Saturday, July 3, 2010

IBROH SIROH NABAWIYAH PART 7... (Selesai)

Oleh: DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

•Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengutus Para Utusan guna Mengajarkan Prinsip-prinsip Islam

Hal terpenting yang harus dipahami oleh seorang Muslim dari pengiriman para utusan ini ialah bahwa tanggung jawab penyebaran dan perjuangan Islam merupakan tanggung jawab seluruh kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat. Tanggung jawab ini bukan hal yang remeh sebagaimana dipahami oleh sebagian besar kaum Muslimin sekarang.
Tidaklah cukup hanya menyatakan keislaman dengan lisan semata. Juga tidak cukup hanya dengan mengamalkan sebagian ajaran Islam yang ringan-ringan dalam kehidupan kita. Bahkan tidak cukup hanya berpegang teguh dengan Islam untuk dirinya sendiri kemudian tidak mau peduli pada yang lainnya.

Tanggung jawab perjuangan dan pergerakan Islam tidak akan terlepas dari pundak kaum Muslimin sebelum hal ini juga dilaksanakan. Melaksanakan kewajiban dakwah kepada Islam dan pergi ke seluruh penjuru dunia dalam rangka menunaikan kewajiban dakwah.
Itulah amanah yang dipikulkan oleh Rasulullah S’AW ke pundak kita dan kewajiban yang tidak boleh diabaikan di setiap zaman dan tempat. Para ulama dan imam yang empat telah sepakat bahwa melaksanakan kewajiban dakwah di dalam dan di luar negeri kaum Muslimin adalah fardhu kifayah atas seluruh kaum Muslimin. Mereka tidak akan terlepas dari tanggung jawab ini kecuali setelah adanya sejumlah orang (da’i) yang mengajak kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam ke seluruh penjuru dunia secara merata dan mencukupi. Jika sejumlah da’I yang diperlukan ini belum terpenuhi di setiap negeri Islam, semua penduduk negeri tersebut berdosa.

Jumhur imam dan fuqaha berpendapat bahwa kewajiban dakwah ini tidak hanya terpikul di atas pundak kaum laki-laki, tetapi berlaku secara umum, laki-laki, wanita, orang merdeka, dan hamba sahaya, selama mereka mukallaf dan mampu melaksanakan tugas dakwah dan taujih, masing-masing sesuai batas kemampuan dan sarana kemampuannya. (Mughnil Muhtaj, 4/211 dan al-Ahkamus Sulthaniah, al-Mawardi.)
Wasiat yang disampaikan Rasulullah S’AW kepada Mu’adz dan Abu Musa al-‘Asy’ari menunjukkan sebagian adab (kode etik) yang harus dimiliki oleh para da’I dalam melaksanakan tugas dakwahnya.

Di antaranya harus mengutamakan aspek taisir (memudahkan) dari tasydid (mempersulit) dan tadiq (mempersempit). Lebih banyak memberikan tabsyir (“kabar gembira” yang menggemarkan) daripada tahdid (ancaman dan kecaman) yang diistilahkan oleh Rasulullah S’AW dengan tanfir (membuat orang lari dari Islam).
Kode etik ini kemudian dijelaskan Rasulullah S’AW melalui contoh aplikatif dengan memerintahkan Mu’adz agar mengajak manusia pertama-tama untuk mengucapkan syahadatain; jika mereka telah mengikrarkan, hendaklah diajak untuk menegakkan sholat. Jika mereka telah melakukannya, hendaklah diajak untuk membayar zakat dan seterusnya…

Namun perwujudan kode etik taisir dan tabsyir ini tidak boleh melampaui batas-batas syariat. Prinsip taisir yang disyariatkan ini tidak berarti membolehkan pengubahan sebagian hukum Islam atau mempermainkan ajaran-ajaran Islam demi mencari kemudahan bagi manusia. Prinsip taisir juga tidak berarti boleh mengakui kemaksiatan kendatipun dalam prinsip taisir dibolehkan memilih sarana yang harus digunakan untuk menolak kemaksiatan tersebut.

Termasuk kode etik berdakwah kepada Allah (juga termasuk adab imarah dan walayah) adalah menghindari tindakan menzhalimi siapa pun, terutama dalam masalah pemungutan sesuatu, seperti memungut harta oang tanpa kebenaran. Tindakan kezhaliman ini bisa saja dilakukan oleh para da’i apabila mereka lupa akan hakikat tanggung jawab mereka di hadapan Allah, sebagaimana juga bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan dan kekuasaan.

Karena Mu’adz telah berpegang teguh sepenuhnya pada kedua sifat tersebut, ketika hendak dikirim oleh Rasulullah S’AW ke Yaman (sifat sebagai da’I dan penguasa), Nabi lalu memperingatkannya dengan keras agar tidak terjerumus melakukan tindakan kezhaliman apa pun.
“Takutlah kamu dari do’a orang yang teraniaya karena di antara dia dan Allah tidak ada penghalang sama sekali.”

•Haji Wada’ beserta Khotbahnya

1.Bilangan haji Rasulullah S’AW dan Waktu Disyariatkannya Haji
Para ulama berselisih pendapat, apakah Rasulullah S’AW pernah melakukan haji dalam Islam selain pelaksanaan haji ini?
Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan ibadah haji tiga kali sebelum hijrah ke Madinah. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari berkata, “Pendapat ini didasarkan kedatangan utusan Anshar yang pergi ke Aqabah di Mina setelah haji.” Pertama, mereka datang lalu membuat janji. Kedua, mereka datang lalu melakukan baiat yang kedua.
Di antara para ulama ada yang meriwayatkan bahwa Nabi S’AW sebelum hijrah melakukan haji setiap tahun.
Kendatipun demikian, tidak diragukan lagi bahwa kewajiban haji ini disyariatkan pada tahun ke-10 Hijriah. Sebelum ini, Nabi S’AW tidak pernah melakukan haji selain dari haji tersebut. Karena itu, di antara para sahabat banyak yang menamakan Haji Wada’ ini dengan Hijjatul Islam atau Hijjatu Rasulillah S’AW. Imam Muslim menjadikan nama terakhir ini (Hijjatu Rasulillah S’AW) sebagai judul Hadits-hadits mengenai haji Rasulullah S’AW.

Di antara dalil yang membuktikan bahwa haji belum diwajibkan sebelum tahun ke-10 Hijriah adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai utusan Abdul Qais yang datang menemui Nabi S’AW. Di dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa mereka berkata kepada Nabi S’AW, “Perintahkan kepada kami dengan perkara yang tegas yang akan kami lakukan dan kami perintahkan pula kepada orang-orang di belakang kami, yang dengan itu, kami dapat masuk surga.” Nabi S’AW bersabda, “Aku perintahkan kalian dengan empat (hal) dan aku larang kalian dari empat (hal) pula.” Selanjutnya Nabi menyebutkan empat perintah tersebut seraya bersabda, ”Aku perintahkan kalian agar beriman kepada Allah, menegakkan sholat,menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan memberikan seperlima dari harta pampasan.”

Tampaknya Nabi S’AW menyebutkan soal keimanan kepada Allah hanyalah sebagai tambahan terhadap empat perkara tersebut karena hal ini sangat dikenal oleh mereka. Akan tetapi, beliau mengulangi perintah tersebut untuk menegaskan dan menjelaskan bahwa keimanan merupakan asas bagi empat perkara yang disebutkan sesudahnya.
Kedatangan utusan ini (bani Abdul Qais) adalah pada tahun ke-9 Hijriah. Seandainya haji sudah diwajibkan pada waktu itu, niscaya Nabi S’AW akan menyebutkannya di antara sejumlah hal yang diwajibkan kepada mereka.

