Proses Pembelajaran di Era Disrupsi dan Era Revolusi Industri 4.0
Dunia hari ini sedang menghadapi fenomena disruption (disrupsi), situasi di mana pergerakan dunia industri atau persaingan kerja tidak lagi linear. Perubahannya sangat cepat, fundamental dengan mengacak-acak pola tatanan lama untuk menciptakan tatanan baru.
Disrupsi menginisiasi lahirnya model bisnis baru dengan strategi lebih inovatif dan disruptif. Cakupan perubahannya luas mulai dari dunia bisnis, perbankan, transportasi, sosial masyarakat, hingga pendidikan. Era ini akan menuntut kita untuk berubah atau punah.
Rhenald Kasali dalam www.kompas.com mengungkapkan bahwa terdapat 5 (lima) hal penting dalam disrupsi yaitu:
Disrupsi berakibat terhadap penghematan banyak biaya melalui proses bisnis yang menjadi lebih simpel.
Disrupsi membuat kualitas apapun yang dihasilkannya lebih baik ketimbang yang sebelumnya. Kalau lebih buruk, jelas itu bukan disrupsi. Lagipula siapa yang mau memakai produk/jasa yang kualitasnya lebih buruk?
Disrupsi berpotensi menciptakan pasar baru, atau membuat mereka yang selama ini ter-eksklusi menjadi ter-inklusi. Membuat pasar yang selama ini tertutup menjadi terbuka.
Produk/jasa hasil disrupsi ini harus lebih mudah diakses atau dijangkau oleh para penggunanya. Seperti juga layanan ojek atau taksi online, atau layanan perbankan dan termasuk financial technology, semua kini tersedia di dalam genggaman, dalam smartphone
Disrupsi membuat segala sesuatu kini menjadi serba smart. Lebih pintar, lebih menghemat waktu dan lebih akurat.
Tidak diragukan lagi, disrupsi akan mendorong terjadinya digitalisasi sistem pendidikan. Munculnya inovasi aplikasi teknologi seperti Uber atau Gojek akan menginspirasi lahirnya aplikasi sejenis di bidang pendidikan.
Misalnya MOOC, singkatan dari Massive Open Online Course serta AI (Artificial Intelligence). MOOC adalah inovasi pembelajaran daring yang dirancang terbuka, dapat saling berbagi dan saling terhubung atau berjejaring satu sama lain.
Prinsip ini menandai dimulainya demokratisasi pengetahuan yang menciptakan kesempatan bagi kita untuk memanfaatkan dunia teknologi dengan produktif.
Sedangkan AI adalah mesin kecerdasan buatan yang dirancang untuk melakukan pekerjaan yang spesifik dalam membantu keseharian manusia. Di bidang pendidikan, AI akan membantu pembelajaran yang bersifat individual.
Sebab, AI mampu melakukan pencarian informasi yang diinginkan sekaligus menyajikannya dengan cepat, akurat, dan interaktif. Baik MOOC maupun AI akan mengacak-acak metode pendidikan lama.
Kegiatan belajar-mengajar akan berubah total. Ruang kelas mengalami evolusi dengan pola pembelajaran digital yang memberikan pengalaman pembelajaran yang lebih kreatif, partisipatif, beragam, dan menyeluruh.
Evolusi pembelajaran yang ditawarkan oleh MOOC dan AI tidak mengurangi relevansi keberadaan guru, karena memiliki peran penting dalam melakukan kontekstualisasi informasi serta bimbingan terhadap siswa dalam penggunaan praktis diskusi daring. Fungsi guru pada era digital ini berbeda dibandingkan guru masa lalu.
Kini, guru tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam hal melaksanakan pekerjaan hapalan, hitungan, hingga pencarian sumber informasi. Mesin jauh lebih cerdas, berpengetahuan, dan efektif dibandingkan kita karena tidak pernah lelah melaksanakan tugasnya. Karena itu, fungsi guru bergeser lebih mengajarkan nilai-nilai etika, budaya, kebijaksanaan, pengalaman hingga empati sosial karena nilai-nilai itulah yang tidak dapat diajarkan oleh mesin. Jika tidak, wajah masa depan pendidikan kita akan suram.
Guru perlu untuk memulai mengubah cara mereka mengajar, meninggalkan cara-cara lamanya serta fleksibel dalam memahami hal-hal baru dengan lebih cepat. Teknologi digital dapat membantu guru belajar lebih cepat dan lebih efektif untuk berubah dan berkembang.
