Friday, May 15, 2015
Perbedaan Tingkat Keseriusan dalam Menunaikan Sholat
Jika diperhatikan, ada perbedaan tingkat keseriusan kaum muslimin dalam menunaikan sholat serta keinginan mereka untuk menunaikannya tepat pada waktunya. Sebagian di antara mereka ada yang menunaikannya tepat pada waktunya. Sebagian di antara mereka ada yang menganggap bilangan sholat itu terlalu banyak atau terlalu memberatkan mereka dalam menunaikannya seakan-akan merupakan beban yang amat berat di pundaknya, terutama bila mereka membandingkannya dengan sembahyang orang-orang nashara dan yahudi yang hanya terbatas pada waktu singkat di satu hari tertentu dalam setiap pekannya. Ini adalah persepsi yang keliru. Karena sholat pada dasarnya bukanlah pembebanan yang memberatkan dari Allah kepada kaum muslimin, tetapi justru merupakan rahmat, karunia, kemurahan, dan kebaikan dari Allah kepada mereka. Semua ini tidak bisa dirasakan kecuali oleh orang yang bisa mengetahui kebaikan-kebaikan dunia-akhirat yang terkandung di dalam sholat bagi orang yang melakukannya.
Manusia selalu menghadapi peperangan melawan setan dan bala tentaranya, dan selalu mengalami pergolakan dalam dirinya antara kecenderungan kepada kebaikan dan kecenderungan kepada keburukan. Sedangkan sholat lima waktu dengan interval waktu yang sudah ditentukan pada siang maupun malam hari tak ubahnya seperti stasiun-stasiun listrik untuk memberi strum baru berupa kekuatan ruhani atau seperti minuman kesehatan bagi jiwa kita dari Allah yang Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Hal itu harus kita pelihara dan kita lakukan pada waktunya sehingga menjaga diri kita dari fitnah dan menjauhkan kita dari penyimpangan dari jalan yang lurus.
Setiap kali iblis berusaha menjauhkan kita dari jalan lurus di sela waktu antara dua sholat, maka sholat berikutnya akan mengembalikan kita ke jalan yang lurus sekali lagi, dan demikianlah seterusnya. Sedangkan orang yang melalaikan sholatnya, atau menunaikannya tidak pada waktunya, atau tidak menunaikannya dengan khusyuk, serta tidak menghadirkan hati, maka akibatnya setan akan menjauhkan dirinya sedikit demi sedikit dari jalan yang lurus ini. Na'udzubillahi min dzaalik...
Padahal seandainya kita kalkulasi waktu yang dihabiskan untuk menunaikan sholat-sholat ini, niscaya kita akan mendapati bahwa waktu yang kita habiskan itu ternyata tidak lebih dari sepersepuluh waktu sehari semalam. Tetapi ternyata setan telah berhasil mengendorkan semangat dan melumpuhkan minat sebagian kita untuk menunaikan sholat. Sedangkan orang yang bisa menghayati hakikat sholat dan kalbunya hidup di mihrab sholat serta bisa merasakan nikmatnya iman dan lezatnya ketaatan, ia tidak akan menganggap sholat itu banyak dan berat. Ia bahkan selalu merindukan sholat dan menunggu-nunggu waktu kedatangannya untuk menentramkan bathin dan merasakan kebahagiaan dengan kedekatan/berdiri di hadapan Allah SWT.
Sholat lima waktu dengan jumlah rakaat dan penetapan waktu yang telah ditentukan merupakan santapan rohani dan suntikan-suntikan kesehatan yang disyariatkan oleh Allah SWT. Kita harus meyakini hikmah sholat, komitmen, dan istiqomah dalam menunaikannya. Karena hanya Allah-lah yang Mengetahui rahasia-rahasia yang terkandung dalam sholat, bagaimana pancaran cahaya yang muncul dari sholat, berkah dan rahmat yang akan diturunkan di dalamnya. Wallahu a'lam bish showwab...
'dikutip dari buku 'Fiqh Dakwah Jilid 2'
Aqidah tanpa Ilmu akan Merusak
Beranjak dari pernyataan pada judul, seyogiyanya kita dapat memahami bahwa potensi-potensi besar yang dibangkitkan oleh aqidah dalam kehidupan ini harus berpijak pada pemahaman terhadap agama Allah dan arahan-Nya. Karena mengenakan baju agama tanpa landasan ilmu akan mendatangkan bahaya besar dan melahirkan potensi yang membabi buta serta kekuatan destruktif yang akan merusak sendi-sendi sistem sosial. Pemilik aqidah ini akan mengira dirinya berada di atas petunjuk dan melakukan perbaikan, padahal sebenarnya ia tak ubahnya bagai angin topan yang merusak kehidupan di mana pun mereka berada.
