Monday, March 16, 2009

Tazkiyatun Nafs (3)

MENSUCIKAN JIWA (PART 3)
(SA’ID HAWA)

TILAWAH AL-QUR’AN

Tilawah Al-Qur’an dapat menghaluskan jiwa dari beberapa segi. Ia mengenalkan manusia kepada tuntutan yang harus dilakukannya, membangkitkan berbagai nilai yang dimaksudkan dalam tazkiyatun-nafs, menerangi hati, mengingatkannya, menyempurnakan fungsi sholat, zakat, puasa, dan haji dalam mencapai maqam ‘ubudiyah kepada Allah ‘azza wa jalla. Tilawah Al-Qur’an memerlukan penguasaan yang baik tentang hokum-hukum tajwid dan komitmen harian dengan wirid dari Al-Qur’an.

Al-Qur’an dapat berfungsi dengan baik apabila dalam tilawahnya disertai adab-adab batin dalam perenungan, khusyu’, dan tadabbur.

Sepuluh Amalan dalam Tilawah: Memahami sumber firman, ta’zhim, kehadiran hati, tadabbur, tafahhum, menghindari hambatan-hambatan kefahaman, takhsish, ta’atstsur, taraqqi, dan tabarriy.

Pertama: Memahami keagungan dan ketinggian firman, karunia ALLAH SWT dan kasih sayang-Nya kepada makhluk dalam menurunkan al-Qur’an dari ’Arsy kemuliaan-Nya ke derajat pemahaman makhluk-Nya.

Kedua: Mengagungkan Mutakallim (Allah). Pada permulaan tilawah Al-Qur’an, seorang pembaca harus menghadirkan di dalam hatinya keagungan Allah (al-Mutakallim) dan mengetahui bahwa apa yang dibacanya bukanlah pembicaraan manusia, dan bahwa membaca kalam Allah sangat penting, karena itu Dia berfirman: “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.” (al-Waqi’ah:79)

Ketiga: Kehadiran hati dan meninggalkan bisikan jiwa. Mengambilnya dengan serius yaitu dengan berkonsentrasi penuh dalam membacanya, dan mengarahkan perhatian hanya kepadanya.
Keempat: Tadabbur. Tadabbur adalah sesuatu di luar ’kehadiran hati’, karena bisa jadi ia tidak berpikir selain al-Qur’an tetapi hanya mendengarkan al-Qur’an dari dirinya sendiri padahal ia tidak mentadabburkannya. Tujuan membaca adalah tadabbur, oleh karena itu disunnahkan membaca dengan tartil sebab di dalam tartil secara zhahir memungkinkan tadabbur dengan bathin. Ali R.’A berkata:
”Tidak ada kebaikan pada ibadah tanpa pemahaman di dalamnya, dan tidak ada kebaikan pada bacaan tanpa tadabbur di dalamnya.”

Kelima: Tafahhum (memahami secara mendalam). Yaitu mencari kejelasan dari setiap ayat secara tepat, karena al-Qur’an meliputi berbagai masalah tentang sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan-Nya, ihwal para Nabi, ihwal para pendusta dan bagaimana mereka dihancurkan, perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, sorga dan neraka. Karena itu, hendaklah selalu berusaha mencari pemahaman tersebut. Ibnu Mas’ud berkata: Barangsiapa menghendaki ilmu orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian, maka hendaklah ia mendalami al-Qur’an.

Keenam: Meninggalkan hal-hal yang dapat menghalangi pemahaman. Penghalang pemahaman ada empat: (1) Perhatiannya tertuju kepada penunaian bacaan huruf-hurufnya saja, (2) taqlid kepada mazhab yang didengarnya, (3) berterus-menerus dalam dosa atau sikap sombong atau secara umum terjangkiti oleh penyakit hawa nafsu kepada dunia yang diperturutkan, (4) karena telah membaca ‘tafsir zhahir’ dan meyakini bahwa tidak ada makna lain bagi kalimat-kalimat al-Qur’an kecuali apa yang disebutkan dalam nukilan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan lainnya.

Ketujuh, Takhshish. Yaitu menyadari bahwa dirinya merupakan sasaran yang dituju oleh setiap khithab (nash) yang ada dalam al-Qur’an.

Kedelapan: Ta’atstsur (Mengimbas ke dalam hati). Yaitu hatinya terimbas dengan berbagai imbasan yang berbeda sesuai dengan beragamnya ayat yang dihayatinya. Sesuai dengan pemahaman yang dicapainya demikian pula keadaan dan imbasan yang dirasakan oleh hati berupa rasa sedih, takut, harap, dan lain sebagainya.

Kesembilan: Taraqqi. Yakni meningkatkan penghayatan sampai ke tingkat mendengarkan kalam dari Allah SWT bukan dari dirinya sendiri. Karena derajat bacaan ada tiga: (1) derajat yang paling rendah, yaitu seorang hamba merasakan seolah-olah dia membacanya kepada Allah, berdiri di hadapan-Nya, sementara itu Dia menyaksikan dan mendengarkannya. (2) menyaksikan dengan hatinya seolah-olah Allah melihatnya dan mengajaknya bicara dengan berbagai taufiq-Nya, memanggilnya dengan berbagai ni’mat dan kebaikan-Nya. (3) melihat mutakallim dalam setiap kalam yang dibacanya.

Kesepuluh: Tabarriy. Yakni melepaskan diri dari daya dan kekuatannya, dan memandang kepada dirinya dengan pandangan ridha dan tazkiyah

No comments:

Post a Comment