Apo akanyo si gulambai
Kain tasangkuik ujuang rotan
Apo akanyo dayo tupai
Karambie tumbuah di lautan
Maninjau padilah masak
Batang kapeh batimbo jalan
Hati risau dibao galak
Bak paneh manganduang hujan
Bada kariang parancang paku
Paku digulai anak rang lolong
Bia kariang banda di hulu
Ka bakeh hujan den mintak tolong
Bukik apik jo Kampuang Dalam
Katigo kampuang rang kinali
Matoari sakik bulanlah damam
Dek ulah kabuik hujan pagi
Kayu pulai di Koto Alam
Batangnyo sandi basandi
Kalau pandai di dalam alam
Patah tumbuah hilang baganti
Batusangka balantai batu
Parak Jua labuah basilang
Sadang jo kapa lai tak lalu
Konon barakik batang pisang
Labuah sampik ka Sungai Dareh
Sijunjuang jalan malingka
Kok taimpik nak di ateh
Takuruang nak di lua
(hehehe..pantun yg ini karakter org minang bangetssss :)))))
Sumber: Buku 'Keajaiban Pantun Minang'
Saturday, July 3, 2010
PUASA TAK HARUS LOYO...
Bismillah..."Yaa ALLAH...berkahilah kami di bulan Rajab dan Sya'ban. Dan sampaikanlah kami ke bulan Ramadhan..." Aamiin....
Ketika berpuasa (bershaum) di bulan Ramadhan nanti, kebiasaan makan tentunya berbeda dari hari-hari biasa. Tak jarang ini menyebabkan kita jadi malas makan ketika sahur, dan begitu berbuka, kita makan secara berlebihan. Ini bukan cara yang benar untuk mengumpulkan energi saat puasa. Tubuh kita menjadi mudah lesu, produktivitas dalam bekerja pun menurun.
Berikut tips agat tetap segar dan berenergi ketika berpuasa:
1. Saat buka puasa, terlebih dahulu konsumsi minuman manis atau makanan yang mudah dicerna, seperti kurma, kolak atau bubur.
2. Makanlah makanan yang lengkap setelah sholat maghrib. Ini memberikan kesempatan pada saluran cerna untuk menyesuaikan diri setelah selama 16 jam beristirahat. Dan, hindari pula makan berlebihan agar kalori yang tersimpan tidak berlebih.
3. Sahur memang bukan proses makan biasa. Saat itu, saluran pencernaan bukan dalam kondisi prima untuk mencerna. Untuk mengurangi bebannya, awali dengan makanan yang mudah dicerna. Untuk makanan lengakap, pilihb yang 'tahan lama', tidak menyebabkan kita cepat lapar, dan bergizi tinggi.
4. Hindari kopi dan teh ketika sahur, karena keduanya tergolong diuretik, atau menyebabkan cairan tubuh sering keluar.
5. Jangan makan sahur terburu-buru, untuk menghindari rasa sakit di pencernaan.
Sumber: Majalah Femina
Ketika berpuasa (bershaum) di bulan Ramadhan nanti, kebiasaan makan tentunya berbeda dari hari-hari biasa. Tak jarang ini menyebabkan kita jadi malas makan ketika sahur, dan begitu berbuka, kita makan secara berlebihan. Ini bukan cara yang benar untuk mengumpulkan energi saat puasa. Tubuh kita menjadi mudah lesu, produktivitas dalam bekerja pun menurun.
Berikut tips agat tetap segar dan berenergi ketika berpuasa:
1. Saat buka puasa, terlebih dahulu konsumsi minuman manis atau makanan yang mudah dicerna, seperti kurma, kolak atau bubur.
2. Makanlah makanan yang lengkap setelah sholat maghrib. Ini memberikan kesempatan pada saluran cerna untuk menyesuaikan diri setelah selama 16 jam beristirahat. Dan, hindari pula makan berlebihan agar kalori yang tersimpan tidak berlebih.
3. Sahur memang bukan proses makan biasa. Saat itu, saluran pencernaan bukan dalam kondisi prima untuk mencerna. Untuk mengurangi bebannya, awali dengan makanan yang mudah dicerna. Untuk makanan lengakap, pilihb yang 'tahan lama', tidak menyebabkan kita cepat lapar, dan bergizi tinggi.
4. Hindari kopi dan teh ketika sahur, karena keduanya tergolong diuretik, atau menyebabkan cairan tubuh sering keluar.
5. Jangan makan sahur terburu-buru, untuk menghindari rasa sakit di pencernaan.
Sumber: Majalah Femina
Strech Marks, the best is to Avoid
Strech marks merupakan masalah kulit yang sangat mengganggu bagi sebagian orang. Bentuknya berupa garis-garis seperti guratan atau parut berwarna putih agak keperakan di permukaan kulit. Baik pria ataupun wanita dapat mengalaminya dan semua orang ingin menghilangkannya. Namun sayangnya, kulit kita tidak dapat semudah itu kembali seperti sedia kala. Apalagi jika strech mark yang timbul adalah diakibatkan pertambahan berat badan yang mendadak, karena kehamilan, ataupun penurunan berat badan yang drastis.
Strech mark dalam dermatology dikenal sebagai striae. Peristiwa ini disebabkan oleh robeknya lapisan dermis pada kulit. Awalnya dermis merupakan bagian yang elastis pada kulit, namun bila tertarik secara terus-menerus akhirnya ia akan robek dan terbentuklah strech mark. Pada awalnya, sterch mark hanya berupa garis-garis berwarna kemerahan atau keunguan lalu kemudian membentuk seperti retakan berwarna putih mengkilat atau keperakan. Daerah-daerah dimana umumnya terjadi strech marks adalah pada bagian seperti perut, paha, pinggul, dada, panggul, dan lengan atas.
What to do
Strech mark dapat berkurang perlahan seiring waktu, namun sulit untuk dapat dihilangkan sepenuhnya. Yang dapat kita lakukan adalah dengan mencegahnya agar tidak menjadi lebih parah.
Untuk mengurangi penampakan sterch mark ini, ada beberapa cara yang tersedia. Namun yang paling baik adalah dengan meminta bantuan ahli kulit atau dermatologis yang dapat menyarankan jalan keluar terbaik bagi masalah ini.
Cara penanganan sterch marks yang sudah ada di antaranya adalah:
1. Dengan lotion atau cream khusus untuk strech marks.
2. Dengan operasi khusus untuk kecantikan.
3. Dengan diet sehat dan olahraga teratur.
Taken From: Majalah doinhealth & beauty
Sleep Paralysis
Poltergeist Night...
Suatu pagi, saat baru terbangun, Reny merasa seluruh tubuhnya sangat sulit untuk digerakkan, bahkan serasa lumpuh! Suasana pagi itu remang-remang, udara masih dingin dan di sekitarnya tidak kelihatan sesosok pun yang kemungkinan menahan tubuhnya sehingga tidak bisa bergerak. Reny merasa was-was, jangan-jangan ia 'ketindihan'? Buru-buru ia mengucapkan segala jenis do'a pengusir roh jahat yang pernah diketahuinya. Dan beberapa menit kemudian, barulah ia dapat bergerak kembali.
Sorenya ia berkumpul dengan teman-temannya di kafe gaul dan ia menceritakan kejadian itu dengan semangat dan masih sedikit bergidik ketakutan. Setelah selesai bercerita, salah seorang temannya langsung tertawa, "kamu sih Ren, kebanyakan nonton film horor...hahaha...kasian tuh hantu-hantu yang kamu tuduh sembarangan, padahal kamu cuma kena sleep paralysis..."
What the....?
Beberapa orang pernah mengalami yang namanya 'ketindihan' saat bangun tidur, atau pun saat hendak tidur. Namun, jangan terburu-buru menyalahkan 'sesuatu' yang tidak kelihatan itu sebagai biang keladinya.
Peristiwa ini dinamakan dengan sleep paralysis. Sleep paralysis merupakan suatu kondisi di mana tubuh terasa tidak dapat digerakkan atau kaku sesaat setelah bangun tidur (Hypnopompic paralysis), atau pada beberapa kasus yang lebih jarang terjadi, saat hendak tidur (hypnagogic paralysis).
Sleep Paralysis Causes
Pada saat tidur,,,kita akan mengalami beberapa tahap, salah satunya adalah REM (Rapid Eye Movement). REM merupakan tahap di mana seseorang mulai bermimpi. Pada tahap ini, terjadilah muscular atonia, atau sebuah mekanisme kerja pada batang otak yang berperan penting dalam melindungi kita dari risiko terluka oleh terjadinya pergerakan tubuh saat bermimpi. Muscular atonia pada dasarnya berarti keadaan dimana otot-otot pada tubuh (muscle) ditahan pergerakannya pada masa REM. Namun otot diafragma dan otot mata tidak terpengaruh oleh aktivitas ini.
Sleep paralysis terjadi karena terputusnya hubungan antara otak dan tubuh pada saat yang tidak tepat. Yaitu ketika otak tersadar sepenuhnya dari zona REM, namun paralysis masih terus berlangsung.
Saat seperti ini, seseorang akan bangun sepenuhnya dengan mata terbuka, namun ia tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Dan sebagai tambahan yang lebih menarik, kejadian ini kadang akan disertai oleh halusinasi atau bayangan tertentu, karena otak memang baru saja melalui fase bermimpi. Peristiwa ini bisa berlangsung selama sekitar dua menit, sampai ia kembali tertidur ke fase REM ataupun terbangun sepenuhnya. Itulah sebabnya sleep paralysis bisa menjadi hal yang sangat menakutkan bagi seseorang karena mendadak merasa tidak dapat bergerak hingga bisa berlangsung selama beberapa menit.
Secara umum, sleep paralysis terbagi atas dua jenis. Common Sleep Paralysis atau CSP dan Hallucinatory (Hypnogogic) Sleep Paralysis atau HSP.
Common Sleep Paralysis
Seringkali terjadi pada masa REM. Dan ini terjadi untuk mencegah risiko kecelakaan yang mungkin timbul akibat pergerakan tubuh saat bermimpi. Efek hormon yang bekerja pada keadaan paralysis ini akan menghilang seiring terbangunnya seseorang dari tidurnya.
Pada sebagian orang, efek hormon ini masih tinggal sampai setelah orang tersebut terbangun dan masih menahan fungsi pergerakan tubuhnya. Sleep paralysis ini hanya berlangsung sesaat saja, sekitar 2 menit atau kurang, meskipun ada juga yang dapat berlangsung lebih lama.
Hallucinatory Sleep Paralysis
Keadaan sleep paralysis dimana timbulnya halusinasi saat ia tidak mampu bergerak. Biasanya halusinasinya berupa bayangan kehadiran seseorang atau sesuatu sedang berada di dekat mereka. Dan banyak yang kemudian menyalahkan para makhluk halus yang sebenarnya tidak bertanggung jawab sama sekali atas gangguan tidur mereka. Bisa dikatakan orang tersebut mengalami mimpi buruk dalam keadaan sadar.
Ada sebagian orang merasa seseorang atau sesuatu sedang menahan tubuh mereka. Entah itu dengan cara menduduki tubuh mereka atau menahan anggota tubuh mereka sehingga tidak bisa begerak. Inilah yang banyak dianggap orang sebagai 'ketindihan' oleh benda tak terlihat. Dan ini terasa jauh lebih menakutkan dari sleep paralysis yang pertama.
HSP dapat berlangsung lebih lama dari Sleep Paralysis biasa. Yaitu sekitar 7 - 8 menit atau lebih.
Prognosis dan Treatment
Pada dasarnya, Sleep paralysis tidak berbahaya bagi jiwa. Biasanya sleep paralysis ini sering dijumpai pada penderita narcolepsy (orang yang tidak dapat mengontrol keinginan tidurnya). Namun, gangguan ini juga dapat menyerang orang biasa yang tidak menderita narcolepsy. Kadang ini dapat menurun di keluarga dan juga dapat timbul karena stress.
Cara mengatasinya tidak sulit, cukup dengan mengurangi stress, tidur cukup, dan pada waktu teratur, olahraga teratur namun jangan menjelang waktu tidur, dan usahakan tidak tidur telungkup. Bila diperlukan, kita dapat menggunakan obat anti depresan, atau bisa juga menghubungi dokter untuk membantu mengatasinya.
Taken From: Majalah doinhealth & beauty
Suatu pagi, saat baru terbangun, Reny merasa seluruh tubuhnya sangat sulit untuk digerakkan, bahkan serasa lumpuh! Suasana pagi itu remang-remang, udara masih dingin dan di sekitarnya tidak kelihatan sesosok pun yang kemungkinan menahan tubuhnya sehingga tidak bisa bergerak. Reny merasa was-was, jangan-jangan ia 'ketindihan'? Buru-buru ia mengucapkan segala jenis do'a pengusir roh jahat yang pernah diketahuinya. Dan beberapa menit kemudian, barulah ia dapat bergerak kembali.
Sorenya ia berkumpul dengan teman-temannya di kafe gaul dan ia menceritakan kejadian itu dengan semangat dan masih sedikit bergidik ketakutan. Setelah selesai bercerita, salah seorang temannya langsung tertawa, "kamu sih Ren, kebanyakan nonton film horor...hahaha...kasian tuh hantu-hantu yang kamu tuduh sembarangan, padahal kamu cuma kena sleep paralysis..."
What the....?
Beberapa orang pernah mengalami yang namanya 'ketindihan' saat bangun tidur, atau pun saat hendak tidur. Namun, jangan terburu-buru menyalahkan 'sesuatu' yang tidak kelihatan itu sebagai biang keladinya.
Peristiwa ini dinamakan dengan sleep paralysis. Sleep paralysis merupakan suatu kondisi di mana tubuh terasa tidak dapat digerakkan atau kaku sesaat setelah bangun tidur (Hypnopompic paralysis), atau pada beberapa kasus yang lebih jarang terjadi, saat hendak tidur (hypnagogic paralysis).
Sleep Paralysis Causes
Pada saat tidur,,,kita akan mengalami beberapa tahap, salah satunya adalah REM (Rapid Eye Movement). REM merupakan tahap di mana seseorang mulai bermimpi. Pada tahap ini, terjadilah muscular atonia, atau sebuah mekanisme kerja pada batang otak yang berperan penting dalam melindungi kita dari risiko terluka oleh terjadinya pergerakan tubuh saat bermimpi. Muscular atonia pada dasarnya berarti keadaan dimana otot-otot pada tubuh (muscle) ditahan pergerakannya pada masa REM. Namun otot diafragma dan otot mata tidak terpengaruh oleh aktivitas ini.
Sleep paralysis terjadi karena terputusnya hubungan antara otak dan tubuh pada saat yang tidak tepat. Yaitu ketika otak tersadar sepenuhnya dari zona REM, namun paralysis masih terus berlangsung.
Saat seperti ini, seseorang akan bangun sepenuhnya dengan mata terbuka, namun ia tidak dapat menggerakkan anggota tubuhnya. Dan sebagai tambahan yang lebih menarik, kejadian ini kadang akan disertai oleh halusinasi atau bayangan tertentu, karena otak memang baru saja melalui fase bermimpi. Peristiwa ini bisa berlangsung selama sekitar dua menit, sampai ia kembali tertidur ke fase REM ataupun terbangun sepenuhnya. Itulah sebabnya sleep paralysis bisa menjadi hal yang sangat menakutkan bagi seseorang karena mendadak merasa tidak dapat bergerak hingga bisa berlangsung selama beberapa menit.
Secara umum, sleep paralysis terbagi atas dua jenis. Common Sleep Paralysis atau CSP dan Hallucinatory (Hypnogogic) Sleep Paralysis atau HSP.
Common Sleep Paralysis
Seringkali terjadi pada masa REM. Dan ini terjadi untuk mencegah risiko kecelakaan yang mungkin timbul akibat pergerakan tubuh saat bermimpi. Efek hormon yang bekerja pada keadaan paralysis ini akan menghilang seiring terbangunnya seseorang dari tidurnya.
Pada sebagian orang, efek hormon ini masih tinggal sampai setelah orang tersebut terbangun dan masih menahan fungsi pergerakan tubuhnya. Sleep paralysis ini hanya berlangsung sesaat saja, sekitar 2 menit atau kurang, meskipun ada juga yang dapat berlangsung lebih lama.
Hallucinatory Sleep Paralysis
Keadaan sleep paralysis dimana timbulnya halusinasi saat ia tidak mampu bergerak. Biasanya halusinasinya berupa bayangan kehadiran seseorang atau sesuatu sedang berada di dekat mereka. Dan banyak yang kemudian menyalahkan para makhluk halus yang sebenarnya tidak bertanggung jawab sama sekali atas gangguan tidur mereka. Bisa dikatakan orang tersebut mengalami mimpi buruk dalam keadaan sadar.
Ada sebagian orang merasa seseorang atau sesuatu sedang menahan tubuh mereka. Entah itu dengan cara menduduki tubuh mereka atau menahan anggota tubuh mereka sehingga tidak bisa begerak. Inilah yang banyak dianggap orang sebagai 'ketindihan' oleh benda tak terlihat. Dan ini terasa jauh lebih menakutkan dari sleep paralysis yang pertama.
HSP dapat berlangsung lebih lama dari Sleep Paralysis biasa. Yaitu sekitar 7 - 8 menit atau lebih.
Prognosis dan Treatment
Pada dasarnya, Sleep paralysis tidak berbahaya bagi jiwa. Biasanya sleep paralysis ini sering dijumpai pada penderita narcolepsy (orang yang tidak dapat mengontrol keinginan tidurnya). Namun, gangguan ini juga dapat menyerang orang biasa yang tidak menderita narcolepsy. Kadang ini dapat menurun di keluarga dan juga dapat timbul karena stress.
Cara mengatasinya tidak sulit, cukup dengan mengurangi stress, tidur cukup, dan pada waktu teratur, olahraga teratur namun jangan menjelang waktu tidur, dan usahakan tidak tidur telungkup. Bila diperlukan, kita dapat menggunakan obat anti depresan, atau bisa juga menghubungi dokter untuk membantu mengatasinya.
Taken From: Majalah doinhealth & beauty
Info General: Teori Dasar Mengenai Korelasi (Dengan spesifikasi Data Non Parametrik)
Pendahuluan
Korelasi adalah salah satu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif dan kualitatif. Misalkan kita memiliki dua variabel, katakanlah variabel Y dan variabel X, kita ingin menguji apakah hubungannya berbanding lurus atau terbalik, atau bahkan tidak mempunyai hubungan sama sekali. Contohnya, bila X menyatakan pendapatan keluarga dan Y adalah besarnya pengeluaran. Mungkin selanjutnya timbul pertanyaan apakah penurunan pendapaan keluarga juga diikuti dengan pengeluarannya. Seberapa pengaruhnya? Dalam korelasi ini dibahas korelasi 2 sampel.
Uji statistik nonparametrik yang digunakan untuk melihat hubungan antara 2 variabel adalah korelasi Spearman's rank, korelasi kendall's tau, dan koefisien kontingensi.
Korelasi 2 Sampel.
KOrelasi 2 sampel ini merupakan uji korelasi antara 2 variabel. Hubungan antara 2 variabel dapat hanya kebetulan saja, dapat pula merupakan hubungan timbal-balik. Maksud dari hubungan timbal-balik adalah apabila ada perubahan pada variabel yang satu, maka akan mengakibatkan perubahan pada variabel lainnya.
Koefisien Korelasi
Harga absolut dari r menunjukkan kekuatan hubungan linier. Harga korelasi berada pada interval -1 s.d. 1. Tanda (-) dan (+) menunjukkan arah hubungan.
Tanda (+) adalah perubahan pada salah satu variabel akan diikuti perubahan variabel lain dengan arah yang sama. Misalnya, satu variabel mengalami kenaikan akan diikuti oleh kenaikan variabel yang lain. Begitu juga sebaliknya.
Tanda (-) adalah perubahan pada salah satu variabel akan diikuti perubahan variabel yang lain dengan arah yang berlawanan. Misalnya, satu variabel mengalami kenaikan maka akan diikuti oleh penurunan variabel yang lain. Begitu juga sebaliknya.
Korelasi nol adalah kenaikan nilai variabel yang satu kadang-kadang disertai turunnya nilai variabel yang lain atau kadang-kadang diikuti kenaikan variabel yang lain. Arah hubungannya tidak teratur, kadang-kadang dengan arah yang sama, kadang-kadang berlawanan (tidak ada hubungan linier).
Interpretasi Koefisien Korelasi
Kita tidak akan mengalami kesukaran untuk menjelaskan tentang nilai korelasi +1 maupun -1, karena begitu dijelaskan maka orang lain akan paham. Begitu juga untuk nilai nol yang berarti tidak ada hubungan linier.
Menurut Young (1982:317), ukuran korelasi adalah sebagai berikut:
0,7 - 1,00 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya derajat asosiasi yang tinggi.
0,40 s.d <0,70 (baik plus atau minus) menunjukkan hubungan yang substansial.
0,20 s.d. <0.40 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya korelasi yang rendah.
<0,20 (baik plus atau minus) berarti dapat diabaikan.
Korelasi adalah salah satu teknik statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel atau lebih yang sifatnya kuantitatif dan kualitatif. Misalkan kita memiliki dua variabel, katakanlah variabel Y dan variabel X, kita ingin menguji apakah hubungannya berbanding lurus atau terbalik, atau bahkan tidak mempunyai hubungan sama sekali. Contohnya, bila X menyatakan pendapatan keluarga dan Y adalah besarnya pengeluaran. Mungkin selanjutnya timbul pertanyaan apakah penurunan pendapaan keluarga juga diikuti dengan pengeluarannya. Seberapa pengaruhnya? Dalam korelasi ini dibahas korelasi 2 sampel.
Uji statistik nonparametrik yang digunakan untuk melihat hubungan antara 2 variabel adalah korelasi Spearman's rank, korelasi kendall's tau, dan koefisien kontingensi.
Korelasi 2 Sampel.
KOrelasi 2 sampel ini merupakan uji korelasi antara 2 variabel. Hubungan antara 2 variabel dapat hanya kebetulan saja, dapat pula merupakan hubungan timbal-balik. Maksud dari hubungan timbal-balik adalah apabila ada perubahan pada variabel yang satu, maka akan mengakibatkan perubahan pada variabel lainnya.
Koefisien Korelasi
Harga absolut dari r menunjukkan kekuatan hubungan linier. Harga korelasi berada pada interval -1 s.d. 1. Tanda (-) dan (+) menunjukkan arah hubungan.
Tanda (+) adalah perubahan pada salah satu variabel akan diikuti perubahan variabel lain dengan arah yang sama. Misalnya, satu variabel mengalami kenaikan akan diikuti oleh kenaikan variabel yang lain. Begitu juga sebaliknya.
Tanda (-) adalah perubahan pada salah satu variabel akan diikuti perubahan variabel yang lain dengan arah yang berlawanan. Misalnya, satu variabel mengalami kenaikan maka akan diikuti oleh penurunan variabel yang lain. Begitu juga sebaliknya.
Korelasi nol adalah kenaikan nilai variabel yang satu kadang-kadang disertai turunnya nilai variabel yang lain atau kadang-kadang diikuti kenaikan variabel yang lain. Arah hubungannya tidak teratur, kadang-kadang dengan arah yang sama, kadang-kadang berlawanan (tidak ada hubungan linier).
Interpretasi Koefisien Korelasi
Kita tidak akan mengalami kesukaran untuk menjelaskan tentang nilai korelasi +1 maupun -1, karena begitu dijelaskan maka orang lain akan paham. Begitu juga untuk nilai nol yang berarti tidak ada hubungan linier.
Menurut Young (1982:317), ukuran korelasi adalah sebagai berikut:
0,7 - 1,00 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya derajat asosiasi yang tinggi.
0,40 s.d <0,70 (baik plus atau minus) menunjukkan hubungan yang substansial.
0,20 s.d. <0.40 (baik plus atau minus) menunjukkan adanya korelasi yang rendah.
<0,20 (baik plus atau minus) berarti dapat diabaikan.
Kursus Membatik (Bantuin Iklan) Museum Tekstil
Batik tengah jadi tren saat ini. Salah satu seni peninggalan tempo dulu, kini tengah naik daun dan berkembang dengan pesat. Salah satu tempat yang bisa mengakomodir dan mengembangkan batik adalah museum tekstil. "Di sini kami mengajarkan pelatihan dasar bagaimana cara membatik. Setelah dari sini mereka bisa meneruskan bakatnya untuk hobi atau bahkan jadi bisnis mereka." Ujar Dyah Damayanti, selaku Kepala Museum Tekstil.
Selain kursus membatik, "Kami juga mengadakan kursus Jumputan, memasang peyet, serta kursus tenun," tambah Dyah. Media untuk membatik, tak hanya pada kain semata. Namun, pada T-Shirt atau kemeja, seperti yang tengah tren, juga bisa.
Operational Hours: Selasa, Rabu, Kamis, dan Minggu (09.00 - 15.00), Hari Jumat (jam 09.00 - 14.30), Hari Sabtu (jam 09.00 - 12.30), Senin Tutup.
Museum Tekstil: Jl. KS. Tubun No. 2-4, Pertamburan, Jakarta Barat 11420. Telp. (021) 560.6613
Selain kursus membatik, "Kami juga mengadakan kursus Jumputan, memasang peyet, serta kursus tenun," tambah Dyah. Media untuk membatik, tak hanya pada kain semata. Namun, pada T-Shirt atau kemeja, seperti yang tengah tren, juga bisa.
Operational Hours: Selasa, Rabu, Kamis, dan Minggu (09.00 - 15.00), Hari Jumat (jam 09.00 - 14.30), Hari Sabtu (jam 09.00 - 12.30), Senin Tutup.
Museum Tekstil: Jl. KS. Tubun No. 2-4, Pertamburan, Jakarta Barat 11420. Telp. (021) 560.6613
IBROH SIROH NABAWIYAH PART 7... (Selesai)
Oleh: DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
•Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengutus Para Utusan guna Mengajarkan Prinsip-prinsip Islam
Hal terpenting yang harus dipahami oleh seorang Muslim dari pengiriman para utusan ini ialah bahwa tanggung jawab penyebaran dan perjuangan Islam merupakan tanggung jawab seluruh kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat. Tanggung jawab ini bukan hal yang remeh sebagaimana dipahami oleh sebagian besar kaum Muslimin sekarang.
Tidaklah cukup hanya menyatakan keislaman dengan lisan semata. Juga tidak cukup hanya dengan mengamalkan sebagian ajaran Islam yang ringan-ringan dalam kehidupan kita. Bahkan tidak cukup hanya berpegang teguh dengan Islam untuk dirinya sendiri kemudian tidak mau peduli pada yang lainnya.
Tanggung jawab perjuangan dan pergerakan Islam tidak akan terlepas dari pundak kaum Muslimin sebelum hal ini juga dilaksanakan. Melaksanakan kewajiban dakwah kepada Islam dan pergi ke seluruh penjuru dunia dalam rangka menunaikan kewajiban dakwah.
Itulah amanah yang dipikulkan oleh Rasulullah S’AW ke pundak kita dan kewajiban yang tidak boleh diabaikan di setiap zaman dan tempat. Para ulama dan imam yang empat telah sepakat bahwa melaksanakan kewajiban dakwah di dalam dan di luar negeri kaum Muslimin adalah fardhu kifayah atas seluruh kaum Muslimin. Mereka tidak akan terlepas dari tanggung jawab ini kecuali setelah adanya sejumlah orang (da’i) yang mengajak kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam ke seluruh penjuru dunia secara merata dan mencukupi. Jika sejumlah da’I yang diperlukan ini belum terpenuhi di setiap negeri Islam, semua penduduk negeri tersebut berdosa.
Jumhur imam dan fuqaha berpendapat bahwa kewajiban dakwah ini tidak hanya terpikul di atas pundak kaum laki-laki, tetapi berlaku secara umum, laki-laki, wanita, orang merdeka, dan hamba sahaya, selama mereka mukallaf dan mampu melaksanakan tugas dakwah dan taujih, masing-masing sesuai batas kemampuan dan sarana kemampuannya. (Mughnil Muhtaj, 4/211 dan al-Ahkamus Sulthaniah, al-Mawardi.)
Wasiat yang disampaikan Rasulullah S’AW kepada Mu’adz dan Abu Musa al-‘Asy’ari menunjukkan sebagian adab (kode etik) yang harus dimiliki oleh para da’I dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
Di antaranya harus mengutamakan aspek taisir (memudahkan) dari tasydid (mempersulit) dan tadiq (mempersempit). Lebih banyak memberikan tabsyir (“kabar gembira” yang menggemarkan) daripada tahdid (ancaman dan kecaman) yang diistilahkan oleh Rasulullah S’AW dengan tanfir (membuat orang lari dari Islam).
Kode etik ini kemudian dijelaskan Rasulullah S’AW melalui contoh aplikatif dengan memerintahkan Mu’adz agar mengajak manusia pertama-tama untuk mengucapkan syahadatain; jika mereka telah mengikrarkan, hendaklah diajak untuk menegakkan sholat. Jika mereka telah melakukannya, hendaklah diajak untuk membayar zakat dan seterusnya…
Namun perwujudan kode etik taisir dan tabsyir ini tidak boleh melampaui batas-batas syariat. Prinsip taisir yang disyariatkan ini tidak berarti membolehkan pengubahan sebagian hukum Islam atau mempermainkan ajaran-ajaran Islam demi mencari kemudahan bagi manusia. Prinsip taisir juga tidak berarti boleh mengakui kemaksiatan kendatipun dalam prinsip taisir dibolehkan memilih sarana yang harus digunakan untuk menolak kemaksiatan tersebut.