2.Makna Agung dari Haji Rasulullah S’AW
Haji Rasulullah S’AW ini memiliki makna yang sangat besar yang berkaitan dengan dakwah Islam, kehidupan Nabi S’AW, dan sistem Islam.
Kaum Muslimin telah belajar dari Rasulullah S’AW tentang sholat dan segala hal yang berkenaan dengan peribadahan dan kewajiban mereka. Saat itu, Nabi S’AW tinggal mengajarkan kepada mereka manasik dan cara pelaksanaan ibadah haji, setelah tradisi-tradisi jahiliyah yang biasa dilakukan pada musim-musim haji itu dihapuskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersamaan dengan penghancuran berhala yang ada di dalam Baitullah.

Ajakan untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tetap berlaku hingga hari kiamat. Ia adalah ajakan Abul Anbiya’, Ibrahim ’alaihis salam berdasarkan perintah dari Allah SWT. Namun, berbagai penyimpangan jahiliyah dan kesesatan kaum penyembah berhala telah menambahkan kedalaman berbagai tradisi yang bathil dan menyampurnya dengan berbagai bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Islam kemudian datang untuk membersihkan ibadah ini sehingga menjadi bersih kembali dan memancarkan cahaya tauhid serta dilakukan atas dasar ’ubudiyah secara mutlak kepada Allah SWT.
Kaum muslimin yang pada hari itu sudah berjumlah banyak dan menyebar di berbagai penjuru sangat merindukan pertemuannya dengan Rasul mereka dan ingin mendapatkan nasihat-nasihat serta petunjuknya. Demikian pula Rasulullah S’AW sangat merindukan pertemuan dengan mereka, terutama dengan lautan manusia yang baru saja masuk Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arabia yang belum pernah mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bertemu beliau. Kesempatan yang paling besar dan paling indah untuk pertemuan tersebut hanyalah didapatkan dalam kesempatan ibadah haji ke Baitullah dan di Padang Arafah. Pertemuan antara umat dan Rasulnya di bawah naungan salah satu syiar Islam yang terbesar. Pertemuan yang menurut ilmu Allah SWT dan ilham Rasul-Nya sebagai pertemuan taushiah (nasihat) dan wada’ (perpisahan).

Rasulullah S’AW juga ingin bertemu dengan rombongan kaum Muslimin yang datang sebagai hasil jihad selama 23 tahun, guna menyampaikan kepada mereka tentang ajaran Islam dan sistemnya dalam suatu ungkapan yang singkat, tetapi padat, dan nasihat yang ringan, tetapi sarat dengan ungkapan perasaannya dan getaran-getaran cintanya terhadap umatnya. Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW ingin melihat potret akan datang sehingga semua nasihat dan pesan-pesannya bisa sampai kepada mereka dari balik tembok-tembok zaman dan dinding-dinding kurun.
Itulah sebagian makna haji Rasulullah S’AW: Hijjatul Wada’ (Haji Perpisahan). Makna ini akan lebih jelas terasa di dalam khotbah Rasulullah S’AW yang disampaikan di lembah Uranah pada hari Arafah.

3.Renungan tentang Khotbah Wada’
Sungguh, kalimat-kalimat yang disampaikan di Padang Arafah begitu indah. Beliau bukan saja berbicara kepada mereka yang hadir di Padang Arafah, melainkan juga pada semua generasi dan sejarah sesudah mereka. Kalimat-kalimat ini disampaikannya setelah beliau menyampaikan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan dakwah selama + 23 tahun tanpa bosan dan jemu. Demi Allah, betapa indahnya saat itu. Saat dimana ribuan kaum mu’allaf yang memenuhi Padang Arafah sejauh mata memandang dari berbagai arah itu menjadi bukti kebenaran firman Allah, ”Sesungguhnya, Kami Menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (al-Mu’min [40]: 51)
Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW dapat melihat generasi-generasi mendatang dan Dunia Islam yang besar yang akan memenuhi belahan timur dan barat dari muka bumi ini. Kepada mereka semua, Rasulullah S’AW menyampaikan khotbah perpisahan,
”Wahai umat manusia, dengarkanlah perkataanku. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-selamanya...”
Dunia terdiam mendengarkan khotbah beliau. Semuanya mendengarkan kalimat perpisahan yang keluar dari lisan Rasulullah S’AW setelah dunia dan seisinya berbahagia dengan kehadirannya selama 23 tahun. Kini setelah bertugas melaksanakan perintah Allah dan menanamkan pohon-pohon keimanan di bumi, beliau ingin menyampaikan secara singkat prinsip-prinsip Islam yang dibawanya dan diperjuangkannya selama ini, dalam ungkapan yang singkat tapi sarat makna.
Apakah tema pertama dari khotbah beliau tersebut? Subhanallah! Alangkah agung dan indahnya khotbah! Seolah-olah taushiyah beliau itu diilhami oleh realitas berbagai penyelewengan yang akan dilakukan oleh beberapa kaum dari umatnya sepanjang zaman, akibat mengikuti orang lain dan meninggalkan cahaya yang akan diwariskannya kepada mereka, Sabda beliau,
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (tidak boleh dinodai oleh siapa pun juga) sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian, seperti hari dan bulan suci sekarang ini.”

Di akhir khotbahnya, Rasulullah S’AW mengulangi lagi wasiat ini dan menegaskan pentingnya memperhatikan hal tersebut dengan menyatakan,
“Kalian tahu bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain dan semua kaum Muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu, janganlah kalian menganiaya diri sendiri...Ya Allah, sudahkah kusampaikan?”
Kita pun sekarang menjawab, “Demi Allah, engkau telah menyampaikannya, wahai Rasulullah!” Barangkali kita sekarang ini lebih patut untuk memberikan jawaban kepadamu, wahai Rasulullah, “Ya Allah, beliau telah menyampaikannya kendatipun kami belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab tersebut.”
Tema kedua dari khotbah beliau bukan sekadar taushiyah, melainkan qarar (keputusan) yang diumumkan kepada semua orang, kepada mereka yang hadir di sekitarnya dan juga kepada umat-umat yang akan datang sesudahnya.
Qarar itu berbunyi:
“Sesungguhnya, segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi...Riba jahiliyah tidak boleh berlaku lagi.”
Apa makna yang terkandung dalam qarar ini? Ia menegaskan bahwa segala hal yang pernah dibanggakan dan dipraktikkan oleh jahiliyah, di antaranya tradisi fanatisme kekabilahan, perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada bahasa, keturunan, dan ras, atau penghambaan seseorang terhadap sesamanya dengan berbagai belenggu kezhaliman dan pemerasan (riba), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada hari ini, praktik-praktik jahiliyah itu merupakan merupakan barang busuk yang telah dikubur oleh syariat Allah ke dalam perut bumi. Siapakah gerangan yang ingin menggali dan mengeluarkan lagi barang busuk itu? Adakah orang berakal sehat yang masih ingin memulung sampah busuk itu lagi? Orang pembangkang macam apakah yang sengaja mengunakan rantai dan borgol yang baru saja dihancurkan oleh Islam itu?

