Saturday, July 3, 2010

IBROH SIROH NABAWIYAH PART 6...

Oleh: DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy

Perang Hunain
Perang Hunain merupakan pelajaran penting tentang aqidah Islamiyah dan hukum sebab akibat yang menyempurnakan pelajaran serupa di Perang Badar. Jika Perang Badar telah menetapkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah sedikit tidak membahayakan mereka sama sekali dalam menghadapi musuh mereka yang berjumlah jauh lebih banyak manakala mereka bersabar dan bertaqwa. Jumlah kaum Muslimin di Perang Hunain lebih besar dibandingkan jumlah mereka pada peperangan sebelumnya. Kendatipun demikian, jumlah yang besar itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali karena keimanan dan nilai-nilai keislaman belum merasuk dan menghujam ke dalam hati sebagian besar di antara mereka. Massa yang banyak itu telah bergabung secara fisik kepada pasukan Rasulullah S’AW, sedangkan hati dan jiwa mereka masih dikuasai oleh kehidupan dunia. Karena itu, jumlah yang banyak secara fisik itu tidak memiiki pengaruh bagi kemenangan dan datangnya pertolongan Allah. Karena itu, massa yang banyak itu lari tunggang langgang meninggalkan lembah Hunain tatkala mereka diserang secara mendadak oleh musuh. Bahkan mungkin bayangan ketakutan ini pada awalnya mempengaruhi juga hati sebagian besar kaum Mukmin yang telah matang keimanannya.

Akan tetapi, tidak lama kemudian terdengar oleh kaum Anshor dan Muhajirin teriakan dan panggilan Rasulullah S’AW kepada mereka sehingga mereka segera kembali berhimpun di sekitar Rasulullah S’AW dan berperang bersamanya. Jumlah mereka ini tidak lebih dari dua ratus orang. Akan tetapi dengan dua ratus orang tersebut, kemenangan dating kembali kepada kaum Muslimin dan ketenangan pun turun ke dalam hati mereka sehingga Allah Mengalahkan musuh mereka setelah 12.000 orang berkualitas buih tidak berguna sama sekali dalam menghadapi lawan. Allah menurunkan pelajaran penting ini di dalam Kitab-Nya yang mulia.

“Sesungguhnya, Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan cerai-berai. Kemudian Allah Menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah Menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah Menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, sesudah itu, Allah Menerima tobat dari orang-orang yang Dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(at-Taubah [9]: 25-27)

Beberapa pelajaran penting dan ‘ibroh yang diambil dari Perang Hunain:
Pertama, Menyusupkan “intel” ke dalam barisan lawan untuk mengetahui ihwal mereka.
Rasulullah S’AW telah mengutus Abdullah bin Hadrad al-Aslami untuk mencari berita tentang jumlah serta perlengkapan musuh dan menginformasikannya kepada kaum Muslimin.

Kedua, Imam boleh meminjam senjata kaum musyrikin untuk memerangi musuh kaum muslimin.
Yang dimaksudkan senjata dalam hal ini ialah setiap peralatan dan perlengkapan perang yang diperlukan oleh tentara. Peminjaman senjata itu dibolehkan dengan cara gratis atau sewa. Cara kedua inilah yang dilakukan Rasulullah S’AW dalam peperangan ini. Beliau menyewa senjata dari Shafwan bin Uyainah yang pada waktu itu masih musyrik.
Hal ini masuk ke dalam keumuman hukum “meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan”. Masalah ini telah dibahas ketika mengomentari Perang Uhud. Sekarang menjadi jelas bahwa meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan terbagi dua:

1.Meminta bantuan personil dari mereka untuk berperang bersama kaum Muslimin. Masalah ini juga telah dibahas dalam perang Uhud. Tindakan ini dibolehkan apabila diperlukan dan kaum Muslimin dapat menjamin kejujuran dan kesetiaan para personel tersebut.

2.Meminta bantuan senjata dan peralatan-peralatan perang lainnya. Kebolehan masalah ini sudah tidak diperselisihkan lagi asalkan tidak menodai kehormatan kaum Muslimin dan tidak menyebabkan masuknya kaum Muslimin di bawah kekuasaan orang lain atau mengakibatkan kaum muslimin meninggalkan sebagian kewajiban agama. Kita tahu bahwa ketika Shafwan bin Uyainah meminjamkan (menyewakan) senjata kepada Rasulullah S’AW, ia dalam keadaan kalah dan lemah, sedangkan Rasulullah S’AW dalam posisi kuat. (Lihat Zadul Ma’ad, 3/190 dan Mughnil Muhtaj, 4/223)

Ketiga: Keberanian Rasulullah S’AW dalam Peperangan.
Suatu keberanian yang langka dan menakjubkan ketika seluruh kaum Muslimin terpencar di lembah dan lari meninggalkan medan pertempuran, hanya seorang diri Rasulullah S’AW bertahan dengan tegar di tengah kepungan dan serangan mendadak yang dilancarkan musuh dari segala penjuru. Nabi S’AW bertahan dengan tegar dan menakjubkan sehingga pengaruhnya menyentuh jiwa para sahabat yang lari meninggalkan pertempuran. Demi menyaksikan ketegaran dan keteguhan yang ditunjukkan Nabi S’AW inilah semangat keberanian para sahabat bangkit kembali.
Setelah meriwayatkan peristiwa Perang Hunain ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Ini merupakan puncak keberanian yang sempurna. Di tengah berkecamuknya pertempuran seperti ini dan tanpa perlindungan pasukannya, Rasulullah S’AW dengan tenang tetap berada di atas baghalnya yang tidak pandai berlari dan tidak bisa digunakan berlari kencang meninggalkan medan atau melancarkan serangan. Rasulullah S’AW bahkan mengendalikan baghalnya ke arah mereka seraya meneriakkan namanya agar diketahui oleh orang yang tidak mengenalnya hingga hari kemudian. Kesemuanya ini tidak lain hanyalah merupakan keyakinan (tsiqah) kepada Allah SWT, tawakal kepada-Nya, dan kesadaran bahwa Allah pasti akan menolongnya, menyempurnakan risalah-Nya, dan memenangkan agama-Nya atas semua agama.”