Termasuk kode etik berdakwah kepada Allah (juga termasuk adab imarah dan walayah) adalah menghindari tindakan menzhalimi siapa pun, terutama dalam masalah pemungutan sesuatu, seperti memungut harta oang tanpa kebenaran. Tindakan kezhaliman ini bisa saja dilakukan oleh para da’i apabila mereka lupa akan hakikat tanggung jawab mereka di hadapan Allah, sebagaimana juga bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan dan kekuasaan.
Karena Mu’adz telah berpegang teguh sepenuhnya pada kedua sifat tersebut, ketika hendak dikirim oleh Rasulullah S’AW ke Yaman (sifat sebagai da’I dan penguasa), Nabi lalu memperingatkannya dengan keras agar tidak terjerumus melakukan tindakan kezhaliman apa pun.
“Takutlah kamu dari do’a orang yang teraniaya karena di antara dia dan Allah tidak ada penghalang sama sekali.”
•Haji Wada’ beserta Khotbahnya
1.Bilangan haji Rasulullah S’AW dan Waktu Disyariatkannya Haji
Para ulama berselisih pendapat, apakah Rasulullah S’AW pernah melakukan haji dalam Islam selain pelaksanaan haji ini?
Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan ibadah haji tiga kali sebelum hijrah ke Madinah. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari berkata, “Pendapat ini didasarkan kedatangan utusan Anshar yang pergi ke Aqabah di Mina setelah haji.” Pertama, mereka datang lalu membuat janji. Kedua, mereka datang lalu melakukan baiat yang kedua.
Di antara para ulama ada yang meriwayatkan bahwa Nabi S’AW sebelum hijrah melakukan haji setiap tahun.
Kendatipun demikian, tidak diragukan lagi bahwa kewajiban haji ini disyariatkan pada tahun ke-10 Hijriah. Sebelum ini, Nabi S’AW tidak pernah melakukan haji selain dari haji tersebut. Karena itu, di antara para sahabat banyak yang menamakan Haji Wada’ ini dengan Hijjatul Islam atau Hijjatu Rasulillah S’AW. Imam Muslim menjadikan nama terakhir ini (Hijjatu Rasulillah S’AW) sebagai judul Hadits-hadits mengenai haji Rasulullah S’AW.
Di antara dalil yang membuktikan bahwa haji belum diwajibkan sebelum tahun ke-10 Hijriah adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai utusan Abdul Qais yang datang menemui Nabi S’AW. Di dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa mereka berkata kepada Nabi S’AW, “Perintahkan kepada kami dengan perkara yang tegas yang akan kami lakukan dan kami perintahkan pula kepada orang-orang di belakang kami, yang dengan itu, kami dapat masuk surga.” Nabi S’AW bersabda, “Aku perintahkan kalian dengan empat (hal) dan aku larang kalian dari empat (hal) pula.” Selanjutnya Nabi menyebutkan empat perintah tersebut seraya bersabda, ”Aku perintahkan kalian agar beriman kepada Allah, menegakkan sholat,menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan memberikan seperlima dari harta pampasan.”
Tampaknya Nabi S’AW menyebutkan soal keimanan kepada Allah hanyalah sebagai tambahan terhadap empat perkara tersebut karena hal ini sangat dikenal oleh mereka. Akan tetapi, beliau mengulangi perintah tersebut untuk menegaskan dan menjelaskan bahwa keimanan merupakan asas bagi empat perkara yang disebutkan sesudahnya.
Kedatangan utusan ini (bani Abdul Qais) adalah pada tahun ke-9 Hijriah. Seandainya haji sudah diwajibkan pada waktu itu, niscaya Nabi S’AW akan menyebutkannya di antara sejumlah hal yang diwajibkan kepada mereka.
2.Makna Agung dari Haji Rasulullah S’AW
Haji Rasulullah S’AW ini memiliki makna yang sangat besar yang berkaitan dengan dakwah Islam, kehidupan Nabi S’AW, dan sistem Islam.
Kaum Muslimin telah belajar dari Rasulullah S’AW tentang sholat dan segala hal yang berkenaan dengan peribadahan dan kewajiban mereka. Saat itu, Nabi S’AW tinggal mengajarkan kepada mereka manasik dan cara pelaksanaan ibadah haji, setelah tradisi-tradisi jahiliyah yang biasa dilakukan pada musim-musim haji itu dihapuskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersamaan dengan penghancuran berhala yang ada di dalam Baitullah.
Ajakan untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tetap berlaku hingga hari kiamat. Ia adalah ajakan Abul Anbiya’, Ibrahim ’alaihis salam berdasarkan perintah dari Allah SWT. Namun, berbagai penyimpangan jahiliyah dan kesesatan kaum penyembah berhala telah menambahkan kedalaman berbagai tradisi yang bathil dan menyampurnya dengan berbagai bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Islam kemudian datang untuk membersihkan ibadah ini sehingga menjadi bersih kembali dan memancarkan cahaya tauhid serta dilakukan atas dasar ’ubudiyah secara mutlak kepada Allah SWT.
Kaum muslimin yang pada hari itu sudah berjumlah banyak dan menyebar di berbagai penjuru sangat merindukan pertemuannya dengan Rasul mereka dan ingin mendapatkan nasihat-nasihat serta petunjuknya. Demikian pula Rasulullah S’AW sangat merindukan pertemuan dengan mereka, terutama dengan lautan manusia yang baru saja masuk Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arabia yang belum pernah mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bertemu beliau. Kesempatan yang paling besar dan paling indah untuk pertemuan tersebut hanyalah didapatkan dalam kesempatan ibadah haji ke Baitullah dan di Padang Arafah. Pertemuan antara umat dan Rasulnya di bawah naungan salah satu syiar Islam yang terbesar. Pertemuan yang menurut ilmu Allah SWT dan ilham Rasul-Nya sebagai pertemuan taushiah (nasihat) dan wada’ (perpisahan).
Rasulullah S’AW juga ingin bertemu dengan rombongan kaum Muslimin yang datang sebagai hasil jihad selama 23 tahun, guna menyampaikan kepada mereka tentang ajaran Islam dan sistemnya dalam suatu ungkapan yang singkat, tetapi padat, dan nasihat yang ringan, tetapi sarat dengan ungkapan perasaannya dan getaran-getaran cintanya terhadap umatnya. Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW ingin melihat potret akan datang sehingga semua nasihat dan pesan-pesannya bisa sampai kepada mereka dari balik tembok-tembok zaman dan dinding-dinding kurun.
Itulah sebagian makna haji Rasulullah S’AW: Hijjatul Wada’ (Haji Perpisahan). Makna ini akan lebih jelas terasa di dalam khotbah Rasulullah S’AW yang disampaikan di lembah Uranah pada hari Arafah.
3.Renungan tentang Khotbah Wada’
Sungguh, kalimat-kalimat yang disampaikan di Padang Arafah begitu indah. Beliau bukan saja berbicara kepada mereka yang hadir di Padang Arafah, melainkan juga pada semua generasi dan sejarah sesudah mereka. Kalimat-kalimat ini disampaikannya setelah beliau menyampaikan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan dakwah selama + 23 tahun tanpa bosan dan jemu. Demi Allah, betapa indahnya saat itu. Saat dimana ribuan kaum mu’allaf yang memenuhi Padang Arafah sejauh mata memandang dari berbagai arah itu menjadi bukti kebenaran firman Allah, ”Sesungguhnya, Kami Menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (al-Mu’min [40]: 51)
Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW dapat melihat generasi-generasi mendatang dan Dunia Islam yang besar yang akan memenuhi belahan timur dan barat dari muka bumi ini. Kepada mereka semua, Rasulullah S’AW menyampaikan khotbah perpisahan,
”Wahai umat manusia, dengarkanlah perkataanku. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-selamanya...”
Dunia terdiam mendengarkan khotbah beliau. Semuanya mendengarkan kalimat perpisahan yang keluar dari lisan Rasulullah S’AW setelah dunia dan seisinya berbahagia dengan kehadirannya selama 23 tahun. Kini setelah bertugas melaksanakan perintah Allah dan menanamkan pohon-pohon keimanan di bumi, beliau ingin menyampaikan secara singkat prinsip-prinsip Islam yang dibawanya dan diperjuangkannya selama ini, dalam ungkapan yang singkat tapi sarat makna.
Apakah tema pertama dari khotbah beliau tersebut? Subhanallah! Alangkah agung dan indahnya khotbah! Seolah-olah taushiyah beliau itu diilhami oleh realitas berbagai penyelewengan yang akan dilakukan oleh beberapa kaum dari umatnya sepanjang zaman, akibat mengikuti orang lain dan meninggalkan cahaya yang akan diwariskannya kepada mereka, Sabda beliau,
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (tidak boleh dinodai oleh siapa pun juga) sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian, seperti hari dan bulan suci sekarang ini.”
Di akhir khotbahnya, Rasulullah S’AW mengulangi lagi wasiat ini dan menegaskan pentingnya memperhatikan hal tersebut dengan menyatakan,
“Kalian tahu bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain dan semua kaum Muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu, janganlah kalian menganiaya diri sendiri...Ya Allah, sudahkah kusampaikan?”
Kita pun sekarang menjawab, “Demi Allah, engkau telah menyampaikannya, wahai Rasulullah!” Barangkali kita sekarang ini lebih patut untuk memberikan jawaban kepadamu, wahai Rasulullah, “Ya Allah, beliau telah menyampaikannya kendatipun kami belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab tersebut.”
Tema kedua dari khotbah beliau bukan sekadar taushiyah, melainkan qarar (keputusan) yang diumumkan kepada semua orang, kepada mereka yang hadir di sekitarnya dan juga kepada umat-umat yang akan datang sesudahnya.
Qarar itu berbunyi:
“Sesungguhnya, segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi...Riba jahiliyah tidak boleh berlaku lagi.”
Apa makna yang terkandung dalam qarar ini? Ia menegaskan bahwa segala hal yang pernah dibanggakan dan dipraktikkan oleh jahiliyah, di antaranya tradisi fanatisme kekabilahan, perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada bahasa, keturunan, dan ras, atau penghambaan seseorang terhadap sesamanya dengan berbagai belenggu kezhaliman dan pemerasan (riba), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada hari ini, praktik-praktik jahiliyah itu merupakan merupakan barang busuk yang telah dikubur oleh syariat Allah ke dalam perut bumi. Siapakah gerangan yang ingin menggali dan mengeluarkan lagi barang busuk itu? Adakah orang berakal sehat yang masih ingin memulung sampah busuk itu lagi? Orang pembangkang macam apakah yang sengaja mengunakan rantai dan borgol yang baru saja dihancurkan oleh Islam itu?
Tema ketiga dari khotbah beliau menyatakan keserasian zaman dengan nama-nama bulan yang disebutkan setelah sekian lama dipermainkan oleh orang-orang Arab di masa jahiliyah dahulu-seperti dikatakan oleh Mujahid dan lainnya-melakukan ibadah haji mereka selama dua tahun di bulan tertentu. Kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Dzulhijjah selama dua tahun dan kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Muharram untuk masa dua tahun dan seterusnya. Ketika Rasulullah S’AW melakukan ibadah haji tahun ini, bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, dan pada saat itu, Rasulullah S’AW mengumumkan bahwa zaman telah berputar seperti keadaannya pada waktu Allah Menciptakan langit dan bumi. Janganlah kalian mempermainkan bulan-bulan itu dengan mendahulukan atau mengakhirkannya. Setelah hari ini tidak dibenarkan melakukan ibadah haji kecuali pada bulan yang telah ditetapkan namanya: Dzulhijjah.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa kaum musyrikin pada waktu itu mengira bahwa satu tahun itu terdiri atas 12 bulan dan 15 hari, sehingga mereka melakukan ibadah haji pada bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’idah, dan di bulan apa saja karena mengikuti peredaran bulan dengan tambahan 15 hari tersebut setiap tahunnya.
Ibadah haji yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah pada tahun ke-9 Hijriah, jatuh pada bulan Dzulqa-idah disebabkan perhitungan tahun yang dibuat oleh orang-orang Arab jahiliyah tersebut. Karena itu, pada tahun berikutnya (tahun dimana Rasulullah S’AW melakukan Haji Wada’), haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada tanggal 10 tepat dengan bulan-bulan ditetapkannya ibadah haji. Pada saat itu pula, Rasulullah S’AW mengumumkan dihapuskannya hisab lama dan bahwa satu tahun setelah hari ini hanya terdiri dari 12 bulan. Setelah hari ini, tidak ada tambahan lagi. Al-Qurthubi berkata bahwa pernyataan ini sama dengan sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, zaman telah berputar...”, yakni sesungguhnya waktu ibadah haji telah kembali kepada waktunya yang asal yang telah ditetapkan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi yaitu asal pensyariatan yang telah diketahui Allah sebelumnya. (Lihat al-Jami’li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 8/137-138)
Tema keempat dari khotbah beliau yaitu wasiat agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Wasiat ini, yang ditegaskan dalam kalimat yang singkat, tapi padat, menghapuskan segala bentuk penganiayaan terhadap kaum wanita dan memperkokoh jaminan hak-hak asasinya dan kehormatannya sebagai manusia.
Hikmah yang harus diperhatikan di sini adalah agar kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat senantiasa menyadari tentang perbedaan besar antara kehormatan wanita serta hak-haknya yang telah dijamin oleh Islam dan apa yang telah menjadi sasaran sebagian orang yang menghalalkan segala cara untuk menikmati dan mempermainkan kaum wanita.
Tema kelima dari khotbah beliau yaitu Nabi S’AW meletakkan semua problematika manusia di hadapan dua sumber nilai. Siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dijamin akan terhindar dari segala kesengsaraan dan kesesatan.
Kedua sumber nilai ini adalah Kitabullah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.
Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi para sahabatnya, tetapi juga bagi generasi yang datang sesudahnya.
Tema keenam dari khotbah beliau ialah penjelasan Nabi S’AW tentang hubungan yang seharusnya dibina antara seorang hakim (penguasa) atau khalifah atau kepala negara dan rakyatnya. Ia adalah hubungan ketaatan dari rakyat terhadap pimpinannya betapapun keturunan, warna kulit, dan bentuk lahiriahnya selama dia tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia menyimpang dari keduanya, tidak ada kewajiban untuk taat kepadanya. Penguasa itu mempunyai hak untuk ditaati hanya karena ia menjalankan al-Qur’ an dan as-Sunnah sehingga tidak ada masalah setelah itu sekalipun ia seorang budak dari Ethiopia yang berambut keriting dan berhidung gruwung karena semua bentuk lahiriah itu tidak merendahkan derajatnya sedikit pun di sisi Allah.
Akhirnya, Rasulullah S’AW telah melaksanakan tanggung jawab dakwahnya. Demikianlah, Islam telah tersebar luas, kesesatan-kesesatan jahiliyah dan kemusyrikan telah tergusur, dan hukum-hukum syariat Ilahiah pun telah tersampaikan seluruhnya. Karenanya, turunlah wahyu kepadanya yang menyatakan kepada umat manusia,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah [5]: 3)
Nabi S’AW ingin menenangkan hatinya dengan kesaksian umatnya di hadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak. Lalu di akhir khotbahnya itu, beliau menanyakan seraya bersabda,
”Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan kelak?”
Dengan serempak dan suara keras, orang-orang yang ada di sekelilingnya menjawab,
”Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, dan memberi nasehat.”
Saat itulah Rasul yang agung itu telah merasa tenang. Rasulullah S’AW ingin memastikan kesaksian ini karena itulah yang akan digunakan untuk menghadap Allah kelak. Setelah merasa tenang dan terlihat perasaan ridha di kedua mata beliau, akhirnya beliau melihat ke arah langit seraya menunjuk dengan jari telunjuknya kemudian memandang kepada umatnya seraya berkata, ”Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah...”
Duhai, betapa besar kebahagiaan itu. Kebahagiaan Rasulullah S’AW karena telah mengorbankan masa mudanya dan menghabiskan umurnya demi menyebarkan syariat Allah SWT. Kebahagiaan Nabi S’AW semakin bertambah besar ketika beliau menyaksikan hasil pengorbanannya tersebut: gemuruh suara meneriakkan tauhidullah, dahi-dahi yang tunduk sujud kepada agama Allah, dan hati-hati manusia yang khusyuk dan bergetar karena cinta Allah. Betapa bahagianya kekasih Allah pada saat itu. Saat mengenang kembali segala penderitaan dan penganiayaan yang pernah dialaminya di jalan dakwah dan keimanan yang telah diratakannya di muka bumi ini. Semoga kebahagiaan senantiasa menyertaimu, wahai junjungan kami.
Demi Allah, itu bukan hanya kesaksian ribuan kaum Muslimin yang pernah berhimpun di sekelilingmu di Padang Arafah, wahai Rasulullah. Akan tetapi, itu juga merupakan kesaksian kaum Muslimin di setiap generasi dan zaman sampai Allah Mewariskan bumi seisinya. Kami bersaksi, wahai Rasulullah, bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, memberi nasihat. Semoga Allah memberikan balasan kepadamu dengan sebaik-baik balasan yang diberikan kepada seorang Nabi dari umatnya.
Tanggung jawab itu telah berpindah sesudahmu ke atas pundak-pundak kami. Akan tetapi, pada hari ini, kami masih belum melaksanakan sepenuhnya. Adakah kami kelak menemuimu, wahai junjungan kami, sedangkan dosa-dosa kami menumpuk karena kemalasan, keengganan, dan ketertarikan kami kepada kehidupan dunia. Sementara itu, para sahabatmu yang mulia rela mengucurkan darah mereka, mengorbankan harta benda mereka demi membela syariatmu, memperjuangkan dakwahmu, dan mengikuti jihadmu.
Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum Muslimin secara keseluruhan dan menyadarkan kita dri mabuk dunia dan buaian hawa nafsu. Semoga Allah berkenan melimpahkan karunia dan kelembutan-Nya kepada kita.
Rasulullah S’AW kemudian menyempurnakan ibadah hajinya dan meminum air zamzam. Setelah mengajarkan manasik kepada umatnya, beliau lalu kembali ke Madinah guna melanjutkan jihadnya di jalan agama Allah.
•Beberapa ’Ibroh dari Peristiwa-Peristiwa Bagian Akhir Sirah Nabi S’AW
Peristiwa-peristiwa bagian akhir dari sirah Nabi S’AW ini mengungkapkan hakikat terbesar dalam kehidupan ini. Hakikat yang menjadi pangkal kehancuran para tiran dan yang mempertuhan dirinya. Hakikat yang akan menghantarkan wujud ini kepada kefanaan. Hakikat yang akan mewarnai seluruh kehidupan manusia ini dengan warna ’ubudiyah dan ketundukan kepada Pencipta petala langit dan bumi. Suatu hakikat yang akan memberi kesadaran (baik secara suka maupun terpaksa) kepada orang-orang yang membangkang ataupun orang-orang yang taat, para penguasa, orang-orang yang mempertuhankan dirinya, para Rasul, para Nabi, orang-orang pilihan, orang-orang kaya, dan orang-orang fakir.
Ia adalah hakikat yang menegaskan sepanjang zaman dan setiap tempat, di telinga setiap orang yang mendengar dan di benak setiap orang yang berpikir bahwa tidak ada uluhiyah kecuali bagi Yang Mahakekal Abadi, tidak ada siapa pun yang dapat menolak keputusan-Nya, tiada batas bagi keluasan-Nya, tiada tempat lari dari hukum-Nya, dan tidak ada yang dapat mengalahkan urusan-Nya.
Hakikat apakah yang lebih gamblang mengungkapkan makna tersebut selain hakikat kematian dan sakratul maut, karena dengan kedua fenomena itu, Allah SWT menundukkan segenap penduduk dunia ini semenjak fajar kehidupan sampai terbenamnya?
Jembatan dunia ini telah banyak dilewati oleh orang-orang yang tertipu oleh kekuatan yang digenggamnya atau ilmu pengetahuan yang dicapainya atau penelitian penemuan yang didapatkannya. Akan tetapi, tiba-tiba mereka diempaskan oleh hakikat terbesar ini ke dalam padang ’ubudiyah terhadap Pencipta langit dan bumi. Mereka pada akhirnya menghadap kepada Allah SWT sebagai hamba dan penuh ketundukan.
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian........................!
Hukum ini berlaku secara umum, tanpa pengecualian. Tidak ada yang mampu menghentikannya.
Biarlah para pakar Iptek modern berhimpun menjadi satu, mengerahkan seluruh kemampuan dan peralatan modern mereka untuk menangkal dan menghindarkan diri mereka dari kekuatan kematian yang dipaksakan kepada mereka ini. Biarlah mereka menghentikan tantangan Ilahi ini walau hanya sebagian darinya. Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Jika mampu melakukan itu, bolehlah mereka membangun menara-menara kediktatoran dan kekafiran. Tetapi jika tidak, sebaiknya mereka merenungkan kuburan-kuburan yang akan membekap mereka, tanah yang akan mengimpit mereka, dan pencabutan nyawa yang tidak dapat ditolaknya.
Adalah mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan Rasul-Nya terbebas dari sakratul maut dengan segala penderitaannya, tetapi hikmah Ilahi menghendaki bahwa ketentuan Allah SWT ini berlaku bagi semua orang, betapapun kedudukannya di sisi Allah, agar manusia hidup dalam suasana tauhid dan hakikatnya. Juga agar mereka mengetahui dengan baik bahwa segala yang ada di langit dan di bumi ini pasti akan datang kepada Yang Maha Rahman sebagai hamba. Tidak ada seorang pun yang menolak ’ubudiyah, setelah Rasulullah S’AW sendiri juga tunduk kepada hukum dan ketentuan-Nya. Tidak boleh ada orang yang merasa tidak perlu memperbanyak mengingat kematian dan sakratul maut, setelah kekasih Allah pun tidak dapat lolos darinya.
Karena itu, inilah yang dikemukakan oleh firman Allah,
”Sesungguhnya, kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 30)
”Kamu tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya’[21]: 34-35)
Dengan demikian, pada bagian akhir dari sirah Nabi S’AW, kita berada di hadapan dua hakikat yang menjadi penopang keimanan kepada Allah, bahkan penopang hakikat kauniyah secara keseluruhan.
Hakikat tauhidullah dan hakikat ’ubudiyah syamilah yang telah difitrahkan Allah bagi semua manusia di atas alam ini. Tiada perubahan bagi ketentuan Allah.
Beberapa pelajaran dan hukum:
1.Tidak ada Pengutamaan dalam Hukum Islam kecuali dengan Amal Sholeh
Zaid bin Haritsah adalah seorang budak, bapak Usamah yang mantan budak. Usamah adalah pemuda berusia sekitar 18-20 tahun. Sekalipun demikian, kepemudaan dan statusnya sebagai mantan budak itu tidak menghalangi Rasulullah S’AW untuk menjadikannya sebagai amir bagi para sahabat di sebuah peperangan penting dan besar. Jika hal ini dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai peluang untuk mengekspresikan kekagetan atau penolakan mereka, tidaklah heran sebab Islam memang datang untuk menghancurkan standar-standar jahiliyah yang mereka pakai untuk membedakan manusia itu.
Barangkali Nabi S’AW memilih Usamah, bukan yang lainnya, untuk memimpin pasukan dalam peperangan ini karena suatu ”keistimewaan” yang secara khusus dimilikinya. Kepada kaum muslimin, dalam hal ini, tidak ada pilihan kecuali harus taat dan patuh sekalipun dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah. Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan oleh Abu Bakar dalam khilafahnya adalah melanjutkan pasukan Usamah ini. Keberangkatan pasukan ini bahkan diantar langsung oleh Abu Bakar seraya berjalan kaki, sementara Usamah menunggang kendaraannya, sehingga membuat Usamah berkata, ”Wahai Khalifah, biarlah anda yang naik dan aku yang turun.” Akan tetapi, Abu Bakar R.’A menjawab,
”Demi Allah, engkau tidak perlu turun dan aku tidak harus naik. Apakah aku tidak boleh melumuri kedua kakiku sesaat di jalan Allah?”
Akhirnya, pasukan Usamah R.’A kembali dari peperangan ini dengan membawa kemenangan yang gemilang dan ternyata pemberangkatan pasukan Usamah tersebut membawa kemaslahatan yang besar bagi kaum Muslimin. (Tarikhut Thabari, 3/22)
2.Disyariatkannya Jampi-jampi
Yang dimaksud jampi-jampi (ruqyah) ialah membacakan berbagai macam ta’awudz (permintaan perlindungan kepada Allah, sebagaimana do’a). Dalil bagi praktik jampi-jampi ini ialah hadits Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan di atas, yaitu apabila Nabi S’AW mengalami sakit, beliau meniup dirinya dengan mu’awwidzat (bacaan-bacaan ta’awwudz) lalu mengusapkannya dengan tangannya...
Nabi S’AW juga biasa menjampi para sahabatnya, kadang-kadang dengan adzkar dan do’a-do’a. Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ia berkata, ”Apabila ada seseorang yang sakit, Rasulullah S’AW biasanya mengusapnya dengan tangan kanan beliau seraya mengucapkan,
”Wahai Rabb manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Sesungguhnya, Engkau adalah Yang Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, suatu kesembuhan yang tuntas.’”
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ”Nabi S’AW apabila sakit, beliau membaca beberapa mu’awwidzat lalu meniupkannya sendiri. Ketika beliau sakit keras, aku yang membacakannya dan mengusapkannya dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya.” Di antara dalil yang paling jelas menunjukkanannya jampi-jampi dalam al-Qur’an ialah firman Allah,
”Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (al-Isra’ [17]: 82)
Perbedaan antara do’a-do’a dan jampi-jampi adalah bahwa dalam jampi-jampi itu ditambahkan unsur mengusap dengan tangan dan meniup dengan mulut. Tiupan tanpa menyemburkan ludah.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur membolehkan mengambil upah (bayaran) dari jampi-jampi. Abu Hanifah merinci, ”Kalau mengajarkan al-Qur’an tidak boleh mengambil bayaran, sedangkan kalau untuk jampi-jampi dibolehkan mengambil bayaran.” (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/118). Dalil tersebut adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah S’AW dalam suatu perjalanan pernah melewati sebuah perkampungan Arab lalu mereka meminta izin untuk singgah, tetapi ditolak oleh penduduk kampung tersebut. Penduduk kampung itu bertanya ”Apakah di antara kalian ada yang bisa menjampi karena kepala kampung ini sedang terkena musibah (disengat).” Salah seorang dari sahabat itu menjawab, ”Ada”. Sahabat itu kemudian mendatanginya lalu menjampinya dengan surah al-Fatihah. Setelah dijampi, ternyata kepala kampung tersebut sembuh. Karenanya, sahabat tersebut diberi sejumlah kambing, tetapi ia tidak mau menerimanya. Sahabat itu berkata, ”Sampai kuceritakan hal tersebut kepada Nabi S’AW dan menceritakan hal tersebut seraya berkata ”Demi Allah, aku tidak menjampinya kecuali dengan al-Fatihah.” Nabi S’AW tersenyum seraya berkata, ”Dari manakah kamu tahu bahwa al-Fatihah itu adalah jampi-jampi?” Nabi S’AW kemudian melanjutkan, ”Ambillah kambing-kambing itu dan berilah aku bagian.”
Imam Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar, juga yang lainnya, mengutip adanya ijma tentang dibolehkannya jampi-jampian apabila memenuhi tiga persyaratan.
Pertama, harus dengan kalam Allah atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua, harus dengan bahasa Arab atau bacaan lainnya yang diketahui (dimengerti) maknanya. Ketiga, harus meyakini bahwa jampi-jampi itu sendiri tidak mempunyai pengaruh, tetapi semata-mata hanya mendapatkan izin dan kekuasaan Allah. (Syarah Nawawi atas Muslim, 14/169 dan Fat-hul Bari, Ibnu hajar, 10/52) Ketiga, persayaratan ini dikuatkan oleh beberapa hadits shahih seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Auf bin Malik al-Asy’ari, ia berkata,
”Di masa Jahiliyah dahulu, kami pernah menjampi, kemudian kami tanyakan, ’Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang jampi-jampi itu?” Beliau menjawab, ’Kemukakanlah kepadaku jampi-jampi kalian. Sesungguhnya, jampi-jampi tidak dilarang selama tidak mengandung kemusyrikan.’”
Sihir dan Jampi-jampi
Di antara jampi-jampi yang pernah dibacakan untuk dirinya sendiri oleh Rasulullah S’AW adalah bacaan beberapa mu’awwidzat setelah usaha penyihiran yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama menyebutkan bahwa jumhur kaum muslimin mengakui adanya sihir sebagaimana keberadaan hal-hal yang secara nyata memang ada. Dalilnya adalah hadits tersebut dan disebutkannya sihir itu sendiri di dalam kitab Allah, di samping wujudnya yang merupakan sesuatu yang bisa dipelajari. Firman Allah,
”...Kemudian mereka mempelajari dari keduanya apa yang dari sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan seorang istrinya...” (al-Baqarah [2]: 102)
Pemutusan jalinan antara seorang suami dan seorang istrinya merupakan sesuatu yang nyata sebagaimana diketahui oleh umum.
Barangkali ada orang yang merasakan kemuskilan pada masalah ini karena dua sebab.
Pertama, keberadaan sihir itu sendiri sebagai suatu hakikat yang benar-benar ada sebab sebagian orang mengira sihir itu adalah bayangan semata-mata yang bertentangan dengan masalah tauhid dan keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki pengaruh.
Kedua, jika dikatakan bahwa Rasulullah S’AW pernah disihir, apakah hal itu tidak merendahkan kedudukan manusia terhadap kenabian?