Tema ketiga dari khotbah beliau menyatakan keserasian zaman dengan nama-nama bulan yang disebutkan setelah sekian lama dipermainkan oleh orang-orang Arab di masa jahiliyah dahulu-seperti dikatakan oleh Mujahid dan lainnya-melakukan ibadah haji mereka selama dua tahun di bulan tertentu. Kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Dzulhijjah selama dua tahun dan kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Muharram untuk masa dua tahun dan seterusnya. Ketika Rasulullah S’AW melakukan ibadah haji tahun ini, bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, dan pada saat itu, Rasulullah S’AW mengumumkan bahwa zaman telah berputar seperti keadaannya pada waktu Allah Menciptakan langit dan bumi. Janganlah kalian mempermainkan bulan-bulan itu dengan mendahulukan atau mengakhirkannya. Setelah hari ini tidak dibenarkan melakukan ibadah haji kecuali pada bulan yang telah ditetapkan namanya: Dzulhijjah.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa kaum musyrikin pada waktu itu mengira bahwa satu tahun itu terdiri atas 12 bulan dan 15 hari, sehingga mereka melakukan ibadah haji pada bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’idah, dan di bulan apa saja karena mengikuti peredaran bulan dengan tambahan 15 hari tersebut setiap tahunnya.

Ibadah haji yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah pada tahun ke-9 Hijriah, jatuh pada bulan Dzulqa-idah disebabkan perhitungan tahun yang dibuat oleh orang-orang Arab jahiliyah tersebut. Karena itu, pada tahun berikutnya (tahun dimana Rasulullah S’AW melakukan Haji Wada’), haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada tanggal 10 tepat dengan bulan-bulan ditetapkannya ibadah haji. Pada saat itu pula, Rasulullah S’AW mengumumkan dihapuskannya hisab lama dan bahwa satu tahun setelah hari ini hanya terdiri dari 12 bulan. Setelah hari ini, tidak ada tambahan lagi. Al-Qurthubi berkata bahwa pernyataan ini sama dengan sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, zaman telah berputar...”, yakni sesungguhnya waktu ibadah haji telah kembali kepada waktunya yang asal yang telah ditetapkan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi yaitu asal pensyariatan yang telah diketahui Allah sebelumnya. (Lihat al-Jami’li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 8/137-138)

Tema keempat dari khotbah beliau yaitu wasiat agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Wasiat ini, yang ditegaskan dalam kalimat yang singkat, tapi padat, menghapuskan segala bentuk penganiayaan terhadap kaum wanita dan memperkokoh jaminan hak-hak asasinya dan kehormatannya sebagai manusia.
Hikmah yang harus diperhatikan di sini adalah agar kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat senantiasa menyadari tentang perbedaan besar antara kehormatan wanita serta hak-haknya yang telah dijamin oleh Islam dan apa yang telah menjadi sasaran sebagian orang yang menghalalkan segala cara untuk menikmati dan mempermainkan kaum wanita.

Tema kelima dari khotbah beliau yaitu Nabi S’AW meletakkan semua problematika manusia di hadapan dua sumber nilai. Siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dijamin akan terhindar dari segala kesengsaraan dan kesesatan.
Kedua sumber nilai ini adalah Kitabullah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.
Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi para sahabatnya, tetapi juga bagi generasi yang datang sesudahnya.

Tema keenam dari khotbah beliau ialah penjelasan Nabi S’AW tentang hubungan yang seharusnya dibina antara seorang hakim (penguasa) atau khalifah atau kepala negara dan rakyatnya. Ia adalah hubungan ketaatan dari rakyat terhadap pimpinannya betapapun keturunan, warna kulit, dan bentuk lahiriahnya selama dia tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia menyimpang dari keduanya, tidak ada kewajiban untuk taat kepadanya. Penguasa itu mempunyai hak untuk ditaati hanya karena ia menjalankan al-Qur’ an dan as-Sunnah sehingga tidak ada masalah setelah itu sekalipun ia seorang budak dari Ethiopia yang berambut keriting dan berhidung gruwung karena semua bentuk lahiriah itu tidak merendahkan derajatnya sedikit pun di sisi Allah.

Akhirnya, Rasulullah S’AW telah melaksanakan tanggung jawab dakwahnya. Demikianlah, Islam telah tersebar luas, kesesatan-kesesatan jahiliyah dan kemusyrikan telah tergusur, dan hukum-hukum syariat Ilahiah pun telah tersampaikan seluruhnya. Karenanya, turunlah wahyu kepadanya yang menyatakan kepada umat manusia,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah [5]: 3)
Nabi S’AW ingin menenangkan hatinya dengan kesaksian umatnya di hadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak. Lalu di akhir khotbahnya itu, beliau menanyakan seraya bersabda,
”Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan kelak?”
Dengan serempak dan suara keras, orang-orang yang ada di sekelilingnya menjawab,
”Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, dan memberi nasehat.”
Saat itulah Rasul yang agung itu telah merasa tenang. Rasulullah S’AW ingin memastikan kesaksian ini karena itulah yang akan digunakan untuk menghadap Allah kelak. Setelah merasa tenang dan terlihat perasaan ridha di kedua mata beliau, akhirnya beliau melihat ke arah langit seraya menunjuk dengan jari telunjuknya kemudian memandang kepada umatnya seraya berkata, ”Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah...”
Duhai, betapa besar kebahagiaan itu. Kebahagiaan Rasulullah S’AW karena telah mengorbankan masa mudanya dan menghabiskan umurnya demi menyebarkan syariat Allah SWT. Kebahagiaan Nabi S’AW semakin bertambah besar ketika beliau menyaksikan hasil pengorbanannya tersebut: gemuruh suara meneriakkan tauhidullah, dahi-dahi yang tunduk sujud kepada agama Allah, dan hati-hati manusia yang khusyuk dan bergetar karena cinta Allah. Betapa bahagianya kekasih Allah pada saat itu. Saat mengenang kembali segala penderitaan dan penganiayaan yang pernah dialaminya di jalan dakwah dan keimanan yang telah diratakannya di muka bumi ini. Semoga kebahagiaan senantiasa menyertaimu, wahai junjungan kami.
Demi Allah, itu bukan hanya kesaksian ribuan kaum Muslimin yang pernah berhimpun di sekelilingmu di Padang Arafah, wahai Rasulullah. Akan tetapi, itu juga merupakan kesaksian kaum Muslimin di setiap generasi dan zaman sampai Allah Mewariskan bumi seisinya. Kami bersaksi, wahai Rasulullah, bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, memberi nasihat. Semoga Allah memberikan balasan kepadamu dengan sebaik-baik balasan yang diberikan kepada seorang Nabi dari umatnya.
Tanggung jawab itu telah berpindah sesudahmu ke atas pundak-pundak kami. Akan tetapi, pada hari ini, kami masih belum melaksanakan sepenuhnya. Adakah kami kelak menemuimu, wahai junjungan kami, sedangkan dosa-dosa kami menumpuk karena kemalasan, keengganan, dan ketertarikan kami kepada kehidupan dunia. Sementara itu, para sahabatmu yang mulia rela mengucurkan darah mereka, mengorbankan harta benda mereka demi membela syariatmu, memperjuangkan dakwahmu, dan mengikuti jihadmu.
Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum Muslimin secara keseluruhan dan menyadarkan kita dri mabuk dunia dan buaian hawa nafsu. Semoga Allah berkenan melimpahkan karunia dan kelembutan-Nya kepada kita.