Iman yang benar akan memberi pemiliknya kesabaran, keteguhan, dan kekuatan untuk menanggung penderitaan di jalan Allah tanpa menyia-nyiakan agama yang haq ini dan tuntutan-tuntutannya. Sumaiyyah, Yasir, Bilal, dan yang lainnya, bahkan tokoh-tokoh dari kalangan pergerakan Islam yang mengalami fitnah, tuduhan palsu, penyiksaan, dan gangguan-gangguan dahsyat merupakan contoh terbaik untuk hal ini. Dan pada hakikatnya, kesabaran dan keteguhan adalah karunia Allah. Karenanya Allah Mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo'a pada saat mengalami kondisi seperti ini, "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 250)
Iman ini akan mendorong orang-orang beriman kepada kecintaan, persaudaraan, dan sikap itsar (mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri) untuk meraih ridha Allah.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)
Iman yang benar akan mendorong kepada jihad fi sabilillah tanpa ada perasaan berat sedikit pun, akan mendorong kepada cinta kesyahidan di jalan Allah dan pengorbanan dengan jiwa dan harta demi tegaknya kalimah Allah menjadi yang tertinggi.
Iman ini akan menjadikan pemiliknya mengatakan yang haq demi meraih ridha Allah dan tiada pernah takut sedikit pun pada cercaan orang-orang yang mencerca, serta tidak pernah terbersit keraguan dan keputus asaan. Karena seorang mukmin mengetahui bahwa kebathilan, betapa pun besarnya pasti akan terkalahkan, dan ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan bergeser. Allah berfirman:
"Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra'd:17)
Seorang mukmin akan melakukan ikhtiar, tetapi ia tidak bertumpu pada ikhtiar ini saja, melainkan tetap bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya. Ia akan merasa tenang karena meyakini bahwa Allah akan mencukupi keperluannya.
"Dan sesiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq:3)
Dengan demikian ia bisa menempuh jalan yang benar dengan penuh keberanian, ketenangan jiwa, dan kepasrahan kepada Allah serta meyakini bahwa ia telah berlindung pada sendi pertahanan yang kuat (Allah), tidak gentar sedikit pun kepada orang-orang yang menghadang dan menyimpangkannya dari jalan Allah, tidak akan terbuai oleh rayuan dan tidak akan takut oleh teror karena ia menyandarkan diri kepada Allah dan berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak akan terputus.
Iman yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menaati Rasul S'AW dan mengikuti sunnahnya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah.
Iman melahirkan dalam diri pemiliknya perasaan bangga sekaligus tanggung jawab sebagai guru bagi umat manusia. Perasaan bangga ini tidak mendorongnya kepada kesombongan, tetapi justru perasaan bangga yang menghantarkan kasih sayang kepada orang lain dan menuntun tangan mereka kepada jalan petunjuk.
"Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)
Sumber: Bab XIV Fiqh Dakwah Jilid 2
Iman yang benar akan memberi pemiliknya kesabaran, keteguhan, dan kekuatan untuk menanggung penderitaan di jalan Allah tanpa menyia-nyiakan agama yang haq ini dan tuntutan-tuntutannya. Sumaiyyah, Yasir, Bilal, dan yang lainnya, bahkan tokoh-tokoh dari kalangan pergerakan Islam yang mengalami fitnah, tuduhan palsu, penyiksaan, dan gangguan-gangguan dahsyat merupakan contoh terbaik untuk hal ini. Dan pada hakikatnya, kesabaran dan keteguhan adalah karunia Allah. Karenanya Allah Mengajarkan kepada kita untuk selalu berdo'a pada saat mengalami kondisi seperti ini, "Ya Tuhan kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, dan kokohkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir." (Al-Baqarah: 250)
Iman ini akan mendorong orang-orang beriman kepada kecintaan, persaudaraan, dan sikap itsar (mengutamakan saudaranya daripada diri sendiri) untuk meraih ridha Allah.
"Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum kedatangan mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin) dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu), Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (Al-Hasyr: 9)
Iman yang benar akan mendorong kepada jihad fi sabilillah tanpa ada perasaan berat sedikit pun, akan mendorong kepada cinta kesyahidan di jalan Allah dan pengorbanan dengan jiwa dan harta demi tegaknya kalimah Allah menjadi yang tertinggi.
Iman ini akan menjadikan pemiliknya mengatakan yang haq demi meraih ridha Allah dan tiada pernah takut sedikit pun pada cercaan orang-orang yang mencerca, serta tidak pernah terbersit keraguan dan keputus asaan. Karena seorang mukmin mengetahui bahwa kebathilan, betapa pun besarnya pasti akan terkalahkan, dan ini merupakan sunnatullah yang tidak akan pernah berubah dan bergeser. Allah berfirman:
"Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya. Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi." (Ar-Ra'd:17)
Seorang mukmin akan melakukan ikhtiar, tetapi ia tidak bertumpu pada ikhtiar ini saja, melainkan tetap bertawakal kepada Allah dengan tawakal yang sesungguhnya. Ia akan merasa tenang karena meyakini bahwa Allah akan mencukupi keperluannya.