Sebenarnya tidak ada kemuskilan sama sekali dalam masalah ini. Tentang keraguan yang pertama dapatlah dijawab bahwa pengakuan tentang adanya sihir itu tidak berarti kita mengakui bahwa sihir itu mempunyai pengaruh. Pengakuan adanya sihir ini sama saja dengan perkataan kita bahwa racun itu berbahaya. Demikian pula obat. Ini adalah perkataan yang bisa diterima. Akan tetapi, pengaruh yang terdapat di dalam hal-hal tersebut hanyalah milik Allah. Firman Allah tentang sihir,
”...Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah...” (al-Baqarah [2]: 102)
Allah telah menafikan adanya pengaruh dalam sihir itu sendiri, tetapi pada waktu yang sama menegaskan adanya pengaruh dan akibat sihir itu dengan izin dari Allah.
Adapun keraguan kedua dapat dijawab bahwa sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah menyentuh jasad dan anggota badannya. Penderitaan beliau akibat sihir itu sama seperti penderitaan beliau akibat penyakit yang biasa mengenai jasad manusia. Seperti diketahui bahwa ke-ma’shum-an Rasulullah S’AW itu tidak berkonsekuensi bahwa beliau harus terbebas dari penyakit dengan gejala-gejala jasadiah.
Al-Qadhi Iyadh berkata, ”Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi S’AW pernah tersihir sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan beliau melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, maka hal ini tidak mengurangi kesucian tablighnya (kenabiannya). Sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah termasuk perkara-perkara dunia yang boleh dialaminya. Perkara-perkara dunia yang memang beliau tidak diutus dengan sebab hal tersebut dan juga tidak diutamakan karena hal tersebut. Dalam masalah ini (dunia), beliau boleh mengalaminya sebagaimana semua manusia.
Tidaklah mustahil beliau terkena sihir lalu tidak lama kemudian segera terbebas lagi sebagaimana telah terjadi. (Syarhusy Syifa’, al-Qadhi Iyadh, 4/278-279. Lihat juga Syarah Nawawi atas Muslim, 14/174.)
Berita penyihiran Rasulullah S’AW tersebut justru merupakan salah satu hal luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada Rasul-Nya. Ia tidak mengurangi kemuliaannya sebagai Nabi sama sekali, bahkan ia menjadi bukti baru di antara bukti-bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah terhadap dirinya. Ketika merasakan sihir ini, beliau lama berdo’a sebanyak-banyaknya kepada Allah sampai Allah Memberitahukan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham secara rahasia itu. Beliau kemudian pergi mendatangi tempat di mana Labid meletakkan rambut dan sarana-sarana sihirnya lalu memusnahkannya. Berikut ini adalah teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A., ia berkata bahwa seorang lelaki dari bani Zuraiq bernama Labid ibnul A’sham pernah menyihir Rasulullah S’AW sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan ia melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, sampai pada suatu malam ketika beliau berada di rumahku. Akan tetapi, beliau terus berdo’a dan berdo’a. Beliau kemudian berkata, ”Wahai Aisyah, apakah engkau merasa bahwa Allah menyampaikan fatwa kepadaku mengenai apa yang aku tanyakan. Ada dua orang datang kepadaku lalu salah satunya duduk di kepalaku dan yang lainnya di kakiku. Salah seorang dari keduanya bertanya kepada temannya, ’Sakit apa orang ini?’ Ia menjawab, ’Tersihir’. Ia bertanya lagi, ’Siapa yang menyihirnya?’ Temannya menjawab, ’Labid ibnul A’sham.’ Ia bertanya, ’Sihirnya ditempatkan dalam apa?’ Temannya menjawab, ’Di sisir dan rambut yang terkena sisir serta pelepah kurma yang kering.’ Ia betanya lagi, ’Dimana dia?’ Temannya menjawab, ’Di sumur Dzarwan.’” Rasulullah S’AW kemudian mendatanginya bersama sejumlah sahabatnya. Setelah datang, beliau berkata, ’Wahai Aisyah, airnya seperti getah pohon Hinna dan pucuk-pucuk pelepah kormanya seperti kepala-kepala setan!’ Nabi S’AW menjawab, ‘Allah telah Menyembuhkan aku dan aku tidak ingin membangkitkan keburukan di tengah-tengah orang.’ Akhirnya Rasulullah S’AW memerintahkan penimbunan sumur tersebut.
Hadits (peristiwa) ini lebih terasa menjadi bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah kepadanya daripada sebagai bukti penyakit yang mengenai jasadnya atau aspek yang berkaitan dengan kemanusiaannya.
Mungkin ada yang bertanya, “Jika demikian halnya, bagaimana membedakan mukjizat Ilahi dari sihir dan segala fenomenanya kalau memang sihir itu mempunyai wujud?”
Jawabannya bahwa mukjizat yang dibawa oleh Nabi itu disertai dengan pernyataan nubuwwah (kenabian) dan tantangan untuk melakukannya sebagai bukti kebenaran pernyataannya tersebut, sedangkan sihir tidak demikian halnya. Tukang sihir tidak mungkin mendakwakan dirinya sebagai Nabi, (lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/175). Selain itu, kekuatan sihir juga sangat terbatas. Sekalipun mempunyai wujud, sebagaimana telah dikatakan, hak wujudnya itu tidak dapat melampaui batas-batas tertentu dan tidak dapat pula menembus sampai mengubah hakikat sesuatu. Karena itu, Allah mengungkapkan sihir yang dibuat oleh para tukang sihir Fir’aun,
“Musa berkata, ‘Silakan kamu sekalian melemparkan!’ Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)
Allah SWT Mengungkapkan apa yang dilihat oleh Musa itu dengan khayal (bayangan), yakni tali-tali dan tongkat-tongkat itu pada hakikatnya tidak berubah menjadi ular karena sihir mereka. Yang terkena sihir itu adalah pandangan orang-orang yang menyaksikan, bukan tali dan tongkat. Inilah yang dijelaskan oleh ayat lain dalam firman-Nya,
”...mereka menyihir (menyulap) mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (al-A’raf [7]: 116)
Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang kami sebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada, juga tidak bertentangan dengan firman Allah,
”...Terbayang kepada Musa seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)
Hal ini karena berubahnya tali-tali menjadi ular yang merayap itu adalah khayal. Adapun terpengaruhnya mata oleh khayal tersebut dan lemahnya mata untuk melihat hakikat yang sebenarnya maka itu adalah kekuatan sihir dan hakikatnya. Hal ini semakin memperjelas kepada kita bahwa sihir itu hanya menyentuh jasad dan anggota tubuh manusia. Dengan sebab sihir ini, kadang-kadang bisa muncul suatu penglihatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.
3.Beberapa Keutamaan Abu Bakar R.’A.
Dari kisah sakitnya Rasulullah S’AW tersebut terdapat empat bukti bahwa Abu Bakar R.A. memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Rasulullah S’AW.
Pertama, ketika Rasulullah S’AW memulai khotbahnya dengan sabdanya, ”Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah, di antaranya diberi kekayaan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya.” Abu Bakar segera mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi S’AW. Karena itu, ia kemudian menangis seraya berteriak, ”Engkau kami tebus dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami.” Dalam pada itu, tidak ada orang selain Abu Bakar yang menangkap maksud Rasulullah S’AW tersebut. Sebagian riwayat hadits ini dari Abi Sa’id al-Khudri menyebutkan, ”Ketika Abu Bakar menangis karena sabda yang diucapkan oleh Rasulullah S’AW tersebut, aku berkata di dalam hati, ’Syekh ini menangis hanya karena Rasulullah menceritakan kepada kita tentang seorang hamba yang disuruh memilih lalu ia memilih.’” Abu Sa’id al-Khudri berkata, ”Ternyata hamba yang disuruh memilih itu adalah Rasulullah S’AW. Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami tentang hal tersebut.”
Kedua, sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, orang yang paling bermurah hati kepadaku dalam hartanya dan persahabatannya ialah Abu Bakar.” Ini adalah pernyataan abadi yang tidak pernah diberikan kecuali kepada Abu Bakar R.’A.
Ketiga, apa yang telah disebutkan di dalam riwayat Muslim dari Aisyah R.’A. bahwa Nabi S’AW berpesan kepada Aisyah, ”Panggilkan untukku Abu Bakar, bapak dan saudaraku, sehingga aku menulis suatu wasiat, sebab aku khawatir ada orang yang berambisi mengatakan, ’Aku lebih berhak, padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar.”
Hadits ini merupakan nash yang secara tegas menyatakan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW sekalipun hikmah Ilahiyah Mentaqdirkan Rasulullah S’AW tidak mengambil sumpah terhadap para sahabatnya dalam soal ini dan juga tidak memuliakannya kepada mereka. Semua itu agar pemerintahan dan khalifah sesudah Nabi S’AW tidak mengikuti sistem pewarisan terus-menerus sebab sistem seperti ini akan merusak suatu kaidah yang menegaskan bahwa seorang hakim (penguasa) atau khalifah harus memenuhi berbagai persyaratan kelaikan (sebagai penguasa atau khalifah) yang sudah sangat dikenal di dalam sistem Islam.
Keempat, ditunjuknya Abu Bakar R.’A. sebagai pengganti Nabi S’AW untuk mengimami sholat. Dapat dilihat bagaimana kuatnya keinginan Nabi S’AW untuk menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya sehingga Nabi S’AW menjawab dengan jawaban yang keras ketika Aisyah R.’A. mencoba mengajukan keberatannya dalam soal ini.
Kendatipun kita mengatakan bahwa keutamaan-keutamaan Abu Bakar yang tersebut dalam hadits-hadits shahih ini adalah faktor yang menguatkan pembaiatan kaum Muslimin terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW, hal ini tidak menafikan atau meremehkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan Khalifah yang lain, terutama Ali bin Abi Thalib R.’A. kita tahu bahwa dalam perang Khaibar, Nabi S’AW pernah bersabda,
”Panji ini akan aku berikan esok hari kepada seorang yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Selanjutnya, pada malam itu, orang-orang bertanya-tanya siapa gerangan orang yang berhak memegang panji itu. Ternyata pemegangnya adalah Ali bin Abu Thalib R.’A.
Urusan khalifah telah selesai dan kaum Muslimin pun telah menuntaskan masalah pemerintahan sesudah wafat Nabi S’AW, tanpa harus berpecah belah di antara mereka karena pembahasan dan diskusi yang memang harus dilakukan. Masing-masing dari Abu Bakar dan Ali R.’A. telah saling mengakui keutamaannya. Karena itu, merupakan tindakan yang bodoh dan tidak terpuji jika setelah empat belas abad dari sejarh tersebut, kita masih membuang-buang waktu dan menyulut api perpecahan hanya demi memenangkan suatu pendapat bahwa yang ini lebih berhak memegang khalifah daripada yang lain, padahal para sahabat yang kita bela-bela itu tidak pernah bersitegang dan berpecah-belah karena mempermasalahkan soal ini. Mereka telah menemui Allah dengan hati yang dipenuhi rasa cinta dan solidaritas sesama mereka.
4.Larangan Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Dari teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini, kita dapat mengetahui betapa kerasnya larangan Nabi S’AW dari melakukan tindakan ini. Para ulama berkata bahwa Nabi S’AW melarang menjadikan kuburannya dan kuburan yang lainnya sebagai masjid karena khawatir terjadi sikap berlebih-lebihan dalam menghormatinya sehingga mungkin hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya kekafiran sebagaimana biasa terjadi di kalangan umat-umat terdahulu.
Bentuk larangan itu di antaranya bisa berupa membangun masjid di atas kuburan sehingga di sekeliling kuburan itu dijadikan tempat sholat. Di kalangan para ulama ada yang mengharamkan dan ada pula yang memakruhkan. Ulama yang memakruhkan pun sangat memperketat apabila sholat itu berada di antara orang yang sholat dan kiblat. Tetapi sekalipun demikian, sholatnya tetap sah karena keharaman itu tidak mesti mengakibatkan kebatalan sehingga hukumnya sama dengan hukum sholat di tanah curian.
Imam Nawawi berkata, ”Ketika para sahabat dan tabi’in R.’A memerlukan pelebaran dan perluasan masjid Rasulullah S’AW karena jumlah kaum Muslimin semakin bertambah banyak, di mana perluasan ini menjangkau rumah-rumah para istri Nabi S’AW, di antaranya termasuk kamar Aisyah tempat di mana Nabi S’AW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar R.’A. dan Umar R.’A., dikuburkan, mereka lalu membangun dinding yang tinggi di sekeliling kuburan tersebut supaya tidak tampak di dalam masjid sehingga dikhawatirkan orang-orang awam akan akan melakukan sholat menghadap ke kuburan tersebut dan terjatuh melakukan hal yang terlarang. Mereka kemudian membangun dua dinding di dua sudut sebelah utara dan menyambungkannya agar tidak ada orang yang sholat menghadap kuburan. (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 5/13-14).
5.Perasaan Nabi S’AW ketika Menghadapi Sakratul Maut
Kita bisa memahami perasaan beliau dan konsentrasi pikirannya pada waktu itu. Ketika orang-orang sedang melakukan sholat subuh berjamaah pada hari Senin, tiba-tiba kain penutup di kamar Aisyah tersingkap dan Rasulullah S’AW muncul dari baliknya seraya memandang mereka yang sedang berbaris dalam sholat, kemudian beliau pun tersenyum sehingga Abu Bakar mundur mempersilakan beliau untuk menjadi imam dan orang-orang pun nyaris membatalkan sholat mereka karena gembira menyaksikan kehadiran Rasulullah S’AW. Akan tetapi, beliau mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka terus menyelesaikan sholat kemudian beliau pun kembali memasuki kamar dan melabuhkan kain penutup.
Dengan demikian, pikiran beliau pada waktu itu terkonsentrasikan sepenuhnya kepada umatnya dan bagaimana nasib mereka sepeninggalnya. Dari pandangannya yang ceria kepada para sahabatnya ketika mereka sedang khusyuk berada di hadapan Allah, kita dapat merasakan makna cinta yang mendalam yang memenuhi relung-relung hati Rasulullah S’AW. Cinta Rasulullah S’AW kepada para sahabatnya. Dari senyum beliau itu, kita bahkan dapat menemukan ungkapan rasa cinta, do’a, dan perhatian kepada mereka.
Rasulullah S’AW yang tengah melewati detik-detik terakhir dari hidupnya ingin melihat para sahabatnya untuk kali terakhir dan mendapatkan ketenangan dan kepuasan terhadap kebenaran serta hidayah yang disampaikannya kepada mereka. Allah pun berkenan Memperlihatkan suatu pemandangan dari para sahabatnya yang menyejukkan matanya dan menentramkan hatinya, sampai-sampai pemandangan yang menyejukkan itu dapat mengalahkan segala penderitaan sakratul maut yang tengah merayap di dalam tubuh beliau. Melihat kegembiraan dan kepuasan yang terekspresikan di wajah beliau itu, para sahabatnya mengira kalau beliau sudah sehat dan bugar kembali.
Ternyata itu adalah pandangan terakhir beliau kepada mereka karena tidak lama kemudian beliau menghadap Allah. Pandangan terakhir tentang para sahabatnya, bahkan umatnya, yang terekam di dalam benak beliau itu diharapkan menjadi saksi antara mereka dan Allah, di samping menjadi titik penyambung antara saat-saat perpisahan dengan umatnya di akhirat di telaga-Nya yang dijanjikan.
Hikmah Allah telah menghendaki bahwa pandangan terakir itu ialah sholat! Kehendak Allah telah Menentukan bahwa sholat merupakan pesan terakhir beliau.
Wahai saudaraku sesama Muslim, ingatlah pesan terakhir yang ditinggalkan Rasulullah S’AW kepada kita dengan penuh rasa ridha: Sholat.
•Penutup (Sebagian Sifat Nabi S’AW dan Keutamaan Ziarah ke Masjid dan Kuburannya)
Rasulullah S’AW dikafani dengan tiga lapisan kain tanpa baju dan sorban. Setelah selesai dibungkus dengan kain kafan, beliau diletakkan di atas dipannya yang berada tepat di pinggir kuburan yang telah digali. Secara bergiliran, orang-orang kemudian masuk mensholatkannya, gelombang demi gelombang dan tanpa ada yang mengimami mereka. Yang pertama mensholatkan ialah Abbas kemudian Bani Hasyim, orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar, dan terakhir semua orang. Rasulullah S’AW dikuburkan di tempat beliau wafat di kamar Aisyah R.’A.
Rasulullah wafat dengan meninggalkan sembilan istri, yaitu Saudah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Juwayriyah, Shafiah, dan Maimunah. Beliau tidak menikah dengan gadis selain dengan Aisyah R.’A.
Rasulullah mempunyai tiga anak laki-laki: al-Qasim (karenanya beliau biasa dipanggil Abul Qasim) yang dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal pada usia dua tahun, Abdullah yang juga sering dipanggil ath-Thayyib dan ath-thahir, dan Ibrahim yang dilahirkan di Madinah pada tahun 8 Hijriyah dan meninggal pada tahun ke-10.
Anak perempuan beliau ada empat, Zainab, Fathimah, Ruqayyah, dan Ummu Kaltsum. Ruqayyah wafat pada hari terjadinya Perang Badar di bulan Ramadhan tahun ke-9 Hijriyah. Ummu Kaltsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Keduanya adalah istri Utsman bin Affan R.’A.
Rasulullah S’AW adalah orang yang paling dermawan, khususnya di bulan Ramadhan. Orang yang paling baik akhlak dan sosok tubuhnya. Orang yang paling lembut telapak tangannya dan paling harum baunya. Orang yang paling baik pergaulannya dan paling takut kepada Allah. Beliau tidak tidak pernah marah atau mendendam karena dirinya. Beliau marah hanya karena larangan-larangan Allah dilanggar. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kemarahannya karena Allah ini hingga kebenaran menjadi pihak yang menang. Akhlaknya adalah al-Qur’an. Beliau adalah orang yang paling tawadhu. Memenuhi kebutuhan keluarganya dan merendahkan sayapnya untuk orang-orang lemah. Orang yang paling pemalu. Beliau tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika menyukai suatu makanan, beliau akan memakannya dan jika tidak menyukai, beliau akan meninggalkannya. Beliau tidak pernah makan sambil bersandar (leyeh). Juga tidak pernah makan di meja makan. Beliau menyukai manisan, madu, dan buah labu. Kadang-kadang sebulan atau dua bulan di salah satu rumahnya tidak pernah ada asap dapur yang mengepul. Beliau menerima hadiah, tidak menerima sedekah. Beliau juga biasa mengesol sepatu, menjahit pakaian, membesuk orang sakit, dan memenuhi undangan, baik orang kaya maupun orang miskin. Tempat tidurnya terbuat dari kulit yang diisi dengan serabut pelepah korma. Beliau tidak banyak memiliki kesenangan dunia. Allah telah memberikan kunci-kunci kekayaan dunia, tetapi beliau tidak mau mengambilnya dan memilih akhirat. Beliau banyak melakukan dzikir dan pikir. Beliau tidak pernah tertawa lebar, tetapi hanya tersenyum. Pernah bergurau dan tidak mengatakan kecuali yang benar. Beliau senantiasa berlaku lemah lembut terhadap para sahabatnya, memuliakan orang-orang yang dimuliakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi pemimpin mereka. Disebutkan dalam hadits Anas R.’A., ia berkata,
Aku tidak pernah menyentuh kain celupan atau sutra selembut telapak tangan Rasulullah S’AW. Aku telah berkhidmat kepada Rasulullah S’AW selama sepuluh tahun, tetapi beliau tidak pernah sama sekali berkata ’Ah’ kepadaku. Juga tidak pernah menegur terhadap apa yang aku lakukan dengan teguran, ’Mengapa engkau melakukannya?’ Juga tidak pernah menegur, ’Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu?’”
Ketahuilah bahwa ziarah masjid dan kuburan Nabi Muhammad S’AW adalah merupakan suatu amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jumhur kaum Muslimin di setiap zaman sampai hari ini telah sepakat tentang hal tersebut. Kesepakatan ini didasarkan kepada sejumlah dalil di antaranya sebagai berikut.
Pertama, disyariatkannya ziarah kubur secara umum. Nabi S’AW biasa pergi setiap malam ke Baqi’, memberikan salam, mendo’akan dan memintakan ampunan untuk para penghuninya. Hal ini tersebut dalam hadits shahih. Rincian tentang hal ini juga terdapat dalam hadits-hadits shahih. Sebagaimana diketahui bahwa kuburan Rasulullah S’AW adalah termasuk ke dalam keumuman sehingga hukum tersebut juga berlaku bagi kuburannya.
Kedua, adanya ijma dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang datang sesudah mereka bahwa setiap kali mereka melewati Raudhah, mereka senantiasa menziarahi kuburan Nabi S’AW. Hal ini diriwayatkan oleh para imam terkenal dan jumhur ulama, termasuk Ibnu Taimiyah.
Ketiga, adanya riwayat yang menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat melakukan ziarah kubur Nabi S’AW, di antaranya Bilal R.’A. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dengan sanad jayyid (bagus). Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Muwaththa’, dan Abu Ayyub sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad. Tidak ada riwayat dari mereka yang menyebutkan bahwa mereka mengingkari amalan ini.
Keempat, sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih bahwa ketika Nabi S’AW melepas keberangkatan Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan,
“Ya Mu’adz, barangkali setelah tahun ini engkau tidak akan bertemu lagi denganku. Barangkali engkau mengunjungi masjid dan kuburanku.”
Kata la’alla ‘barangkali’ dalam bahasa Arab mempunyai makna harapan. Jika huruf an masuk ke dalam khabar-nya maka mengandung makna tawaran dan harapan. Kalimat tersebut secara jelas berpesan kepada Mu’adz agar sekembalinya ke Madinah melakukan kunjungan ke masjid dan kuburannya guna mengucapkan salam kepadanya.
Kecuali itu, hendaklah diketahui bahwa ziarah kuburan Nabi mempunyai beberapa aturan yang harus diikuti. Jika kita diberi kesempatan menziarahinya, pertama-tam, hendaklah kita memasang niat untuk menziarahi masjidnya kemudian kuburan Nabi S’AW. Sebelum masuk Madinah, sebaiknya kita mandi dan memakai pakaian yang bersih kemudian bawalah ingatan untuk mengenang kemuliaan kota madinah yang pernah ditempati oleh Rasul mulia. Jika telah masuk masjid, hendaklah menuju Raudhah yang mulia guna melaksanakan sholat tahiyyatul masjid dua rakaat di antara kuburan dan mimbar. Jika telah mendekati kuburan Nabi S’AW, janganlah meratap-ratap atau bergelayutan di jendela-jendelanya atau mengusap-usapkan badan ke dindingnya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang-orang bodoh. Itu adalah bid’ah yang diharamkan. Hendaklah kita berdiri jauh dari kubur Nabi S’AW sekitar empat depa seraya mengucapkan salam kepada Rasulullah S’AW. Dengan suara pelan, ucapkan, ”Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu, memberi nasihat kepada umatmu, berdakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan mau’idzah, dan menyembah Allah sampai kematian datang menjemputmu. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, kepada keluargamu, dan para sahabatmu.”
Setelah itu, menghadaplah ke kiblat dan bergeserlah ke kanan sedikit dan berdo’alah kepada Allah. Sebaiknya memulai do’a dengan mengucapkan,
”Ya Allah, Engkau telah berfirman, dan firman-Mu Mahabenar. ’...Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ (an-Nisa’ [4]: 64) Kini, aku telah datang kepada-Mu seraya meminta ampunan dari segala dosaku dan mengharapkan syafaat-Mu di hadapan-Mu kelak. Ampunilah aku sebagaimana Engkau telah mengampuni generasi para sahabat yang pernah hidup di zaman Nabi-Mu.”
Setelah itu berdo’alah untuk kemaslahatan agama, dunia, dan saudara-saudara kaum Muslimin secara keseluruhan. Janganlah lupa untuk mendo’akan penulis (dan penerjemah buku ini), Muhammad Sa’id bin Mala Ramadhan al-Buthy (dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid).
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam.
Wallahu a’lam bish showwab...
•Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mengutus Para Utusan guna Mengajarkan Prinsip-prinsip Islam
Hal terpenting yang harus dipahami oleh seorang Muslim dari pengiriman para utusan ini ialah bahwa tanggung jawab penyebaran dan perjuangan Islam merupakan tanggung jawab seluruh kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat. Tanggung jawab ini bukan hal yang remeh sebagaimana dipahami oleh sebagian besar kaum Muslimin sekarang.
Tidaklah cukup hanya menyatakan keislaman dengan lisan semata. Juga tidak cukup hanya dengan mengamalkan sebagian ajaran Islam yang ringan-ringan dalam kehidupan kita. Bahkan tidak cukup hanya berpegang teguh dengan Islam untuk dirinya sendiri kemudian tidak mau peduli pada yang lainnya.
Tanggung jawab perjuangan dan pergerakan Islam tidak akan terlepas dari pundak kaum Muslimin sebelum hal ini juga dilaksanakan. Melaksanakan kewajiban dakwah kepada Islam dan pergi ke seluruh penjuru dunia dalam rangka menunaikan kewajiban dakwah.
Itulah amanah yang dipikulkan oleh Rasulullah S’AW ke pundak kita dan kewajiban yang tidak boleh diabaikan di setiap zaman dan tempat. Para ulama dan imam yang empat telah sepakat bahwa melaksanakan kewajiban dakwah di dalam dan di luar negeri kaum Muslimin adalah fardhu kifayah atas seluruh kaum Muslimin. Mereka tidak akan terlepas dari tanggung jawab ini kecuali setelah adanya sejumlah orang (da’i) yang mengajak kepada Allah dan menjelaskan hakikat Islam ke seluruh penjuru dunia secara merata dan mencukupi. Jika sejumlah da’I yang diperlukan ini belum terpenuhi di setiap negeri Islam, semua penduduk negeri tersebut berdosa.
Jumhur imam dan fuqaha berpendapat bahwa kewajiban dakwah ini tidak hanya terpikul di atas pundak kaum laki-laki, tetapi berlaku secara umum, laki-laki, wanita, orang merdeka, dan hamba sahaya, selama mereka mukallaf dan mampu melaksanakan tugas dakwah dan taujih, masing-masing sesuai batas kemampuan dan sarana kemampuannya. (Mughnil Muhtaj, 4/211 dan al-Ahkamus Sulthaniah, al-Mawardi.)
Wasiat yang disampaikan Rasulullah S’AW kepada Mu’adz dan Abu Musa al-‘Asy’ari menunjukkan sebagian adab (kode etik) yang harus dimiliki oleh para da’I dalam melaksanakan tugas dakwahnya.
Di antaranya harus mengutamakan aspek taisir (memudahkan) dari tasydid (mempersulit) dan tadiq (mempersempit). Lebih banyak memberikan tabsyir (“kabar gembira” yang menggemarkan) daripada tahdid (ancaman dan kecaman) yang diistilahkan oleh Rasulullah S’AW dengan tanfir (membuat orang lari dari Islam).
Kode etik ini kemudian dijelaskan Rasulullah S’AW melalui contoh aplikatif dengan memerintahkan Mu’adz agar mengajak manusia pertama-tama untuk mengucapkan syahadatain; jika mereka telah mengikrarkan, hendaklah diajak untuk menegakkan sholat. Jika mereka telah melakukannya, hendaklah diajak untuk membayar zakat dan seterusnya…
Namun perwujudan kode etik taisir dan tabsyir ini tidak boleh melampaui batas-batas syariat. Prinsip taisir yang disyariatkan ini tidak berarti membolehkan pengubahan sebagian hukum Islam atau mempermainkan ajaran-ajaran Islam demi mencari kemudahan bagi manusia. Prinsip taisir juga tidak berarti boleh mengakui kemaksiatan kendatipun dalam prinsip taisir dibolehkan memilih sarana yang harus digunakan untuk menolak kemaksiatan tersebut.
Termasuk kode etik berdakwah kepada Allah (juga termasuk adab imarah dan walayah) adalah menghindari tindakan menzhalimi siapa pun, terutama dalam masalah pemungutan sesuatu, seperti memungut harta oang tanpa kebenaran. Tindakan kezhaliman ini bisa saja dilakukan oleh para da’i apabila mereka lupa akan hakikat tanggung jawab mereka di hadapan Allah, sebagaimana juga bisa dilakukan oleh para pemegang kebijakan dan kekuasaan.
Karena Mu’adz telah berpegang teguh sepenuhnya pada kedua sifat tersebut, ketika hendak dikirim oleh Rasulullah S’AW ke Yaman (sifat sebagai da’I dan penguasa), Nabi lalu memperingatkannya dengan keras agar tidak terjerumus melakukan tindakan kezhaliman apa pun.
“Takutlah kamu dari do’a orang yang teraniaya karena di antara dia dan Allah tidak ada penghalang sama sekali.”
•Haji Wada’ beserta Khotbahnya
1.Bilangan haji Rasulullah S’AW dan Waktu Disyariatkannya Haji
Para ulama berselisih pendapat, apakah Rasulullah S’AW pernah melakukan haji dalam Islam selain pelaksanaan haji ini?
Turmudzi dan Ibnu Majah meriwayatkan bahwa beliau pernah melakukan ibadah haji tiga kali sebelum hijrah ke Madinah. Al-Hafizh Ibnu Hajar di dalam Fat-hul Bari berkata, “Pendapat ini didasarkan kedatangan utusan Anshar yang pergi ke Aqabah di Mina setelah haji.” Pertama, mereka datang lalu membuat janji. Kedua, mereka datang lalu melakukan baiat yang kedua.
Di antara para ulama ada yang meriwayatkan bahwa Nabi S’AW sebelum hijrah melakukan haji setiap tahun.