Rasulullah S’AW kemudian menyempurnakan ibadah hajinya dan meminum air zamzam. Setelah mengajarkan manasik kepada umatnya, beliau lalu kembali ke Madinah guna melanjutkan jihadnya di jalan agama Allah.

•Beberapa ’Ibroh dari Peristiwa-Peristiwa Bagian Akhir Sirah Nabi S’AW
Peristiwa-peristiwa bagian akhir dari sirah Nabi S’AW ini mengungkapkan hakikat terbesar dalam kehidupan ini. Hakikat yang menjadi pangkal kehancuran para tiran dan yang mempertuhan dirinya. Hakikat yang akan menghantarkan wujud ini kepada kefanaan. Hakikat yang akan mewarnai seluruh kehidupan manusia ini dengan warna ’ubudiyah dan ketundukan kepada Pencipta petala langit dan bumi. Suatu hakikat yang akan memberi kesadaran (baik secara suka maupun terpaksa) kepada orang-orang yang membangkang ataupun orang-orang yang taat, para penguasa, orang-orang yang mempertuhankan dirinya, para Rasul, para Nabi, orang-orang pilihan, orang-orang kaya, dan orang-orang fakir.

Ia adalah hakikat yang menegaskan sepanjang zaman dan setiap tempat, di telinga setiap orang yang mendengar dan di benak setiap orang yang berpikir bahwa tidak ada uluhiyah kecuali bagi Yang Mahakekal Abadi, tidak ada siapa pun yang dapat menolak keputusan-Nya, tiada batas bagi keluasan-Nya, tiada tempat lari dari hukum-Nya, dan tidak ada yang dapat mengalahkan urusan-Nya.

Hakikat apakah yang lebih gamblang mengungkapkan makna tersebut selain hakikat kematian dan sakratul maut, karena dengan kedua fenomena itu, Allah SWT menundukkan segenap penduduk dunia ini semenjak fajar kehidupan sampai terbenamnya?
Jembatan dunia ini telah banyak dilewati oleh orang-orang yang tertipu oleh kekuatan yang digenggamnya atau ilmu pengetahuan yang dicapainya atau penelitian penemuan yang didapatkannya. Akan tetapi, tiba-tiba mereka diempaskan oleh hakikat terbesar ini ke dalam padang ’ubudiyah terhadap Pencipta langit dan bumi. Mereka pada akhirnya menghadap kepada Allah SWT sebagai hamba dan penuh ketundukan.
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian........................!
Hukum ini berlaku secara umum, tanpa pengecualian. Tidak ada yang mampu menghentikannya.

Biarlah para pakar Iptek modern berhimpun menjadi satu, mengerahkan seluruh kemampuan dan peralatan modern mereka untuk menangkal dan menghindarkan diri mereka dari kekuatan kematian yang dipaksakan kepada mereka ini. Biarlah mereka menghentikan tantangan Ilahi ini walau hanya sebagian darinya. Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Jika mampu melakukan itu, bolehlah mereka membangun menara-menara kediktatoran dan kekafiran. Tetapi jika tidak, sebaiknya mereka merenungkan kuburan-kuburan yang akan membekap mereka, tanah yang akan mengimpit mereka, dan pencabutan nyawa yang tidak dapat ditolaknya.

Adalah mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan Rasul-Nya terbebas dari sakratul maut dengan segala penderitaannya, tetapi hikmah Ilahi menghendaki bahwa ketentuan Allah SWT ini berlaku bagi semua orang, betapapun kedudukannya di sisi Allah, agar manusia hidup dalam suasana tauhid dan hakikatnya. Juga agar mereka mengetahui dengan baik bahwa segala yang ada di langit dan di bumi ini pasti akan datang kepada Yang Maha Rahman sebagai hamba. Tidak ada seorang pun yang menolak ’ubudiyah, setelah Rasulullah S’AW sendiri juga tunduk kepada hukum dan ketentuan-Nya. Tidak boleh ada orang yang merasa tidak perlu memperbanyak mengingat kematian dan sakratul maut, setelah kekasih Allah pun tidak dapat lolos darinya.
Karena itu, inilah yang dikemukakan oleh firman Allah,
”Sesungguhnya, kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 30)

”Kamu tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya’[21]: 34-35)
Dengan demikian, pada bagian akhir dari sirah Nabi S’AW, kita berada di hadapan dua hakikat yang menjadi penopang keimanan kepada Allah, bahkan penopang hakikat kauniyah secara keseluruhan.
Hakikat tauhidullah dan hakikat ’ubudiyah syamilah yang telah difitrahkan Allah bagi semua manusia di atas alam ini. Tiada perubahan bagi ketentuan Allah.
Beberapa pelajaran dan hukum:
1.Tidak ada Pengutamaan dalam Hukum Islam kecuali dengan Amal Sholeh
Zaid bin Haritsah adalah seorang budak, bapak Usamah yang mantan budak. Usamah adalah pemuda berusia sekitar 18-20 tahun. Sekalipun demikian, kepemudaan dan statusnya sebagai mantan budak itu tidak menghalangi Rasulullah S’AW untuk menjadikannya sebagai amir bagi para sahabat di sebuah peperangan penting dan besar. Jika hal ini dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai peluang untuk mengekspresikan kekagetan atau penolakan mereka, tidaklah heran sebab Islam memang datang untuk menghancurkan standar-standar jahiliyah yang mereka pakai untuk membedakan manusia itu.
Barangkali Nabi S’AW memilih Usamah, bukan yang lainnya, untuk memimpin pasukan dalam peperangan ini karena suatu ”keistimewaan” yang secara khusus dimilikinya. Kepada kaum muslimin, dalam hal ini, tidak ada pilihan kecuali harus taat dan patuh sekalipun dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah. Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan oleh Abu Bakar dalam khilafahnya adalah melanjutkan pasukan Usamah ini. Keberangkatan pasukan ini bahkan diantar langsung oleh Abu Bakar seraya berjalan kaki, sementara Usamah menunggang kendaraannya, sehingga membuat Usamah berkata, ”Wahai Khalifah, biarlah anda yang naik dan aku yang turun.” Akan tetapi, Abu Bakar R.’A menjawab,
”Demi Allah, engkau tidak perlu turun dan aku tidak harus naik. Apakah aku tidak boleh melumuri kedua kakiku sesaat di jalan Allah?”
Akhirnya, pasukan Usamah R.’A kembali dari peperangan ini dengan membawa kemenangan yang gemilang dan ternyata pemberangkatan pasukan Usamah tersebut membawa kemaslahatan yang besar bagi kaum Muslimin. (Tarikhut Thabari, 3/22)


