MENSUCIKAN JIWA (PART 2)
(SA’ID HAWA)
Urgensi puasa dalam tazkiyatun-nafs (Mensucikan Jiwa) menduduki derajat ketiga (setelah sholat dan zakat), karena di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut. Jika kesabaran termasuk kedudukan jiwa yang tertinggi maka puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar. Oleh sebab itu disebutkan dalam sebuah hadits: “Puasa adalah separuh kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah, hadits hasan). Allah SWT telah menjadikan puasa sebagai sarana untuk mencapai derajat taqwa. (al-Baqarah: 183)
Puasa memiliki tiga tingkatan: Puasa orang awam, puasa orang khusus dan puasa orang super khusus.
Puasa orang awam ialah menahan perut dan kemaluan dari memperturutkan syahwat. Puasa orang khusus ialah menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan semua anggota badan dari berbagai dosa. Puasa super khusus adalah puasa hati dari berbagai keinginan yang rendah dan pikiran-pikiran yang tidak berharga; juga menahan hati dari selain Allah secara total, dan puasa ini menjadi ”batal” karena fikiran tentang selain Allah dan hari akhir; karena fikiran tentang dunia kecuali dunia yang dimaksudkan untuk agama (karena dunia yang dimaksudkan untuk agama tersebut sudah termasuk bekal akhirat dan tidak lagi dikatakan sebagai dunia). Ini merupakan tingkatan para Nabi, Rasul, Shiddiqin, dan Muqarrabin.
Puasa orang khusus ialah puasa orang-orang sholeh yaitu menahan anggota badan dari berbagai dosa. Sedangkan kesempurnaannya ialah dengan enam perkara:
1. Menundukkan pandangan dan menahannya dari berkeliaran memandang ke setiap hal yang dicela dan dibenci, ke setiap hal yang bisa menyibukkan hati dan melalaikan dari mengingat Allah ’azza wajalla.
2. Menjaga lisan dari bualan, dusta, ghibah, gunjingan, kekejian, perkataan kasar, pertengkaran, dan perdebatan. Mengendalikannya dengan diam, menyibukkannya dengan dzikrullah dan tilawah al-Qur’an. Itulah puasa lisan.
3. Menahan pendengaran dari mendengarkan setiap hal yang dibenci (makruh) karena setiap yang diharamkan perkataannya diharamkan pula mendengarkannya.
4. Menahan berbagai anggota badan lainnya dari berbagai dosa, seperti menahan tangan dan kaki dari hal-hal yang dibenci, menahan perut dari berbagai syubhat pada waktu tidak puasa.
5. Tidak memperbanyak makanan halal pada saat berbuka puasa sampai penuh perutnya. Karena tidak ada wadah yang paling dibenci oleh Allah swt selain perut yang penuh dengan makanan halal.
6. Hendaknya setelah ifthar hatinya tergantung dan terguncang antara cemas dan harap, sebab ia tidak tahu apakah puasanya diterima sehingga termasuk golongan Muqarrabin atau ditolak sehingga termasuk orang-orang yang dimurkai? Hendaklah hatinya dalam keadaan demikian di akhir setiap ibadah yang baru saja dilaksanakan.
Sebagian ulama’ berkata: Berapa banyak orang yang berpuasa sesungguhnya dia tidak berpuasa dan berapa banyak orang yang tidak berpuasa tetapi sesungguhnya ia berpuasa. Nabi S’AW bersabda:
”Puasa adalah amanah maka hendaklah salah seorang di antara kamu menjaga amanahnya.” (Diriwayatkan oleh al-Khara’ithi dan sanadnya hasan).
HAJI
”Barang siapa menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji...” (al-Baqarah: 197)
”Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketaqwaan hati.” (al-Hajj:32)
Haji adalah pembiasaan jiwa untuk melakukan sejumlah nilai, seperti istislam, taslim, mengerahkan jerih payah dan harta di jalan Allah, ta’awun, ta’aruf, dan melaksanakan syi’ar-syi’ar ’ubudiyah kepada Allah SWT. Semua itu memiliki pengaruh dalam tazkiyatun-nafs, sebagaimana merupakan bukti telah merealisasikan kesucian jiwa.
Rincian Adab dan Amal-amal Batin Ibadah Haji
1. Rincian Adab
a) Finansialnya hendaknya halal.
b) Memperbanyak bekal dan ridha mengeluarkan (bekal) dan berinfaq tanpa pelit dan pemborosan, tetapi ekonomis.
c) Meninggalkan rafats, fusuq, dan jidal, sebagaimana diungkapkan Al-Qur’an.