Kendatipun demikian, tidak diragukan lagi bahwa kewajiban haji ini disyariatkan pada tahun ke-10 Hijriah. Sebelum ini, Nabi S’AW tidak pernah melakukan haji selain dari haji tersebut. Karena itu, di antara para sahabat banyak yang menamakan Haji Wada’ ini dengan Hijjatul Islam atau Hijjatu Rasulillah S’AW. Imam Muslim menjadikan nama terakhir ini (Hijjatu Rasulillah S’AW) sebagai judul Hadits-hadits mengenai haji Rasulullah S’AW.
Di antara dalil yang membuktikan bahwa haji belum diwajibkan sebelum tahun ke-10 Hijriah adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim mengenai utusan Abdul Qais yang datang menemui Nabi S’AW. Di dalam riwayat tersebut diceritakan bahwa mereka berkata kepada Nabi S’AW, “Perintahkan kepada kami dengan perkara yang tegas yang akan kami lakukan dan kami perintahkan pula kepada orang-orang di belakang kami, yang dengan itu, kami dapat masuk surga.” Nabi S’AW bersabda, “Aku perintahkan kalian dengan empat (hal) dan aku larang kalian dari empat (hal) pula.” Selanjutnya Nabi menyebutkan empat perintah tersebut seraya bersabda, ”Aku perintahkan kalian agar beriman kepada Allah, menegakkan sholat,menunaikan zakat, puasa Ramadhan, dan memberikan seperlima dari harta pampasan.”
Tampaknya Nabi S’AW menyebutkan soal keimanan kepada Allah hanyalah sebagai tambahan terhadap empat perkara tersebut karena hal ini sangat dikenal oleh mereka. Akan tetapi, beliau mengulangi perintah tersebut untuk menegaskan dan menjelaskan bahwa keimanan merupakan asas bagi empat perkara yang disebutkan sesudahnya.
Kedatangan utusan ini (bani Abdul Qais) adalah pada tahun ke-9 Hijriah. Seandainya haji sudah diwajibkan pada waktu itu, niscaya Nabi S’AW akan menyebutkannya di antara sejumlah hal yang diwajibkan kepada mereka.
2.Makna Agung dari Haji Rasulullah S’AW
Haji Rasulullah S’AW ini memiliki makna yang sangat besar yang berkaitan dengan dakwah Islam, kehidupan Nabi S’AW, dan sistem Islam.
Kaum Muslimin telah belajar dari Rasulullah S’AW tentang sholat dan segala hal yang berkenaan dengan peribadahan dan kewajiban mereka. Saat itu, Nabi S’AW tinggal mengajarkan kepada mereka manasik dan cara pelaksanaan ibadah haji, setelah tradisi-tradisi jahiliyah yang biasa dilakukan pada musim-musim haji itu dihapuskan oleh Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersamaan dengan penghancuran berhala yang ada di dalam Baitullah.
Ajakan untuk melaksanakan ibadah haji ke Baitullah tetap berlaku hingga hari kiamat. Ia adalah ajakan Abul Anbiya’, Ibrahim ’alaihis salam berdasarkan perintah dari Allah SWT. Namun, berbagai penyimpangan jahiliyah dan kesesatan kaum penyembah berhala telah menambahkan kedalaman berbagai tradisi yang bathil dan menyampurnya dengan berbagai bentuk kekafiran dan kemusyrikan. Islam kemudian datang untuk membersihkan ibadah ini sehingga menjadi bersih kembali dan memancarkan cahaya tauhid serta dilakukan atas dasar ’ubudiyah secara mutlak kepada Allah SWT.
Kaum muslimin yang pada hari itu sudah berjumlah banyak dan menyebar di berbagai penjuru sangat merindukan pertemuannya dengan Rasul mereka dan ingin mendapatkan nasihat-nasihat serta petunjuknya. Demikian pula Rasulullah S’AW sangat merindukan pertemuan dengan mereka, terutama dengan lautan manusia yang baru saja masuk Islam dari berbagai penjuru Jazirah Arabia yang belum pernah mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bertemu beliau. Kesempatan yang paling besar dan paling indah untuk pertemuan tersebut hanyalah didapatkan dalam kesempatan ibadah haji ke Baitullah dan di Padang Arafah. Pertemuan antara umat dan Rasulnya di bawah naungan salah satu syiar Islam yang terbesar. Pertemuan yang menurut ilmu Allah SWT dan ilham Rasul-Nya sebagai pertemuan taushiah (nasihat) dan wada’ (perpisahan).
Rasulullah S’AW juga ingin bertemu dengan rombongan kaum Muslimin yang datang sebagai hasil jihad selama 23 tahun, guna menyampaikan kepada mereka tentang ajaran Islam dan sistemnya dalam suatu ungkapan yang singkat, tetapi padat, dan nasihat yang ringan, tetapi sarat dengan ungkapan perasaannya dan getaran-getaran cintanya terhadap umatnya. Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW ingin melihat potret akan datang sehingga semua nasihat dan pesan-pesannya bisa sampai kepada mereka dari balik tembok-tembok zaman dan dinding-dinding kurun.
Itulah sebagian makna haji Rasulullah S’AW: Hijjatul Wada’ (Haji Perpisahan). Makna ini akan lebih jelas terasa di dalam khotbah Rasulullah S’AW yang disampaikan di lembah Uranah pada hari Arafah.
3.Renungan tentang Khotbah Wada’
Sungguh, kalimat-kalimat yang disampaikan di Padang Arafah begitu indah. Beliau bukan saja berbicara kepada mereka yang hadir di Padang Arafah, melainkan juga pada semua generasi dan sejarah sesudah mereka. Kalimat-kalimat ini disampaikannya setelah beliau menyampaikan amanah, menasihati umat, dan berjihad di jalan dakwah selama + 23 tahun tanpa bosan dan jemu. Demi Allah, betapa indahnya saat itu. Saat dimana ribuan kaum mu’allaf yang memenuhi Padang Arafah sejauh mata memandang dari berbagai arah itu menjadi bukti kebenaran firman Allah, ”Sesungguhnya, Kami Menolong Rasul-Rasul Kami dan orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia dan pada hari berdirinya saksi-saksi (hari kiamat).” (al-Mu’min [40]: 51)
Dari wajah-wajah mereka, Rasulullah S’AW dapat melihat generasi-generasi mendatang dan Dunia Islam yang besar yang akan memenuhi belahan timur dan barat dari muka bumi ini. Kepada mereka semua, Rasulullah S’AW menyampaikan khotbah perpisahan,
”Wahai umat manusia, dengarkanlah perkataanku. Mungkin sehabis tahun ini, aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-selamanya...”
Dunia terdiam mendengarkan khotbah beliau. Semuanya mendengarkan kalimat perpisahan yang keluar dari lisan Rasulullah S’AW setelah dunia dan seisinya berbahagia dengan kehadirannya selama 23 tahun. Kini setelah bertugas melaksanakan perintah Allah dan menanamkan pohon-pohon keimanan di bumi, beliau ingin menyampaikan secara singkat prinsip-prinsip Islam yang dibawanya dan diperjuangkannya selama ini, dalam ungkapan yang singkat tapi sarat makna.
Apakah tema pertama dari khotbah beliau tersebut? Subhanallah! Alangkah agung dan indahnya khotbah! Seolah-olah taushiyah beliau itu diilhami oleh realitas berbagai penyelewengan yang akan dilakukan oleh beberapa kaum dari umatnya sepanjang zaman, akibat mengikuti orang lain dan meninggalkan cahaya yang akan diwariskannya kepada mereka, Sabda beliau,
“Wahai manusia, sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (tidak boleh dinodai oleh siapa pun juga) sampai kalian bertemu dengan Rabb kalian, seperti hari dan bulan suci sekarang ini.”
Di akhir khotbahnya, Rasulullah S’AW mengulangi lagi wasiat ini dan menegaskan pentingnya memperhatikan hal tersebut dengan menyatakan,
“Kalian tahu bahwa setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain dan semua kaum Muslimin adalah bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati. Karena itu, janganlah kalian menganiaya diri sendiri...Ya Allah, sudahkah kusampaikan?”
Kita pun sekarang menjawab, “Demi Allah, engkau telah menyampaikannya, wahai Rasulullah!” Barangkali kita sekarang ini lebih patut untuk memberikan jawaban kepadamu, wahai Rasulullah, “Ya Allah, beliau telah menyampaikannya kendatipun kami belum sepenuhnya melaksanakan tanggung jawab tersebut.”
Tema kedua dari khotbah beliau bukan sekadar taushiyah, melainkan qarar (keputusan) yang diumumkan kepada semua orang, kepada mereka yang hadir di sekitarnya dan juga kepada umat-umat yang akan datang sesudahnya.
Qarar itu berbunyi:
“Sesungguhnya, segala macam riba tidak boleh berlaku lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi...Riba jahiliyah tidak boleh berlaku lagi.”
Apa makna yang terkandung dalam qarar ini? Ia menegaskan bahwa segala hal yang pernah dibanggakan dan dipraktikkan oleh jahiliyah, di antaranya tradisi fanatisme kekabilahan, perbedaan-perbedaan yang didasarkan kepada bahasa, keturunan, dan ras, atau penghambaan seseorang terhadap sesamanya dengan berbagai belenggu kezhaliman dan pemerasan (riba), dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada hari ini, praktik-praktik jahiliyah itu merupakan merupakan barang busuk yang telah dikubur oleh syariat Allah ke dalam perut bumi. Siapakah gerangan yang ingin menggali dan mengeluarkan lagi barang busuk itu? Adakah orang berakal sehat yang masih ingin memulung sampah busuk itu lagi? Orang pembangkang macam apakah yang sengaja mengunakan rantai dan borgol yang baru saja dihancurkan oleh Islam itu?
Tema ketiga dari khotbah beliau menyatakan keserasian zaman dengan nama-nama bulan yang disebutkan setelah sekian lama dipermainkan oleh orang-orang Arab di masa jahiliyah dahulu-seperti dikatakan oleh Mujahid dan lainnya-melakukan ibadah haji mereka selama dua tahun di bulan tertentu. Kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Dzulhijjah selama dua tahun dan kadang-kadang mereka melakukan ibadah haji di bulan Muharram untuk masa dua tahun dan seterusnya. Ketika Rasulullah S’AW melakukan ibadah haji tahun ini, bertepatan dengan bulan Dzulhijjah, dan pada saat itu, Rasulullah S’AW mengumumkan bahwa zaman telah berputar seperti keadaannya pada waktu Allah Menciptakan langit dan bumi. Janganlah kalian mempermainkan bulan-bulan itu dengan mendahulukan atau mengakhirkannya. Setelah hari ini tidak dibenarkan melakukan ibadah haji kecuali pada bulan yang telah ditetapkan namanya: Dzulhijjah.
Sebagian ulama menyebutkan bahwa kaum musyrikin pada waktu itu mengira bahwa satu tahun itu terdiri atas 12 bulan dan 15 hari, sehingga mereka melakukan ibadah haji pada bulan Ramadhan, Syawwal, Dzulqa’idah, dan di bulan apa saja karena mengikuti peredaran bulan dengan tambahan 15 hari tersebut setiap tahunnya.
Ibadah haji yang dilakukan oleh Abu Bakar adalah pada tahun ke-9 Hijriah, jatuh pada bulan Dzulqa-idah disebabkan perhitungan tahun yang dibuat oleh orang-orang Arab jahiliyah tersebut. Karena itu, pada tahun berikutnya (tahun dimana Rasulullah S’AW melakukan Haji Wada’), haji dilakukan pada bulan Dzulhijjah pada tanggal 10 tepat dengan bulan-bulan ditetapkannya ibadah haji. Pada saat itu pula, Rasulullah S’AW mengumumkan dihapuskannya hisab lama dan bahwa satu tahun setelah hari ini hanya terdiri dari 12 bulan. Setelah hari ini, tidak ada tambahan lagi. Al-Qurthubi berkata bahwa pernyataan ini sama dengan sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, zaman telah berputar...”, yakni sesungguhnya waktu ibadah haji telah kembali kepada waktunya yang asal yang telah ditetapkan oleh Allah ketika menciptakan langit dan bumi yaitu asal pensyariatan yang telah diketahui Allah sebelumnya. (Lihat al-Jami’li Ahkamil Qur’an, al-Qurthubi, 8/137-138)
Tema keempat dari khotbah beliau yaitu wasiat agar berlaku baik terhadap kaum wanita. Wasiat ini, yang ditegaskan dalam kalimat yang singkat, tapi padat, menghapuskan segala bentuk penganiayaan terhadap kaum wanita dan memperkokoh jaminan hak-hak asasinya dan kehormatannya sebagai manusia.
Hikmah yang harus diperhatikan di sini adalah agar kaum Muslimin di setiap zaman dan tempat senantiasa menyadari tentang perbedaan besar antara kehormatan wanita serta hak-haknya yang telah dijamin oleh Islam dan apa yang telah menjadi sasaran sebagian orang yang menghalalkan segala cara untuk menikmati dan mempermainkan kaum wanita.
Tema kelima dari khotbah beliau yaitu Nabi S’AW meletakkan semua problematika manusia di hadapan dua sumber nilai. Siapa yang berpegang teguh pada keduanya maka dijamin akan terhindar dari segala kesengsaraan dan kesesatan.
Kedua sumber nilai ini adalah Kitabullah al-Quran dan Sunnah Rasul-Nya.
Jaminan ini tidak hanya berlaku bagi para sahabatnya, tetapi juga bagi generasi yang datang sesudahnya.
Tema keenam dari khotbah beliau ialah penjelasan Nabi S’AW tentang hubungan yang seharusnya dibina antara seorang hakim (penguasa) atau khalifah atau kepala negara dan rakyatnya. Ia adalah hubungan ketaatan dari rakyat terhadap pimpinannya betapapun keturunan, warna kulit, dan bentuk lahiriahnya selama dia tetap menjalankan hukum Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Akan tetapi, apabila dia menyimpang dari keduanya, tidak ada kewajiban untuk taat kepadanya. Penguasa itu mempunyai hak untuk ditaati hanya karena ia menjalankan al-Qur’ an dan as-Sunnah sehingga tidak ada masalah setelah itu sekalipun ia seorang budak dari Ethiopia yang berambut keriting dan berhidung gruwung karena semua bentuk lahiriah itu tidak merendahkan derajatnya sedikit pun di sisi Allah.
Akhirnya, Rasulullah S’AW telah melaksanakan tanggung jawab dakwahnya. Demikianlah, Islam telah tersebar luas, kesesatan-kesesatan jahiliyah dan kemusyrikan telah tergusur, dan hukum-hukum syariat Ilahiah pun telah tersampaikan seluruhnya. Karenanya, turunlah wahyu kepadanya yang menyatakan kepada umat manusia,
”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhoi Islam itu jadi agama bagimu.” (al-Maidah [5]: 3)
Nabi S’AW ingin menenangkan hatinya dengan kesaksian umatnya di hadapan Allah SWT pada hari kiamat kelak. Lalu di akhir khotbahnya itu, beliau menanyakan seraya bersabda,
”Sesungguhnya, kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan kelak?”
Dengan serempak dan suara keras, orang-orang yang ada di sekelilingnya menjawab,
”Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, dan memberi nasehat.”
Saat itulah Rasul yang agung itu telah merasa tenang. Rasulullah S’AW ingin memastikan kesaksian ini karena itulah yang akan digunakan untuk menghadap Allah kelak. Setelah merasa tenang dan terlihat perasaan ridha di kedua mata beliau, akhirnya beliau melihat ke arah langit seraya menunjuk dengan jari telunjuknya kemudian memandang kepada umatnya seraya berkata, ”Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah... Ya Allah, saksikanlah...”
Duhai, betapa besar kebahagiaan itu. Kebahagiaan Rasulullah S’AW karena telah mengorbankan masa mudanya dan menghabiskan umurnya demi menyebarkan syariat Allah SWT. Kebahagiaan Nabi S’AW semakin bertambah besar ketika beliau menyaksikan hasil pengorbanannya tersebut: gemuruh suara meneriakkan tauhidullah, dahi-dahi yang tunduk sujud kepada agama Allah, dan hati-hati manusia yang khusyuk dan bergetar karena cinta Allah. Betapa bahagianya kekasih Allah pada saat itu. Saat mengenang kembali segala penderitaan dan penganiayaan yang pernah dialaminya di jalan dakwah dan keimanan yang telah diratakannya di muka bumi ini. Semoga kebahagiaan senantiasa menyertaimu, wahai junjungan kami.
Demi Allah, itu bukan hanya kesaksian ribuan kaum Muslimin yang pernah berhimpun di sekelilingmu di Padang Arafah, wahai Rasulullah. Akan tetapi, itu juga merupakan kesaksian kaum Muslimin di setiap generasi dan zaman sampai Allah Mewariskan bumi seisinya. Kami bersaksi, wahai Rasulullah, bahwa engkau telah menyampaikan, telah menunaikan, memberi nasihat. Semoga Allah memberikan balasan kepadamu dengan sebaik-baik balasan yang diberikan kepada seorang Nabi dari umatnya.
Tanggung jawab itu telah berpindah sesudahmu ke atas pundak-pundak kami. Akan tetapi, pada hari ini, kami masih belum melaksanakan sepenuhnya. Adakah kami kelak menemuimu, wahai junjungan kami, sedangkan dosa-dosa kami menumpuk karena kemalasan, keengganan, dan ketertarikan kami kepada kehidupan dunia. Sementara itu, para sahabatmu yang mulia rela mengucurkan darah mereka, mengorbankan harta benda mereka demi membela syariatmu, memperjuangkan dakwahmu, dan mengikuti jihadmu.
Semoga Allah berkenan memperbaiki kondisi kaum Muslimin secara keseluruhan dan menyadarkan kita dri mabuk dunia dan buaian hawa nafsu. Semoga Allah berkenan melimpahkan karunia dan kelembutan-Nya kepada kita.
Rasulullah S’AW kemudian menyempurnakan ibadah hajinya dan meminum air zamzam. Setelah mengajarkan manasik kepada umatnya, beliau lalu kembali ke Madinah guna melanjutkan jihadnya di jalan agama Allah.
•Beberapa ’Ibroh dari Peristiwa-Peristiwa Bagian Akhir Sirah Nabi S’AW
Peristiwa-peristiwa bagian akhir dari sirah Nabi S’AW ini mengungkapkan hakikat terbesar dalam kehidupan ini. Hakikat yang menjadi pangkal kehancuran para tiran dan yang mempertuhan dirinya. Hakikat yang akan menghantarkan wujud ini kepada kefanaan. Hakikat yang akan mewarnai seluruh kehidupan manusia ini dengan warna ’ubudiyah dan ketundukan kepada Pencipta petala langit dan bumi. Suatu hakikat yang akan memberi kesadaran (baik secara suka maupun terpaksa) kepada orang-orang yang membangkang ataupun orang-orang yang taat, para penguasa, orang-orang yang mempertuhankan dirinya, para Rasul, para Nabi, orang-orang pilihan, orang-orang kaya, dan orang-orang fakir.
Ia adalah hakikat yang menegaskan sepanjang zaman dan setiap tempat, di telinga setiap orang yang mendengar dan di benak setiap orang yang berpikir bahwa tidak ada uluhiyah kecuali bagi Yang Mahakekal Abadi, tidak ada siapa pun yang dapat menolak keputusan-Nya, tiada batas bagi keluasan-Nya, tiada tempat lari dari hukum-Nya, dan tidak ada yang dapat mengalahkan urusan-Nya.
Hakikat apakah yang lebih gamblang mengungkapkan makna tersebut selain hakikat kematian dan sakratul maut, karena dengan kedua fenomena itu, Allah SWT menundukkan segenap penduduk dunia ini semenjak fajar kehidupan sampai terbenamnya?
Jembatan dunia ini telah banyak dilewati oleh orang-orang yang tertipu oleh kekuatan yang digenggamnya atau ilmu pengetahuan yang dicapainya atau penelitian penemuan yang didapatkannya. Akan tetapi, tiba-tiba mereka diempaskan oleh hakikat terbesar ini ke dalam padang ’ubudiyah terhadap Pencipta langit dan bumi. Mereka pada akhirnya menghadap kepada Allah SWT sebagai hamba dan penuh ketundukan.
Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian........................!
Hukum ini berlaku secara umum, tanpa pengecualian. Tidak ada yang mampu menghentikannya.
Biarlah para pakar Iptek modern berhimpun menjadi satu, mengerahkan seluruh kemampuan dan peralatan modern mereka untuk menangkal dan menghindarkan diri mereka dari kekuatan kematian yang dipaksakan kepada mereka ini. Biarlah mereka menghentikan tantangan Ilahi ini walau hanya sebagian darinya. Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Jika mampu melakukan itu, bolehlah mereka membangun menara-menara kediktatoran dan kekafiran. Tetapi jika tidak, sebaiknya mereka merenungkan kuburan-kuburan yang akan membekap mereka, tanah yang akan mengimpit mereka, dan pencabutan nyawa yang tidak dapat ditolaknya.
Adalah mudah bagi Allah SWT untuk menjadikan Rasul-Nya terbebas dari sakratul maut dengan segala penderitaannya, tetapi hikmah Ilahi menghendaki bahwa ketentuan Allah SWT ini berlaku bagi semua orang, betapapun kedudukannya di sisi Allah, agar manusia hidup dalam suasana tauhid dan hakikatnya. Juga agar mereka mengetahui dengan baik bahwa segala yang ada di langit dan di bumi ini pasti akan datang kepada Yang Maha Rahman sebagai hamba. Tidak ada seorang pun yang menolak ’ubudiyah, setelah Rasulullah S’AW sendiri juga tunduk kepada hukum dan ketentuan-Nya. Tidak boleh ada orang yang merasa tidak perlu memperbanyak mengingat kematian dan sakratul maut, setelah kekasih Allah pun tidak dapat lolos darinya.
Karena itu, inilah yang dikemukakan oleh firman Allah,
”Sesungguhnya, kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar [39]: 30)
”Kamu tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusia pun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (al-Anbiya’[21]: 34-35)
Dengan demikian, pada bagian akhir dari sirah Nabi S’AW, kita berada di hadapan dua hakikat yang menjadi penopang keimanan kepada Allah, bahkan penopang hakikat kauniyah secara keseluruhan.
Hakikat tauhidullah dan hakikat ’ubudiyah syamilah yang telah difitrahkan Allah bagi semua manusia di atas alam ini. Tiada perubahan bagi ketentuan Allah.
Beberapa pelajaran dan hukum:
1.Tidak ada Pengutamaan dalam Hukum Islam kecuali dengan Amal Sholeh
Zaid bin Haritsah adalah seorang budak, bapak Usamah yang mantan budak. Usamah adalah pemuda berusia sekitar 18-20 tahun. Sekalipun demikian, kepemudaan dan statusnya sebagai mantan budak itu tidak menghalangi Rasulullah S’AW untuk menjadikannya sebagai amir bagi para sahabat di sebuah peperangan penting dan besar. Jika hal ini dijadikan oleh orang-orang munafik sebagai peluang untuk mengekspresikan kekagetan atau penolakan mereka, tidaklah heran sebab Islam memang datang untuk menghancurkan standar-standar jahiliyah yang mereka pakai untuk membedakan manusia itu.
Barangkali Nabi S’AW memilih Usamah, bukan yang lainnya, untuk memimpin pasukan dalam peperangan ini karena suatu ”keistimewaan” yang secara khusus dimilikinya. Kepada kaum muslimin, dalam hal ini, tidak ada pilihan kecuali harus taat dan patuh sekalipun dipimpin oleh seorang budak dari Habasyah. Karena itu, pekerjaan yang pertama dilakukan oleh Abu Bakar dalam khilafahnya adalah melanjutkan pasukan Usamah ini. Keberangkatan pasukan ini bahkan diantar langsung oleh Abu Bakar seraya berjalan kaki, sementara Usamah menunggang kendaraannya, sehingga membuat Usamah berkata, ”Wahai Khalifah, biarlah anda yang naik dan aku yang turun.” Akan tetapi, Abu Bakar R.’A menjawab,
”Demi Allah, engkau tidak perlu turun dan aku tidak harus naik. Apakah aku tidak boleh melumuri kedua kakiku sesaat di jalan Allah?”
Akhirnya, pasukan Usamah R.’A kembali dari peperangan ini dengan membawa kemenangan yang gemilang dan ternyata pemberangkatan pasukan Usamah tersebut membawa kemaslahatan yang besar bagi kaum Muslimin. (Tarikhut Thabari, 3/22)
2.Disyariatkannya Jampi-jampi
Yang dimaksud jampi-jampi (ruqyah) ialah membacakan berbagai macam ta’awudz (permintaan perlindungan kepada Allah, sebagaimana do’a). Dalil bagi praktik jampi-jampi ini ialah hadits Bukhari dan Muslim yang diriwayatkan di atas, yaitu apabila Nabi S’AW mengalami sakit, beliau meniup dirinya dengan mu’awwidzat (bacaan-bacaan ta’awwudz) lalu mengusapkannya dengan tangannya...
Nabi S’AW juga biasa menjampi para sahabatnya, kadang-kadang dengan adzkar dan do’a-do’a. Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ia berkata, ”Apabila ada seseorang yang sakit, Rasulullah S’AW biasanya mengusapnya dengan tangan kanan beliau seraya mengucapkan,
”Wahai Rabb manusia, hilangkanlah penyakit ini dan sembuhkanlah. Sesungguhnya, Engkau adalah Yang Menyembuhkan. Tidak ada kesembuhan kecuali kesembuhan-Mu, suatu kesembuhan yang tuntas.’”
Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah R.’A, ”Nabi S’AW apabila sakit, beliau membaca beberapa mu’awwidzat lalu meniupkannya sendiri. Ketika beliau sakit keras, aku yang membacakannya dan mengusapkannya dengan tangan beliau karena mengharap keberkahannya.” Di antara dalil yang paling jelas menunjukkanannya jampi-jampi dalam al-Qur’an ialah firman Allah,
”Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zhalim selain kerugian.” (al-Isra’ [17]: 82)
Perbedaan antara do’a-do’a dan jampi-jampi adalah bahwa dalam jampi-jampi itu ditambahkan unsur mengusap dengan tangan dan meniup dengan mulut. Tiupan tanpa menyemburkan ludah.
Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur membolehkan mengambil upah (bayaran) dari jampi-jampi. Abu Hanifah merinci, ”Kalau mengajarkan al-Qur’an tidak boleh mengambil bayaran, sedangkan kalau untuk jampi-jampi dibolehkan mengambil bayaran.” (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/118). Dalil tersebut adalah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa beberapa orang dari sahabat Rasulullah S’AW dalam suatu perjalanan pernah melewati sebuah perkampungan Arab lalu mereka meminta izin untuk singgah, tetapi ditolak oleh penduduk kampung tersebut. Penduduk kampung itu bertanya ”Apakah di antara kalian ada yang bisa menjampi karena kepala kampung ini sedang terkena musibah (disengat).” Salah seorang dari sahabat itu menjawab, ”Ada”. Sahabat itu kemudian mendatanginya lalu menjampinya dengan surah al-Fatihah. Setelah dijampi, ternyata kepala kampung tersebut sembuh. Karenanya, sahabat tersebut diberi sejumlah kambing, tetapi ia tidak mau menerimanya. Sahabat itu berkata, ”Sampai kuceritakan hal tersebut kepada Nabi S’AW dan menceritakan hal tersebut seraya berkata ”Demi Allah, aku tidak menjampinya kecuali dengan al-Fatihah.” Nabi S’AW tersenyum seraya berkata, ”Dari manakah kamu tahu bahwa al-Fatihah itu adalah jampi-jampi?” Nabi S’AW kemudian melanjutkan, ”Ambillah kambing-kambing itu dan berilah aku bagian.”
Imam Nawawi dan al-Hafizh Ibnu Hajar, juga yang lainnya, mengutip adanya ijma tentang dibolehkannya jampi-jampian apabila memenuhi tiga persyaratan.
Pertama, harus dengan kalam Allah atau nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Kedua, harus dengan bahasa Arab atau bacaan lainnya yang diketahui (dimengerti) maknanya. Ketiga, harus meyakini bahwa jampi-jampi itu sendiri tidak mempunyai pengaruh, tetapi semata-mata hanya mendapatkan izin dan kekuasaan Allah. (Syarah Nawawi atas Muslim, 14/169 dan Fat-hul Bari, Ibnu hajar, 10/52) Ketiga, persayaratan ini dikuatkan oleh beberapa hadits shahih seperti yang diriwayatkan oleh Muslim dari Auf bin Malik al-Asy’ari, ia berkata,
”Di masa Jahiliyah dahulu, kami pernah menjampi, kemudian kami tanyakan, ’Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu tentang jampi-jampi itu?” Beliau menjawab, ’Kemukakanlah kepadaku jampi-jampi kalian. Sesungguhnya, jampi-jampi tidak dilarang selama tidak mengandung kemusyrikan.’”
Sihir dan Jampi-jampi
Di antara jampi-jampi yang pernah dibacakan untuk dirinya sendiri oleh Rasulullah S’AW adalah bacaan beberapa mu’awwidzat setelah usaha penyihiran yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
Para ulama menyebutkan bahwa jumhur kaum muslimin mengakui adanya sihir sebagaimana keberadaan hal-hal yang secara nyata memang ada. Dalilnya adalah hadits tersebut dan disebutkannya sihir itu sendiri di dalam kitab Allah, di samping wujudnya yang merupakan sesuatu yang bisa dipelajari. Firman Allah,
”...Kemudian mereka mempelajari dari keduanya apa yang dari sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan seorang istrinya...” (al-Baqarah [2]: 102)
Pemutusan jalinan antara seorang suami dan seorang istrinya merupakan sesuatu yang nyata sebagaimana diketahui oleh umum.