Keempat: Kepergian wanita untuk Melakukan Jihad Bersama Kaum Lelaki.
Mengenai kepergian wanita ke medan perang untuk mengobati para mujahid yang luka dan memberi minum yang haus, telah ditegaskan oleh riwayat sahih dan terjadi dalam beberapa kali peperangan. Adapun kepergiannya ke medan pertempuran untuk berperang, hal itu tidak pernah terjadi dalam sunnah. Kendatipun Imam Bukhari menyebutkan di dalam bab “jihad” satu bab tentang “Peperangan Wanita Bersama Kaum Lelaki”, hadits-hadits yang disebutkannya dalam bab tersebut tidak ada yang menegaskan keikutsertaan kaum wanita bersama kaum lelaki untuk melakukan pertempuran. Ibnu Hajar berkata, “Saya tidak melihat sama sekali, dari hadits-hadits yang disebutkan dalam masalah ini, adanya penegasan bahwa kaum wanita ikut tampil bertempur.”
Sementara itu, hukum tentang kepergian kaum wanita untuk berperang yang disebutkan para fuqaha ialah apabila musuh menyerang salah satu negeri kaum Muslimin sehingga seluruh penduduknya, termasuk di dalamnya kaum wanita, wajib berperang melawannya. Itu pun jika diperlukan bantuan pertahanan mereka dan khawatir mereka akan mengalami fitnah. Jika tidak, berperang tidak disyariatkan bagi mereka. Tentang pisau belati yang dibawa Ummu Sulaim, itu hanya digunakan sekedar untuk membela diri sebagaimana yang dikatakannya sendiri.

Dalam pengertian inilah kita harus memahami sebuah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan lainnya bahwa Aisyah R.’A. pernah meminta izin kepada Rasulullah S’AW untuk berjihad kemudian dijawab oleh Nabi S’AW, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah menunaikan haji.” Jihad yang dimaksudkan oleh Aisyah R.’A. ini adalah ikut serta dalam pertempuran, bukan sekadar kehadiran untuk tugas pengobatan dan pelayanan-pelayanan serupa lainnya. Hal ini karena hadirnya wanita dalam suatu peperangan guna melaksanakan tugas-tugas pengobatan ini telah disepakati kebolehannya jika disepakati syarat-syaratnya.

Bagaimanapun, keluarnya wanita bersama kaum lelaki ke medan jihad disyaratkan harus benar-benar tertutup dan terjaga, juga karena suatu keperluan yang sangat mendesak. Jika sangat mendesak atau diperkirakan akan mengakibatkan terjatuh melakukan hal-hal yang dilarang, kepergiannya adalah haram.
Ingat selalu Firman Allah SWT:
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(al-Baqarah [2]:85)

Kelima: Larangan Membunuh Wanita, Anak-anak, dan Budak
Hal seperti ini ditegaskan oleh hadits Rasulullah S’AW ketika beliau melihat wanita yang (terlanjur) dibunuh oleh Khalid bin Walid. Semua ulama sepakat akan hal ini.
Dikecualikan dari ketentuan ini, apabila mereka ikut serta berperang secara langsung menyerang kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh jika sedang aktif melancarkan perlawanan dan wajib dihindari (membunuhnya) jika melarikan diri.
Dikecualikan juga dri ketentuan ini, jika kaum kafir menjadikan mereka sebagai tameng hidup, sedangkan kaum kafir tidak mungkin dapat dihancurkan kecuali dengan (terpaksa) membunuh mereka (juga). Hal ii dibolehkan, dalam hal ini, imam harus mengikuti apa yang menjadi tuntunan kemaslahatan.


Keenam: Hukum Mengambil Benda yang Melekat pada Musuh yang Terbunuh

Dalam peperangan ini, Nabi S’AW mengumumkan bahwa siapa yang membunuh seorang musuh maka ia boleh mengambil benda-benda yang melekat di tubuhnya. Ibnu Sayyid an-Nas berkata, “Pengumuman ini menjadi hukum yang berlaku sepanjang masa.”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar penyampaian (dari Allah). Atas dasar ini, seorang mujahid di setiap zaman boleh langsung mengambil barang-barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya dala peperangan, tanpa perlu izin kepada imam atau komandannya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar imamah (sebagai pemimpin) saja. Dengan demikian, bolehlah mengambil barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya itu tergantung pada izin imam. Jika imam tidak mengizinkan, barang-barang (salb) itu digabungkan kepada barang rampasan (ghanimah) dan pembagiannya diberlakukan sesuai dengan hukum ghanimah.

Ketujuh: Jihad tidak berarti Iri Hati terhadap Kaum Kafir
Ini seperti ditunjukkan oleh riwayat yang telah disebutkan bahwa sebagian sahabat berkata kepada Nabi S’AW dalam perjalanan pulang mereka setelah pengepungan kota Thaif, “Berdoalah kepada Allah untuk kehancuran Tsaqif.” Nabi S’AW kemudian berdo’a, “Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan bawalah mereka (kepada kami).” Ini berarti jihad tidak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Ia adalah tanggung jawab setiap manusia terhadap sesamanya untuk membebaskan diri mereka dari siksa abadi di hari kiamat.
Karena itu, kaum Muslimin tidak sepatutnya memanjatkan doa untuk orang lain kecuali doa terlimpahkannya hidayah dan perbaikan karena tujuan ini merupakan hikmah disyariatkannya jihad.