2.Disyariatkannya Jampi-jampi
Yang dimaksud jampi-jampi (ruqyah) ialah membacakan berbagai macam ta’awudz (permintaan perlindungan kepada Allah, sebagaimana do’a). Dalil bagi praktik jampi-jampi ini ialah hadits Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan di atas, yaitu apabila Nabi S’AW mengalami sakit, beliau meniup dirinya dengan mu’awwidzat (bacaan-bacaan ta’awwudz) lalu mengusapkannya dengan tangannya...
Nabi S’AW juga biasa menjampi para sahabatnya, kadang-kadang dengan adzkar dan do’a-do’a. Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ia berkata, ”Apabila ada seseorang yang sakit, Rasulullah S’AW biasanya mengusapnya dengan tangan kanan beliau seraya mengucapkan,
”Wahai Rabb manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Sesungguhnya, Engkau adalah Yang Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, suatu kesembuhan yang tuntas.’”
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ”Nabi S’AW apabila sakit, beliau membaca beberapa mu’awwidzat lalu meniupkannya sendiri. Ketika beliau sakit keras, aku yang membacakannya dan mengusapkannya dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya.” Di antara dalil yang paling jelas menunjukkanannya jampi-jampi dalam al-Qur’an ialah firman Allah,
”Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (al-Isra’ [17]: 82)
Perbedaan antara do’a-do’a dan jampi-jampi adalah bahwa dalam jampi-jampi itu ditambahkan unsur mengusap dengan tangan dan meniup dengan mulut. Tiupan tanpa menyemburkan ludah.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur membolehkan mengambil upah (bayaran) dari jampi-jampi. Abu Hanifah merinci, ”Kalau mengajarkan al-Qur’an tidak boleh mengambil bayaran, sedangkan kalau untuk jampi-jampi dibolehkan mengambil bayaran.” (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/118). Dalil tersebut adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah S’AW dalam suatu perjalanan pernah melewati sebuah perkampungan Arab lalu mereka meminta izin untuk singgah, tetapi ditolak oleh penduduk kampung tersebut. Penduduk kampung itu bertanya ”Apakah di antara kalian ada yang bisa menjampi karena kepala kampung ini sedang terkena musibah (disengat).” Salah seorang dari sahabat itu menjawab, ”Ada”. Sahabat itu kemudian mendatanginya lalu menjampinya dengan surah al-Fatihah. Setelah dijampi, ternyata kepala kampung tersebut sembuh. Karenanya, sahabat tersebut diberi sejumlah kambing, tetapi ia tidak mau menerimanya. Sahabat itu berkata, ”Sampai kuceritakan hal tersebut kepada Nabi S’AW dan menceritakan hal tersebut seraya berkata ”Demi Allah, aku tidak menjampinya kecuali dengan al-Fatihah.” Nabi S’AW tersenyum seraya berkata, ”Dari manakah kamu tahu bahwa al-Fatihah itu adalah jampi-jampi?” Nabi S’AW kemudian melanjutkan, ”Ambillah kambing-kambing itu dan berilah aku bagian.”
Imam Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar, juga yang lainnya, mengutip adanya ijma tentang dibolehkannya jampi-jampian apabila memenuhi tiga persyaratan.
Pertama, harus dengan kalam Allah atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua, harus dengan bahasa Arab atau bacaan lainnya yang diketahui (dimengerti) maknanya. Ketiga, harus meyakini bahwa jampi-jampi itu sendiri tidak mempunyai pengaruh, tetapi semata-mata hanya mendapatkan izin dan kekuasaan Allah. (Syarah Nawawi atas Muslim, 14/169 dan Fat-hul Bari, Ibnu hajar, 10/52) Ketiga, persayaratan ini dikuatkan oleh beberapa hadits shahih seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Auf bin Malik al-Asy’ari, ia berkata,
”Di masa Jahiliyah dahulu, kami pernah menjampi, kemudian kami tanyakan, ’Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang jampi-jampi itu?” Beliau menjawab, ’Kemukakanlah kepadaku jampi-jampi kalian. Sesungguhnya, jampi-jampi tidak dilarang selama tidak mengandung kemusyrikan.’”
Sihir dan Jampi-jampi
Di antara jampi-jampi yang pernah dibacakan untuk dirinya sendiri oleh Rasulullah S’AW adalah bacaan beberapa mu’awwidzat setelah usaha penyihiran yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama menyebutkan bahwa jumhur kaum muslimin mengakui adanya sihir sebagaimana keberadaan hal-hal yang secara nyata memang ada. Dalilnya adalah hadits tersebut dan disebutkannya sihir itu sendiri di dalam kitab Allah, di samping wujudnya yang merupakan sesuatu yang bisa dipelajari. Firman Allah,
”...Kemudian mereka mempelajari dari keduanya apa yang dari sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan seorang istrinya...” (al-Baqarah [2]: 102)
Pemutusan jalinan antara seorang suami dan seorang istrinya merupakan sesuatu yang nyata sebagaimana diketahui oleh umum.

Barangkali ada orang yang merasakan kemuskilan pada masalah ini karena dua sebab.
Pertama, keberadaan sihir itu sendiri sebagai suatu hakikat yang benar-benar ada sebab sebagian orang mengira sihir itu adalah bayangan semata-mata yang bertentangan dengan masalah tauhid dan keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki pengaruh.
Kedua, jika dikatakan bahwa Rasulullah S’AW pernah disihir, apakah hal itu tidak merendahkan kedudukan manusia terhadap kenabian?

Sebenarnya tidak ada kemuskilan sama sekali dalam masalah ini. Tentang keraguan yang pertama dapatlah dijawab bahwa pengakuan tentang adanya sihir itu tidak berarti kita mengakui bahwa sihir itu mempunyai pengaruh. Pengakuan adanya sihir ini sama saja dengan perkataan kita bahwa racun itu berbahaya. Demikian pula obat. Ini adalah perkataan yang bisa diterima. Akan tetapi, pengaruh yang terdapat di dalam hal-hal tersebut hanyalah milik Allah. Firman Allah tentang sihir,
”...Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah...” (al-Baqarah [2]: 102)
Allah telah menafikan adanya pengaruh dalam sihir itu sendiri, tetapi pada waktu yang sama menegaskan adanya pengaruh dan akibat sihir itu dengan izin dari Allah.
Adapun keraguan kedua dapat dijawab bahwa sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah menyentuh jasad dan anggota badannya. Penderitaan beliau akibat sihir itu sama seperti penderitaan beliau akibat penyakit yang biasa mengenai jasad manusia. Seperti diketahui bahwa ke-ma’shum-an Rasulullah S’AW itu tidak berkonsekuensi bahwa beliau harus terbebas dari penyakit dengan gejala-gejala jasadiah.
Al-Qadhi Iyadh berkata, ”Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi S’AW pernah tersihir sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan beliau melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, maka hal ini tidak mengurangi kesucian tablighnya (kenabiannya). Sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah termasuk perkara-perkara dunia yang boleh dialaminya. Perkara-perkara dunia yang memang beliau tidak diutus dengan sebab hal tersebut dan juga tidak diutamakan karena hal tersebut. Dalam masalah ini (dunia), beliau boleh mengalaminya sebagaimana semua manusia.
Tidaklah mustahil beliau terkena sihir lalu tidak lama kemudian segera terbebas lagi sebagaimana telah terjadi. (Syarhusy Syifa’, al-Qadhi Iyadh, 4/278-279. Lihat juga Syarah Nawawi atas Muslim, 14/174.)

