~Artikel yang Memuat Opini Sederhana
Oleh: Bunga Mardhotillah
Jurnalis atau yang lebih populer disebut wartawan/pewarta, adalah sebutan untuk orang/person yang melakukan kegiatan jurnalistik seperti menulis, menganalisis, dan melaporkan peristiwa kepada publik melalui media massa, dan hal tersebut dilakukan secara teratur, sehingga menjadi suatu profesi yang melekat.
Publik identik dengan masyarakat, massa, atau khalayak ramai. Jurnalis melakukan tugas-tugas jurnalistik tidak lain salah satunya adalah untuk memberikan informasi yang mungkin saja belum diketahui oleh publik, sehingga dengan memberitakan atau memuat informasi tersebut pada suatu media, maka publik mendapatkan wawasan baru dari wadah yang dapat dipertanggung jawabkan. Dengan demikian, secara tidak langsung, jika dijalani dengan kredibilitas dan integritas tinggi, jurnalis dapat mencerdaskan publik.
Sebelum istilah jurnalistik menjadi populer, dikenal istilah publisistik untuk menggambarkan dunia kewartawanan, yang juga digunakan untuk membahas ilmu komunikasi. Ini menunjukkan bahwa jurnalistik dan publik merupakan dua hal yang berkaitan erat, serta dijembatani oleh ilmu komunikasi. Karena jurnalis tanpa publik, ibarat artis tanpa panggung dan penonton.
Sebagaimana kita ketahui, jurnalis umumnya bekerja pada sebuah industri berupa media, baik cetak maupun online. Media-media ini di berbagai negara termasuk Indonesia, diharapkan dapat menjembatani komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya. Dewasa ini kita dapati fenomena dunia jurnalistik yang semakin kompleks karena setiap pelaku media bersaing untuk mendapatkan informasi yang cepat dan akurat, serta berupaya keras mendapat viewers terbanyak dalam penyajian beritanya kepada publik.
Terlepas dari deskripsi umum terkait jurnalistik dan publik di atas, disadari bersama bahwa setiap profesi pasti mempunyai etika-etika tersendiri untuk mengendalikan diri dan rasa hormat satu sama lain, yang diatur dalam Kode Etik. Ini bermakna bahwa kendati pun saat ini dunia jurnalistik menghadapi persaingan yang cukup tinggi, baik media cetak atau pun online, para jurnalis diharapkan tetap menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik (KEJ), yang di negeri tercinta ini ditetapkan oleh Dewan Pers melalui Peraturan Dewan Pers Nomor: 6/Peraturan-DP/V/2008 tentang Pengesahan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Jurnalistik sebagai Peraturan Dewan Pers (ingatkan saya jika ada revisi KEJ terbaru setelah KEJ tahun 2008 ini).
Selain Etika berjurnalistik di atas, para jurnalis diharapkan untuk mampu peka terhadap berbagai issue publik. Ini penting, mengingat jurnalis membutuhkan publik sebagai pembaca berita, dan demikian pula sebaliknya, publik membutuhkan jurnalis untuk mengetahui berbagai peristiwa, terutama kronologis dan detail peristiwa yang beredar dalam bentuk issue dalam kehidupan mereka. Publik membutuhkan fakta untuk mengupas berbagai issue. Terkait kepekaan jurnalis ini, saya teringat pengalaman menjadi wartawan sekolah pada tahun 2002, yang kala itu asuhan Harian Jambi Independent. Sebagai pembimbing kami adalah beberapa senior di media tersebut. Kami juga diberi pengalaman Rapat Redaksi layaknya jurnalis profesional. Pesan para pembimbing kami, dalam meliput, kita harus memahami psikologis publik, serta hal-hal apa saja yang menjadi euforia. Di sini ada penekanan bahwa seorang jurnalis harus alias wajib memahami publik atau pembacanya. Kebutuhan pembacanya dan bagaimana menumbuhkan minat baca publik akan media, terutama koran. Kala itu tentunya bagaimana trik kami sebagai wartawan sekolah, agar teman-teman kami berminat untuk membaca koran. Sehingga poin ini berhubungan dengan KEJ, bahwa jurnalis harus senantiasa menjaga komunikasi dengan publik dan orang-orang di sekitar, mau mendengar dan mau berupaya untuk terus memperbaiki diri.
Kemudian yang tak kalah penting dalam menjaga stabilitas komunikasi antara jurnalis dan publik adalah attitude jurnalis, berbagai effort peningkatan wawasan dan skill jurnalis (tata bahasa, plotting, teknik pengembangan issue, dsb) serta mengkaitkan berbagai tulisan dengan sains untuk menguatkan artikel yang disajikan. Untuk poin ketiga ini, merupakan pengalaman saya ketika menjadi reporter mahasiswa pada Koran Logis Fakultas MIPA Unpad. Ketika kita meliput, pembaca akan lebih mengingat informasi jika disertai dengan sentuhan sains atau keilmiahan. Contoh di masa sekarang adalah pemberitaan terkait covid 19. Jika tidak disertai dukungan sains, maka info covid 19 akan dikategorikan sebagai hoaks.
Terakhir pada tulisan kali ini, jurnalis seyogiyanya dengan lapang dada menerima berbagai masukan dari publik. Karena suka atau tidak suka, setiap orang di luar media kita, merupakan orang-orang yang berpotensi untuk membaca tulisan kita. Ketika mereka memberi masukan, artinya mereka adalah pembaca, mereka adalah customer, mereka adalah pelanggan, mereka juga berpotensi untuk membagikan informasi dari media kita kepada orang lainnya lagi, seperti keluarga mereka, teman, rekan, serta kolega mereka. Hal Ini saya pelajari ketika menjadi Kadiv Humas dan Jurnalistik pada salah satu ormas di Kabupaten Batang Hari. Dan saya terapkan dalam membuat buletin ormas tersebut. Banyak sekali masukan bahkan kritikan, sebut saja kritik terkait judul, revisi informasi, revisi isi artikel dari segi bahasa, ralat nama dan gelar, serta berbagai kritikan lainnya. Namun menyikapi hal tersebut, saya tidak pernah berkecil hati atau malah marah dengan si pemberi masukan. Karena artinya si pemberi masukan membaca tulisan saya. Demikian pula ketika saya berpengalaman mengelola majalah Media Batang Hari di Dinas Kominfo, bahkan saya meminta masukan ke seluruh kecamatan yang ada di Kabupaten Batang Hari untuk peningkatan kualitas Media Batang Hari edisi selanjutnya.
Simpulan dari tulisan saya atau katakan lah ini sekadar opini kecil dari seorang yang dari usia belia telah menjadi pelaku jurnalistik meskipun bukan jurnalis tetap dari suatu media, juga sekaligus saya menjadi bagian dari Pemerintah, yang pada saat ini diamanahi di Dinas Kominfo, adalah bahwa Jurnalis tidak dapat mengabaikan publik dalam kinerjanya. Serta tetap menjaga komunikasi dengan publik, siapa pun itu. Publik pasti akan sangat menghargai profesi jurnalis/wartawan jika jurnalis tersebut juga berupaya menghargai dirinya sendiri melalui attitude yang baik, serta menghargai keberadaan orang lain. Wallahu a'lam bishshowwab, segala kebenaran milik Allah, dan jika terdapat kesalahan dan hal-hal yang kurang berkenan pada tulisan ini, kepada Allah saya mohon ampun, dan kepada pembaca saya mohon maaf.
Jambi, 15 Juli 2020