Kedelapan: Kapan Seorang Prajurit Berhak Memiliki Ghanimah
Telah disebutkan bahwa Rasulullah S’AW berkata pada utusan Hawazin ketika mereka datang menyatakan diri masuk Islam, “Sengaja aku menunda pembagian ghanimah ini karena mengharap keislaman kalian.”
Ini menunjukkan bahwa prajurit baru berhak memiliki ghanimah setelah dibagikan oleh penguasa atau imam. Betapapun lamanya, selagi belum dibagikan maka tidak bisa dimiliki oleh prajurit yang ikut berperang.
Hal ini juga menunjukkan bahwa imam boleh mengembalikan ghanimah kepada para pemiliknya apabila mereka datang menyatakan diri masuk Islam dan belum dibagikan kepada para mujahidin. Hal inilah yang diutamakan oleh Nabi S’AW dalam peperangan ini.

Sikap Nabi S’AW terhadap utusan Hawazin dan harta kekayaan mereka yang telah diambil oleh kaum Muslimin menunjukkan bahw aharta rampasan yang telah dibagikan kepada para mujahidin tidak boleh ditarik kembali oleh imam kecuali atas kerelaan dan kesediaan pemiliknya tanpa adanya pemaksaan atau desakan.
Perhatikanlah betapa kejelian Rasulullah S’AW ketika meminta izin kepada para pemilik harta itu. Nabi S’AW merasa belum cukup dengan jawaban secara massal yang mereka berikan, “Kami telah bersedia mengembalikan, wahai Rasul Allah,” tetapi beliau juga ingin mengetahui dan mendengar kesediaan tersebut dari setiap pribadi atau melalui para wakilnya dan pemimpin mereka.
Ini berarti seorang penguasa atau imam tidak boleh menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk memaksa orang-orang agar melepaskan haknya dan harta kekayaannya yang sah. Allah tidak membolehkan hal tersebut kepada seorang Rasul sekalipun.

Kesembilan: Kebijaksanaan Islam tentang Orang-orang Mu’allaf
Nabi S’AW mengkhususkan kepada para penduduk Makkah yang baru masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah (Fat-hu Makkah) dengan melebihkan pemberian ghanimah. Dalam pembagian ghanimah kali ini, tidak diberikan kaidah persamaan di antara para mujahidin yang berperang. Tindakan Rasulullah S’AW ini oleh Imam dan Fuqaha dijadikan sebagai dalil bahwa imam boleh melebihkan pemberian kepada kaum Mu’allaf sesuai dengan kemaslahatan penjinakan hati mereka. Imam bahkan wajib melakukan hal ini bila diperlukan. Tidak ada halangan jika pemberian itu diambil dari barang rampasan. Karena pertimbangan yang sama pula, orang-orang mu’allaf ini memiliki bagian khusus di dalam harta zakat. Penguasa atau imam dapat memberikan harta zakat kepada mereka manakala diperlukan dan sesuai dengan kemaslahatan Islam.

Kesepuluh: Keutamaan Kaum Anshar dan Kecintaan Nabi S’AW kepada Mereka

Benarlah Rasulullah S’AW ketika bersabda, “Sesungguhnya, setan dapat menyusup ke dalam aliran darah manusia.” Setan ingin menanamkan ke dalam jiwa kaum Anshar rasa tidak puas terhadap kebijakan Rasulullah S’AW menyangkut pembagian pampasan. Barangkali setan menginginkan agar mereka menanggapi Nabi S’AW sebagai telah mengutamakan kaum kerabat serta orang-orang sekampungnya dan melupakan orang-orang Anshar!
Khotbah yang disampaikan Nabi S’AW sebagai jawaban terhadap bisikan keraguan tersebut sarat dengan nilai-nilai kelembutan dan perasaan cinta yang mendalam kepada kaum Anshar. Namun pada saat yang sama juga sarat dengan ungkapan rasa sakit karena dituduh melupakan dan berpaling dari orang-orang yang paling dicintainya.
Kelembutan dan kekecewaan ini telah menyentuh perasaan kaum Anshar sehingga membuat hati mereka luruh, mengikis segala bentuk keraguan dan bisikan ketidakpuasan yang baru saja merasuki hati mereka. Karena itu, terdengarlah suara tangis mereka karena mendapatkan Nabi S’AW dan rela menerima bagian mereka.
Apa artinya harta kekayaan, ternak, dan barang pampasan dibandingkan kembalinya kekasih mereka, Rasulullah S’AW, bersama mereka ke kampung halaman (Madinah) untuk hidup dan mati di antara mereka? Adakah bukti ketulusan cinta dan kasih sayang yang lebih besar selain kesediaan Nabi S’AW untuk meninggalkan tanah kelahirannya kemudian untuk seterusnya menetap bersama mereka?
Selain itu, kapankah harta benda pernah menjadi bukti cinta dan penghargaan dalam pandangan Nabi S’AW?
Memang, Nabi S’AW telah memberikan harta dan barang pampasan dalam jumlah besar kepada orang-orang Quraisy…. Akan tetapi, apakah Nabi S’AW menyisihkan sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya? Ataukah mengambil bagiannya sebanyak bagian orang-orang Anshar? Rasulullah S’AW hanya mengambil khumus (seperlima) yang telah dikhususkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diserahkan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu, dibaginya khumus tersebut kepada orang-orang Arab yang ada di sekitarnya.
Renungkanlah apa yang dikatakan Nabi S’AW kepada mereka ketika mereka mengelilinginya dan meminta tambahan pemberian,
“Wahai manusia, demi Allah, aku tidak memperoleh dari barang pampasan kalian kecuali seperlima dan itu pun aku kembalikan lagi kepada kalian.”
Semoga shalawat tercurahkan kepadamu, wahai Rasulullah, juga kepada para sahabatmu yang mulia dari kaum Anshar dan Muhajirin. Semoga Allah berkenan menghimpun kami di bawah panjimu yang mulia dan menjadikan kami beserta orang-orang yang akan menemuimu di telaga pada hari kiamat.