Berita penyihiran Rasulullah S’AW tersebut justru merupakan salah satu hal luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada Rasul-Nya. Ia tidak mengurangi kemuliaannya sebagai Nabi sama sekali, bahkan ia menjadi bukti baru di antara bukti-bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah terhadap dirinya. Ketika merasakan sihir ini, beliau lama berdo’a sebanyak-banyaknya kepada Allah sampai Allah Memberitahukan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham secara rahasia itu. Beliau kemudian pergi mendatangi tempat di mana Labid meletakkan rambut dan sarana-sarana sihirnya lalu memusnahkannya. Berikut ini adalah teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A., ia berkata bahwa seorang lelaki dari bani Zuraiq bernama Labid ibnul A’sham pernah menyihir Rasulullah S’AW sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan ia melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, sampai pada suatu malam ketika beliau berada di rumahku. Akan tetapi, beliau terus berdo’a dan berdo’a. Beliau kemudian berkata, ”Wahai Aisyah, apakah engkau merasa bahwa Allah menyampaikan fatwa kepadaku mengenai apa yang aku tanyakan. Ada dua orang datang kepadaku lalu salah satunya duduk di kepalaku dan yang lainnya di kakiku. Salah seorang dari keduanya bertanya kepada temannya, ’Sakit apa orang ini?’ Ia menjawab, ’Tersihir’. Ia bertanya lagi, ’Siapa yang menyihirnya?’ Temannya menjawab, ’Labid ibnul A’sham.’ Ia bertanya, ’Sihirnya ditempatkan dalam apa?’ Temannya menjawab, ’Di sisir dan rambut yang terkena sisir serta pelepah kurma yang kering.’ Ia betanya lagi, ’Dimana dia?’ Temannya menjawab, ’Di sumur Dzarwan.’” Rasulullah S’AW kemudian mendatanginya bersama sejumlah sahabatnya. Setelah datang, beliau berkata, ’Wahai Aisyah, airnya seperti getah pohon Hinna dan pucuk-pucuk pelepah kormanya seperti kepala-kepala setan!’ Nabi S’AW menjawab, ‘Allah telah Menyembuhkan aku dan aku tidak ingin membangkitkan keburukan di tengah-tengah orang.’ Akhirnya Rasulullah S’AW memerintahkan penimbunan sumur tersebut.
Hadits (peristiwa) ini lebih terasa menjadi bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah kepadanya daripada sebagai bukti penyakit yang mengenai jasadnya atau aspek yang berkaitan dengan kemanusiaannya.

Mungkin ada yang bertanya, “Jika demikian halnya, bagaimana membedakan mukjizat Ilahi dari sihir dan segala fenomenanya kalau memang sihir itu mempunyai wujud?”
Jawabannya bahwa mukjizat yang dibawa oleh Nabi itu disertai dengan pernyataan nubuwwah (kenabian) dan tantangan untuk melakukannya sebagai bukti kebenaran pernyataannya tersebut, sedangkan sihir tidak demikian halnya. Tukang sihir tidak mungkin mendakwakan dirinya sebagai Nabi, (lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/175). Selain itu, kekuatan sihir juga sangat terbatas. Sekalipun mempunyai wujud, sebagaimana telah dikatakan, hak wujudnya itu tidak dapat melampaui batas-batas tertentu dan tidak dapat pula menembus sampai mengubah hakikat sesuatu. Karena itu, Allah mengungkapkan sihir yang dibuat oleh para tukang sihir Fir’aun,
“Musa berkata, ‘Silakan kamu sekalian melemparkan!’ Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)

Allah SWT Mengungkapkan apa yang dilihat oleh Musa itu dengan khayal (bayangan), yakni tali-tali dan tongkat-tongkat itu pada hakikatnya tidak berubah menjadi ular karena sihir mereka. Yang terkena sihir itu adalah pandangan orang-orang yang menyaksikan, bukan tali dan tongkat. Inilah yang dijelaskan oleh ayat lain dalam firman-Nya,
”...mereka menyihir (menyulap) mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (al-A’raf [7]: 116)
Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang kami sebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada, juga tidak bertentangan dengan firman Allah,
”...Terbayang kepada Musa seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)
Hal ini karena berubahnya tali-tali menjadi ular yang merayap itu adalah khayal. Adapun terpengaruhnya mata oleh khayal tersebut dan lemahnya mata untuk melihat hakikat yang sebenarnya maka itu adalah kekuatan sihir dan hakikatnya. Hal ini semakin memperjelas kepada kita bahwa sihir itu hanya menyentuh jasad dan anggota tubuh manusia. Dengan sebab sihir ini, kadang-kadang bisa muncul suatu penglihatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.



3.Beberapa Keutamaan Abu Bakar R.’A.
Dari kisah sakitnya Rasulullah S’AW tersebut terdapat empat bukti bahwa Abu Bakar R.A. memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Rasulullah S’AW.
Pertama, ketika Rasulullah S’AW memulai khotbahnya dengan sabdanya, ”Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah, di antaranya diberi kekayaan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya.” Abu Bakar segera mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi S’AW. Karena itu, ia kemudian menangis seraya berteriak, ”Engkau kami tebus dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami.” Dalam pada itu, tidak ada orang selain Abu Bakar yang menangkap maksud Rasulullah S’AW tersebut. Sebagian riwayat hadits ini dari Abi Sa’id al-Khudri menyebutkan, ”Ketika Abu Bakar menangis karena sabda yang diucapkan oleh Rasulullah S’AW tersebut, aku berkata di dalam hati, ’Syekh ini menangis hanya karena Rasulullah menceritakan kepada kita tentang seorang hamba yang disuruh memilih lalu ia memilih.’” Abu Sa’id al-Khudri berkata, ”Ternyata hamba yang disuruh memilih itu adalah Rasulullah S’AW. Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami tentang hal tersebut.”
Kedua, sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, orang yang paling bermurah hati kepadaku dalam hartanya dan persahabatannya ialah Abu Bakar.” Ini adalah pernyataan abadi yang tidak pernah diberikan kecuali kepada Abu Bakar R.’A.
Ketiga, apa yang telah disebutkan di dalam riwayat Muslim dari Aisyah R.’A. bahwa Nabi S’AW berpesan kepada Aisyah, ”Panggilkan untukku Abu Bakar, bapak dan saudaraku, sehingga aku menulis suatu wasiat, sebab aku khawatir ada orang yang berambisi mengatakan, ’Aku lebih berhak, padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar.”
Hadits ini merupakan nash yang secara tegas menyatakan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW sekalipun hikmah Ilahiyah Mentaqdirkan Rasulullah S’AW tidak mengambil sumpah terhadap para sahabatnya dalam soal ini dan juga tidak memuliakannya kepada mereka. Semua itu agar pemerintahan dan khalifah sesudah Nabi S’AW tidak mengikuti sistem pewarisan terus-menerus sebab sistem seperti ini akan merusak suatu kaidah yang menegaskan bahwa seorang hakim (penguasa) atau khalifah harus memenuhi berbagai persyaratan kelaikan (sebagai penguasa atau khalifah) yang sudah sangat dikenal di dalam sistem Islam.
Keempat, ditunjuknya Abu Bakar R.’A. sebagai pengganti Nabi S’AW untuk mengimami sholat. Dapat dilihat bagaimana kuatnya keinginan Nabi S’AW untuk menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya sehingga Nabi S’AW menjawab dengan jawaban yang keras ketika Aisyah R.’A. mencoba mengajukan keberatannya dalam soal ini.
Kendatipun kita mengatakan bahwa keutamaan-keutamaan Abu Bakar yang tersebut dalam hadits-hadits shahih ini adalah faktor yang menguatkan pembaiatan kaum Muslimin terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW, hal ini tidak menafikan atau meremehkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan Khalifah yang lain, terutama Ali bin Abi Thalib R.’A. kita tahu bahwa dalam perang Khaibar, Nabi S’AW pernah bersabda,
”Panji ini akan aku berikan esok hari kepada seorang yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Selanjutnya, pada malam itu, orang-orang bertanya-tanya siapa gerangan orang yang berhak memegang panji itu. Ternyata pemegangnya adalah Ali bin Abu Thalib R.’A.
Urusan khalifah telah selesai dan kaum Muslimin pun telah menuntaskan masalah pemerintahan sesudah wafat Nabi S’AW, tanpa harus berpecah belah di antara mereka karena pembahasan dan diskusi yang memang harus dilakukan. Masing-masing dari Abu Bakar dan Ali R.’A. telah saling mengakui keutamaannya. Karena itu, merupakan tindakan yang bodoh dan tidak terpuji jika setelah empat belas abad dari sejarh tersebut, kita masih membuang-buang waktu dan menyulut api perpecahan hanya demi memenangkan suatu pendapat bahwa yang ini lebih berhak memegang khalifah daripada yang lain, padahal para sahabat yang kita bela-bela itu tidak pernah bersitegang dan berpecah-belah karena mempermasalahkan soal ini. Mereka telah menemui Allah dengan hati yang dipenuhi rasa cinta dan solidaritas sesama mereka.