Mereka akan lebih cakap mengubah pelajaran yang membosankan dan tidak inovatif menjadi pembelajaran multi-stimulan sehingga menjadi lebih menyenangkan dan menarik. Ini bukan hanya persoalan mengganti kelas tatap muka konvensional menjadi pembelajaran daring.
Namun yang lebih penting adalah revolusi peran guru sebagai sumber belajar atau pemberi pengetahuan menjadi mentor, fasilitator, motivator, bahkan inspirator mengembangkan imajinasi, kreativitas, karakter, serta team work siswa yang dibutuhkan pada masa depan.
(Sumber: www.kompas.com dan REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nur Rizal, Pendiri Gerakan Sekolah Menyenangkan, Ketua Grup Riset Digital Literasi DTETI UGM).
Selanjutnya barometer peradaban digital melaju dengan cepat dalam bingkai Revolusi Industri 4.0 (Industrial Revolution 4.0). Gempuran di berbagai ranah dan kepungan teknologi yang serba disruptif, mulai dari Internet of Things (IoT), big data, otomasi, robotika, komputasi awan, hingga inteligensi artifisial (Artificial Intelligence) berhasil menorehkan penandaan besar dalam sejarah: angka 4.0 di belakang revolusi industri.
Selayaknya penamaan produk-produk teknologi, utamanya di bidang komunikasi dan informasi, penyematan angka --sebagai pengemasan perubahan-- menguatkan kesan bahwa inovasi dan penemuan besar harus dirayakan untuk menegaskan signifikansi kebermanfaatannya, serta dampak luar biasa dari apa yang ditimbulkannya.
Selatar dengan penamaan itu, teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang menjelujur di semua lekuk kehidupan kita diyakini sanggup mengguncang tatanan yang lebih besar, baik dalam domain hukum, sosial-budaya, ekonomi, maupun politik. Terguncangnya lini-lini itu meninggalkan jurang pertanyaan antara melesatnya perkembangan teknologi dan penyikapan publik terhadapnya, terlebih lagi di tengah-tengah banjirnya hoaks dan kikuknya penalaran kritis yang tertutup oleh tudung jargon, khas melekat bersama teknologi tinggi: "smart, fast, efficient, sustainable."
Cepatnya laju dobrakan sosial yang dinahkodai oleh teknologi tanpa sadar mendorong kita terperosok masuk ke dalam pemahaman yang mengimani pesatnya kemajuan alat-alat itu sebagai sebuah proses yang tanpa cela, netral, bebas nilai, absen dari tendensi rivalitas, dan kepentingan ekonomi-politik. Perubahan yang begitu cepat (disruptif) tidak memberikan kita cukup waktu untuk memeriksanya satu per satu. Implikasinya, kita cenderung menganggap eksistensi peralatan canggih itu sebagai produk yang sudah final, amat dibutuhkan, dan tidak lagi memerlukan penggugatan, apalagi perlawanan.
Pola penafsiran seperti ini bukan hanya merugikan, tapi menjauhkan kita dari pusat-pusat pergulatan besar yang melibatkan kekuatan-kekuatan politik utama, baik negara ataupun korporasi yang dimediasi oleh alat-alat teknikal, dan berkecenderungan mengempaskan negara-negara dunia ketiga ke tepian narasi dari produk-produk berteknologi tinggi.
Dengan kata lain, negara-negara itu rentan hanya menjadi penyorak belaka. Artinya, jika kita lengah dalam menyikapi revolusi industri keempat dan membiarkannya berlalu tanpa melewati pencermatan kritis, hal ini sama saja dengan menyiapkan masa depan kita yang dengan mudahnya akan terlibas oleh seleksi alam yang kini ditentukan oleh piawai-tidaknya sebuah negara mengelola teknologi.
Dari segi bahasa, biasnya begitu kentara karena bahasa laman daring (website) lazim ditulis menggunakan Hyper Text Markup Language (HTML), dan bahasa pemrograman lain yang akarnya adalah bahasa Inggris. Bahkan, laman-laman yang ditampilkan di negara-negara non-Anglo Saxon, seperti Rusia, Cina, India, Spanyol pemrograman lamannya juga masih ditulis dalam bahasa Inggris. Mau tidak mau, untuk menguasai kompetensi digital dan teknologi secara umum, pengguna harus mempelajari bahasa Inggris sebagai prasyarat utama.
Sejalan dengan apa yang disebutkan Langdon Winner (1980), di dalam seperangkat teknologi tertanam sebuah bibit ideologi, konstruksi ketertiban sosial, dan kepentingan kelas tertentu yang disangga oleh suatu konfigurasi kekuasaan. Teknologi akan selalu menaati tuannya, yakni politik, dan tunduk pada relasi kuasa yang ada.