•Perang Tabuk (Rajab 9 Hijriah)
Beberapa Ibroh:
Pertama: Catatan Sekitar Peperangan Ini
Islam telah berjaya di jazirah Arabia dan menguasai hati serta jiwa para penduduknya. Ini merupakan sesuatu yang senantiasa dikhawatirkan dan dicemaskan oleh orang-orang Nasrani Romawi sejak lama.
Orang-orang Romawi tidak memeluk agama Nasrani karena keimanan semata-mata. Mereka hanya menjadikan agama Nasrani sebagai media untuk menjajah bangsa-bangsa di wilayah ini. Karena itu, mereka mempermainkan agama nasrani sesukanya, mengubah dan mencampuradukkan dengan paganisme mereka serta menambahkan beraneka kebatiilan kepadanya.

Islam-agama yang diserukan oleh semua Rasul-datang untuk membebaskan manusia dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah. Tidak ada kekuasaan dan hukum yang boleh dipaksakan kepada manusia selain kekuasaan dan hokum Allah.
Sebagai orang yang telah banyak mempelajari agama nasrani, mereka adalah orang-orang yang paling menyadari akan bahaya dan ancaman risalah terakhir (Islam) ini terhadap para tiran dan kesewenang-wenangan para diktator.

Tidak heran jika agama Islam ini-setelah kuat di jazirah Arab- merupakan sumber kecemasan dan kegelisahan bagi para thagut Romawi dan antek-antek mereka yang memeluk agama Nasrani sekadar untuk menguasai orang-orang lemah.
Karena itu, mereka mendengar berita Fat-hu Makkah dan kemenangan Islam di jazirah Arabia dengan penuh ketakutan kemudian menghimpun semua kekuatan mereka, dari Syam sampai ke Hijaz, untuk menghadapi agama ini (Islam). Sebab, jika agama Islam tersebar luas, kekuasaan dan kediktatoran mereka akan tumbang.

Sesuai dengan kecemasan pihak Romawi ini, semestinya terjadi pertempuran dahsyat antara mereka dan kaum Muslimin. Namun, hikmah Allah Menghendaki jihad kaum Muslimin dalam peperangan ini cukup dengan pengorbanan besar yang telah mereka kerahkan dan kesulitan fisik yang telah mereka alami di perjalanan pulang-pergi antara Madinah dan Tabuk. Perjalanan ini memang sangat menakjubkan, sarat dengan pengorbanan, penderitaan, dan kesulitan. Tidakkah jihad yang diperintahkan Allah itu berupa pengorbanan jiwa dan raga di jalan syariat Allah dan agama-Nya? Sesungguhnya, hal inilah yang dikehendaki Allah dari para hamba-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari sangkaan yang tidak benar yang menuduh Allah membutuhkan pertolongan mereka untuk menghancurkan tipu daya orang-orang kafir atau memasukkan hidayah dan keimanan ke dalam hati orang-orang yang ingkar.

“Faisyul ‘Usrah” (pasukan Muslimin yang berperang dalam keadaan serba sulit) dalam peperangan yang serba sulit ini telah mengerahkan harta dan perjuangan serta mengorbankan kesempatan waktunya yang paling indah, kemudian menukar dengan berbagai macam penderitaan dan kesulitan, sebagai bukti kemurnian iman mereka kepada Allah dan cinta mereka kepada-Nya. Karena itu, mereka kemudian berhak mendapatkan kemenangan dan dukungan, dengan dihindarkan dari pertempuran dan dimasukkannya rasa takut ke dalam hati musuh mereka sehingga musuh lari meninggalkan medan dan tunduk kepada hukum Allah mengenai mereka.
Demikianlah, pihak Romawi dengan mudah tunduk kepada hukum jizyah dan segala persyaratannya sebagai “imbalan” dari segala kesulitan yang dialami kaum Muslimin bersama Rasulullah S’AW demi mencari ridha Allah.

