Thursday, January 15, 2009

Entrepreneurship

"Seorang entrepreneur memiliki 'tabungan emosi' dalam menghadapi kesalahan dan kekecewaan karena sikap optimistisnya."

Indonesia membutuhkan sedikitnya 2% penduduknya untuk menjadi entrepreneur agar dapat menjadi negara maju, demikian kata Pak Ci. Kenyataannya, saat ini kita baru mempunyai 0,8%. Jadi masih kurang 1,2% lagi.

Jumlah penduduk dalam sebuah negara yang memilih jalan hidup sbg entrepreneur memang relatif tidak besar, namun berkat merekalah lapangan kerja baru banyak tercipta, pasar-pasar baru tergarap, produk-produk inovatif tercipta, dan sumber-sumber dana termobilisasi. Kesemuanya itu berujung pada peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi nasional.

Keputusan untuk menekuni karir dalam kewirausahaan dapat dipengaruhi oleh faktor personal atau pun faktor lingkungan. Entrepreneur seringkali memutuskan untuk memulai usahanya sendiri karena mereka adalah para 'high achiever' yang merasa bahwa karir mereka sulit berkembang dalam perusahaan tempat mereka bekerja atau pun profesi yang mereka tekuni. Banyak entrepreneur yang sebelum mulai membangun usaha sendiri telah bekerja selama beberapa waktu dalam sebuah perusahaan guna memperkuat jejaring, meningkatkan sumber daya dan pengalaman mereka. Banyak juga yang sejak awal memang bercita-cita menjadi entrepreneur.

Seorang entrepreneur memiliki keinginan yang kuat untuk menentukan nasib mereka sendiri. Bygrave mengemukakan hasil survey yang pernah dilakukan terhadap sejumlah pemilik usaha kecil di Inggris. Dia menemukan bahwa lebih dari 50% responden mengatakan bahwa interdependensi merupakan motif utama saat mereka memutuskan mendirikan usaha sendiri. Yang tak kalah penting, seperti dikemukakan oleh Kao, pandangan terhadap self-employment, kekayaan, dan juga resiko termasuk faktor-faktor yang membentuk sikap seseorang terhadap kewirausahaan.

Salah satu ciri entrepreneur adalah merasa memiliki kontrol terhadap "nasib" mereka sendiri. Perasaan kontrol terhadap nasib inilah yang diteliti oleh Stevenson. Ia memilah perasaan itu di antara 2 kutub. Kutub pertama disebutnya promoter. Ini adalah ciri wirausahawan yang terus mengejar kesempatan tanpa mempedulikan apakah ia punya cukup sumberdaya atau tidak. Kutub lainnya adalah trustee yang selalu memeriksa sumberdayanya terlebih dahulu dan baru mengejar kesempatan berdasarkan inventaris yang dimilikinya itu. Seorang yang memiliki kecenderungan kewirausahaan yg tinggi mendekati tipe promoter di dalam spektrum kontrol nasib ini. Mereka terus-menerus membuat keputusan berdasarkan kesempatan yang muncul.

Ciri lainnya ialah optimistis. Mereka biasa menentukan target sangat tinggi hingga cenderung tidak masuk akal. Mereka memiliki 'tabungan emosi' dalam menghadapi kesalahan dan kekecewaan karena sikap optimistis ini. Seringkali mengidentikkan entrepreneurship dengan sikap optimistis. Mereka selalu mencari kesempatan, jika kesempatan itu tidak ada, mereka akan mengakalinya menjadi ada. Walaupun sering overestimate atas kemampuan diri mereka, namun hal itu tidak dilakukan secara terus-menerus. Mereka sering berspekulasi atas kondisi masa yang akan datang terhadap peluang atau hambatan yang dihadapi. Hal itu juga merupakan bagian dari karakteristik mereka dalam mengambil resiko.

Ada tiga ciri berikutnya yang sering dimiliki seorang entrepreneur. Pertama, selalu yakin bahwa di balik setiap situasi selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri dan meningkatkan segala hal. Kedua, mencakup tanggung jawab pribadi untuk melaksanakan perbaikan tersebut. Dan ketiga, selalu meragukan kebenaran yang disampaikan para pakar, bahkan hasil riset sering diabaikan. Aqua dan Teh Botol adalah contohnya, yang dinyatakan tidak feasible.

Jadi para pembaca, jika kita memiliki ciri-ciri di atas, kita tergolong orang yang memiliki entrepreneurship yang tinggi. Bersiaplah untuk mendarma baktikan kelebihan kita untuk negara tercinta ini, dengan memperluas lapangan kerja. (Dikutip dari rubrik Jurus Bisnis pada majalah Trust,Maret 2008)

No comments:

Post a Comment