swt. Yakinlah bahwa rasanya akan sangat luar biasa dan galau jadi hilang selamanya.... ^_^


Sumber inspiratif: Sebuah Buku Keren

No comments:

Post a Comment