Kedua: Beberapa ‘Ibroh dan Hukum
1.Urgensi Jihad dengan Harta
Jihad melawan musuh-musuh Islam tidak terbatas dengan pergi ke medan perang. Peperangan saja belum memadai. Para fuqaha menetapkan bahwa apabila Negara (Islam) sangat memerlukan biaya jihad, Negara boleh mencari dana dari masyarakat. Tetapi para fuqaha juga menyepakati bahwa hal tersebut dapat dilkukan asalkan harta dan kekayaan Negara yang ada tidak dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sekunder (kamaliah) atau tidak dibenarkan menurut syariat. Hal ini karena harta masyarakat tidak diutamakan dari harta Negara dalam pembiayaan dan peperangan. Kita tahu bagaimana Utsman bin Affan datang kepada Nabi S’AW menyerahkan 300 unta beserta pelana dan perbekalannya serta 200 uqiah dari uang perak, sampai Nabi S’AW bersabda,
“Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dilakukan sesudah hari ini.”
Ini merupakan penjelasan tentang keutamaan Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Kalimat yang disabdakan
2.Hadits tentang Abu Bakar dan Bid’ah Tambahannya
Telah disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Abu Dawud tentang Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya kepada Rasulullah S’AW, kemudian ketika ditanya oleh Nabi S’AW, ”Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya.”
Sebagian orang membuat tambahan atas hadits tersebut bahwa Nabi S’AW bersabda kepadanya, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Allah telah ridha kepadamu. Apakah kamu juga ridha kepada-Nya?” Saking gembiranya, dia kemudian berdiri menari-menari di hadapan Nabi S’AW seraya berkata, “Bagaimana aku tidak akan ridha kepada-Nya?”
Mereka menjadikan tambahan bid’ah ini sebagai dalil dibolehkannya menari-nari seraya berputar-putar dalam halaqah-halaqah dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh “Maulawiyah” dan kelompok-kelompok tashawuf lainnya. Sesungguhnya dalil yang mereka jadikan pegangan tersebut adalah palsu. Para Imam telah sepakat bahwa menari jika disertai dengan gerakan meliuk-liuk adalah haram. Jika tidak disertai gerakan meliuk-liuk, dimakruhkan. Memasukkan tarian-betapapun caranya- ke dalam dzikrullah adalah tindakan memasukkan sesuatu yang makruh atau haram ke dalam ibadah yang disyariatkan, di samping merupakan tindakan mengubah ibadah tanpa dalil. Apalagi dalam melakukan dzikir tersebut, mereka mengucapkan lafal-lafal dzikir, tetapi hanya dengan irama para munsyid dan penyanyi sehingga menambah kesemarakan di dalam jiwa.
Dikecualikan dari keumuman ini, apabila orang yang berdzikir mengalami keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri, ia terbebas dari hokum taklifi, sebagaimana dikatakan bahwa al-Izzu bin Abdus Salam sendiri pernah melakukan dzikir sampai tidak sadarkan diri kemudian berdiri melompat-lompat.
3.Orang-orang Munafik: Tabiat Mereka dan Sejauh Mana Bahaya Mereka terhadap Islam

Ayat-ayat Al Qur’ an yang diturunkan menyangkut peperangan ini lebih banyak daripada ayat-ayat yang diturunkan pada peperangan lainnya. Dalam surat at Taubah sekian banyak ayat, yang menjelaskan pentingnya jihad dan harta di jalan Allah sebagai bukti satu-satunya kesejatian iman seorang Muslim, juga merupakan pembeda yang terpenting antara seorang Mukmin dan orang-orang munafik. Karena itu, kaum Muslimin jika benar-benar Muslim mereka tidak boleh mengambil sikap “santai”. Mereka harus menganggap ringan segala penderitaan dan kesulitan di jalan Allah. Selain itu, ayat-ayat di dalam surah at Taubah ini juga banyak membahas tentang orang-orang munafik dan membongkar rencana-rencana jahat mereka yg tersembunyi.
Pelajaran yang terdapat di dalamnya ialah penjelasan akan bahaya nifaq dan orang-orang munafiq terhadap Islam di setiap masa. Islam adalah suatu pengakuan yang harus dibuktikan dengan jihad dan ujian sampai terbedakan mana yang benar dan mana yang dusta, mana yang benar-benar mukmin dan mana yang munafik. Perang Tabuk merupakan materi utama dari pelajaran Qur’ ani ini karena peperangan ini menjadi ujian Ilahi yang terbesar kepada kaum Muslimin yang dapat membongkar kedok kemunafikan di Madinah dan membedakan orang-orang munafik dari kaum Muslimin yang benar-benar beriman.

“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panasnya,’ jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, ‘Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela untuk tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu, duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (at-Taubah [9]: 81-83)

“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan-kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan, Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.”
(at-Taubah [9]: 47)

Orang-orang munafik ini sangat berbahaya karena mereka memerangi Islam atas nama Islam, membuat makar terhadap Islam dengan senjata Islam, mempermainkan hukum-hukum Islam atas nama pembaharuan (Ishlah), keluwesan, dan berpegang teguh pada jiwa syariat. Mereka menghasilkan fatwa-fatwa pesanan untuk mencapai tujuan mereka atau menjilat tuan-tuan mereka. Pelajaran yang harus diambil kaum Muslimin dari hal ini ialah bahwa kaum Muslimin harus mewaspadai orang-orang munafik seribu kali lipat dari musuh eksternal mereka. Kaum Muslimin juga harus segera menumpas kemunafikan manakala sudah mulai tumbuh di antara mereka.

4.Jizyah dan Ahli Kitab
Di dalam peperangan ini terdapat dalil disyariatkannya mengambil jizyah dari Ahli Kitab. Dengan jizyah ini, darah dan harta mereka dilindungi. Seperti yang telah diketahui, orang-orang Romawi dalam peperangan ini telah bersembunyi dan melarikan diri dari Rasulullah S’AW ketika beliau sampai di Tabuk. Orang-orang Arab yang beragama Nasrani kemudian datang menemui Rasulullah S’AW guna meminta perdamaian dengan imbalan membayar jizyah. Permintaan ini disetujui oleh Nabi S’AW lalu dituangkan dalam surat perjanjian.
Jizyah adalah “pajak” harta yang dibayar oleh Ahli Kitab sebagaimana zakat yang dibayar oleh kaum Muslimin. Perbedaan antara keduanya bahwa jizyah semata-mata didasarkan kepada perundang-undangan, sedangkan zakat didasarkan kepada agama dan perundang-undangan.