Rafats ialah sebutan bagi setiap kesia-siaan dan kemesuman dan perkataan yang jorok. Termasuk ke dalam kategori rafats ialah merayu wanita, bercumbu, berbicara seputar masalah jima’ dan pengantarnya. Semua itu dapat membangkitkan dorongan jima’ yang dilarang. Pendorong hal yang dilarang adalah dilarang. Fusuq adalah sebutan bagi tiap pelanggaran akan ketaatan kepada ALLAH SWT. Jidal adalah berlebih-lebihan dalam bertengkar dan perbantahan sehingga dapat menimbulkan antipati dan mengacaukan perhatian.
d) Hendaknya berhaji dengan berjalan kaki, jika mampu, karena hal ini lebih utama, terutama perjalanan dari Mekkah ke Arafah dan Mina.
e) Hendaknya berpenampilan lusuh, berdebu, dan dekil; tidak banyak memakai perhiasan dan tidak cenderung kepada berbagai sarana kemewahan dan kemegahan. At-tafats ialah dekil dan berdebu yang pembersihannya dilakukan dengan mencukur, menggunting kumis dan kuku, yaitu pada saat tahallul dan ihram.
f) Hendaknya ber-taqarrub dengan menyembelih binatang qurban sekalipun ia tidak berkewajiban melakukannya dan berusaha agar binatang qurbannya termasuk yang mahal dan berharga, kemudian memakan sebagian dagingnya jika qurban itu sebagai tathawwu’, dan tidak memakan dagingnya jika qurban itu sebagai kewajiban [kecuali dengan fatwa Imam].
Al-‘Ajju ialah mengucapkan talbiyah dengan suara keras. Ats-Tsajju ialah penyembelihan unta.
g) Hendaknya merasa senang dan ridha dalam mengeluarkan semua biaya baik nafkah ataupun pembelian binatang qurban, juga terhadap kerugian dan musibah yang mungkin menimpa harta atau badannya, karena yang demikian itu termasuk tanda-tanda diterimanya haji. Dikatakan, di antara diterimanya haji adalah meninggalkan kemaksiatan yang pernah menjadi kebiasaan sebelumnya, mengganti teman-temannya yang durhaka menjadi teman-teman yang shalih, meninggalkan majelis-majelis permainan dan kelalaian lalu menggantinya dengan majelis-majelis dzikir dan kesadaran.
2. Amal-amal Batin.
Mengikhlaskan Niat, Mengambil Pelajaran dari Berbagai Tempat yang Mulia, dan Cara Merenungkan Berbagai Rahasia dan Nilai-nilai Haji dari Awal hingga Akhir.
Permulaan haji adalah kefahaman –yakni tentang kedudukan haji dalam agama- kemudian kerinduan terhadapnya, kemudian berazzam untuk melakukannya, kemudian memutuskan berbagai keterkaitan yang menghalanginya, kemudian membeli pakaian ihram, kemudian membeli bekal, kemudian mempersiapkan kendaraan, kemudian keluar, kemudian keberangkatan, kemudian ihram dari miqat dengan talbiyah, kemudian memasuki Mekkah, kemudian menyempurnakan berbagai amalan (pandangan mata pada Baitullah, thawaf di Baitullah, istilam(mencium atau menyentuh Hajar Aswad), bergelantungan dengan kelambu Ka’bah dan menempel di Multazam, sa’i antara Shafa dan Marwah di pelataran Baitullah, wukuf di Arafah, melempar jumrah, menyembelih binatang qurban (hadyu), ziarah ke Madinah). Sedangkan menziarahi Rasulullah S’AW: maka hendaklah engkau berdiri di hadapannya dan menziarahinya seolah-olah engkau menziarahinya ketika masih hidup. Janganlah anda mendekati kuburannya kecuali seperti engkau mendekati pribadinya yang mulia semasa hidup; sebagaimana engkau berpendapat haram menyentuh kuburnya dan menciumnya, tetapi berdirilah dari kejauhan di hadapannya, karena menyentuh kuburan dan menciumnya untuk kesaksian merupakan tradisi kaum Nasrani dan Yahudi. Hadirkanlah keagungan derajatnya di hatimu.
Dalam setiap perkara tersebut di atas terdapat peringatan bagi orang yang mencari peringatan dan pelajaran. Juga terdapat pengenalan dan isyarat bagi orang yang ’cerdas’.
No comments:
Post a Comment