Barangkali ada orang yang merasakan kemuskilan pada masalah ini karena dua sebab.
Pertama, keberadaan sihir itu sendiri sebagai suatu hakikat yang benar-benar ada sebab sebagian orang mengira sihir itu adalah bayangan semata-mata yang bertentangan dengan masalah tauhid dan keyakinan bahwa hanya Allah yang memiliki pengaruh.
Kedua, jika dikatakan bahwa Rasulullah S’AW pernah disihir, apakah hal itu tidak merendahkan kedudukan manusia terhadap kenabian?
Sebenarnya tidak ada kemuskilan sama sekali dalam masalah ini. Tentang keraguan yang pertama dapatlah dijawab bahwa pengakuan tentang adanya sihir itu tidak berarti kita mengakui bahwa sihir itu mempunyai pengaruh. Pengakuan adanya sihir ini sama saja dengan perkataan kita bahwa racun itu berbahaya. Demikian pula obat. Ini adalah perkataan yang bisa diterima. Akan tetapi, pengaruh yang terdapat di dalam hal-hal tersebut hanyalah milik Allah. Firman Allah tentang sihir,
”...Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun kecuali dengan izin Allah...” (al-Baqarah [2]: 102)
Allah telah menafikan adanya pengaruh dalam sihir itu sendiri, tetapi pada waktu yang sama menegaskan adanya pengaruh dan akibat sihir itu dengan izin dari Allah.
Adapun keraguan kedua dapat dijawab bahwa sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah menyentuh jasad dan anggota badannya. Penderitaan beliau akibat sihir itu sama seperti penderitaan beliau akibat penyakit yang biasa mengenai jasad manusia. Seperti diketahui bahwa ke-ma’shum-an Rasulullah S’AW itu tidak berkonsekuensi bahwa beliau harus terbebas dari penyakit dengan gejala-gejala jasadiah.
Al-Qadhi Iyadh berkata, ”Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Nabi S’AW pernah tersihir sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan beliau melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, maka hal ini tidak mengurangi kesucian tablighnya (kenabiannya). Sihir yang mengenai Rasulullah S’AW itu hanyalah termasuk perkara-perkara dunia yang boleh dialaminya. Perkara-perkara dunia yang memang beliau tidak diutus dengan sebab hal tersebut dan juga tidak diutamakan karena hal tersebut. Dalam masalah ini (dunia), beliau boleh mengalaminya sebagaimana semua manusia.
Tidaklah mustahil beliau terkena sihir lalu tidak lama kemudian segera terbebas lagi sebagaimana telah terjadi. (Syarhusy Syifa’, al-Qadhi Iyadh, 4/278-279. Lihat juga Syarah Nawawi atas Muslim, 14/174.)
Berita penyihiran Rasulullah S’AW tersebut justru merupakan salah satu hal luar biasa yang dikaruniakan Allah kepada Rasul-Nya. Ia tidak mengurangi kemuliaannya sebagai Nabi sama sekali, bahkan ia menjadi bukti baru di antara bukti-bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah terhadap dirinya. Ketika merasakan sihir ini, beliau lama berdo’a sebanyak-banyaknya kepada Allah sampai Allah Memberitahukan perbuatan jahat yang dilakukan oleh Labid Ibnul A’sham secara rahasia itu. Beliau kemudian pergi mendatangi tempat di mana Labid meletakkan rambut dan sarana-sarana sihirnya lalu memusnahkannya. Berikut ini adalah teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Aisyah R.’A., ia berkata bahwa seorang lelaki dari bani Zuraiq bernama Labid ibnul A’sham pernah menyihir Rasulullah S’AW sehingga terbayang oleh beliau seakan-akan ia melakukan sesuatu, padahal beliau tidak melakukannya, sampai pada suatu malam ketika beliau berada di rumahku. Akan tetapi, beliau terus berdo’a dan berdo’a. Beliau kemudian berkata, ”Wahai Aisyah, apakah engkau merasa bahwa Allah menyampaikan fatwa kepadaku mengenai apa yang aku tanyakan. Ada dua orang datang kepadaku lalu salah satunya duduk di kepalaku dan yang lainnya di kakiku. Salah seorang dari keduanya bertanya kepada temannya, ’Sakit apa orang ini?’ Ia menjawab, ’Tersihir’. Ia bertanya lagi, ’Siapa yang menyihirnya?’ Temannya menjawab, ’Labid ibnul A’sham.’ Ia bertanya, ’Sihirnya ditempatkan dalam apa?’ Temannya menjawab, ’Di sisir dan rambut yang terkena sisir serta pelepah kurma yang kering.’ Ia betanya lagi, ’Dimana dia?’ Temannya menjawab, ’Di sumur Dzarwan.’” Rasulullah S’AW kemudian mendatanginya bersama sejumlah sahabatnya. Setelah datang, beliau berkata, ’Wahai Aisyah, airnya seperti getah pohon Hinna dan pucuk-pucuk pelepah kormanya seperti kepala-kepala setan!’ Nabi S’AW menjawab, ‘Allah telah Menyembuhkan aku dan aku tidak ingin membangkitkan keburukan di tengah-tengah orang.’ Akhirnya Rasulullah S’AW memerintahkan penimbunan sumur tersebut.
Hadits (peristiwa) ini lebih terasa menjadi bukti pemuliaan dan pemeliharaan Allah kepadanya daripada sebagai bukti penyakit yang mengenai jasadnya atau aspek yang berkaitan dengan kemanusiaannya.
Mungkin ada yang bertanya, “Jika demikian halnya, bagaimana membedakan mukjizat Ilahi dari sihir dan segala fenomenanya kalau memang sihir itu mempunyai wujud?”
Jawabannya bahwa mukjizat yang dibawa oleh Nabi itu disertai dengan pernyataan nubuwwah (kenabian) dan tantangan untuk melakukannya sebagai bukti kebenaran pernyataannya tersebut, sedangkan sihir tidak demikian halnya. Tukang sihir tidak mungkin mendakwakan dirinya sebagai Nabi, (lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 14/175). Selain itu, kekuatan sihir juga sangat terbatas. Sekalipun mempunyai wujud, sebagaimana telah dikatakan, hak wujudnya itu tidak dapat melampaui batas-batas tertentu dan tidak dapat pula menembus sampai mengubah hakikat sesuatu. Karena itu, Allah mengungkapkan sihir yang dibuat oleh para tukang sihir Fir’aun,
“Musa berkata, ‘Silakan kamu sekalian melemparkan!’ Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka, terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)
Allah SWT Mengungkapkan apa yang dilihat oleh Musa itu dengan khayal (bayangan), yakni tali-tali dan tongkat-tongkat itu pada hakikatnya tidak berubah menjadi ular karena sihir mereka. Yang terkena sihir itu adalah pandangan orang-orang yang menyaksikan, bukan tali dan tongkat. Inilah yang dijelaskan oleh ayat lain dalam firman-Nya,
”...mereka menyihir (menyulap) mata orang dan menjadikan orang banyak itu takut, serta mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).” (al-A’raf [7]: 116)
Hal ini tidak bertentangan dengan apa yang kami sebutkan bahwa sihir adalah sesuatu yang benar-benar ada, juga tidak bertentangan dengan firman Allah,
”...Terbayang kepada Musa seakan-akan tali-tali dan tongkat-tongkat itu merayap, lantaran sihir mereka.” (Thoha [20]: 66)
Hal ini karena berubahnya tali-tali menjadi ular yang merayap itu adalah khayal. Adapun terpengaruhnya mata oleh khayal tersebut dan lemahnya mata untuk melihat hakikat yang sebenarnya maka itu adalah kekuatan sihir dan hakikatnya. Hal ini semakin memperjelas kepada kita bahwa sihir itu hanya menyentuh jasad dan anggota tubuh manusia. Dengan sebab sihir ini, kadang-kadang bisa muncul suatu penglihatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.
3.Beberapa Keutamaan Abu Bakar R.’A.
Dari kisah sakitnya Rasulullah S’AW tersebut terdapat empat bukti bahwa Abu Bakar R.A. memiliki keutamaan dan keistimewaan di sisi Rasulullah S’AW.
Pertama, ketika Rasulullah S’AW memulai khotbahnya dengan sabdanya, ”Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah, di antaranya diberi kekayaan dunia atau apa yang ada di sisi-Nya.” Abu Bakar segera mengetahui apa yang dimaksud oleh Nabi S’AW. Karena itu, ia kemudian menangis seraya berteriak, ”Engkau kami tebus dengan bapak-bapak dan ibu-ibu kami.” Dalam pada itu, tidak ada orang selain Abu Bakar yang menangkap maksud Rasulullah S’AW tersebut. Sebagian riwayat hadits ini dari Abi Sa’id al-Khudri menyebutkan, ”Ketika Abu Bakar menangis karena sabda yang diucapkan oleh Rasulullah S’AW tersebut, aku berkata di dalam hati, ’Syekh ini menangis hanya karena Rasulullah menceritakan kepada kita tentang seorang hamba yang disuruh memilih lalu ia memilih.’” Abu Sa’id al-Khudri berkata, ”Ternyata hamba yang disuruh memilih itu adalah Rasulullah S’AW. Abu Bakar adalah orang yang paling tahu di antara kami tentang hal tersebut.”
Kedua, sabda Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, orang yang paling bermurah hati kepadaku dalam hartanya dan persahabatannya ialah Abu Bakar.” Ini adalah pernyataan abadi yang tidak pernah diberikan kecuali kepada Abu Bakar R.’A.
Ketiga, apa yang telah disebutkan di dalam riwayat Muslim dari Aisyah R.’A. bahwa Nabi S’AW berpesan kepada Aisyah, ”Panggilkan untukku Abu Bakar, bapak dan saudaraku, sehingga aku menulis suatu wasiat, sebab aku khawatir ada orang yang berambisi mengatakan, ’Aku lebih berhak, padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar.”
Hadits ini merupakan nash yang secara tegas menyatakan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW sekalipun hikmah Ilahiyah Mentaqdirkan Rasulullah S’AW tidak mengambil sumpah terhadap para sahabatnya dalam soal ini dan juga tidak memuliakannya kepada mereka. Semua itu agar pemerintahan dan khalifah sesudah Nabi S’AW tidak mengikuti sistem pewarisan terus-menerus sebab sistem seperti ini akan merusak suatu kaidah yang menegaskan bahwa seorang hakim (penguasa) atau khalifah harus memenuhi berbagai persyaratan kelaikan (sebagai penguasa atau khalifah) yang sudah sangat dikenal di dalam sistem Islam.
Keempat, ditunjuknya Abu Bakar R.’A. sebagai pengganti Nabi S’AW untuk mengimami sholat. Dapat dilihat bagaimana kuatnya keinginan Nabi S’AW untuk menunjuk Abu Bakar sebagai penggantinya sehingga Nabi S’AW menjawab dengan jawaban yang keras ketika Aisyah R.’A. mencoba mengajukan keberatannya dalam soal ini.
Kendatipun kita mengatakan bahwa keutamaan-keutamaan Abu Bakar yang tersebut dalam hadits-hadits shahih ini adalah faktor yang menguatkan pembaiatan kaum Muslimin terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah sesudah Nabi S’AW, hal ini tidak menafikan atau meremehkan keutamaan-keutamaan para sahabat dan Khalifah yang lain, terutama Ali bin Abi Thalib R.’A. kita tahu bahwa dalam perang Khaibar, Nabi S’AW pernah bersabda,
”Panji ini akan aku berikan esok hari kepada seorang yang Dicintai Allah dan Rasul-Nya.”
Selanjutnya, pada malam itu, orang-orang bertanya-tanya siapa gerangan orang yang berhak memegang panji itu. Ternyata pemegangnya adalah Ali bin Abu Thalib R.’A.
Urusan khalifah telah selesai dan kaum Muslimin pun telah menuntaskan masalah pemerintahan sesudah wafat Nabi S’AW, tanpa harus berpecah belah di antara mereka karena pembahasan dan diskusi yang memang harus dilakukan. Masing-masing dari Abu Bakar dan Ali R.’A. telah saling mengakui keutamaannya. Karena itu, merupakan tindakan yang bodoh dan tidak terpuji jika setelah empat belas abad dari sejarh tersebut, kita masih membuang-buang waktu dan menyulut api perpecahan hanya demi memenangkan suatu pendapat bahwa yang ini lebih berhak memegang khalifah daripada yang lain, padahal para sahabat yang kita bela-bela itu tidak pernah bersitegang dan berpecah-belah karena mempermasalahkan soal ini. Mereka telah menemui Allah dengan hati yang dipenuhi rasa cinta dan solidaritas sesama mereka.
4.Larangan Menjadikan Kuburan sebagai Masjid
Dari teks hadits yang berkenaan dengan masalah ini, kita dapat mengetahui betapa kerasnya larangan Nabi S’AW dari melakukan tindakan ini. Para ulama berkata bahwa Nabi S’AW melarang menjadikan kuburannya dan kuburan yang lainnya sebagai masjid karena khawatir terjadi sikap berlebih-lebihan dalam menghormatinya sehingga mungkin hal tersebut akan mengakibatkan terjadinya kekafiran sebagaimana biasa terjadi di kalangan umat-umat terdahulu.
Bentuk larangan itu di antaranya bisa berupa membangun masjid di atas kuburan sehingga di sekeliling kuburan itu dijadikan tempat sholat. Di kalangan para ulama ada yang mengharamkan dan ada pula yang memakruhkan. Ulama yang memakruhkan pun sangat memperketat apabila sholat itu berada di antara orang yang sholat dan kiblat. Tetapi sekalipun demikian, sholatnya tetap sah karena keharaman itu tidak mesti mengakibatkan kebatalan sehingga hukumnya sama dengan hukum sholat di tanah curian.
Imam Nawawi berkata, ”Ketika para sahabat dan tabi’in R.’A memerlukan pelebaran dan perluasan masjid Rasulullah S’AW karena jumlah kaum Muslimin semakin bertambah banyak, di mana perluasan ini menjangkau rumah-rumah para istri Nabi S’AW, di antaranya termasuk kamar Aisyah tempat di mana Nabi S’AW dan kedua sahabatnya, Abu Bakar R.’A. dan Umar R.’A., dikuburkan, mereka lalu membangun dinding yang tinggi di sekeliling kuburan tersebut supaya tidak tampak di dalam masjid sehingga dikhawatirkan orang-orang awam akan akan melakukan sholat menghadap ke kuburan tersebut dan terjatuh melakukan hal yang terlarang. Mereka kemudian membangun dua dinding di dua sudut sebelah utara dan menyambungkannya agar tidak ada orang yang sholat menghadap kuburan. (Lihat Syarah Nawawi atas Muslim, 5/13-14).
5.Perasaan Nabi S’AW ketika Menghadapi Sakratul Maut
Kita bisa memahami perasaan beliau dan konsentrasi pikirannya pada waktu itu. Ketika orang-orang sedang melakukan sholat subuh berjamaah pada hari Senin, tiba-tiba kain penutup di kamar Aisyah tersingkap dan Rasulullah S’AW muncul dari baliknya seraya memandang mereka yang sedang berbaris dalam sholat, kemudian beliau pun tersenyum sehingga Abu Bakar mundur mempersilakan beliau untuk menjadi imam dan orang-orang pun nyaris membatalkan sholat mereka karena gembira menyaksikan kehadiran Rasulullah S’AW. Akan tetapi, beliau mengisyaratkan dengan tangannya agar mereka terus menyelesaikan sholat kemudian beliau pun kembali memasuki kamar dan melabuhkan kain penutup.
Dengan demikian, pikiran beliau pada waktu itu terkonsentrasikan sepenuhnya kepada umatnya dan bagaimana nasib mereka sepeninggalnya. Dari pandangannya yang ceria kepada para sahabatnya ketika mereka sedang khusyuk berada di hadapan Allah, kita dapat merasakan makna cinta yang mendalam yang memenuhi relung-relung hati Rasulullah S’AW. Cinta Rasulullah S’AW kepada para sahabatnya. Dari senyum beliau itu, kita bahkan dapat menemukan ungkapan rasa cinta, do’a, dan perhatian kepada mereka.
Rasulullah S’AW yang tengah melewati detik-detik terakhir dari hidupnya ingin melihat para sahabatnya untuk kali terakhir dan mendapatkan ketenangan dan kepuasan terhadap kebenaran serta hidayah yang disampaikannya kepada mereka. Allah pun berkenan Memperlihatkan suatu pemandangan dari para sahabatnya yang menyejukkan matanya dan menentramkan hatinya, sampai-sampai pemandangan yang menyejukkan itu dapat mengalahkan segala penderitaan sakratul maut yang tengah merayap di dalam tubuh beliau. Melihat kegembiraan dan kepuasan yang terekspresikan di wajah beliau itu, para sahabatnya mengira kalau beliau sudah sehat dan bugar kembali.
Ternyata itu adalah pandangan terakhir beliau kepada mereka karena tidak lama kemudian beliau menghadap Allah. Pandangan terakhir tentang para sahabatnya, bahkan umatnya, yang terekam di dalam benak beliau itu diharapkan menjadi saksi antara mereka dan Allah, di samping menjadi titik penyambung antara saat-saat perpisahan dengan umatnya di akhirat di telaga-Nya yang dijanjikan.
Hikmah Allah telah menghendaki bahwa pandangan terakir itu ialah sholat! Kehendak Allah telah Menentukan bahwa sholat merupakan pesan terakhir beliau.
Wahai saudaraku sesama Muslim, ingatlah pesan terakhir yang ditinggalkan Rasulullah S’AW kepada kita dengan penuh rasa ridha: Sholat.
•Penutup (Sebagian Sifat Nabi S’AW dan Keutamaan Ziarah ke Masjid dan Kuburannya)
Rasulullah S’AW dikafani dengan tiga lapisan kain tanpa baju dan sorban. Setelah selesai dibungkus dengan kain kafan, beliau diletakkan di atas dipannya yang berada tepat di pinggir kuburan yang telah digali. Secara bergiliran, orang-orang kemudian masuk mensholatkannya, gelombang demi gelombang dan tanpa ada yang mengimami mereka. Yang pertama mensholatkan ialah Abbas kemudian Bani Hasyim, orang-orang Muhajirin, orang-orang Anshar, dan terakhir semua orang. Rasulullah S’AW dikuburkan di tempat beliau wafat di kamar Aisyah R.’A.
Rasulullah wafat dengan meninggalkan sembilan istri, yaitu Saudah, Aisyah, Hafshah, Ummu Habibah, Zainab binti Jahsy, Juwayriyah, Shafiah, dan Maimunah. Beliau tidak menikah dengan gadis selain dengan Aisyah R.’A.
Rasulullah mempunyai tiga anak laki-laki: al-Qasim (karenanya beliau biasa dipanggil Abul Qasim) yang dilahirkan sebelum kenabian dan meninggal pada usia dua tahun, Abdullah yang juga sering dipanggil ath-Thayyib dan ath-thahir, dan Ibrahim yang dilahirkan di Madinah pada tahun 8 Hijriyah dan meninggal pada tahun ke-10.
Anak perempuan beliau ada empat, Zainab, Fathimah, Ruqayyah, dan Ummu Kaltsum. Ruqayyah wafat pada hari terjadinya Perang Badar di bulan Ramadhan tahun ke-9 Hijriyah. Ummu Kaltsum meninggal pada bulan Sya’ban tahun ke-9 Hijriyah. Keduanya adalah istri Utsman bin Affan R.’A.
Rasulullah S’AW adalah orang yang paling dermawan, khususnya di bulan Ramadhan. Orang yang paling baik akhlak dan sosok tubuhnya. Orang yang paling lembut telapak tangannya dan paling harum baunya. Orang yang paling baik pergaulannya dan paling takut kepada Allah. Beliau tidak tidak pernah marah atau mendendam karena dirinya. Beliau marah hanya karena larangan-larangan Allah dilanggar. Tidak ada sesuatu pun yang dapat mencegah kemarahannya karena Allah ini hingga kebenaran menjadi pihak yang menang. Akhlaknya adalah al-Qur’an. Beliau adalah orang yang paling tawadhu. Memenuhi kebutuhan keluarganya dan merendahkan sayapnya untuk orang-orang lemah. Orang yang paling pemalu. Beliau tidak pernah mencela makanan sama sekali. Jika menyukai suatu makanan, beliau akan memakannya dan jika tidak menyukai, beliau akan meninggalkannya. Beliau tidak pernah makan sambil bersandar (leyeh). Juga tidak pernah makan di meja makan. Beliau menyukai manisan, madu, dan buah labu. Kadang-kadang sebulan atau dua bulan di salah satu rumahnya tidak pernah ada asap dapur yang mengepul. Beliau menerima hadiah, tidak menerima sedekah. Beliau juga biasa mengesol sepatu, menjahit pakaian, membesuk orang sakit, dan memenuhi undangan, baik orang kaya maupun orang miskin. Tempat tidurnya terbuat dari kulit yang diisi dengan serabut pelepah korma. Beliau tidak banyak memiliki kesenangan dunia. Allah telah memberikan kunci-kunci kekayaan dunia, tetapi beliau tidak mau mengambilnya dan memilih akhirat. Beliau banyak melakukan dzikir dan pikir. Beliau tidak pernah tertawa lebar, tetapi hanya tersenyum. Pernah bergurau dan tidak mengatakan kecuali yang benar. Beliau senantiasa berlaku lemah lembut terhadap para sahabatnya, memuliakan orang-orang yang dimuliakan kaumnya dan mengangkatnya menjadi pemimpin mereka. Disebutkan dalam hadits Anas R.’A., ia berkata,
Aku tidak pernah menyentuh kain celupan atau sutra selembut telapak tangan Rasulullah S’AW. Aku telah berkhidmat kepada Rasulullah S’AW selama sepuluh tahun, tetapi beliau tidak pernah sama sekali berkata ’Ah’ kepadaku. Juga tidak pernah menegur terhadap apa yang aku lakukan dengan teguran, ’Mengapa engkau melakukannya?’ Juga tidak pernah menegur, ’Mengapa kamu tidak melakukan sesuatu?’”
Ketahuilah bahwa ziarah masjid dan kuburan Nabi Muhammad S’AW adalah merupakan suatu amalan yang dapat mendekatkan diri kepada Allah. Jumhur kaum Muslimin di setiap zaman sampai hari ini telah sepakat tentang hal tersebut. Kesepakatan ini didasarkan kepada sejumlah dalil di antaranya sebagai berikut.
Pertama, disyariatkannya ziarah kubur secara umum. Nabi S’AW biasa pergi setiap malam ke Baqi’, memberikan salam, mendo’akan dan memintakan ampunan untuk para penghuninya. Hal ini tersebut dalam hadits shahih. Rincian tentang hal ini juga terdapat dalam hadits-hadits shahih. Sebagaimana diketahui bahwa kuburan Rasulullah S’AW adalah termasuk ke dalam keumuman sehingga hukum tersebut juga berlaku bagi kuburannya.
Kedua, adanya ijma dari para sahabat, tabi’in, dan orang-orang yang datang sesudah mereka bahwa setiap kali mereka melewati Raudhah, mereka senantiasa menziarahi kuburan Nabi S’AW. Hal ini diriwayatkan oleh para imam terkenal dan jumhur ulama, termasuk Ibnu Taimiyah.
Ketiga, adanya riwayat yang menyebutkan bahwa kebanyakan para sahabat melakukan ziarah kubur Nabi S’AW, di antaranya Bilal R.’A. sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dengan sanad jayyid (bagus). Ibnu Umar sebagaimana diriwayatkan oleh Malik di dalam al-Muwaththa’, dan Abu Ayyub sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad. Tidak ada riwayat dari mereka yang menyebutkan bahwa mereka mengingkari amalan ini.
Keempat, sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ahmad dengan sanad yang shahih bahwa ketika Nabi S’AW melepas keberangkatan Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau berpesan,
“Ya Mu’adz, barangkali setelah tahun ini engkau tidak akan bertemu lagi denganku. Barangkali engkau mengunjungi masjid dan kuburanku.”
Kata la’alla ‘barangkali’ dalam bahasa Arab mempunyai makna harapan. Jika huruf an masuk ke dalam khabar-nya maka mengandung makna tawaran dan harapan. Kalimat tersebut secara jelas berpesan kepada Mu’adz agar sekembalinya ke Madinah melakukan kunjungan ke masjid dan kuburannya guna mengucapkan salam kepadanya.
Kecuali itu, hendaklah diketahui bahwa ziarah kuburan Nabi mempunyai beberapa aturan yang harus diikuti. Jika kita diberi kesempatan menziarahinya, pertama-tam, hendaklah kita memasang niat untuk menziarahi masjidnya kemudian kuburan Nabi S’AW. Sebelum masuk Madinah, sebaiknya kita mandi dan memakai pakaian yang bersih kemudian bawalah ingatan untuk mengenang kemuliaan kota madinah yang pernah ditempati oleh Rasul mulia. Jika telah masuk masjid, hendaklah menuju Raudhah yang mulia guna melaksanakan sholat tahiyyatul masjid dua rakaat di antara kuburan dan mimbar. Jika telah mendekati kuburan Nabi S’AW, janganlah meratap-ratap atau bergelayutan di jendela-jendelanya atau mengusap-usapkan badan ke dindingnya sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan orang-orang bodoh. Itu adalah bid’ah yang diharamkan. Hendaklah kita berdiri jauh dari kubur Nabi S’AW sekitar empat depa seraya mengucapkan salam kepada Rasulullah S’AW. Dengan suara pelan, ucapkan, ”Aku bersaksi bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Aku bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan risalah Rabb-mu, memberi nasihat kepada umatmu, berdakwah kepada jalan Allah dengan hikmah dan mau’idzah, dan menyembah Allah sampai kematian datang menjemputmu. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepadamu, kepada keluargamu, dan para sahabatmu.”
Setelah itu, menghadaplah ke kiblat dan bergeserlah ke kanan sedikit dan berdo’alah kepada Allah. Sebaiknya memulai do’a dengan mengucapkan,
”Ya Allah, Engkau telah berfirman, dan firman-Mu Mahabenar. ’...Sesungguhnya, jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohon ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’ (an-Nisa’ [4]: 64) Kini, aku telah datang kepada-Mu seraya meminta ampunan dari segala dosaku dan mengharapkan syafaat-Mu di hadapan-Mu kelak. Ampunilah aku sebagaimana Engkau telah mengampuni generasi para sahabat yang pernah hidup di zaman Nabi-Mu.”
Setelah itu berdo’alah untuk kemaslahatan agama, dunia, dan saudara-saudara kaum Muslimin secara keseluruhan. Janganlah lupa untuk mendo’akan penulis (dan penerjemah buku ini), Muhammad Sa’id bin Mala Ramadhan al-Buthy (dan Aunur Rafiq Sholeh Tamhid).
Segala puji hanya milik Allah Rabb semesta alam.
Wallahu a’lam bish showwab...
IBROH SIROH NABAWIYAH PART 6...
Oleh: DR. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
Perang Hunain
Perang Hunain merupakan pelajaran penting tentang aqidah Islamiyah dan hukum sebab akibat yang menyempurnakan pelajaran serupa di Perang Badar. Jika Perang Badar telah menetapkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah sedikit tidak membahayakan mereka sama sekali dalam menghadapi musuh mereka yang berjumlah jauh lebih banyak manakala mereka bersabar dan bertaqwa. Jumlah kaum Muslimin di Perang Hunain lebih besar dibandingkan jumlah mereka pada peperangan sebelumnya. Kendatipun demikian, jumlah yang besar itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali karena keimanan dan nilai-nilai keislaman belum merasuk dan menghujam ke dalam hati sebagian besar di antara mereka. Massa yang banyak itu telah bergabung secara fisik kepada pasukan Rasulullah S’AW, sedangkan hati dan jiwa mereka masih dikuasai oleh kehidupan dunia. Karena itu, jumlah yang banyak secara fisik itu tidak memiiki pengaruh bagi kemenangan dan datangnya pertolongan Allah. Karena itu, massa yang banyak itu lari tunggang langgang meninggalkan lembah Hunain tatkala mereka diserang secara mendadak oleh musuh. Bahkan mungkin bayangan ketakutan ini pada awalnya mempengaruhi juga hati sebagian besar kaum Mukmin yang telah matang keimanannya.
Akan tetapi, tidak lama kemudian terdengar oleh kaum Anshor dan Muhajirin teriakan dan panggilan Rasulullah S’AW kepada mereka sehingga mereka segera kembali berhimpun di sekitar Rasulullah S’AW dan berperang bersamanya. Jumlah mereka ini tidak lebih dari dua ratus orang. Akan tetapi dengan dua ratus orang tersebut, kemenangan dating kembali kepada kaum Muslimin dan ketenangan pun turun ke dalam hati mereka sehingga Allah Mengalahkan musuh mereka setelah 12.000 orang berkualitas buih tidak berguna sama sekali dalam menghadapi lawan. Allah menurunkan pelajaran penting ini di dalam Kitab-Nya yang mulia.
“Sesungguhnya, Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan cerai-berai. Kemudian Allah Menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah Menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah Menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, sesudah itu, Allah Menerima tobat dari orang-orang yang Dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(at-Taubah [9]: 25-27)
Beberapa pelajaran penting dan ‘ibroh yang diambil dari Perang Hunain:
Pertama, Menyusupkan “intel” ke dalam barisan lawan untuk mengetahui ihwal mereka.
Rasulullah S’AW telah mengutus Abdullah bin Hadrad al-Aslami untuk mencari berita tentang jumlah serta perlengkapan musuh dan menginformasikannya kepada kaum Muslimin.
Kedua, Imam boleh meminjam senjata kaum musyrikin untuk memerangi musuh kaum muslimin.
