Jika di beberapa postingan sebelumnya saya pernah cerita tentang almarhumah nenek tersayang, kali ini saya akan bercerita tentang sosok almarhum Kakek saya. Maaf ceritanya random (lompat-lompat) alias gak sistematis.
Kakek saya bernama Jabir Sutan Malano. Seorang purnawirawan TNI AD. Terlahir di sebuah desa bersahaja, Desa Tanjung Barulak. Secara matrilineal suku kakek adalah Guci. Kakek memiliki 5 orang anak, 3 Putra dan 2 Putri. Mama adalah anak ke-3.
Sejak kecil kakek telah dididik disiplin yang sangat keras dari kedua orang tuanya. Sehingga di masa mudanya beliau memilih jalan untuk menjadi seorang Tentara (TNI AD). Dalam kariernya, beliau beberapa kali ikut bertugas mengamankan pemberontakan, sehingga mata kirinya sempat terkena tembakan dan dioperasi, sehingga nyaris buta, setelah dioperasi mata kiri beliau menjadi minus 12.
Selama masa pengabdiannya kepada negara pulalah, beliau pernah beberapa tahun lamanya di Blitar. Dari sana, karena membaur dengan masyarakat setempat, kakek mendapat ilmu bercocok tanam, yang pada saat beliau kembali ke kampung halaman, teknik bercocok tanam tersebut beliau transfer ke masyarakat di kampung kami. Bahkan masyarakat kampung kami yang awalnya MCK di sungai dan menampung air hujan, dimotivasi kakek untuk menggali sumur di rumah masing-masing, dan dicontohkan oleh kakek untuk membuat septic tank (sekitar tahun 80-an).
Meskipun orang Minang, dan nenek sebagai anak perempuan mendapat warisan tanah, tapi Kakek berkeras tidak mau membangun rumah di tanah warisan, ketika mama lahir, Kakek mengupayakan untuk membeli sebidang tanah di pinggir jalan dan dekat dari keramaian (pasar) dan membangun rumah untuk anak istrinya. Kakek berprinsip, tanah warisan itu lebih baik dimanfaatkan untuk berkebun, agar tidak bermasalah/sengketa kelak di kemudian hari.
Di masa pensiunnya, kakek beberapa kali terpilih sebagai Wali Nagari (Angku Kapalo Nagari/Kepala Desa) di Kenagarian Tanjung Barulak (di masa itu Tanjung Barulak belum dibagi menjadi 2 bagian seperti sekarang, baca: Tanjung Barulak Utara dan Tanjung Barulak Selatan). Semasa menjadi Wali Nagari, cukup banyak inovasi (terobosan) yang digagas oleh kakek. Di Tahun-tahun terakhir hidupnya pun, Kakek masih aktif di PEPABRI Kota Padang Panjang, bahkan beberapa kali pula menjadi Ketuanya. Kakek meninggal pada tahun 2001, di usianya yang ke-72 tahun. Kakek Lahir di bulan September, dan meninggal pun di bulan September. Di hari wafatnya, beliau dilepas dengan Upacara Militer. kakek memiliki 5 Penghargaan/Lencana dalam TNI, dengan pangkat terakhir Peltu.
Sebagai Kakek, bagiku kakek adalah seorang Kakek terbaik. Rasa sayang dan perlindungannya terhadap anak cucunya, sangat terasa. Di saat harus tegas, beliau tegas dan keras. Ketika itu untuk kebutuhan pendidikan anak cucu, Kakek rela berhutang sana-sini. Kakek tidak pernah pelit, dan tidak pernah membuang-buang waktunya, di belakang rumah pun beliau menanam beraneka buah-buahan. Bahkan ketika tak lagi menjadi Wali Nagari, beliau masih menyanggupi ketika ditunjuk Pak Camat (baca: Camat Batipuh) sebagai Kepala Pasar di desa kami. Ketika beliau telah tiada, para pedagang merasa kehilangan karena kehilangan seorang sosok yang bisa mengkoordinir segala sesuatunya dengan baik.
Kakek adalah pecatur handal, sulit sekali ngalahin kakek dalam permainan catur. Dan beliau sangat selektif dalam memilih lawan tanding. Kakek hobi membaca Koran dan menonton siaran berita di Televisi. Tapi sayangnya Kakek kurang suka musik, apalagi musik Barat, beliau alergi. jadi kalo kami (baca: anak cucunya) mau dengerin musik Barat, tunggu kalo kakek lagi keluar rumah atau ada urusan ke Padang Panjang.
hm...apalagi ya? bersambung dulu deh....hehehe :D
(to be continued)
No comments:
Post a Comment