4.Larangan Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Dari teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini, kita dapat mengetahui betapa kerasnya larangan Nabi S’AW dari melakukan tindakan ini. Para ulama berkata bahwa Nabi S’AW melarang menjadikan kuburannya dan kuburan yang lainnya sebagai masjid karena khawatir terjadi sikap berlebih-lebihan dalam menghormatinya sehingga mungkin hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya kekafiran sebagaimana biasa terjadi di kalangan umat-umat terdahulu.
Bentuk larangan itu di antaranya bisa berupa membangun masjid di atas kuburan sehingga di sekeliling kuburan itu dijadikan tempat sholat. Di kalangan para ulama ada yang mengharamkan dan ada pula yang memakruhkan. Ulama yang memakruhkan pun sangat memperketat apabila sholat itu berada di antara orang yang sholat dan kiblat. Tetapi sekalipun demikian, sholatnya tetap sah karena keharaman itu tidak mesti mengakibatkan kebatalan sehingga hukumnya sama dengan hukum sholat di tanah curian.
Imam Nawawi berkata, ”Ketika para sahabat dan tabi’in R.’A memerlukan pelebaran dan perluasan masjid Rasulullah S’AW karena jumlah kaum Muslimin semakin bertambah banyak, di mana perluasan ini menjangkau rumah-rumah para istri Nabi S’AW, di antaranya termasuk kamar Aisyah tempat di mana Nabi S’AW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar R.’A. dan Umar R.’A., dikuburkan, mereka lalu membangun dinding yang tinggi di sekeliling kuburan tersebut supaya tidak tampak di dalam masjid sehingga dikhawatirkan orang-orang awam akan akan melakukan sholat menghadap ke kuburan tersebut dan terjatuh melakukan hal yang terlarang. Mereka kemudian membangun dua dinding di dua sudut sebelah utara dan menyambungkannya agar tidak ada orang yang sholat menghadap kuburan. (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 5/13-14).

5.Perasaan Nabi S’AW ketika Menghadapi Sakratul Maut
Kita bisa memahami perasaan beliau dan konsentrasi pikirannya pada waktu itu. Ketika orang-orang sedang melakukan sholat subuh berjamaah pada hari Senin, tiba-tiba kain penutup di kamar Aisyah tersingkap dan Rasulullah S’AW muncul dari baliknya seraya memandang mereka yang sedang berbaris dalam sholat, kemudian beliau pun tersenyum sehingga Abu Bakar mundur mempersilakan beliau untuk menjadi imam dan orang-orang pun nyaris membatalkan sholat mereka karena gembira menyaksikan kehadiran Rasulullah S’AW. Akan tetapi, beliau mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka terus menyelesaikan sholat kemudian beliau pun kembali memasuki kamar dan melabuhkan kain penutup.
Dengan demikian, pikiran beliau pada waktu itu terkonsentrasikan sepenuhnya kepada umatnya dan bagaimana nasib mereka sepeninggalnya. Dari pandangannya yang ceria kepada para sahabatnya ketika mereka sedang khusyuk berada di hadapan Allah, kita dapat merasakan makna cinta yang mendalam yang memenuhi relung-relung hati Rasulullah S’AW. Cinta Rasulullah S’AW kepada para sahabatnya. Dari senyum beliau itu, kita bahkan dapat menemukan ungkapan rasa cinta, do’a, dan perhatian kepada mereka.
Rasulullah S’AW yang tengah melewati detik-detik terakhir dari hidupnya ingin melihat para sahabatnya untuk kali terakhir dan mendapatkan ketenangan dan kepuasan terhadap kebenaran serta hidayah yang disampaikannya kepada mereka. Allah pun berkenan Memperlihatkan suatu pemandangan dari para sahabatnya yang menyejukkan matanya dan menentramkan hatinya, sampai-sampai pemandangan yang menyejukkan itu dapat mengalahkan segala penderitaan sakratul maut yang tengah merayap di dalam tubuh beliau. Melihat kegembiraan dan kepuasan yang terekspresikan di wajah beliau itu, para sahabatnya mengira kalau beliau sudah sehat dan bugar kembali.
Ternyata itu adalah pandangan terakhir beliau kepada mereka karena tidak lama kemudian beliau menghadap Allah. Pandangan terakhir tentang para sahabatnya, bahkan umatnya, yang terekam di dalam benak beliau itu diharapkan menjadi saksi antara mereka dan Allah, di samping menjadi titik penyambung antara saat-saat perpisahan dengan umatnya di akhirat di telaga-Nya yang dijanjikan.
Hikmah Allah telah menghendaki bahwa pandangan terakir itu ialah sholat! Kehendak Allah telah Menentukan bahwa sholat merupakan pesan terakhir beliau.
Wahai saudaraku sesama Muslim, ingatlah pesan terakhir yang ditinggalkan Rasulullah S’AW kepada kita dengan penuh rasa ridha: Sholat.