Yang dimaksudkan senjata dalam hal ini ialah setiap peralatan dan perlengkapan perang yang diperlukan oleh tentara. Peminjaman senjata itu dibolehkan dengan cara gratis atau sewa. Cara kedua inilah yang dilakukan Rasulullah S’AW dalam peperangan ini. Beliau menyewa senjata dari Shafwan bin Uyainah yang pada waktu itu masih musyrik.
Hal ini masuk ke dalam keumuman hukum “meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan”. Masalah ini telah dibahas ketika mengomentari Perang Uhud. Sekarang menjadi jelas bahwa meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan terbagi dua:
1.Meminta bantuan personil dari mereka untuk berperang bersama kaum Muslimin. Masalah ini juga telah dibahas dalam perang Uhud. Tindakan ini dibolehkan apabila diperlukan dan kaum Muslimin dapat menjamin kejujuran dan kesetiaan para personel tersebut.
2.Meminta bantuan senjata dan peralatan-peralatan perang lainnya. Kebolehan masalah ini sudah tidak diperselisihkan lagi asalkan tidak menodai kehormatan kaum Muslimin dan tidak menyebabkan masuknya kaum Muslimin di bawah kekuasaan orang lain atau mengakibatkan kaum muslimin meninggalkan sebagian kewajiban agama. Kita tahu bahwa ketika Shafwan bin Uyainah meminjamkan (menyewakan) senjata kepada Rasulullah S’AW, ia dalam keadaan kalah dan lemah, sedangkan Rasulullah S’AW dalam posisi kuat. (Lihat Zadul Ma’ad, 3/190 dan Mughnil Muhtaj, 4/223)
Ketiga: Keberanian Rasulullah S’AW dalam Peperangan.
Suatu keberanian yang langka dan menakjubkan ketika seluruh kaum Muslimin terpencar di lembah dan lari meninggalkan medan pertempuran, hanya seorang diri Rasulullah S’AW bertahan dengan tegar di tengah kepungan dan serangan mendadak yang dilancarkan musuh dari segala penjuru. Nabi S’AW bertahan dengan tegar dan menakjubkan sehingga pengaruhnya menyentuh jiwa para sahabat yang lari meninggalkan pertempuran. Demi menyaksikan ketegaran dan keteguhan yang ditunjukkan Nabi S’AW inilah semangat keberanian para sahabat bangkit kembali.
Setelah meriwayatkan peristiwa Perang Hunain ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Ini merupakan puncak keberanian yang sempurna. Di tengah berkecamuknya pertempuran seperti ini dan tanpa perlindungan pasukannya, Rasulullah S’AW dengan tenang tetap berada di atas baghalnya yang tidak pandai berlari dan tidak bisa digunakan berlari kencang meninggalkan medan atau melancarkan serangan. Rasulullah S’AW bahkan mengendalikan baghalnya ke arah mereka seraya meneriakkan namanya agar diketahui oleh orang yang tidak mengenalnya hingga hari kemudian. Kesemuanya ini tidak lain hanyalah merupakan keyakinan (tsiqah) kepada Allah SWT, tawakal kepada-Nya, dan kesadaran bahwa Allah pasti akan menolongnya, menyempurnakan risalah-Nya, dan memenangkan agama-Nya atas semua agama.”
Keempat: Kepergian wanita untuk Melakukan Jihad Bersama Kaum Lelaki.
Mengenai kepergian wanita ke medan perang untuk mengobati para mujahid yang luka dan memberi minum yang haus, telah ditegaskan oleh riwayat sahih dan terjadi dalam beberapa kali peperangan. Adapun kepergiannya ke medan pertempuran untuk berperang, hal itu tidak pernah terjadi dalam sunnah. Kendatipun Imam Bukhari menyebutkan di dalam bab “jihad” satu bab tentang “Peperangan Wanita Bersama Kaum Lelaki”, hadits-hadits yang disebutkannya dalam bab tersebut tidak ada yang menegaskan keikutsertaan kaum wanita bersama kaum lelaki untuk melakukan pertempuran. Ibnu Hajar berkata, “Saya tidak melihat sama sekali, dari hadits-hadits yang disebutkan dalam masalah ini, adanya penegasan bahwa kaum wanita ikut tampil bertempur.”
Sementara itu, hukum tentang kepergian kaum wanita untuk berperang yang disebutkan para fuqaha ialah apabila musuh menyerang salah satu negeri kaum Muslimin sehingga seluruh penduduknya, termasuk di dalamnya kaum wanita, wajib berperang melawannya. Itu pun jika diperlukan bantuan pertahanan mereka dan khawatir mereka akan mengalami fitnah. Jika tidak, berperang tidak disyariatkan bagi mereka. Tentang pisau belati yang dibawa Ummu Sulaim, itu hanya digunakan sekedar untuk membela diri sebagaimana yang dikatakannya sendiri.
Dalam pengertian inilah kita harus memahami sebuah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan lainnya bahwa Aisyah R.’A. pernah meminta izin kepada Rasulullah S’AW untuk berjihad kemudian dijawab oleh Nabi S’AW, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah menunaikan haji.” Jihad yang dimaksudkan oleh Aisyah R.’A. ini adalah ikut serta dalam pertempuran, bukan sekadar kehadiran untuk tugas pengobatan dan pelayanan-pelayanan serupa lainnya. Hal ini karena hadirnya wanita dalam suatu peperangan guna melaksanakan tugas-tugas pengobatan ini telah disepakati kebolehannya jika disepakati syarat-syaratnya.
Bagaimanapun, keluarnya wanita bersama kaum lelaki ke medan jihad disyaratkan harus benar-benar tertutup dan terjaga, juga karena suatu keperluan yang sangat mendesak. Jika sangat mendesak atau diperkirakan akan mengakibatkan terjatuh melakukan hal-hal yang dilarang, kepergiannya adalah haram.
Ingat selalu Firman Allah SWT:
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(al-Baqarah [2]:85)
Kelima: Larangan Membunuh Wanita, Anak-anak, dan Budak
Hal seperti ini ditegaskan oleh hadits Rasulullah S’AW ketika beliau melihat wanita yang (terlanjur) dibunuh oleh Khalid bin Walid. Semua ulama sepakat akan hal ini.
Dikecualikan dari ketentuan ini, apabila mereka ikut serta berperang secara langsung menyerang kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh jika sedang aktif melancarkan perlawanan dan wajib dihindari (membunuhnya) jika melarikan diri.
Dikecualikan juga dri ketentuan ini, jika kaum kafir menjadikan mereka sebagai tameng hidup, sedangkan kaum kafir tidak mungkin dapat dihancurkan kecuali dengan (terpaksa) membunuh mereka (juga). Hal ii dibolehkan, dalam hal ini, imam harus mengikuti apa yang menjadi tuntunan kemaslahatan.
Keenam: Hukum Mengambil Benda yang Melekat pada Musuh yang Terbunuh
Dalam peperangan ini, Nabi S’AW mengumumkan bahwa siapa yang membunuh seorang musuh maka ia boleh mengambil benda-benda yang melekat di tubuhnya. Ibnu Sayyid an-Nas berkata, “Pengumuman ini menjadi hukum yang berlaku sepanjang masa.”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar penyampaian (dari Allah). Atas dasar ini, seorang mujahid di setiap zaman boleh langsung mengambil barang-barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya dala peperangan, tanpa perlu izin kepada imam atau komandannya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar imamah (sebagai pemimpin) saja. Dengan demikian, bolehlah mengambil barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya itu tergantung pada izin imam. Jika imam tidak mengizinkan, barang-barang (salb) itu digabungkan kepada barang rampasan (ghanimah) dan pembagiannya diberlakukan sesuai dengan hukum ghanimah.
Ketujuh: Jihad tidak berarti Iri Hati terhadap Kaum Kafir
Ini seperti ditunjukkan oleh riwayat yang telah disebutkan bahwa sebagian sahabat berkata kepada Nabi S’AW dalam perjalanan pulang mereka setelah pengepungan kota Thaif, “Berdoalah kepada Allah untuk kehancuran Tsaqif.” Nabi S’AW kemudian berdo’a, “Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan bawalah mereka (kepada kami).” Ini berarti jihad tidak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Ia adalah tanggung jawab setiap manusia terhadap sesamanya untuk membebaskan diri mereka dari siksa abadi di hari kiamat.
Karena itu, kaum Muslimin tidak sepatutnya memanjatkan doa untuk orang lain kecuali doa terlimpahkannya hidayah dan perbaikan karena tujuan ini merupakan hikmah disyariatkannya jihad.
Kedelapan: Kapan Seorang Prajurit Berhak Memiliki Ghanimah
Telah disebutkan bahwa Rasulullah S’AW berkata pada utusan Hawazin ketika mereka datang menyatakan diri masuk Islam, “Sengaja aku menunda pembagian ghanimah ini karena mengharap keislaman kalian.”
Ini menunjukkan bahwa prajurit baru berhak memiliki ghanimah setelah dibagikan oleh penguasa atau imam. Betapapun lamanya, selagi belum dibagikan maka tidak bisa dimiliki oleh prajurit yang ikut berperang.
Hal ini juga menunjukkan bahwa imam boleh mengembalikan ghanimah kepada para pemiliknya apabila mereka datang menyatakan diri masuk Islam dan belum dibagikan kepada para mujahidin. Hal inilah yang diutamakan oleh Nabi S’AW dalam peperangan ini.
Sikap Nabi S’AW terhadap utusan Hawazin dan harta kekayaan mereka yang telah diambil oleh kaum Muslimin menunjukkan bahw aharta rampasan yang telah dibagikan kepada para mujahidin tidak boleh ditarik kembali oleh imam kecuali atas kerelaan dan kesediaan pemiliknya tanpa adanya pemaksaan atau desakan.
Perhatikanlah betapa kejelian Rasulullah S’AW ketika meminta izin kepada para pemilik harta itu. Nabi S’AW merasa belum cukup dengan jawaban secara massal yang mereka berikan, “Kami telah bersedia mengembalikan, wahai Rasul Allah,” tetapi beliau juga ingin mengetahui dan mendengar kesediaan tersebut dari setiap pribadi atau melalui para wakilnya dan pemimpin mereka.
Ini berarti seorang penguasa atau imam tidak boleh menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk memaksa orang-orang agar melepaskan haknya dan harta kekayaannya yang sah. Allah tidak membolehkan hal tersebut kepada seorang Rasul sekalipun.
Kesembilan: Kebijaksanaan Islam tentang Orang-orang Mu’allaf
Nabi S’AW mengkhususkan kepada para penduduk Makkah yang baru masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah (Fat-hu Makkah) dengan melebihkan pemberian ghanimah. Dalam pembagian ghanimah kali ini, tidak diberikan kaidah persamaan di antara para mujahidin yang berperang. Tindakan Rasulullah S’AW ini oleh Imam dan Fuqaha dijadikan sebagai dalil bahwa imam boleh melebihkan pemberian kepada kaum Mu’allaf sesuai dengan kemaslahatan penjinakan hati mereka. Imam bahkan wajib melakukan hal ini bila diperlukan. Tidak ada halangan jika pemberian itu diambil dari barang rampasan. Karena pertimbangan yang sama pula, orang-orang mu’allaf ini memiliki bagian khusus di dalam harta zakat. Penguasa atau imam dapat memberikan harta zakat kepada mereka manakala diperlukan dan sesuai dengan kemaslahatan Islam.
Kesepuluh: Keutamaan Kaum Anshar dan Kecintaan Nabi S’AW kepada Mereka
Benarlah Rasulullah S’AW ketika bersabda, “Sesungguhnya, setan dapat menyusup ke dalam aliran darah manusia.” Setan ingin menanamkan ke dalam jiwa kaum Anshar rasa tidak puas terhadap kebijakan Rasulullah S’AW menyangkut pembagian pampasan. Barangkali setan menginginkan agar mereka menanggapi Nabi S’AW sebagai telah mengutamakan kaum kerabat serta orang-orang sekampungnya dan melupakan orang-orang Anshar!
Khotbah yang disampaikan Nabi S’AW sebagai jawaban terhadap bisikan keraguan tersebut sarat dengan nilai-nilai kelembutan dan perasaan cinta yang mendalam kepada kaum Anshar. Namun pada saat yang sama juga sarat dengan ungkapan rasa sakit karena dituduh melupakan dan berpaling dari orang-orang yang paling dicintainya.
Kelembutan dan kekecewaan ini telah menyentuh perasaan kaum Anshar sehingga membuat hati mereka luruh, mengikis segala bentuk keraguan dan bisikan ketidakpuasan yang baru saja merasuki hati mereka. Karena itu, terdengarlah suara tangis mereka karena mendapatkan Nabi S’AW dan rela menerima bagian mereka.
Apa artinya harta kekayaan, ternak, dan barang pampasan dibandingkan kembalinya kekasih mereka, Rasulullah S’AW, bersama mereka ke kampung halaman (Madinah) untuk hidup dan mati di antara mereka? Adakah bukti ketulusan cinta dan kasih sayang yang lebih besar selain kesediaan Nabi S’AW untuk meninggalkan tanah kelahirannya kemudian untuk seterusnya menetap bersama mereka?
Selain itu, kapankah harta benda pernah menjadi bukti cinta dan penghargaan dalam pandangan Nabi S’AW?
Memang, Nabi S’AW telah memberikan harta dan barang pampasan dalam jumlah besar kepada orang-orang Quraisy…. Akan tetapi, apakah Nabi S’AW menyisihkan sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya? Ataukah mengambil bagiannya sebanyak bagian orang-orang Anshar? Rasulullah S’AW hanya mengambil khumus (seperlima) yang telah dikhususkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diserahkan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu, dibaginya khumus tersebut kepada orang-orang Arab yang ada di sekitarnya.
Renungkanlah apa yang dikatakan Nabi S’AW kepada mereka ketika mereka mengelilinginya dan meminta tambahan pemberian,
“Wahai manusia, demi Allah, aku tidak memperoleh dari barang pampasan kalian kecuali seperlima dan itu pun aku kembalikan lagi kepada kalian.”
Semoga shalawat tercurahkan kepadamu, wahai Rasulullah, juga kepada para sahabatmu yang mulia dari kaum Anshar dan Muhajirin. Semoga Allah berkenan menghimpun kami di bawah panjimu yang mulia dan menjadikan kami beserta orang-orang yang akan menemuimu di telaga pada hari kiamat.
•Perang Tabuk (Rajab 9 Hijriah)
Beberapa Ibroh:
Pertama: Catatan Sekitar Peperangan Ini
Islam telah berjaya di jazirah Arabia dan menguasai hati serta jiwa para penduduknya. Ini merupakan sesuatu yang senantiasa dikhawatirkan dan dicemaskan oleh orang-orang Nasrani Romawi sejak lama.
Orang-orang Romawi tidak memeluk agama Nasrani karena keimanan semata-mata. Mereka hanya menjadikan agama Nasrani sebagai media untuk menjajah bangsa-bangsa di wilayah ini. Karena itu, mereka mempermainkan agama nasrani sesukanya, mengubah dan mencampuradukkan dengan paganisme mereka serta menambahkan beraneka kebatiilan kepadanya.
Islam-agama yang diserukan oleh semua Rasul-datang untuk membebaskan manusia dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah. Tidak ada kekuasaan dan hukum yang boleh dipaksakan kepada manusia selain kekuasaan dan hokum Allah.
Sebagai orang yang telah banyak mempelajari agama nasrani, mereka adalah orang-orang yang paling menyadari akan bahaya dan ancaman risalah terakhir (Islam) ini terhadap para tiran dan kesewenang-wenangan para diktator.
Tidak heran jika agama Islam ini-setelah kuat di jazirah Arab- merupakan sumber kecemasan dan kegelisahan bagi para thagut Romawi dan antek-antek mereka yang memeluk agama Nasrani sekadar untuk menguasai orang-orang lemah.
Karena itu, mereka mendengar berita Fat-hu Makkah dan kemenangan Islam di jazirah Arabia dengan penuh ketakutan kemudian menghimpun semua kekuatan mereka, dari Syam sampai ke Hijaz, untuk menghadapi agama ini (Islam). Sebab, jika agama Islam tersebar luas, kekuasaan dan kediktatoran mereka akan tumbang.
Sesuai dengan kecemasan pihak Romawi ini, semestinya terjadi pertempuran dahsyat antara mereka dan kaum Muslimin. Namun, hikmah Allah Menghendaki jihad kaum Muslimin dalam peperangan ini cukup dengan pengorbanan besar yang telah mereka kerahkan dan kesulitan fisik yang telah mereka alami di perjalanan pulang-pergi antara Madinah dan Tabuk. Perjalanan ini memang sangat menakjubkan, sarat dengan pengorbanan, penderitaan, dan kesulitan. Tidakkah jihad yang diperintahkan Allah itu berupa pengorbanan jiwa dan raga di jalan syariat Allah dan agama-Nya? Sesungguhnya, hal inilah yang dikehendaki Allah dari para hamba-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari sangkaan yang tidak benar yang menuduh Allah membutuhkan pertolongan mereka untuk menghancurkan tipu daya orang-orang kafir atau memasukkan hidayah dan keimanan ke dalam hati orang-orang yang ingkar.
“Faisyul ‘Usrah” (pasukan Muslimin yang berperang dalam keadaan serba sulit) dalam peperangan yang serba sulit ini telah mengerahkan harta dan perjuangan serta mengorbankan kesempatan waktunya yang paling indah, kemudian menukar dengan berbagai macam penderitaan dan kesulitan, sebagai bukti kemurnian iman mereka kepada Allah dan cinta mereka kepada-Nya. Karena itu, mereka kemudian berhak mendapatkan kemenangan dan dukungan, dengan dihindarkan dari pertempuran dan dimasukkannya rasa takut ke dalam hati musuh mereka sehingga musuh lari meninggalkan medan dan tunduk kepada hukum Allah mengenai mereka.
Demikianlah, pihak Romawi dengan mudah tunduk kepada hukum jizyah dan segala persyaratannya sebagai “imbalan” dari segala kesulitan yang dialami kaum Muslimin bersama Rasulullah S’AW demi mencari ridha Allah.
Kedua: Beberapa ‘Ibroh dan Hukum
1.Urgensi Jihad dengan Harta
Jihad melawan musuh-musuh Islam tidak terbatas dengan pergi ke medan perang. Peperangan saja belum memadai. Para fuqaha menetapkan bahwa apabila Negara (Islam) sangat memerlukan biaya jihad, Negara boleh mencari dana dari masyarakat. Tetapi para fuqaha juga menyepakati bahwa hal tersebut dapat dilkukan asalkan harta dan kekayaan Negara yang ada tidak dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sekunder (kamaliah) atau tidak dibenarkan menurut syariat. Hal ini karena harta masyarakat tidak diutamakan dari harta Negara dalam pembiayaan dan peperangan. Kita tahu bagaimana Utsman bin Affan datang kepada Nabi S’AW menyerahkan 300 unta beserta pelana dan perbekalannya serta 200 uqiah dari uang perak, sampai Nabi S’AW bersabda,
“Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dilakukan sesudah hari ini.”
Ini merupakan penjelasan tentang keutamaan Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Kalimat yang disabdakan
2.Hadits tentang Abu Bakar dan Bid’ah Tambahannya
Telah disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Abu Dawud tentang Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya kepada Rasulullah S’AW, kemudian ketika ditanya oleh Nabi S’AW, ”Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya.”
Sebagian orang membuat tambahan atas hadits tersebut bahwa Nabi S’AW bersabda kepadanya, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Allah telah ridha kepadamu. Apakah kamu juga ridha kepada-Nya?” Saking gembiranya, dia kemudian berdiri menari-menari di hadapan Nabi S’AW seraya berkata, “Bagaimana aku tidak akan ridha kepada-Nya?”
Mereka menjadikan tambahan bid’ah ini sebagai dalil dibolehkannya menari-nari seraya berputar-putar dalam halaqah-halaqah dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh “Maulawiyah” dan kelompok-kelompok tashawuf lainnya. Sesungguhnya dalil yang mereka jadikan pegangan tersebut adalah palsu. Para Imam telah sepakat bahwa menari jika disertai dengan gerakan meliuk-liuk adalah haram. Jika tidak disertai gerakan meliuk-liuk, dimakruhkan. Memasukkan tarian-betapapun caranya- ke dalam dzikrullah adalah tindakan memasukkan sesuatu yang makruh atau haram ke dalam ibadah yang disyariatkan, di samping merupakan tindakan mengubah ibadah tanpa dalil. Apalagi dalam melakukan dzikir tersebut, mereka mengucapkan lafal-lafal dzikir, tetapi hanya dengan irama para munsyid dan penyanyi sehingga menambah kesemarakan di dalam jiwa.
Dikecualikan dari keumuman ini, apabila orang yang berdzikir mengalami keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri, ia terbebas dari hokum taklifi, sebagaimana dikatakan bahwa al-Izzu bin Abdus Salam sendiri pernah melakukan dzikir sampai tidak sadarkan diri kemudian berdiri melompat-lompat.
3.Orang-orang Munafik: Tabiat Mereka dan Sejauh Mana Bahaya Mereka terhadap Islam
Ayat-ayat Al Qur’ an yang diturunkan menyangkut peperangan ini lebih banyak daripada ayat-ayat yang diturunkan pada peperangan lainnya. Dalam surat at Taubah sekian banyak ayat, yang menjelaskan pentingnya jihad dan harta di jalan Allah sebagai bukti satu-satunya kesejatian iman seorang Muslim, juga merupakan pembeda yang terpenting antara seorang Mukmin dan orang-orang munafik. Karena itu, kaum Muslimin jika benar-benar Muslim mereka tidak boleh mengambil sikap “santai”. Mereka harus menganggap ringan segala penderitaan dan kesulitan di jalan Allah. Selain itu, ayat-ayat di dalam surah at Taubah ini juga banyak membahas tentang orang-orang munafik dan membongkar rencana-rencana jahat mereka yg tersembunyi.
Pelajaran yang terdapat di dalamnya ialah penjelasan akan bahaya nifaq dan orang-orang munafiq terhadap Islam di setiap masa. Islam adalah suatu pengakuan yang harus dibuktikan dengan jihad dan ujian sampai terbedakan mana yang benar dan mana yang dusta, mana yang benar-benar mukmin dan mana yang munafik. Perang Tabuk merupakan materi utama dari pelajaran Qur’ ani ini karena peperangan ini menjadi ujian Ilahi yang terbesar kepada kaum Muslimin yang dapat membongkar kedok kemunafikan di Madinah dan membedakan orang-orang munafik dari kaum Muslimin yang benar-benar beriman.
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panasnya,’ jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, ‘Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela untuk tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu, duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (at-Taubah [9]: 81-83)
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan-kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan, Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.”
(at-Taubah [9]: 47)
Orang-orang munafik ini sangat berbahaya karena mereka memerangi Islam atas nama Islam, membuat makar terhadap Islam dengan senjata Islam, mempermainkan hukum-hukum Islam atas nama pembaharuan (Ishlah), keluwesan, dan berpegang teguh pada jiwa syariat. Mereka menghasilkan fatwa-fatwa pesanan untuk mencapai tujuan mereka atau menjilat tuan-tuan mereka. Pelajaran yang harus diambil kaum Muslimin dari hal ini ialah bahwa kaum Muslimin harus mewaspadai orang-orang munafik seribu kali lipat dari musuh eksternal mereka. Kaum Muslimin juga harus segera menumpas kemunafikan manakala sudah mulai tumbuh di antara mereka.
4.Jizyah dan Ahli Kitab
Di dalam peperangan ini terdapat dalil disyariatkannya mengambil jizyah dari Ahli Kitab. Dengan jizyah ini, darah dan harta mereka dilindungi. Seperti yang telah diketahui, orang-orang Romawi dalam peperangan ini telah bersembunyi dan melarikan diri dari Rasulullah S’AW ketika beliau sampai di Tabuk. Orang-orang Arab yang beragama Nasrani kemudian datang menemui Rasulullah S’AW guna meminta perdamaian dengan imbalan membayar jizyah. Permintaan ini disetujui oleh Nabi S’AW lalu dituangkan dalam surat perjanjian.
Jizyah adalah “pajak” harta yang dibayar oleh Ahli Kitab sebagaimana zakat yang dibayar oleh kaum Muslimin. Perbedaan antara keduanya bahwa jizyah semata-mata didasarkan kepada perundang-undangan, sedangkan zakat didasarkan kepada agama dan perundang-undangan.
Orang-orang yang tunduk kepada hukum jizyah dianggap masuk ke dalam hukum perundang-undangan Islam di masyarakat Islam sekalipun tidak meyakininya sebagai aqidah di dalam jiwa mereka. Karena itu, mereka tidak dibolehkan melanggar undang-undang dan hukum-hukum Islam secara umum kecuali hal-hal yang menurut agama mereka dibolehkan, seperti minum khamr dan lainnya.
Akan tetapi, di dalam masalah jizyah ini ada perbedaan antara orang-orang ahli kitab dengan para penyembah berhala dan atheis. Orang-orang ahli kitab masih memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Islam dan sistemnya secara umum dengan tetap memeluk agama mereka. Sedangkan orang-orang atheis dan penyembah berhala tidak ada faktor yang dapat menyesuaikan mereka dengan masyarakat Islam. Perbedaan antara Islam dan paganisme serta atheisme sangat mendasar dan berakar.
5.Apa yang disebutkan Rasulullah S’AW ketika melewati bekas perkampungan Tsamud menunjukkan bahwa seorang Muslim dimkruhkan memasuki tempat-tempat umat terdahulu yang pernah dihancurkan oleh Allah karena kekafiran mereka, atau melewati peninggalan-peninggalan mereka, kecuali dengan maksud mengambil pelajaran dari mereka. Hal ini karena tempat itu merupakan tempat-tempat yang pernah menyaksikan kemarahan Allah dan mencatat bekas-bekas peninggalan kemarahan tersebut. Bekas-bekas kemurkaan itu akan kekal sepanjang masa. Tidak diragukan lagi bahwa Allah meninggalkan bekas-bekas ini di muka bumi adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal sehat, sebagaimana sering dijelaskan-Nya di dalam ayat-ayat-Nya. Karena itu, salah besar jika seorang melewati tempat-tempat tersebut tanpa mengambil pelajarannya.
6.Kita harus merenungkan perbedaan antara kebijakan rasulullah S’AW dan kebijakan para sahabatnya dalam menghadapi orang-orang munafik. Mengapa Rasulullah S’AW bersikap lunak terhadap orang-orang munafik dan memaafkan mereka tetapi bersikap keras dan memberikan hukuman terhadap orang-orang muslim yang jujur? Jawabannya, sesungguhnya sikap keras dan tegas dalam kasus ini justru merupakan penghormatan dan pemuliaan. Penghormatan dan pemuliaan tidak layak diterima oleh orang-orang munafik. Bagaimana mungkin orang-orang munafik itu akan memperoleh tobat dan pengampunan melalui ayat-ayat yang diturunkan?
7.Di dalam kisah Ka’ab, terdapat beberapa pelajaran dan ‘ibrah penting, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, disyariatkannya pengucilan (al-hajr) karena sebab keagamaan. Nabi S’AW melarang kaum mereka berbicara dengan Ka’ab bin Malik dan kedua orang temannya selama masalah tersebut. Ibnul Qayyim berkata, “Hal ini menunjukkan juga bahwa menjawab salam orang yang patut dikucilkan adalah tidak wajib. Hal ini karena di antara pengakuan Ka’ab ialah, ‘Aku tetap keluar melaksanakan sholat berjamaah bersama kaum Muslimin. Aku kemudian datang menghadap Rasulullah S’AW. Kuucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk sesudah sholat. Dalam hati, aku bertanya, ‘Apakah beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku ataukah tidak?” Seandainya menjawab salamnya itu wajib, niscaya dia mendengarnya.”
Kedua, Ujian lain yang Diberikan Allah kepada Ka’ab patut direnungkan agar kita tahu bagaimana seharusnya keimanan seorang muslim kepada Rabbnya. Kita tahu bahwa Raja Ghassan telah mengirim surat kepadanya. Ia meminta Ka’ab datang ke negerinya dan meninggalkan orang-orang mukmin yang mengucilkan dan menghukumnya. Tawaran ini membuat Ka’ab semakin sedih dan menderita. Akan tetapi, cobaan berat ini tidak mengungkapkan sesuatu kecuali nbertambahnya keimanan Ka’ab kepada Rabbnya serta keikhlasan dan cintanya kepada-Nya.
Ketiga, Sujud syukur kepada Allah adalah ibadah yang disyariatkan sebagaimana ditunjukkan oleh sujudnya Ka’ab R.’A ketika mendengar suara orang yang menyampaikan kabar gembira penerimaan taubatnya.
Keempat, Hanafiah, kecuali Zufar, berpendapat apabila seseorang bernazar akan menyedekahkan seluruh hartanya kepada orang-orang miskin, ia tidak harus menunaikannya kecuali dengan harta zakat saja. Pendapat ini mereka dasarkan kepada beberapa dalil, di antaranya jawaban Rasulullah S’AW kepada Ka’ab ketika ia bernazar, “Di antara tanda-tanda bukti taubatku bahwa aku akan menyerahkan seluruh hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Akan tetapi, Nabi S’AW menjawab, “Lebih baik engkau tahan sebagian dari hartamu.”
Sementara itu, orang-orang yang berpendapat bahwa dengan nazar tersebut, seluruh hartanya menjadi sedekah, mereka berkata, “Sebenarnya perkataan Ka’ab kepada Rasulullah S’AW tersebut bukan menyatakan nazar, melainkan meminta pendapat Rasulullah S’AW yang kemudian dijelaskan oleh Nabi S’AW bahwa sebagiannya saja sudah mencukupi.(Lihat al-Mabsuth, as-Sarkhari, hlm. 12-93, Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim, 3/23, dan Dhawabithul Mashalah, al-Buthy, hlm. 244, 384.) barangkali pendapat ini lebih dekat kepada pengertian konteks perkataan Ka’ab R.’A dan jawaban Rasulullah S’AW kepadanya.
