Saturday, May 16, 2009

Dramatika Pasangan Bekerja (Bagaimana Mencapai Harmonisasi antara Karir dan Rumah Tangga, by:Lie Charlie)

Realitas pasangan bekerja (suami dan istri sama-sama bekerja di luar rumah) kini hadir sebagai salah satu ciri komunitas masyarakat modern. Beberapa pasangan bekerja demi mendapatkan penghasilan yang lebih baik, tetapi ini bukan alasan satu-satunya yang paling utama. Mereka yang beristrikan dokter, akademisi, atau militer lazimnya sadar dan menyerah kepada konsekuensi membiarkan istri mengabdi pada profesi.

Bekerja di luar rumah punya tantangan tersendiri yang menuntut kedewasaan pelaku-pelakunya dalam menyelesaikan setiap konflik. Rumah tangga mungkin tetap layak diprioritaskan untuk diselamatkan apabila kita harus memilih antara keluarga atau karir. Namun bukan berarti perkawinan pasangan bekerja selalu terancam. Banyak pasangan bekerja yang rukun, kaya, dan bahagia sampai aki-nini.

Jangan malu-malu untuk meminta bantuan org tua/mertua, sanak keluarga, atau mengandalkan pembantu yang setia untuk ikut memperhatikan anak-anak dan rumah ketika kita sedang bekerja di luar. Ketuklah pintu tetangga apabila perlu. Tentu saja kita diharapkan tidak melupakan jasa mereka yang telah turut mengasuh anak-anak serta menjagai rumah kita.

Masa depan anak-anak bisa menjadi alasan kita mulai bekerja berdua; tetapi bisa demi anak-anak pula kita memilih berhenti bekerja. Jangan lupa pula bahwa bekerja atau tidak, cinta perlu dirawat. Sisakanlah sedikit waktu untuk bermesraan dengan pasangan dan anak-anak. Kita mungkin kehilangan kuantitas, tetapi tak selalu berarti kita sekaligus juga harus kehilangan kualitas interaksi dengan suami/istri dan anak-anak.


Jika suami-istri sama-sama harus bekerja demi memenuhi kebutuhan keluarga, hendaknya jangan mengorbankan keharmonisan rumah tangga. Ada beberapa pertanyaan prinsipil yang patut direnungkan seorang istri sebelum memilih bekerja di luar rumah:

1. Apakah suami setuju dengan keputusan anda?
2. Apakah jumlah uang yang diperoleh sepadan dengan waktu yang dikorbankan?
3. Apakah kepentingan anak-anak dan suami dikorbankan?
4. Apakah pekerjaan itu halal?
5. Apakah itu memang kemauan saya?

Hanya apabila semua jawaban anda terhadap pertanyaan di atas bernada positif dan konstruktif, sebagai istri anda memang tepat memilih bekerja di luar rumah. Tentu saja di sini kita berasumsi bahwa bekerja di luar rumah itu bukan suatu keterpaksaan. Bilamana bekerja di luar rumah itu bukan pilihan melainkan keharusan (akibat deraan ekonomi), anda tak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan lagi, tetapi sebaliknya bekerja saja.

Mengapa Istri Bekerja:
a. Sudah bekerja sejak sebelum menikah.
b. Ingin membantu keluarga sendiri.
c. Menjalankan usaha sendiri/keluarga.
d. Bekerja karena terpaksa.
e. Bekerja karena status atau kehendak sendiri.
f. Bekerja sambil menunggu saat tepat untuk berhenti.


Berbagi Waktu:

Sebagai suami atau pun istri kita dituntut untuk memberi waktu pada kebersamaan. Biarlah masing-masing cukup mengorbankan waktu sekitar 8 jam untuk bekerja di luar rumah, atau 10 jam apabila waktu dalam perjalanan ikut diperhitungkan. Potong waktu tidur, yaitu waktu yang benar-benar dipakai untuk tidur, lho: 7 jam (karna kalo tidur hingga 8 jam), maka kita hanya memiliki 7 jam sehari-semalam dalam kebersamaan.

Jika ada pekerjaan kantor yang dibawa pulang dan harus diselesaikan, kalau harus memberi pesan-pesan kepada pembantu tentang apa-apa yang perlu dilakukan besok, bila dikurangi waktu mandi dan berbenah diri, maka waktu kita berkumpul bersama suami/istri dan anak-anak ternyata kurang dari 7 jam. Barangkali juga tidak lebih dari 1 atau 2 jam dalam sehari-semalam.



Tentang peningkatan kualitas kebersamaan suami-istri-anak, berikut ada beberapa kondisi dan situasi yang elok untuk diperhatikan:

1. Lebih banyaklah menyentuh pasangan kita atau anak-anak bila berbicara kepada mereka. Sentuhan penting untuk meningkatkan kualitas komunikasi.

2. Berbicaralah dalam nada lembut dan persuasif (membujuk). Jangan merusak suasana dengan berteriak-teriak, marah-marah, atau bertangisan; apalagi sampai memukul.

3. Ciptakanlah situasi agar pasangan kita dan anak-anak dapat menyampaikan masalah mereka kpd kita tanpa rasa khawatir dengan banyak tersenyum dan menjadi pendengar yang baik.

4. Jangan membawa kekisruhan masalah kantor ke rumah, apalagi sampai mempengaruhi emosi kita saat berkumpul bersama keluarga.

5. Pastikan kita bersungguh-sungguh berniat membantu pasangan kita atau anak-anak menyelesaikan setiap problem yang mereka hadapi.

6. Usahakan melakukan sesuatu yang disukai bersama-sama pada saat yang sama. Gampangnya, misalnya, menonton televisi bersama, atau sarapan dan makan malam semeja.


Akibat sama-sama bekerja:
1. Kelelahan fisik dan rohani.
2. Gangguan emosional.
3. Antara menjadi bos dan makan gaji (banyak orang bekerja keras 8 jam sehari demi mengejar posisi lebih tinggi yang menututnya bekerja 12 jam sehari bila ia telah mencapainya)


Kita sebaiknya mampu mengatasi tiap-tiap gangguan emosional yang timbul. Salah satu cara di bawah ini mungkin cocok untuk anda:
1. Bersiaplah mengalah meskipun kita benar.
2. Jangan melawan bos/atasan, sebab itu sama dengan menabrak kereta api.
3. Hindarilah berselisih dengan rekan kerja dalam soal-soal sepele.
4. Tidak perlu ngotot meributkan pembagian tugas di tempat kerja.
5. Jika perusahaan sudah bilang, "Pelanggan adalah raja," hargailah pelanggan walaupun mereka bertingkah.
6. Selalulah berpikir positif bahwa suami/istri kita 'lebih' daripada orang lain, sehingga tak ada salahnya kita menyanjungnya atau berkorban demi dia.
7. Jangan membantah suami/istri seakan-akan kita tak punya kesempatan lain untuk menang atasnya.
8. Bersikap sabarlah terhadap anak-anak.
9. Hormatilah orang tua/mertua yang tinggal serumah dengan kita.


Hak anak-anak:
1. Kasih sayang dan perhatian.
2. Diawasi pergaulannya (jgn biarkan terjerumus).
3. Utamakan pendidikan anak.







No comments:

Post a Comment