"Dan sesiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya." (Ath-Thalaq:3)
Dengan demikian ia bisa menempuh jalan yang benar dengan penuh keberanian, ketenangan jiwa, dan kepasrahan kepada Allah serta meyakini bahwa ia telah berlindung pada sendi pertahanan yang kuat (Allah), tidak gentar sedikit pun kepada orang-orang yang menghadang dan menyimpangkannya dari jalan Allah, tidak akan terbuai oleh rayuan dan tidak akan takut oleh teror karena ia menyandarkan diri kepada Allah dan berpegang teguh dengan tali yang kuat dan tidak akan terputus.
Iman yang benar akan mendorong pemiliknya untuk menaati Rasul S'AW dan mengikuti sunnahnya, karena ia mengetahui bahwa ketaatan kepada Rasul berarti ketaatan kepada Allah.
Iman melahirkan dalam diri pemiliknya perasaan bangga sekaligus tanggung jawab sebagai guru bagi umat manusia. Perasaan bangga ini tidak mendorongnya kepada kesombongan, tetapi justru perasaan bangga yang menghantarkan kasih sayang kepada orang lain dan menuntun tangan mereka kepada jalan petunjuk.
"Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan pilihan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia." (Al-Baqarah: 143)
Sumber: Bab XIV Fiqh Dakwah Jilid 2
Thursday, May 14, 2015
Standar Mematuhi Para Pemimpin
Salah satu perkara fundamental yang terkait dengan akidah seorang muslim ialah ihwal kepatuhan atau ketaatan. Di dalam ucapan kalimat tauhid Laa ilaaha ill-Allah terdapat kata ilaah yang seringkali diterjemahkan dengan Tuhan.
Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu' (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti). Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat, maka pernyataan tersebut setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi, dan kutakuti selain daripada Allah SWT.
Seorang muslim dituntut untuk memfokuskan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah SWT. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah Ta'aala semata sebagai pihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan menaati pihak selain Allah Ta'ala? Tentu tidak. Ia boleh menaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau menaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah Ta'ala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah Ta'aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah Ta'aala sebelum yang lainnya.
Jangankan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan menaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan menaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta'aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah Ta'ala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk menaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.
Nabi S'AW mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata:
"Masuklah ke dalamnya." Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya, "Sesungguhnya kami lari dari api." Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi S'AW. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya, "Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat." Lalu beliau bersabda kepada yang lainnya, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf." (HR. Bukahri)
Itulah sebabnya hingga Nabi S'AW memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.
Rasulullah S'AW bersabda, "Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa)." Mereka bertanya, "Apakah kami perangi mereka? Nabi S'AW bersabda, "Tidak, selagi mereka masih sholat." (HR. Muslim)
Maka saudaraku, pandai-pandailah menyikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana umat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di tahun 1924/1324 H, umat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad S'AW bersama kita. Tidak ada khulafa ar-rasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib R'A bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al Quran dan as-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II Rahimahullah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkaan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak).
sumber: Suara langit_Penetrasi Ideologi_Ihsan Tanjung
Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu' (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti). Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat, maka pernyataan tersebut setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi, dan kutakuti selain daripada Allah SWT.
Seorang muslim dituntut untuk memfokuskan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah SWT. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah Ta'aala semata sebagai pihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan menaati pihak selain Allah Ta'ala? Tentu tidak. Ia boleh menaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau menaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah Ta'ala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah Ta'aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah Ta'aala sebelum yang lainnya.
Jangankan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan menaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan menaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta'aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah Ta'ala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk menaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.
Nabi S'AW mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata:
"Masuklah ke dalamnya." Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya, "Sesungguhnya kami lari dari api." Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi S'AW. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya, "Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat." Lalu beliau bersabda kepada yang lainnya, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf." (HR. Bukahri)
Itulah sebabnya hingga Nabi S'AW memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.
Rasulullah S'AW bersabda, "Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa)." Mereka bertanya, "Apakah kami perangi mereka? Nabi S'AW bersabda, "Tidak, selagi mereka masih sholat." (HR. Muslim)
Maka saudaraku, pandai-pandailah menyikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana umat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di tahun 1924/1324 H, umat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad S'AW bersama kita. Tidak ada khulafa ar-rasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib R'A bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al Quran dan as-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II Rahimahullah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkaan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak).
sumber: Suara langit_Penetrasi Ideologi_Ihsan Tanjung
Subscribe to:
Posts (Atom)