Orang-orang yang tunduk kepada hukum jizyah dianggap masuk ke dalam hukum perundang-undangan Islam di masyarakat Islam sekalipun tidak meyakininya sebagai aqidah di dalam jiwa mereka. Karena itu, mereka tidak dibolehkan melanggar undang-undang dan hukum-hukum Islam secara umum kecuali hal-hal yang menurut agama mereka dibolehkan, seperti minum khamr dan lainnya.
Akan tetapi, di dalam masalah jizyah ini ada perbedaan antara orang-orang ahli kitab dengan para penyembah berhala dan atheis. Orang-orang ahli kitab masih memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Islam dan sistemnya secara umum dengan tetap memeluk agama mereka. Sedangkan orang-orang atheis dan penyembah berhala tidak ada faktor yang dapat menyesuaikan mereka dengan masyarakat Islam. Perbedaan antara Islam dan paganisme serta atheisme sangat mendasar dan berakar.


5.Apa yang disebutkan Rasulullah S’AW ketika melewati bekas perkampungan Tsamud menunjukkan bahwa seorang Muslim dimkruhkan memasuki tempat-tempat umat terdahulu yang pernah dihancurkan oleh Allah karena kekafiran mereka, atau melewati peninggalan-peninggalan mereka, kecuali dengan maksud mengambil pelajaran dari mereka. Hal ini karena tempat itu merupakan tempat-tempat yang pernah menyaksikan kemarahan Allah dan mencatat bekas-bekas peninggalan kemarahan tersebut. Bekas-bekas kemurkaan itu akan kekal sepanjang masa. Tidak diragukan lagi bahwa Allah meninggalkan bekas-bekas ini di muka bumi adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal sehat, sebagaimana sering dijelaskan-Nya di dalam ayat-ayat-Nya. Karena itu, salah besar jika seorang melewati tempat-tempat tersebut tanpa mengambil pelajarannya.

6.Kita harus merenungkan perbedaan antara kebijakan rasulullah S’AW dan kebijakan para sahabatnya dalam menghadapi orang-orang munafik. Mengapa Rasulullah S’AW bersikap lunak terhadap orang-orang munafik dan memaafkan mereka tetapi bersikap keras dan memberikan hukuman terhadap orang-orang muslim yang jujur? Jawabannya, sesungguhnya sikap keras dan tegas dalam kasus ini justru merupakan penghormatan dan pemuliaan. Penghormatan dan pemuliaan tidak layak diterima oleh orang-orang munafik. Bagaimana mungkin orang-orang munafik itu akan memperoleh tobat dan pengampunan melalui ayat-ayat yang diturunkan?

7.Di dalam kisah Ka’ab, terdapat beberapa pelajaran dan ‘ibrah penting, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, disyariatkannya pengucilan (al-hajr) karena sebab keagamaan. Nabi S’AW melarang kaum mereka berbicara dengan Ka’ab bin Malik dan kedua orang temannya selama masalah tersebut. Ibnul Qayyim berkata, “Hal ini menunjukkan juga bahwa menjawab salam orang yang patut dikucilkan adalah tidak wajib. Hal ini karena di antara pengakuan Ka’ab ialah, ‘Aku tetap keluar melaksanakan sholat berjamaah bersama kaum Muslimin. Aku kemudian datang menghadap Rasulullah S’AW. Kuucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk sesudah sholat. Dalam hati, aku bertanya, ‘Apakah beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku ataukah tidak?” Seandainya menjawab salamnya itu wajib, niscaya dia mendengarnya.”
Kedua, Ujian lain yang Diberikan Allah kepada Ka’ab patut direnungkan agar kita tahu bagaimana seharusnya keimanan seorang muslim kepada Rabbnya. Kita tahu bahwa Raja Ghassan telah mengirim surat kepadanya. Ia meminta Ka’ab datang ke negerinya dan meninggalkan orang-orang mukmin yang mengucilkan dan menghukumnya. Tawaran ini membuat Ka’ab semakin sedih dan menderita. Akan tetapi, cobaan berat ini tidak mengungkapkan sesuatu kecuali nbertambahnya keimanan Ka’ab kepada Rabbnya serta keikhlasan dan cintanya kepada-Nya.
Ketiga, Sujud syukur kepada Allah adalah ibadah yang disyariatkan sebagaimana ditunjukkan oleh sujudnya Ka’ab R.’A ketika mendengar suara orang yang menyampaikan kabar gembira penerimaan taubatnya.
Keempat, Hanafiah, kecuali Zufar, berpendapat apabila seseorang bernazar akan menyedekahkan seluruh hartanya kepada orang-orang miskin, ia tidak harus menunaikannya kecuali dengan harta zakat saja. Pendapat ini mereka dasarkan kepada beberapa dalil, di antaranya jawaban Rasulullah S’AW kepada Ka’ab ketika ia bernazar, “Di antara tanda-tanda bukti taubatku bahwa aku akan menyerahkan seluruh hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Akan tetapi, Nabi S’AW menjawab, “Lebih baik engkau tahan sebagian dari hartamu.”
Sementara itu, orang-orang yang berpendapat bahwa dengan nazar tersebut, seluruh hartanya menjadi sedekah, mereka berkata, “Sebenarnya perkataan Ka’ab kepada Rasulullah S’AW tersebut bukan menyatakan nazar, melainkan meminta pendapat Rasulullah S’AW yang kemudian dijelaskan oleh Nabi S’AW bahwa sebagiannya saja sudah mencukupi.(Lihat al-Mabsuth, as-Sarkhari, hlm. 12-93, Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim, 3/23, dan Dhawabithul Mashalah, al-Buthy, hlm. 244, 384.) barangkali pendapat ini lebih dekat kepada pengertian konteks perkataan Ka’ab R.’A dan jawaban Rasulullah S’AW kepadanya.