•Abu Bakar Memimpin Jamaah Haji Tahun ke-9 Hijriah
Beberapa’Ibroh:
1.Orang-orang Musyrik dan Tradisi Mereka dalam Haji
Seperti telah kita ketahui bahwa menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram adalah termasuk warisan yang diterima oleh orang-orang Arab dari Ibrahim ‘A.S. Ia termasuk sisa-sisa ajaran Hanifiah yang masih mereka pelihara, tetapi sudah banyak kemasukan karat-karat jahiliyah dan kebatilan ajaran kemusyrikan sehingga warna kemusyrikan lebih dominan daripada yang seharusnya dilakukan berdasarkan aqidah tauhid. Ibnu A’idz berkata bahwa kaum musyrikin sebelum tahun ini menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Mereka mengganggu kaum Muslimin dengan mengeraskan ucapan “talbiah” mereka yang artinya, “Tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang pantas bagi-Mu dan baginya.”
Beberapa orang di antara mereka melakukan thawaf dengan telanjang, tanpa pakaian sama sekali. Perbuatan ini mereka anggap sebagai penghormatan kepada Ka’bah. Kata salah seorang di antara mereka, “Aku thawaf di Ka’bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku. Tidak ada kekotoran benda dunia yang melekat di tubuhku.” (Lihat ‘Uyunul Atsar, Ibnu Sayyid an-Nas, 2/231.
Kotoran-kotoran jahiliyah ini habis pada tahun ke-9 Hijriah, tahun dimana Abu Bakar memimpin rombongan haji dan disampaikannya peringatan kepada semua orang musyrik bahwa Masjidil Haram harus dibersihkan dari kotoran-kotoran kemusyrikan untuk selama-lamanya.
2.Berakhirnya Perjanjian dengan Diumumkannya Peperangan
Perlu diketahui bahwa kaum musyrikin pada waktu itu, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq dan lainnya, ada dua kategori. Pertama, mereka yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah S’AW, tetapi masa berakhirnya perjanjian tersebut kurang dari empat bulan. Mereka ini diberi tempo sampai berakhirnya perjanjian tersebut. Kedua, mereka yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW tanpa batas waktu. Kepada mereka ini, al-Quran di dalam surah Bara’ah (at-Taubah) membatasi masa berakhirnya dengan empat bulan. Setelah itu, mereka berada dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh dimana saja ditemukan kecuali jika masuk Islam dan menyatakan tobat. Permulaan batas waktu ini adalah hari Arafah pada tahun ke-9 Hijriah sampai tanggal 10 bulan Rabi’ul Akhir.
Dikatakan-yaitu pendapat al-Kalbi-bahwa empat bulan tersebut adalah tempo yang diberikan kepada orang musyrik yang mempunyai perjanjian kurang dari empat bulan dengan Rasulullah S’AW. Sementara itu orang musyrik yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW lebih dari empat bulan maka Allah telah memerintahkan agar disempurnakan sampai berakhir batas waktunya. Inilah yang dimaksudkan firman Allah,
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (at-Taubah [9]:4)
Pendapat yang pertama lebih benar dan tepat karena surah Bara’ah (at-Taubah) tidak menegaskan sesuatu yang baru sebagaimana pendapat al-Kalbi di atas. Ia hanyalah penegasan terhadap perjanjian-perjanjian yang sudah disetujui antara Rasulullah S’AW dan kaum musyrikin. Ia tidak mengubah sedikitpun dari perjanjian-perjanjian itu ataupun mengemukakan hal yang baru. Seandainya demikian, lantas apa artinya Ali R.’A membacakan surat tersebut di hadapan khalayak musyrikin sebagai peringatan bagi mereka?
3.Penegasan tentang Hakikat Makna Jihad
Disyaratkannya jihad itu tidak memandang kepada faktor penyerbuan atau pembelaan. Jihad disyariatkan hanyalah untuk menegakkan kalimat Allah, membangun masyarakat Islam, dan mendirikan Negara Islam di muka bumi.
•Masjid Dhirar
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan lainnya bahwa di Madinah ada seorang rahib (pendeta) dari suku khazraj bernama Abu Amir. Ia memeluk agama nasrani di masa jahiliyah dan memiliki kedudukan penting di kalangan kabilah Khazraj. Ketika Rasulullah S’AW datang ke Madinah kemudian kaum muslimin berhimpun di sekitar beliau dan Islam pun telah menyebar luas. Abu Amir bangkit menunjukkan permusuhan kepada Rasulullah S’AW. Ia pergi ke Makkah meminta dukungan orang-orang musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah S’AW. Setelah melihat dakwah Rasulullah S’AW semakin bertambah maju dan kuat, ia pun pergi menemui Heraclius. Dari tempat pengasingannya ini ia menulis surat kepada orang-orang munafik Madinah yang isinya menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan Heraclius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang di dalam surat-suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat masjid Quba’. Masjid ini telah rampung mereka bangun sebelum Rasulullah S’AW berangkat ke Tabuk. Mereka kemudian datang kepada Rasulullah S’AW, meminta agar Rasulullah S’AW sudi kiranya sholat di masjid mereka untuk dijadikan dalih dan bukti persetujuannya. Mereka mengemukakan bahwa masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Akan tetapi, Allah Melindungi beliau dari melaksanakan sholat di masjid mereka. Nabi S’AW menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya4wl, nanti setelah pulang.”
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah S’AW tiba di Madinah dari perjalanan Tabuk, Jibril turun membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan tujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah S’AW kemudian mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. Berkenaan dengan masjid ini, turunlah firman Allah SWT,
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah [9]: 107-108)
•Utusan Tsaqif Menyatakan Masuk Islam
Ingatkah kisah orang-orang yang menyambut Rasulullah S’AW ketika berhijrah ke Tha’if dengan sambutan yang buruk, penolakan, pelemparan batu, dan penghinaan? Itulah orang-orang Tsaqif yang sekarang datang kepada Nabi S’AW menyatakan diri masuk ke dalam agama Allah (Islam) dengan jujur dan taat. Ingatkah ketika Zaid bin Harits berkata kepada Rasulullah S’AW dalam perjalanan pulang dari Tha’if ke Makkah, “Bagaimana engkau akan kembali ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu, wahai Rasulullah?” Waktu itu, beliau menjawab, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan Memberikan kemudahan dan jalan keluar terhadap apa yang kamu khawatirkan. Sesungguhnya Allah pasti Membela Agama-Nya dan Memenangkan Nabi-Nya.”
Apa yang terjadi adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah S’AW kepada Zaid tersebut. Demikianlah Tha’if, Makkah, dan seluruh kabilah Arab pada hari itu berbondong-bondong datang menyatakan diri masuk Islam.
Kemudian coba renungkan tentang segala penyiksaan yang dilancarkan Tsaqif dan kekecewaan yang sangat mengejutkan Nabi S’AW setelah beliau melakukan hijrah ke Tha’if dengan berjalan kaki melintasi pegunungan dan sahara dengan harapan mendapatkan sambutan yang baik dari penduduknya! Perlakuan kasar yang dilancarkan oleh Tsaqif ini minimal akan mendorong rasa ingin membalas dendam atau melakukan tindakan yang serupa pada jiwa manusia biasa.
Namun, adakah kita temukan sikap ataupun perasaan balas dendam ini di dalam jiwa Rasulullah S’AW dalam menghadapi para utusan Tsaqif? Bahkan selama beberapa hari, beliau pernah mengepung Tha’if kemudian memerintahkan para sahabatnya agar kembali pulang, lalu kepada beliau, para sahabat mendesak, “Berdo’alah untuk kehancuran Tsaqif,” tetapi beliau malah mengucapkan do’a kebaikan bagi Tsaqif,
“Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka dalam keadaan beriman.”
Ketika Allah mengabulkan do’a Rasul-Nya kemudian utusan Tsaqif datang ke Madinah. Abu Bakar ash-Shiddiq dan Mughirah bin Syu’bah berlomba-lomba datang kepada Rasulullah S’AW karena kedua sahabat ini mengetahui betapa gembiranya Nabi S’AW mendengar berita Islamnya Tsaqif. Dengan ceria dan penuh penghormatan, Rasulullah S’AW keluar menyambut kedatangan mereka, bahkan kemudian memberikan seluruh waktunya untuk mengajarkan Islam kepada mereka selama mereka berada di Madinah.
Kendatipun dahulu Tsaqif pernah melampiaskan kebencian mereka terhadapnya, beliau tidak mempunyai keinginan apa-apa terhadap mereka kecuali kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kendatipun dahulu Tsaqif merasa puas melihat Rasulullah S’AW menderita dan sengsara, kini beliau justru merasa bergembira melihat mereka mendapatkan karunia Islam dari Allah.
Adakah semua ini tabiat manusia biasa yang memperjuangkan suatu prinsip dan ideologi yang dianutnya?
Ia tidak lain hanyalah merupakan tabiat kenabian… Ia adalah sikap yang ditempa oleh satu-satunya sasaran dalam dakwah: dakwah membuahkan hasilnya dan Allah pun ridha kepada dirinya. Di jalan (dakwah) ini, semua penderitaan dan gangguan terasa ringan. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar manakala seorang hamba berhasil melewati semua rintangan dan gangguan tersebut, sedangkan ia masih tetap berada di atas sasaran yang mulia ini.
Itulah Islam, tidak mengenal kebencian ataupun rasa dendam, juga tidak pernah menginginkan keburukan bagi manusia.
Islam memerintahkan jihad, tetapi tanpa rasa kebencian ataupun kedengkian. Ia mengajarkan kekuatan, tetapi tanpa egoisme dan kesombongan. Ia mengajak kepada kasih sayang, tetapi tanpa merendahkan diri atau kelemahan. Ia mengajarkan cinta, tetapi di jalan Allah semata.
Demikianlah, utusan Tsaqif dan utusan-utusan lainnya yang berbondong-bondong datang ke Madinah menyatakan diri masuk Islam, merupakan penunaian terhadap janji ”kemenangan yang penuh kewibawaan” yang pernah Dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya.
Beberapa pelajaran dan hukum yang dapat diambil:
Pertama: Boleh Menempatkan Orang Musyrik di Dalam Masjid Jika Diharapkan Keislamannya
Dapat dilihat bagaimana Nabi S’AW menyambut utusan Tsaqif di masjidnya. Beliau berbicara dan mengajar mereka di dalam masjid. Bila hal ini dibolehkan bagi orang musyrik, apalagi bagi Ahli Kitab. Nabi S’AW juga pernah menyambut orang-orang Nasrani Najran di dalam masjid ketika mereka dantang ingin mendengarkan dan mengetahui Islam.
Az-Zarkasyi berkata, ”Ketahuilah bahwa Rafi’i dan Nawawi membolehkan orang kafir masuk masjid selain Masjidil Haram dengan beberapa syarat berikut:
Pertama, tidak dilarang oleh perjanjian sebelumnya yang tertuang di dalam perjanjian ahli dzimmah. Jika telah dilarang di dalam perjanjian tersebut, ia tidak boleh memasukinya.
Kedua, orang muslim yang mengizinkannya hendaknya mukallaf dan memiliki kelayakan sepenuhnya.
Ketiga, hendaknya tujuan masuknya untuk mendengarkan al-Qur’ an, belajar keislaman, diharapkan keislamannya, atau untuk memperbaiki bangunan dan lainnya.
Kedua: Perlakuan yang baik terhadap para
Perang Hunain
Perang Hunain merupakan pelajaran penting tentang aqidah Islamiyah dan hukum sebab akibat yang menyempurnakan pelajaran serupa di Perang Badar. Jika Perang Badar telah menetapkan kepada kaum Muslimin bahwa jumlah sedikit tidak membahayakan mereka sama sekali dalam menghadapi musuh mereka yang berjumlah jauh lebih banyak manakala mereka bersabar dan bertaqwa. Jumlah kaum Muslimin di Perang Hunain lebih besar dibandingkan jumlah mereka pada peperangan sebelumnya. Kendatipun demikian, jumlah yang besar itu tidak dapat memberikan manfaat sama sekali karena keimanan dan nilai-nilai keislaman belum merasuk dan menghujam ke dalam hati sebagian besar di antara mereka. Massa yang banyak itu telah bergabung secara fisik kepada pasukan Rasulullah S’AW, sedangkan hati dan jiwa mereka masih dikuasai oleh kehidupan dunia. Karena itu, jumlah yang banyak secara fisik itu tidak memiiki pengaruh bagi kemenangan dan datangnya pertolongan Allah. Karena itu, massa yang banyak itu lari tunggang langgang meninggalkan lembah Hunain tatkala mereka diserang secara mendadak oleh musuh. Bahkan mungkin bayangan ketakutan ini pada awalnya mempengaruhi juga hati sebagian besar kaum Mukmin yang telah matang keimanannya.
Akan tetapi, tidak lama kemudian terdengar oleh kaum Anshor dan Muhajirin teriakan dan panggilan Rasulullah S’AW kepada mereka sehingga mereka segera kembali berhimpun di sekitar Rasulullah S’AW dan berperang bersamanya. Jumlah mereka ini tidak lebih dari dua ratus orang. Akan tetapi dengan dua ratus orang tersebut, kemenangan dating kembali kepada kaum Muslimin dan ketenangan pun turun ke dalam hati mereka sehingga Allah Mengalahkan musuh mereka setelah 12.000 orang berkualitas buih tidak berguna sama sekali dalam menghadapi lawan. Allah menurunkan pelajaran penting ini di dalam Kitab-Nya yang mulia.
“Sesungguhnya, Allah telah menolong kamu (hai para Mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) Peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan cerai-berai. Kemudian Allah Menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah Menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah Menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, sesudah itu, Allah Menerima tobat dari orang-orang yang Dikehendaki-Nya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(at-Taubah [9]: 25-27)
Beberapa pelajaran penting dan ‘ibroh yang diambil dari Perang Hunain:
Pertama, Menyusupkan “intel” ke dalam barisan lawan untuk mengetahui ihwal mereka.
Rasulullah S’AW telah mengutus Abdullah bin Hadrad al-Aslami untuk mencari berita tentang jumlah serta perlengkapan musuh dan menginformasikannya kepada kaum Muslimin.
Kedua, Imam boleh meminjam senjata kaum musyrikin untuk memerangi musuh kaum muslimin.
Yang dimaksudkan senjata dalam hal ini ialah setiap peralatan dan perlengkapan perang yang diperlukan oleh tentara. Peminjaman senjata itu dibolehkan dengan cara gratis atau sewa. Cara kedua inilah yang dilakukan Rasulullah S’AW dalam peperangan ini. Beliau menyewa senjata dari Shafwan bin Uyainah yang pada waktu itu masih musyrik.
Hal ini masuk ke dalam keumuman hukum “meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan”. Masalah ini telah dibahas ketika mengomentari Perang Uhud. Sekarang menjadi jelas bahwa meminta bantuan kepada orang-orang kafir dalam peperangan terbagi dua:
1.Meminta bantuan personil dari mereka untuk berperang bersama kaum Muslimin. Masalah ini juga telah dibahas dalam perang Uhud. Tindakan ini dibolehkan apabila diperlukan dan kaum Muslimin dapat menjamin kejujuran dan kesetiaan para personel tersebut.
2.Meminta bantuan senjata dan peralatan-peralatan perang lainnya. Kebolehan masalah ini sudah tidak diperselisihkan lagi asalkan tidak menodai kehormatan kaum Muslimin dan tidak menyebabkan masuknya kaum Muslimin di bawah kekuasaan orang lain atau mengakibatkan kaum muslimin meninggalkan sebagian kewajiban agama. Kita tahu bahwa ketika Shafwan bin Uyainah meminjamkan (menyewakan) senjata kepada Rasulullah S’AW, ia dalam keadaan kalah dan lemah, sedangkan Rasulullah S’AW dalam posisi kuat. (Lihat Zadul Ma’ad, 3/190 dan Mughnil Muhtaj, 4/223)
Ketiga: Keberanian Rasulullah S’AW dalam Peperangan.
Suatu keberanian yang langka dan menakjubkan ketika seluruh kaum Muslimin terpencar di lembah dan lari meninggalkan medan pertempuran, hanya seorang diri Rasulullah S’AW bertahan dengan tegar di tengah kepungan dan serangan mendadak yang dilancarkan musuh dari segala penjuru. Nabi S’AW bertahan dengan tegar dan menakjubkan sehingga pengaruhnya menyentuh jiwa para sahabat yang lari meninggalkan pertempuran. Demi menyaksikan ketegaran dan keteguhan yang ditunjukkan Nabi S’AW inilah semangat keberanian para sahabat bangkit kembali.
Setelah meriwayatkan peristiwa Perang Hunain ini, Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, “Ini merupakan puncak keberanian yang sempurna. Di tengah berkecamuknya pertempuran seperti ini dan tanpa perlindungan pasukannya, Rasulullah S’AW dengan tenang tetap berada di atas baghalnya yang tidak pandai berlari dan tidak bisa digunakan berlari kencang meninggalkan medan atau melancarkan serangan. Rasulullah S’AW bahkan mengendalikan baghalnya ke arah mereka seraya meneriakkan namanya agar diketahui oleh orang yang tidak mengenalnya hingga hari kemudian. Kesemuanya ini tidak lain hanyalah merupakan keyakinan (tsiqah) kepada Allah SWT, tawakal kepada-Nya, dan kesadaran bahwa Allah pasti akan menolongnya, menyempurnakan risalah-Nya, dan memenangkan agama-Nya atas semua agama.”
Keempat: Kepergian wanita untuk Melakukan Jihad Bersama Kaum Lelaki.
Mengenai kepergian wanita ke medan perang untuk mengobati para mujahid yang luka dan memberi minum yang haus, telah ditegaskan oleh riwayat sahih dan terjadi dalam beberapa kali peperangan. Adapun kepergiannya ke medan pertempuran untuk berperang, hal itu tidak pernah terjadi dalam sunnah. Kendatipun Imam Bukhari menyebutkan di dalam bab “jihad” satu bab tentang “Peperangan Wanita Bersama Kaum Lelaki”, hadits-hadits yang disebutkannya dalam bab tersebut tidak ada yang menegaskan keikutsertaan kaum wanita bersama kaum lelaki untuk melakukan pertempuran. Ibnu Hajar berkata, “Saya tidak melihat sama sekali, dari hadits-hadits yang disebutkan dalam masalah ini, adanya penegasan bahwa kaum wanita ikut tampil bertempur.”
Sementara itu, hukum tentang kepergian kaum wanita untuk berperang yang disebutkan para fuqaha ialah apabila musuh menyerang salah satu negeri kaum Muslimin sehingga seluruh penduduknya, termasuk di dalamnya kaum wanita, wajib berperang melawannya. Itu pun jika diperlukan bantuan pertahanan mereka dan khawatir mereka akan mengalami fitnah. Jika tidak, berperang tidak disyariatkan bagi mereka. Tentang pisau belati yang dibawa Ummu Sulaim, itu hanya digunakan sekedar untuk membela diri sebagaimana yang dikatakannya sendiri.
Dalam pengertian inilah kita harus memahami sebuah riwayat yang disebutkan oleh Bukhari dan lainnya bahwa Aisyah R.’A. pernah meminta izin kepada Rasulullah S’AW untuk berjihad kemudian dijawab oleh Nabi S’AW, “Jihad kalian (kaum wanita) adalah menunaikan haji.” Jihad yang dimaksudkan oleh Aisyah R.’A. ini adalah ikut serta dalam pertempuran, bukan sekadar kehadiran untuk tugas pengobatan dan pelayanan-pelayanan serupa lainnya. Hal ini karena hadirnya wanita dalam suatu peperangan guna melaksanakan tugas-tugas pengobatan ini telah disepakati kebolehannya jika disepakati syarat-syaratnya.
Bagaimanapun, keluarnya wanita bersama kaum lelaki ke medan jihad disyaratkan harus benar-benar tertutup dan terjaga, juga karena suatu keperluan yang sangat mendesak. Jika sangat mendesak atau diperkirakan akan mengakibatkan terjatuh melakukan hal-hal yang dilarang, kepergiannya adalah haram.
Ingat selalu Firman Allah SWT:
“…Apakah kamu beriman kepada sebagian Alkitab dan ingkar terhadap yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
(al-Baqarah [2]:85)
Kelima: Larangan Membunuh Wanita, Anak-anak, dan Budak
Hal seperti ini ditegaskan oleh hadits Rasulullah S’AW ketika beliau melihat wanita yang (terlanjur) dibunuh oleh Khalid bin Walid. Semua ulama sepakat akan hal ini.
Dikecualikan dari ketentuan ini, apabila mereka ikut serta berperang secara langsung menyerang kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh jika sedang aktif melancarkan perlawanan dan wajib dihindari (membunuhnya) jika melarikan diri.
Dikecualikan juga dri ketentuan ini, jika kaum kafir menjadikan mereka sebagai tameng hidup, sedangkan kaum kafir tidak mungkin dapat dihancurkan kecuali dengan (terpaksa) membunuh mereka (juga). Hal ii dibolehkan, dalam hal ini, imam harus mengikuti apa yang menjadi tuntunan kemaslahatan.
Keenam: Hukum Mengambil Benda yang Melekat pada Musuh yang Terbunuh
Dalam peperangan ini, Nabi S’AW mengumumkan bahwa siapa yang membunuh seorang musuh maka ia boleh mengambil benda-benda yang melekat di tubuhnya. Ibnu Sayyid an-Nas berkata, “Pengumuman ini menjadi hukum yang berlaku sepanjang masa.”
Imam Syafi’i berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar penyampaian (dari Allah). Atas dasar ini, seorang mujahid di setiap zaman boleh langsung mengambil barang-barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya dala peperangan, tanpa perlu izin kepada imam atau komandannya.
Sementara itu, Imam Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa ia adalah hukum yang ditetapkan atas dasar imamah (sebagai pemimpin) saja. Dengan demikian, bolehlah mengambil barang yang melekat di tubuh musuh yang dibunuhnya itu tergantung pada izin imam. Jika imam tidak mengizinkan, barang-barang (salb) itu digabungkan kepada barang rampasan (ghanimah) dan pembagiannya diberlakukan sesuai dengan hukum ghanimah.
Ketujuh: Jihad tidak berarti Iri Hati terhadap Kaum Kafir
Ini seperti ditunjukkan oleh riwayat yang telah disebutkan bahwa sebagian sahabat berkata kepada Nabi S’AW dalam perjalanan pulang mereka setelah pengepungan kota Thaif, “Berdoalah kepada Allah untuk kehancuran Tsaqif.” Nabi S’AW kemudian berdo’a, “Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan bawalah mereka (kepada kami).” Ini berarti jihad tidak lain hanyalah pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar. Ia adalah tanggung jawab setiap manusia terhadap sesamanya untuk membebaskan diri mereka dari siksa abadi di hari kiamat.
Karena itu, kaum Muslimin tidak sepatutnya memanjatkan doa untuk orang lain kecuali doa terlimpahkannya hidayah dan perbaikan karena tujuan ini merupakan hikmah disyariatkannya jihad.
Kedelapan: Kapan Seorang Prajurit Berhak Memiliki Ghanimah
Telah disebutkan bahwa Rasulullah S’AW berkata pada utusan Hawazin ketika mereka datang menyatakan diri masuk Islam, “Sengaja aku menunda pembagian ghanimah ini karena mengharap keislaman kalian.”
Ini menunjukkan bahwa prajurit baru berhak memiliki ghanimah setelah dibagikan oleh penguasa atau imam. Betapapun lamanya, selagi belum dibagikan maka tidak bisa dimiliki oleh prajurit yang ikut berperang.
Hal ini juga menunjukkan bahwa imam boleh mengembalikan ghanimah kepada para pemiliknya apabila mereka datang menyatakan diri masuk Islam dan belum dibagikan kepada para mujahidin. Hal inilah yang diutamakan oleh Nabi S’AW dalam peperangan ini.
Sikap Nabi S’AW terhadap utusan Hawazin dan harta kekayaan mereka yang telah diambil oleh kaum Muslimin menunjukkan bahw aharta rampasan yang telah dibagikan kepada para mujahidin tidak boleh ditarik kembali oleh imam kecuali atas kerelaan dan kesediaan pemiliknya tanpa adanya pemaksaan atau desakan.
Perhatikanlah betapa kejelian Rasulullah S’AW ketika meminta izin kepada para pemilik harta itu. Nabi S’AW merasa belum cukup dengan jawaban secara massal yang mereka berikan, “Kami telah bersedia mengembalikan, wahai Rasul Allah,” tetapi beliau juga ingin mengetahui dan mendengar kesediaan tersebut dari setiap pribadi atau melalui para wakilnya dan pemimpin mereka.
Ini berarti seorang penguasa atau imam tidak boleh menggunakan wewenang dan kekuasaannya untuk memaksa orang-orang agar melepaskan haknya dan harta kekayaannya yang sah. Allah tidak membolehkan hal tersebut kepada seorang Rasul sekalipun.
Kesembilan: Kebijaksanaan Islam tentang Orang-orang Mu’allaf
Nabi S’AW mengkhususkan kepada para penduduk Makkah yang baru masuk Islam pada tahun penaklukan Makkah (Fat-hu Makkah) dengan melebihkan pemberian ghanimah. Dalam pembagian ghanimah kali ini, tidak diberikan kaidah persamaan di antara para mujahidin yang berperang. Tindakan Rasulullah S’AW ini oleh Imam dan Fuqaha dijadikan sebagai dalil bahwa imam boleh melebihkan pemberian kepada kaum Mu’allaf sesuai dengan kemaslahatan penjinakan hati mereka. Imam bahkan wajib melakukan hal ini bila diperlukan. Tidak ada halangan jika pemberian itu diambil dari barang rampasan. Karena pertimbangan yang sama pula, orang-orang mu’allaf ini memiliki bagian khusus di dalam harta zakat. Penguasa atau imam dapat memberikan harta zakat kepada mereka manakala diperlukan dan sesuai dengan kemaslahatan Islam.
Kesepuluh: Keutamaan Kaum Anshar dan Kecintaan Nabi S’AW kepada Mereka
Benarlah Rasulullah S’AW ketika bersabda, “Sesungguhnya, setan dapat menyusup ke dalam aliran darah manusia.” Setan ingin menanamkan ke dalam jiwa kaum Anshar rasa tidak puas terhadap kebijakan Rasulullah S’AW menyangkut pembagian pampasan. Barangkali setan menginginkan agar mereka menanggapi Nabi S’AW sebagai telah mengutamakan kaum kerabat serta orang-orang sekampungnya dan melupakan orang-orang Anshar!
Khotbah yang disampaikan Nabi S’AW sebagai jawaban terhadap bisikan keraguan tersebut sarat dengan nilai-nilai kelembutan dan perasaan cinta yang mendalam kepada kaum Anshar. Namun pada saat yang sama juga sarat dengan ungkapan rasa sakit karena dituduh melupakan dan berpaling dari orang-orang yang paling dicintainya.
Kelembutan dan kekecewaan ini telah menyentuh perasaan kaum Anshar sehingga membuat hati mereka luruh, mengikis segala bentuk keraguan dan bisikan ketidakpuasan yang baru saja merasuki hati mereka. Karena itu, terdengarlah suara tangis mereka karena mendapatkan Nabi S’AW dan rela menerima bagian mereka.
Apa artinya harta kekayaan, ternak, dan barang pampasan dibandingkan kembalinya kekasih mereka, Rasulullah S’AW, bersama mereka ke kampung halaman (Madinah) untuk hidup dan mati di antara mereka? Adakah bukti ketulusan cinta dan kasih sayang yang lebih besar selain kesediaan Nabi S’AW untuk meninggalkan tanah kelahirannya kemudian untuk seterusnya menetap bersama mereka?
Selain itu, kapankah harta benda pernah menjadi bukti cinta dan penghargaan dalam pandangan Nabi S’AW?
Memang, Nabi S’AW telah memberikan harta dan barang pampasan dalam jumlah besar kepada orang-orang Quraisy…. Akan tetapi, apakah Nabi S’AW menyisihkan sesuatu dari harta tersebut untuk dirinya? Ataukah mengambil bagiannya sebanyak bagian orang-orang Anshar? Rasulullah S’AW hanya mengambil khumus (seperlima) yang telah dikhususkan oleh Allah kepada Rasul-Nya untuk diserahkan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Karena itu, dibaginya khumus tersebut kepada orang-orang Arab yang ada di sekitarnya.
Renungkanlah apa yang dikatakan Nabi S’AW kepada mereka ketika mereka mengelilinginya dan meminta tambahan pemberian,
“Wahai manusia, demi Allah, aku tidak memperoleh dari barang pampasan kalian kecuali seperlima dan itu pun aku kembalikan lagi kepada kalian.”
Semoga shalawat tercurahkan kepadamu, wahai Rasulullah, juga kepada para sahabatmu yang mulia dari kaum Anshar dan Muhajirin. Semoga Allah berkenan menghimpun kami di bawah panjimu yang mulia dan menjadikan kami beserta orang-orang yang akan menemuimu di telaga pada hari kiamat.
•Perang Tabuk (Rajab 9 Hijriah)
Beberapa Ibroh:
Pertama: Catatan Sekitar Peperangan Ini
Islam telah berjaya di jazirah Arabia dan menguasai hati serta jiwa para penduduknya. Ini merupakan sesuatu yang senantiasa dikhawatirkan dan dicemaskan oleh orang-orang Nasrani Romawi sejak lama.