•Penutup (Sebagian Sifat Nabi S’AW dan Keutamaan Ziarah ke Masjid dan Kuburannya)
Rasulullah S’AW dikafani dengan tiga lapisan kain tanpa baju dan sorban. Setelah selesai dibungkus dengan kain kafan, beliau diletakkan di atas dipannya yang berada tepat di pinggir kuburan yang telah digali. Secara bergiliran, orang-orang kemudian masuk mensholatkannya, gelombang demi gelombang dan tanpa ada yang mengimami mereka. Yang pertama mensholatkan ialah Abbas kemudian Bani Hasyim, orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar, dan terakhir semua orang. Rasulullah S’AW dikuburkan di tempat beliau wafat di kamar Aisyah R.’A.
Rasulullah wafat dengan meninggalkan sembilan istri, yaitu Saudah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Juwayriyah, Shafiah, dan Maimunah. Beliau tidak menikah dengan gadis selain dengan Aisyah R.’A.
Rasulullah mempunyai tiga anak laki-laki: al-Qasim (karenanya beliau biasa dipanggil Abul Qasim) yang dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal pada usia dua tahun, Abdullah yang juga sering dipanggil ath-Thayyib dan ath-thahir, dan Ibrahim yang dilahirkan di Madinah pada tahun 8 Hijriyah dan meninggal pada tahun ke-10.
Anak perempuan beliau ada empat, Zainab, Fathimah, Ruqayyah, dan Ummu Kaltsum. Ruqayyah wafat pada hari terjadinya Perang Badar di bulan Ramadhan tahun ke-9 Hijriyah. Ummu Kaltsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Keduanya adalah istri Utsman bin Affan R.’A.
Rasulullah S’AW adalah orang yang paling dermawan, khususnya di bulan Ramadhan. Orang yang paling baik akhlak dan sosok tubuhnya. Orang yang paling lembut telapak tangannya dan paling harum baunya. Orang yang paling baik pergaulannya dan paling takut kepada Allah. Beliau tidak tidak pernah marah atau mendendam karena dirinya. Beliau marah hanya karena larangan-larangan Allah dilanggar. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kemarahannya karena Allah ini hingga kebenaran menjadi pihak yang menang. Akhlaknya adalah al-Qur’an. Beliau adalah orang yang paling tawadhu. Memenuhi kebutuhan keluarganya dan merendahkan sayapnya untuk orang-orang lemah. Orang yang paling pemalu. Beliau tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika menyukai suatu makanan, beliau akan memakannya dan jika tidak menyukai, beliau akan meninggalkannya. Beliau tidak pernah makan sambil bersandar (leyeh). Juga tidak pernah makan di meja makan. Beliau menyukai manisan, madu, dan buah labu. Kadang-kadang sebulan atau dua bulan di salah satu rumahnya tidak pernah ada asap dapur yang mengepul. Beliau menerima hadiah, tidak menerima sedekah. Beliau juga biasa mengesol sepatu, menjahit pakaian, membesuk orang sakit, dan memenuhi undangan, baik orang kaya maupun orang miskin. Tempat tidurnya terbuat dari kulit yang diisi dengan serabut pelepah korma. Beliau tidak banyak memiliki kesenangan dunia. Allah telah memberikan kunci-kunci kekayaan dunia, tetapi beliau tidak mau mengambilnya dan memilih akhirat. Beliau banyak melakukan dzikir dan pikir. Beliau tidak pernah tertawa lebar, tetapi hanya tersenyum. Pernah bergurau dan tidak mengatakan kecuali yang benar. Beliau senantiasa berlaku lemah lembut terhadap para sahabatnya, memuliakan orang-orang yang dimuliakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi pemimpin mereka. Disebutkan dalam hadits Anas R.’A., ia berkata,
Aku tidak pernah menyentuh kain celupan atau sutra selembut telapak tangan Rasulullah S’AW. Aku telah berkhidmat kepada Rasulullah S’AW selama sepuluh tahun, tetapi beliau tidak pernah sama sekali berkata ’Ah’ kepadaku. Juga tidak pernah menegur terhadap apa yang aku lakukan dengan teguran, ’Mengapa engkau melakukannya?’ Juga tidak pernah menegur, ’Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu?’”
Ketahuilah bahwa ziarah masjid dan kuburan Nabi Muhammad S’AW adalah merupakan suatu amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jumhur kaum Muslimin di setiap zaman sampai hari ini telah sepakat tentang hal tersebut. Kesepakatan ini didasarkan kepada sejumlah dalil di antaranya sebagai berikut.
Pertama, disyariatkannya ziarah kubur secara umum. Nabi S’AW biasa pergi setiap malam ke Baqi’, memberikan salam, mendo’akan dan memintakan ampunan untuk para penghuninya. Hal ini tersebut dalam hadits shahih. Rincian tentang hal ini juga terdapat dalam hadits-hadits shahih. Sebagaimana diketahui bahwa kuburan Rasulullah S’AW adalah termasuk ke dalam keumuman sehingga hukum tersebut juga berlaku bagi kuburannya.
Kedua, adanya ijma dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang datang sesudah mereka bahwa setiap kali mereka melewati Raudhah, mereka senantiasa menziarahi kuburan Nabi S’AW. Hal ini diriwayatkan oleh para imam terkenal dan jumhur ulama, termasuk Ibnu Taimiyah.
Ketiga, adanya riwayat yang menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat melakukan ziarah kubur Nabi S’AW, di antaranya Bilal R.’A. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dengan sanad jayyid (bagus). Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Muwaththa’, dan Abu Ayyub sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad. Tidak ada riwayat dari mereka yang menyebutkan bahwa mereka mengingkari amalan ini.
Keempat, sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih bahwa ketika Nabi S’AW melepas keberangkatan Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan,
“Ya Mu’adz, barangkali setelah tahun ini engkau tidak akan bertemu lagi denganku. Barangkali engkau mengunjungi masjid dan kuburanku.”
Kata la’alla ‘barangkali’ dalam bahasa Arab mempunyai makna harapan. Jika huruf an masuk ke dalam khabar-nya maka mengandung makna tawaran dan harapan. Kalimat tersebut secara jelas berpesan kepada Mu’adz agar sekembalinya ke Madinah melakukan kunjungan ke masjid dan kuburannya guna mengucapkan salam kepadanya.
Kecuali itu, hendaklah diketahui bahwa ziarah kuburan Nabi mempunyai beberapa aturan yang harus diikuti. Jika kita diberi kesempatan menziarahinya, pertama-tam, hendaklah kita memasang niat untuk menziarahi masjidnya kemudian kuburan Nabi S’AW. Sebelum masuk Madinah, sebaiknya kita mandi dan memakai pakaian yang bersih kemudian bawalah ingatan untuk mengenang kemuliaan kota madinah yang pernah ditempati oleh Rasul mulia. Jika telah masuk masjid, hendaklah menuju Raudhah yang mulia guna melaksanakan sholat tahiyyatul masjid dua rakaat di antara kuburan dan mimbar. Jika telah mendekati kuburan Nabi S’AW, janganlah meratap-ratap atau bergelayutan di jendela-jendelanya atau mengusap-usapkan badan ke dindingnya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang-orang bodoh. Itu adalah bid’ah yang diharamkan. Hendaklah kita berdiri jauh dari kubur Nabi S’AW sekitar empat depa seraya mengucapkan salam kepada Rasulullah S’AW. Dengan suara pelan, ucapkan, ”Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu, memberi nasihat kepada umatmu, berdakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan mau’idzah, dan menyembah Allah sampai kematian datang menjemputmu. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, kepada keluargamu, dan para sahabatmu.”
Setelah itu, menghadaplah ke kiblat dan bergeserlah ke kanan sedikit dan berdo’alah kepada Allah. Sebaiknya memulai do’a dengan mengucapkan,
”Ya Allah, Engkau telah berfirman, dan firman-Mu Mahabenar. ’...Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ (an-Nisa’ [4]: 64) Kini, aku telah datang kepada-Mu seraya meminta ampunan dari segala dosaku dan mengharapkan syafaat-Mu di hadapan-Mu kelak. Ampunilah aku sebagaimana Engkau telah mengampuni generasi para sahabat yang pernah hidup di zaman Nabi-Mu.”
Setelah itu berdo’alah untuk kemaslahatan agama, dunia, dan saudara-saudara kaum Muslimin secara keseluruhan. Janganlah lupa untuk mendo’akan penulis (dan penerjemah buku ini), Muhammad Sa’id bin Mala Ramadhan al-Buthy (dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid).
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam.
Wallahu a’lam bish showwab...

No comments:

Post a Comment