•Abu Bakar Memimpin Jamaah Haji Tahun ke-9 Hijriah
Beberapa’Ibroh:
1.Orang-orang Musyrik dan Tradisi Mereka dalam Haji
Seperti telah kita ketahui bahwa menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram adalah termasuk warisan yang diterima oleh orang-orang Arab dari Ibrahim ‘A.S. Ia termasuk sisa-sisa ajaran Hanifiah yang masih mereka pelihara, tetapi sudah banyak kemasukan karat-karat jahiliyah dan kebatilan ajaran kemusyrikan sehingga warna kemusyrikan lebih dominan daripada yang seharusnya dilakukan berdasarkan aqidah tauhid. Ibnu A’idz berkata bahwa kaum musyrikin sebelum tahun ini menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Mereka mengganggu kaum Muslimin dengan mengeraskan ucapan “talbiah” mereka yang artinya, “Tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang pantas bagi-Mu dan baginya.”
Beberapa orang di antara mereka melakukan thawaf dengan telanjang, tanpa pakaian sama sekali. Perbuatan ini mereka anggap sebagai penghormatan kepada Ka’bah. Kata salah seorang di antara mereka, “Aku thawaf di Ka’bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku. Tidak ada kekotoran benda dunia yang melekat di tubuhku.” (Lihat ‘Uyunul Atsar, Ibnu Sayyid an-Nas, 2/231.
Kotoran-kotoran jahiliyah ini habis pada tahun ke-9 Hijriah, tahun dimana Abu Bakar memimpin rombongan haji dan disampaikannya peringatan kepada semua orang musyrik bahwa Masjidil Haram harus dibersihkan dari kotoran-kotoran kemusyrikan untuk selama-lamanya.

2.Berakhirnya Perjanjian dengan Diumumkannya Peperangan
Perlu diketahui bahwa kaum musyrikin pada waktu itu, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq dan lainnya, ada dua kategori. Pertama, mereka yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah S’AW, tetapi masa berakhirnya perjanjian tersebut kurang dari empat bulan. Mereka ini diberi tempo sampai berakhirnya perjanjian tersebut. Kedua, mereka yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW tanpa batas waktu. Kepada mereka ini, al-Quran di dalam surah Bara’ah (at-Taubah) membatasi masa berakhirnya dengan empat bulan. Setelah itu, mereka berada dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh dimana saja ditemukan kecuali jika masuk Islam dan menyatakan tobat. Permulaan batas waktu ini adalah hari Arafah pada tahun ke-9 Hijriah sampai tanggal 10 bulan Rabi’ul Akhir.
Dikatakan-yaitu pendapat al-Kalbi-bahwa empat bulan tersebut adalah tempo yang diberikan kepada orang musyrik yang mempunyai perjanjian kurang dari empat bulan dengan Rasulullah S’AW. Sementara itu orang musyrik yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW lebih dari empat bulan maka Allah telah memerintahkan agar disempurnakan sampai berakhir batas waktunya. Inilah yang dimaksudkan firman Allah,
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (at-Taubah [9]:4)
Pendapat yang pertama lebih benar dan tepat karena surah Bara’ah (at-Taubah) tidak menegaskan sesuatu yang baru sebagaimana pendapat al-Kalbi di atas. Ia hanyalah penegasan terhadap perjanjian-perjanjian yang sudah disetujui antara Rasulullah S’AW dan kaum musyrikin. Ia tidak mengubah sedikitpun dari perjanjian-perjanjian itu ataupun mengemukakan hal yang baru. Seandainya demikian, lantas apa artinya Ali R.’A membacakan surat tersebut di hadapan khalayak musyrikin sebagai peringatan bagi mereka?
3.Penegasan tentang Hakikat Makna Jihad
Disyaratkannya jihad itu tidak memandang kepada faktor penyerbuan atau pembelaan. Jihad disyariatkan hanyalah untuk menegakkan kalimat Allah, membangun masyarakat Islam, dan mendirikan Negara Islam di muka bumi.