Orang-orang Romawi tidak memeluk agama Nasrani karena keimanan semata-mata. Mereka hanya menjadikan agama Nasrani sebagai media untuk menjajah bangsa-bangsa di wilayah ini. Karena itu, mereka mempermainkan agama nasrani sesukanya, mengubah dan mencampuradukkan dengan paganisme mereka serta menambahkan beraneka kebatiilan kepadanya.
Islam-agama yang diserukan oleh semua Rasul-datang untuk membebaskan manusia dari setiap kekuasaan selain kekuasaan Allah. Tidak ada kekuasaan dan hukum yang boleh dipaksakan kepada manusia selain kekuasaan dan hokum Allah.
Sebagai orang yang telah banyak mempelajari agama nasrani, mereka adalah orang-orang yang paling menyadari akan bahaya dan ancaman risalah terakhir (Islam) ini terhadap para tiran dan kesewenang-wenangan para diktator.
Tidak heran jika agama Islam ini-setelah kuat di jazirah Arab- merupakan sumber kecemasan dan kegelisahan bagi para thagut Romawi dan antek-antek mereka yang memeluk agama Nasrani sekadar untuk menguasai orang-orang lemah.
Karena itu, mereka mendengar berita Fat-hu Makkah dan kemenangan Islam di jazirah Arabia dengan penuh ketakutan kemudian menghimpun semua kekuatan mereka, dari Syam sampai ke Hijaz, untuk menghadapi agama ini (Islam). Sebab, jika agama Islam tersebar luas, kekuasaan dan kediktatoran mereka akan tumbang.
Sesuai dengan kecemasan pihak Romawi ini, semestinya terjadi pertempuran dahsyat antara mereka dan kaum Muslimin. Namun, hikmah Allah Menghendaki jihad kaum Muslimin dalam peperangan ini cukup dengan pengorbanan besar yang telah mereka kerahkan dan kesulitan fisik yang telah mereka alami di perjalanan pulang-pergi antara Madinah dan Tabuk. Perjalanan ini memang sangat menakjubkan, sarat dengan pengorbanan, penderitaan, dan kesulitan. Tidakkah jihad yang diperintahkan Allah itu berupa pengorbanan jiwa dan raga di jalan syariat Allah dan agama-Nya? Sesungguhnya, hal inilah yang dikehendaki Allah dari para hamba-Nya. Kita berlindung kepada Allah dari sangkaan yang tidak benar yang menuduh Allah membutuhkan pertolongan mereka untuk menghancurkan tipu daya orang-orang kafir atau memasukkan hidayah dan keimanan ke dalam hati orang-orang yang ingkar.
“Faisyul ‘Usrah” (pasukan Muslimin yang berperang dalam keadaan serba sulit) dalam peperangan yang serba sulit ini telah mengerahkan harta dan perjuangan serta mengorbankan kesempatan waktunya yang paling indah, kemudian menukar dengan berbagai macam penderitaan dan kesulitan, sebagai bukti kemurnian iman mereka kepada Allah dan cinta mereka kepada-Nya. Karena itu, mereka kemudian berhak mendapatkan kemenangan dan dukungan, dengan dihindarkan dari pertempuran dan dimasukkannya rasa takut ke dalam hati musuh mereka sehingga musuh lari meninggalkan medan dan tunduk kepada hukum Allah mengenai mereka.
Demikianlah, pihak Romawi dengan mudah tunduk kepada hukum jizyah dan segala persyaratannya sebagai “imbalan” dari segala kesulitan yang dialami kaum Muslimin bersama Rasulullah S’AW demi mencari ridha Allah.
Kedua: Beberapa ‘Ibroh dan Hukum
1.Urgensi Jihad dengan Harta
Jihad melawan musuh-musuh Islam tidak terbatas dengan pergi ke medan perang. Peperangan saja belum memadai. Para fuqaha menetapkan bahwa apabila Negara (Islam) sangat memerlukan biaya jihad, Negara boleh mencari dana dari masyarakat. Tetapi para fuqaha juga menyepakati bahwa hal tersebut dapat dilkukan asalkan harta dan kekayaan Negara yang ada tidak dialokasikan untuk kepentingan-kepentingan yang bersifat sekunder (kamaliah) atau tidak dibenarkan menurut syariat. Hal ini karena harta masyarakat tidak diutamakan dari harta Negara dalam pembiayaan dan peperangan. Kita tahu bagaimana Utsman bin Affan datang kepada Nabi S’AW menyerahkan 300 unta beserta pelana dan perbekalannya serta 200 uqiah dari uang perak, sampai Nabi S’AW bersabda,
“Tidak akan membahayakan Utsman apa yang dilakukan sesudah hari ini.”
Ini merupakan penjelasan tentang keutamaan Utsman Radhiyallahu ‘anhu. Kalimat yang disabdakan
2.Hadits tentang Abu Bakar dan Bid’ah Tambahannya
Telah disebutkan hadits yang diriwayatkan oleh Turmudzi dan Abu Dawud tentang Abu Bakar yang menyerahkan seluruh hartanya kepada Rasulullah S’AW, kemudian ketika ditanya oleh Nabi S’AW, ”Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu?” ia menjawab “Aku tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya.”
Sebagian orang membuat tambahan atas hadits tersebut bahwa Nabi S’AW bersabda kepadanya, “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya Allah telah ridha kepadamu. Apakah kamu juga ridha kepada-Nya?” Saking gembiranya, dia kemudian berdiri menari-menari di hadapan Nabi S’AW seraya berkata, “Bagaimana aku tidak akan ridha kepada-Nya?”
Mereka menjadikan tambahan bid’ah ini sebagai dalil dibolehkannya menari-nari seraya berputar-putar dalam halaqah-halaqah dzikir sebagaimana yang dilakukan oleh “Maulawiyah” dan kelompok-kelompok tashawuf lainnya. Sesungguhnya dalil yang mereka jadikan pegangan tersebut adalah palsu. Para Imam telah sepakat bahwa menari jika disertai dengan gerakan meliuk-liuk adalah haram. Jika tidak disertai gerakan meliuk-liuk, dimakruhkan. Memasukkan tarian-betapapun caranya- ke dalam dzikrullah adalah tindakan memasukkan sesuatu yang makruh atau haram ke dalam ibadah yang disyariatkan, di samping merupakan tindakan mengubah ibadah tanpa dalil. Apalagi dalam melakukan dzikir tersebut, mereka mengucapkan lafal-lafal dzikir, tetapi hanya dengan irama para munsyid dan penyanyi sehingga menambah kesemarakan di dalam jiwa.
Dikecualikan dari keumuman ini, apabila orang yang berdzikir mengalami keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri (pingsan). Hal ini karena dalam keadaan tidak sadarkan diri, ia terbebas dari hokum taklifi, sebagaimana dikatakan bahwa al-Izzu bin Abdus Salam sendiri pernah melakukan dzikir sampai tidak sadarkan diri kemudian berdiri melompat-lompat.
3.Orang-orang Munafik: Tabiat Mereka dan Sejauh Mana Bahaya Mereka terhadap Islam
Ayat-ayat Al Qur’ an yang diturunkan menyangkut peperangan ini lebih banyak daripada ayat-ayat yang diturunkan pada peperangan lainnya. Dalam surat at Taubah sekian banyak ayat, yang menjelaskan pentingnya jihad dan harta di jalan Allah sebagai bukti satu-satunya kesejatian iman seorang Muslim, juga merupakan pembeda yang terpenting antara seorang Mukmin dan orang-orang munafik. Karena itu, kaum Muslimin jika benar-benar Muslim mereka tidak boleh mengambil sikap “santai”. Mereka harus menganggap ringan segala penderitaan dan kesulitan di jalan Allah. Selain itu, ayat-ayat di dalam surah at Taubah ini juga banyak membahas tentang orang-orang munafik dan membongkar rencana-rencana jahat mereka yg tersembunyi.
Pelajaran yang terdapat di dalamnya ialah penjelasan akan bahaya nifaq dan orang-orang munafiq terhadap Islam di setiap masa. Islam adalah suatu pengakuan yang harus dibuktikan dengan jihad dan ujian sampai terbedakan mana yang benar dan mana yang dusta, mana yang benar-benar mukmin dan mana yang munafik. Perang Tabuk merupakan materi utama dari pelajaran Qur’ ani ini karena peperangan ini menjadi ujian Ilahi yang terbesar kepada kaum Muslimin yang dapat membongkar kedok kemunafikan di Madinah dan membedakan orang-orang munafik dari kaum Muslimin yang benar-benar beriman.
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata, ‘Janganlah kamu berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini.’ Katakanlah, ‘Api neraka Jahannam itu lebih sangat panasnya,’ jikalau mereka mengetahui. Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan. Maka jika Allah mengembalikanmu kepada satu golongan dari mereka, kemudian mereka minta izin kepadamu untuk keluar (pergi berperang), maka katakanlah, ‘Kamu tidak boleh keluar bersamaku selama-lamanya dan tidak boleh memerangi musuh bersamaku. Sesungguhnya kamu telah rela untuk tidak pergi berperang kali yang pertama. Karena itu, duduklah (tinggallah) bersama orang-orang yang tidak ikut berperang.” (at-Taubah [9]: 81-83)
“Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan-kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan, Allah mengetahui orang-orang yang zhalim.”
(at-Taubah [9]: 47)
Orang-orang munafik ini sangat berbahaya karena mereka memerangi Islam atas nama Islam, membuat makar terhadap Islam dengan senjata Islam, mempermainkan hukum-hukum Islam atas nama pembaharuan (Ishlah), keluwesan, dan berpegang teguh pada jiwa syariat. Mereka menghasilkan fatwa-fatwa pesanan untuk mencapai tujuan mereka atau menjilat tuan-tuan mereka. Pelajaran yang harus diambil kaum Muslimin dari hal ini ialah bahwa kaum Muslimin harus mewaspadai orang-orang munafik seribu kali lipat dari musuh eksternal mereka. Kaum Muslimin juga harus segera menumpas kemunafikan manakala sudah mulai tumbuh di antara mereka.
4.Jizyah dan Ahli Kitab
Di dalam peperangan ini terdapat dalil disyariatkannya mengambil jizyah dari Ahli Kitab. Dengan jizyah ini, darah dan harta mereka dilindungi. Seperti yang telah diketahui, orang-orang Romawi dalam peperangan ini telah bersembunyi dan melarikan diri dari Rasulullah S’AW ketika beliau sampai di Tabuk. Orang-orang Arab yang beragama Nasrani kemudian datang menemui Rasulullah S’AW guna meminta perdamaian dengan imbalan membayar jizyah. Permintaan ini disetujui oleh Nabi S’AW lalu dituangkan dalam surat perjanjian.
Jizyah adalah “pajak” harta yang dibayar oleh Ahli Kitab sebagaimana zakat yang dibayar oleh kaum Muslimin. Perbedaan antara keduanya bahwa jizyah semata-mata didasarkan kepada perundang-undangan, sedangkan zakat didasarkan kepada agama dan perundang-undangan.
Orang-orang yang tunduk kepada hukum jizyah dianggap masuk ke dalam hukum perundang-undangan Islam di masyarakat Islam sekalipun tidak meyakininya sebagai aqidah di dalam jiwa mereka. Karena itu, mereka tidak dibolehkan melanggar undang-undang dan hukum-hukum Islam secara umum kecuali hal-hal yang menurut agama mereka dibolehkan, seperti minum khamr dan lainnya.
Akan tetapi, di dalam masalah jizyah ini ada perbedaan antara orang-orang ahli kitab dengan para penyembah berhala dan atheis. Orang-orang ahli kitab masih memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat Islam dan sistemnya secara umum dengan tetap memeluk agama mereka. Sedangkan orang-orang atheis dan penyembah berhala tidak ada faktor yang dapat menyesuaikan mereka dengan masyarakat Islam. Perbedaan antara Islam dan paganisme serta atheisme sangat mendasar dan berakar.
5.Apa yang disebutkan Rasulullah S’AW ketika melewati bekas perkampungan Tsamud menunjukkan bahwa seorang Muslim dimkruhkan memasuki tempat-tempat umat terdahulu yang pernah dihancurkan oleh Allah karena kekafiran mereka, atau melewati peninggalan-peninggalan mereka, kecuali dengan maksud mengambil pelajaran dari mereka. Hal ini karena tempat itu merupakan tempat-tempat yang pernah menyaksikan kemarahan Allah dan mencatat bekas-bekas peninggalan kemarahan tersebut. Bekas-bekas kemurkaan itu akan kekal sepanjang masa. Tidak diragukan lagi bahwa Allah meninggalkan bekas-bekas ini di muka bumi adalah untuk menjadi pelajaran bagi orang-orang yang memiliki akal sehat, sebagaimana sering dijelaskan-Nya di dalam ayat-ayat-Nya. Karena itu, salah besar jika seorang melewati tempat-tempat tersebut tanpa mengambil pelajarannya.
6.Kita harus merenungkan perbedaan antara kebijakan rasulullah S’AW dan kebijakan para sahabatnya dalam menghadapi orang-orang munafik. Mengapa Rasulullah S’AW bersikap lunak terhadap orang-orang munafik dan memaafkan mereka tetapi bersikap keras dan memberikan hukuman terhadap orang-orang muslim yang jujur? Jawabannya, sesungguhnya sikap keras dan tegas dalam kasus ini justru merupakan penghormatan dan pemuliaan. Penghormatan dan pemuliaan tidak layak diterima oleh orang-orang munafik. Bagaimana mungkin orang-orang munafik itu akan memperoleh tobat dan pengampunan melalui ayat-ayat yang diturunkan?
7.Di dalam kisah Ka’ab, terdapat beberapa pelajaran dan ‘ibrah penting, di antaranya sebagai berikut:
Pertama, disyariatkannya pengucilan (al-hajr) karena sebab keagamaan. Nabi S’AW melarang kaum mereka berbicara dengan Ka’ab bin Malik dan kedua orang temannya selama masalah tersebut. Ibnul Qayyim berkata, “Hal ini menunjukkan juga bahwa menjawab salam orang yang patut dikucilkan adalah tidak wajib. Hal ini karena di antara pengakuan Ka’ab ialah, ‘Aku tetap keluar melaksanakan sholat berjamaah bersama kaum Muslimin. Aku kemudian datang menghadap Rasulullah S’AW. Kuucapkan salam kepada beliau yang saat itu sedang duduk sesudah sholat. Dalam hati, aku bertanya, ‘Apakah beliau menggerakkan bibir membalas ucapan salamku ataukah tidak?” Seandainya menjawab salamnya itu wajib, niscaya dia mendengarnya.”
Kedua, Ujian lain yang Diberikan Allah kepada Ka’ab patut direnungkan agar kita tahu bagaimana seharusnya keimanan seorang muslim kepada Rabbnya. Kita tahu bahwa Raja Ghassan telah mengirim surat kepadanya. Ia meminta Ka’ab datang ke negerinya dan meninggalkan orang-orang mukmin yang mengucilkan dan menghukumnya. Tawaran ini membuat Ka’ab semakin sedih dan menderita. Akan tetapi, cobaan berat ini tidak mengungkapkan sesuatu kecuali nbertambahnya keimanan Ka’ab kepada Rabbnya serta keikhlasan dan cintanya kepada-Nya.
Ketiga, Sujud syukur kepada Allah adalah ibadah yang disyariatkan sebagaimana ditunjukkan oleh sujudnya Ka’ab R.’A ketika mendengar suara orang yang menyampaikan kabar gembira penerimaan taubatnya.
Keempat, Hanafiah, kecuali Zufar, berpendapat apabila seseorang bernazar akan menyedekahkan seluruh hartanya kepada orang-orang miskin, ia tidak harus menunaikannya kecuali dengan harta zakat saja. Pendapat ini mereka dasarkan kepada beberapa dalil, di antaranya jawaban Rasulullah S’AW kepada Ka’ab ketika ia bernazar, “Di antara tanda-tanda bukti taubatku bahwa aku akan menyerahkan seluruh hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan Rasul-Nya.” Akan tetapi, Nabi S’AW menjawab, “Lebih baik engkau tahan sebagian dari hartamu.”
Sementara itu, orang-orang yang berpendapat bahwa dengan nazar tersebut, seluruh hartanya menjadi sedekah, mereka berkata, “Sebenarnya perkataan Ka’ab kepada Rasulullah S’AW tersebut bukan menyatakan nazar, melainkan meminta pendapat Rasulullah S’AW yang kemudian dijelaskan oleh Nabi S’AW bahwa sebagiannya saja sudah mencukupi.(Lihat al-Mabsuth, as-Sarkhari, hlm. 12-93, Zadul Ma’ad, Ibnu Qayyim, 3/23, dan Dhawabithul Mashalah, al-Buthy, hlm. 244, 384.) barangkali pendapat ini lebih dekat kepada pengertian konteks perkataan Ka’ab R.’A dan jawaban Rasulullah S’AW kepadanya.
•Abu Bakar Memimpin Jamaah Haji Tahun ke-9 Hijriah
Beberapa’Ibroh:
1.Orang-orang Musyrik dan Tradisi Mereka dalam Haji
Seperti telah kita ketahui bahwa menunaikan ibadah haji ke Baitullah al-Haram adalah termasuk warisan yang diterima oleh orang-orang Arab dari Ibrahim ‘A.S. Ia termasuk sisa-sisa ajaran Hanifiah yang masih mereka pelihara, tetapi sudah banyak kemasukan karat-karat jahiliyah dan kebatilan ajaran kemusyrikan sehingga warna kemusyrikan lebih dominan daripada yang seharusnya dilakukan berdasarkan aqidah tauhid. Ibnu A’idz berkata bahwa kaum musyrikin sebelum tahun ini menunaikan ibadah haji bersama kaum Muslimin. Mereka mengganggu kaum Muslimin dengan mengeraskan ucapan “talbiah” mereka yang artinya, “Tiada sekutu bagi-Mu kecuali sekutu yang pantas bagi-Mu dan baginya.”
Beberapa orang di antara mereka melakukan thawaf dengan telanjang, tanpa pakaian sama sekali. Perbuatan ini mereka anggap sebagai penghormatan kepada Ka’bah. Kata salah seorang di antara mereka, “Aku thawaf di Ka’bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku. Tidak ada kekotoran benda dunia yang melekat di tubuhku.” (Lihat ‘Uyunul Atsar, Ibnu Sayyid an-Nas, 2/231.
Kotoran-kotoran jahiliyah ini habis pada tahun ke-9 Hijriah, tahun dimana Abu Bakar memimpin rombongan haji dan disampaikannya peringatan kepada semua orang musyrik bahwa Masjidil Haram harus dibersihkan dari kotoran-kotoran kemusyrikan untuk selama-lamanya.
2.Berakhirnya Perjanjian dengan Diumumkannya Peperangan
Perlu diketahui bahwa kaum musyrikin pada waktu itu, sebagaimana dikatakan oleh Muhammad bin Ishaq dan lainnya, ada dua kategori. Pertama, mereka yang memiliki perjanjian dengan Rasulullah S’AW, tetapi masa berakhirnya perjanjian tersebut kurang dari empat bulan. Mereka ini diberi tempo sampai berakhirnya perjanjian tersebut. Kedua, mereka yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW tanpa batas waktu. Kepada mereka ini, al-Quran di dalam surah Bara’ah (at-Taubah) membatasi masa berakhirnya dengan empat bulan. Setelah itu, mereka berada dalam keadaan perang dengan kaum Muslimin. Mereka boleh dibunuh dimana saja ditemukan kecuali jika masuk Islam dan menyatakan tobat. Permulaan batas waktu ini adalah hari Arafah pada tahun ke-9 Hijriah sampai tanggal 10 bulan Rabi’ul Akhir.
Dikatakan-yaitu pendapat al-Kalbi-bahwa empat bulan tersebut adalah tempo yang diberikan kepada orang musyrik yang mempunyai perjanjian kurang dari empat bulan dengan Rasulullah S’AW. Sementara itu orang musyrik yang mempunyai perjanjian dengan Rasulullah S’AW lebih dari empat bulan maka Allah telah memerintahkan agar disempurnakan sampai berakhir batas waktunya. Inilah yang dimaksudkan firman Allah,
“Kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak pula mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.” (at-Taubah [9]:4)
Pendapat yang pertama lebih benar dan tepat karena surah Bara’ah (at-Taubah) tidak menegaskan sesuatu yang baru sebagaimana pendapat al-Kalbi di atas. Ia hanyalah penegasan terhadap perjanjian-perjanjian yang sudah disetujui antara Rasulullah S’AW dan kaum musyrikin. Ia tidak mengubah sedikitpun dari perjanjian-perjanjian itu ataupun mengemukakan hal yang baru. Seandainya demikian, lantas apa artinya Ali R.’A membacakan surat tersebut di hadapan khalayak musyrikin sebagai peringatan bagi mereka?
3.Penegasan tentang Hakikat Makna Jihad
Disyaratkannya jihad itu tidak memandang kepada faktor penyerbuan atau pembelaan. Jihad disyariatkan hanyalah untuk menegakkan kalimat Allah, membangun masyarakat Islam, dan mendirikan Negara Islam di muka bumi.
•Masjid Dhirar
Ibnu Katsir meriwayatkan dari Sa’id bin Jubair, Urwah, Qatadah, dan lainnya bahwa di Madinah ada seorang rahib (pendeta) dari suku khazraj bernama Abu Amir. Ia memeluk agama nasrani di masa jahiliyah dan memiliki kedudukan penting di kalangan kabilah Khazraj. Ketika Rasulullah S’AW datang ke Madinah kemudian kaum muslimin berhimpun di sekitar beliau dan Islam pun telah menyebar luas. Abu Amir bangkit menunjukkan permusuhan kepada Rasulullah S’AW. Ia pergi ke Makkah meminta dukungan orang-orang musyrik Quraisy untuk memerangi Rasulullah S’AW. Setelah melihat dakwah Rasulullah S’AW semakin bertambah maju dan kuat, ia pun pergi menemui Heraclius. Dari tempat pengasingannya ini ia menulis surat kepada orang-orang munafik Madinah yang isinya menjanjikan kepada mereka apa yang dijanjikan Heraclius kepada dirinya dan memerintahkan mereka agar membangun sebuah markas tempat mereka berkumpul untuk merealisasikan rencana jahat yang tertuang di dalam surat-suratnya tersebut.
Mereka kemudian membangun sebuah masjid di dekat masjid Quba’. Masjid ini telah rampung mereka bangun sebelum Rasulullah S’AW berangkat ke Tabuk. Mereka kemudian datang kepada Rasulullah S’AW, meminta agar Rasulullah S’AW sudi kiranya sholat di masjid mereka untuk dijadikan dalih dan bukti persetujuannya. Mereka mengemukakan bahwa masjid tersebut dibangun untuk orang-orang yang tidak dapat keluar di malam yang dingin. Akan tetapi, Allah Melindungi beliau dari melaksanakan sholat di masjid mereka. Nabi S’AW menjawab, “Kami sekarang mau berangkat. Insya4wl, nanti setelah pulang.”
Sehari atau beberapa hari sebelum Rasulullah S’AW tiba di Madinah dari perjalanan Tabuk, Jibril turun membawa berita tentang masjid Dhirar yang sengaja mereka bangun atas dasar kekafiran dan tujuan memecah belah jamaah kaum Muslimin. Rasulullah S’AW kemudian mengutus para sahabatnya untuk menghancurkan masjid tersebut sebelum beliau datang ke Madinah. Berkenaan dengan masjid ini, turunlah firman Allah SWT,
“Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin), dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah, ‘kami tidak menghendaki selain kebaikan.’ Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu sholat dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya, masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’) sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at-Taubah [9]: 107-108)
•Utusan Tsaqif Menyatakan Masuk Islam
Ingatkah kisah orang-orang yang menyambut Rasulullah S’AW ketika berhijrah ke Tha’if dengan sambutan yang buruk, penolakan, pelemparan batu, dan penghinaan? Itulah orang-orang Tsaqif yang sekarang datang kepada Nabi S’AW menyatakan diri masuk ke dalam agama Allah (Islam) dengan jujur dan taat. Ingatkah ketika Zaid bin Harits berkata kepada Rasulullah S’AW dalam perjalanan pulang dari Tha’if ke Makkah, “Bagaimana engkau akan kembali ke Makkah, sedangkan penduduknya telah mengusirmu, wahai Rasulullah?” Waktu itu, beliau menjawab, “Wahai Zaid, sesungguhnya Allah akan Memberikan kemudahan dan jalan keluar terhadap apa yang kamu khawatirkan. Sesungguhnya Allah pasti Membela Agama-Nya dan Memenangkan Nabi-Nya.”
Apa yang terjadi adalah bukti kebenaran sabda Rasulullah S’AW kepada Zaid tersebut. Demikianlah Tha’if, Makkah, dan seluruh kabilah Arab pada hari itu berbondong-bondong datang menyatakan diri masuk Islam.
Kemudian coba renungkan tentang segala penyiksaan yang dilancarkan Tsaqif dan kekecewaan yang sangat mengejutkan Nabi S’AW setelah beliau melakukan hijrah ke Tha’if dengan berjalan kaki melintasi pegunungan dan sahara dengan harapan mendapatkan sambutan yang baik dari penduduknya! Perlakuan kasar yang dilancarkan oleh Tsaqif ini minimal akan mendorong rasa ingin membalas dendam atau melakukan tindakan yang serupa pada jiwa manusia biasa.
Namun, adakah kita temukan sikap ataupun perasaan balas dendam ini di dalam jiwa Rasulullah S’AW dalam menghadapi para utusan Tsaqif? Bahkan selama beberapa hari, beliau pernah mengepung Tha’if kemudian memerintahkan para sahabatnya agar kembali pulang, lalu kepada beliau, para sahabat mendesak, “Berdo’alah untuk kehancuran Tsaqif,” tetapi beliau malah mengucapkan do’a kebaikan bagi Tsaqif,
“Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka dalam keadaan beriman.”
Ketika Allah mengabulkan do’a Rasul-Nya kemudian utusan Tsaqif datang ke Madinah. Abu Bakar ash-Shiddiq dan Mughirah bin Syu’bah berlomba-lomba datang kepada Rasulullah S’AW karena kedua sahabat ini mengetahui betapa gembiranya Nabi S’AW mendengar berita Islamnya Tsaqif. Dengan ceria dan penuh penghormatan, Rasulullah S’AW keluar menyambut kedatangan mereka, bahkan kemudian memberikan seluruh waktunya untuk mengajarkan Islam kepada mereka selama mereka berada di Madinah.
Kendatipun dahulu Tsaqif pernah melampiaskan kebencian mereka terhadapnya, beliau tidak mempunyai keinginan apa-apa terhadap mereka kecuali kebaikan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kendatipun dahulu Tsaqif merasa puas melihat Rasulullah S’AW menderita dan sengsara, kini beliau justru merasa bergembira melihat mereka mendapatkan karunia Islam dari Allah.
Adakah semua ini tabiat manusia biasa yang memperjuangkan suatu prinsip dan ideologi yang dianutnya?
Ia tidak lain hanyalah merupakan tabiat kenabian… Ia adalah sikap yang ditempa oleh satu-satunya sasaran dalam dakwah: dakwah membuahkan hasilnya dan Allah pun ridha kepada dirinya. Di jalan (dakwah) ini, semua penderitaan dan gangguan terasa ringan. Sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar manakala seorang hamba berhasil melewati semua rintangan dan gangguan tersebut, sedangkan ia masih tetap berada di atas sasaran yang mulia ini.
Itulah Islam, tidak mengenal kebencian ataupun rasa dendam, juga tidak pernah menginginkan keburukan bagi manusia.
Islam memerintahkan jihad, tetapi tanpa rasa kebencian ataupun kedengkian. Ia mengajarkan kekuatan, tetapi tanpa egoisme dan kesombongan. Ia mengajak kepada kasih sayang, tetapi tanpa merendahkan diri atau kelemahan. Ia mengajarkan cinta, tetapi di jalan Allah semata.
Demikianlah, utusan Tsaqif dan utusan-utusan lainnya yang berbondong-bondong datang ke Madinah menyatakan diri masuk Islam, merupakan penunaian terhadap janji ”kemenangan yang penuh kewibawaan” yang pernah Dijanjikan Allah kepada Rasul-Nya.
Beberapa pelajaran dan hukum yang dapat diambil:
Pertama: Boleh Menempatkan Orang Musyrik di Dalam Masjid Jika Diharapkan Keislamannya
Dapat dilihat bagaimana Nabi S’AW menyambut utusan Tsaqif di masjidnya. Beliau berbicara dan mengajar mereka di dalam masjid. Bila hal ini dibolehkan bagi orang musyrik, apalagi bagi Ahli Kitab. Nabi S’AW juga pernah menyambut orang-orang Nasrani Najran di dalam masjid ketika mereka dantang ingin mendengarkan dan mengetahui Islam.
Az-Zarkasyi berkata, ”Ketahuilah bahwa Rafi’i dan Nawawi membolehkan orang kafir masuk masjid selain Masjidil Haram dengan beberapa syarat berikut:
Pertama, tidak dilarang oleh perjanjian sebelumnya yang tertuang di dalam perjanjian ahli dzimmah. Jika telah dilarang di dalam perjanjian tersebut, ia tidak boleh memasukinya.
Kedua, orang muslim yang mengizinkannya hendaknya mukallaf dan memiliki kelayakan sepenuhnya.
Ketiga, hendaknya tujuan masuknya untuk mendengarkan al-Qur’ an, belajar keislaman, diharapkan keislamannya, atau untuk memperbaiki bangunan dan lainnya.
Kedua: Perlakuan yang baik terhadap para
Subscribe to:
Posts (Atom)