•Masjid Dhirar
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan lainnya bahwa di Madinah ada seorang rahib (pendeta) dari suku khazraj bernama Abu Amir. Ia memeluk agama nasrani di masa jahiliyah dan memiliki kedudukan penting di kalangan kabilah Khazraj. Ketika Rasulullah S’AW datang ke Madinah kemudian kaum muslimin berhimpun di sekitar beliau dan Islam pun telah menyebar luas. Abu Amir bangkit menunjukkan permusuhan kepada Rasulullah S’AW. Ia pergi ke Makkah meminta dukungan orang-orang musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah S’AW. Setelah melihat dakwah Rasulullah S’AW semakin bertambah maju dan kuat, ia pun pergi menemui Heraclius. Dari tempat pengasingannya ini ia menulis surat kepada orang-orang munafik Madinah yang isinya menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan Heraclius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang di dalam surat-suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat masjid Quba’. Masjid ini telah rampung mereka bangun sebelum Rasulullah S’AW berangkat ke Tabuk. Mereka kemudian datang kepada Rasulullah S’AW, meminta agar Rasulullah S’AW sudi kiranya sholat di masjid mereka untuk dijadikan dalih dan bukti persetujuannya. Mereka mengemukakan bahwa masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Akan tetapi, Allah Melindungi beliau dari melaksanakan sholat di masjid mereka. Nabi S’AW menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya4wl, nanti setelah pulang.”
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah S’AW tiba di Madinah dari perjalanan Tabuk, Jibril turun membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan tujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah S’AW kemudian mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. Berkenaan dengan masjid ini, turunlah firman Allah SWT,
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah [9]: 107-108)
•Utusan Tsaqif Menyatakan Masuk Islam
Ingatkah kisah orang-orang yang menyambut Rasulullah S’AW ketika berhijrah ke Tha’if dengan sambutan yang buruk, penolakan, pelemparan batu, dan penghinaan? Itulah orang-orang Tsaqif yang sekarang datang kepada Nabi S’AW menyatakan diri masuk ke dalam agama Allah (Islam) dengan jujur dan taat. Ingatkah ketika Zaid bin Harits berkata kepada Rasulullah S’AW dalam perjalanan pulang dari Tha’if ke Makkah, “Bagaimana engkau akan kembali ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu, wahai Rasulullah?” Waktu itu, beliau menjawab, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan Memberikan kemudahan dan jalan keluar terhadap apa yang kamu khawatirkan. Sesungguhnya Allah pasti Membela Agama-Nya dan Memenangkan Nabi-Nya.”
Apa yang terjadi adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah S’AW kepada Zaid tersebut. Demikianlah Tha’if, Makkah, dan seluruh kabilah Arab pada hari itu berbondong-bondong datang menyatakan diri masuk Islam.
Kemudian coba renungkan tentang segala penyiksaan yang dilancarkan Tsaqif dan kekecewaan yang sangat mengejutkan Nabi S’AW setelah beliau melakukan hijrah ke Tha’if dengan berjalan kaki melintasi pegunungan dan sahara dengan harapan mendapatkan sambutan yang baik dari penduduknya! Perlakuan kasar yang dilancarkan oleh Tsaqif ini minimal akan mendorong rasa ingin membalas dendam atau melakukan tindakan yang serupa pada jiwa manusia biasa.
Namun, adakah kita temukan sikap ataupun perasaan balas dendam ini di dalam jiwa Rasulullah S’AW dalam menghadapi para utusan Tsaqif? Bahkan selama beberapa hari, beliau pernah mengepung Tha’if kemudian memerintahkan para sahabatnya agar kembali pulang, lalu kepada beliau, para sahabat mendesak, “Berdo’alah untuk kehancuran Tsaqif,” tetapi beliau malah mengucapkan do’a kebaikan bagi Tsaqif,
“Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka dalam keadaan beriman.”
Ketika Allah mengabulkan do’a Rasul-Nya kemudian utusan Tsaqif datang ke Madinah. Abu Bakar ash-Shiddiq dan Mughirah bin Syu’bah berlomba-lomba datang kepada Rasulullah S’AW karena kedua sahabat ini mengetahui betapa gembiranya Nabi S’AW mendengar berita Islamnya Tsaqif. Dengan ceria dan penuh penghormatan, Rasulullah S’AW keluar menyambut kedatangan mereka, bahkan kemudian memberikan seluruh waktunya untuk mengajarkan Islam kepada mereka selama mereka berada di Madinah.
Kendatipun dahulu Tsaqif pernah melampiaskan kebencian mereka terhadapnya, beliau tidak mempunyai keinginan apa-apa terhadap mereka kecuali kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kendatipun dahulu Tsaqif merasa puas melihat Rasulullah S’AW menderita dan sengsara, kini beliau justru merasa bergembira melihat mereka mendapatkan karunia Islam dari Allah.
Adakah semua ini tabiat manusia biasa yang memperjuangkan suatu prinsip dan ideologi yang dianutnya?
Ia tidak lain hanyalah merupakan tabiat kenabian… Ia adalah sikap yang ditempa oleh satu-satunya sasaran dalam dakwah: dakwah membuahkan hasilnya dan Allah pun ridha kepada dirinya. Di jalan (dakwah) ini, semua penderitaan dan gangguan terasa ringan. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar manakala seorang hamba berhasil melewati semua rintangan dan gangguan tersebut, sedangkan ia masih tetap berada di atas sasaran yang mulia ini.

Itulah Islam, tidak mengenal kebencian ataupun rasa dendam, juga tidak pernah menginginkan keburukan bagi manusia.
Islam memerintahkan jihad, tetapi tanpa rasa kebencian ataupun kedengkian. Ia mengajarkan kekuatan, tetapi tanpa egoisme dan kesombongan. Ia mengajak kepada kasih sayang, tetapi tanpa merendahkan diri atau kelemahan. Ia mengajarkan cinta, tetapi di jalan Allah semata.
Demikianlah, utusan Tsaqif dan utusan-utusan lainnya yang berbondong-bondong datang ke Madinah menyatakan diri masuk Islam, merupakan penunaian terhadap janji ”kemenangan yang penuh kewibawaan” yang pernah Dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya.
Beberapa pelajaran dan hukum yang dapat diambil:
Pertama: Boleh Menempatkan Orang Musyrik di Dalam Masjid Jika Diharapkan Keislamannya
Dapat dilihat bagaimana Nabi S’AW menyambut utusan Tsaqif di masjidnya. Beliau berbicara dan mengajar mereka di dalam masjid. Bila hal ini dibolehkan bagi orang musyrik, apalagi bagi Ahli Kitab. Nabi S’AW juga pernah menyambut orang-orang Nasrani Najran di dalam masjid ketika mereka dantang ingin mendengarkan dan mengetahui Islam.
Az-Zarkasyi berkata, ”Ketahuilah bahwa Rafi’i dan Nawawi membolehkan orang kafir masuk masjid selain Masjidil Haram dengan beberapa syarat berikut:
Pertama, tidak dilarang oleh perjanjian sebelumnya yang tertuang di dalam perjanjian ahli dzimmah. Jika telah dilarang di dalam perjanjian tersebut, ia tidak boleh memasukinya.
Kedua, orang muslim yang mengizinkannya hendaknya mukallaf dan memiliki kelayakan sepenuhnya.
Ketiga, hendaknya tujuan masuknya untuk mendengarkan al-Qur’ an, belajar keislaman, diharapkan keislamannya, atau untuk memperbaiki bangunan dan lainnya.
Kedua: Perlakuan yang baik terhadap para



No comments:

Post a Comment