Semenjak politik berhubungan dengan pengaturan kehidupan bersama, maka teknologi tidak lebih dari semacam fasilitator penegakan institusi yang bersemayam di balik beroperasinya logika pengetahuan, budaya, dan bahasa via produk jadi bernama peralatan teknologi. Hal demikian tidaklah kemudian menciutkan semangat kita dalam berjalan beriringan dengan revolusi industri itu sendiri, namun justru menjadi pelecut langkah kita untuk bijak dalam memantapkan sikap di era disrupsi ini.
(Sumber: Febby Widjayanto dosen tamu di Sosioteknologi Fakultas Desain dan Seni Rupa, Institut Teknologi Bandung; staf pengajar junior dan peneliti di Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga)
Walaupun bertumbuh cukup pesat, terutama belakangan ini, Pendidikan Tinggi Indonesia tetap ditandai oleh berbagai tantangan. Tantangan tersebut datang baik dari dalam sistem pendidikan itu sendiri maupun yang datang dari luar. Tantangan intern sistem pendidikan yang banyak dibahas dalam berbagai media terkait dengan kelemahan kemampuan meneliti dan menerbitkan hasil penelitian dalam jurnal terakreditasi internasional seperti SCOPUS. Sementara itu, sebenarnya kelemahan yang ada tidak terlepas dari banyaknya perguruan tinggi yang masih dalam tahap mengembangkan pengajaran tingkat sarjana (dan diploma) hingga belum mengembangkan pendidikan pascasarjana dan berkontribusi pada ilmu pengetahuan dunia.
Di samping itu, masih ada tantangan dari luar sistem yang dikatakan akan turun ke perguruan tinggi bagaikan air bah dan memporak porandakan keseluruhan sistem pendidikan, sebagaimana sedang dirasakan dalam sistem pendidikan negara maju. Adalah Massive Open Online Courses (MOOCs), dengan menerapkan teknologi digital dalam pengajaran, yang mampu menembus tembok ruang kelas, batas-batas kampus, dan bahkan negara. MOOCs yang diraih oleh makin banyak warga dunia, termasuk warga Indonesia, diperkirakan juga berdampak sangat mendasar bagi keseluruhan sistem pendidikan tinggi kita.
Kini, hampir dua puluh tahun masa Orde Baru telah berlalu. Penelitian “kontrak” dari departemen/kementerian boleh dikatakan tidak bisa diharapkan lagi. Sementara itu, pertumbuhan mutu universitas sebagai lembaga pendidikan tinggi masih juga memperlihatkan keterlambatan dalam kegairahan yang dinamis. Saat ini jumlah Universitas Negeri (75) dan Universitas swasta (467) bagi bangsa yang berjumlah lebih dari 230 juta dan tersebar di sekian banyak pulau. Peringkat Indonesia di Asia pada angka 11 (di bawah Tiongkok, Jepang, India, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Pakistan). Data jumlah dosen dengan ijazah S-3 sebanyak 26.199 orang (11,36 persen), S-2 sebanyak 134.552 orang (58,33 persen). Sedangkan jumlah pemegang ijazah S-1 yaitu 53.031 (22,99 persen).
Indonesia sedang membangun sumber daya manusianya, termasuk sumber daya manusia berpendidikan tinggi. Sistem pendidikan Indonesia berkembang cukup pesat secara kuantitatif, namun dari segi mutu perlu bertumbuh lebih cepat dan lebih tinggi lagi untuk mengejar dan sejajar dengan pendidikan tinggi di negara maju. Sejarah perkembangan pendidikan tinggi, khususnya tingkat sarjana dan diploma, telah diuraikan oleh Hill dan Thee (2013). Dapat dikatakan bahwa sebagian dari pertumbuhan pendidikan tinggi didorong dari bawah. Setelah menempuh pendidikan menengah, keinginan lulusan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi terus meningkat hingga hampir 6 persen per tahun. Namun dari segi kualitas, Indonesia tertinggal dibanding India yang memiliki 17 Perguruan Tinggi dari kelompok 800 Perguruan Tinggi terbaik dunia, dibandingkan dengan hanya ada dua Perguruan Tinggi Indonesia yang masuk daftar itu. Gejala ini terjadi karena pendidikan Tinggi Indonesia pada dasarnya masih tergolong perguruan pengajaran, bukan Universitas Riset yang memprioritaskan penelitian. Dana penelitian yang disediakan oleh pemerintah pun sangat terbatas.
(Sumber: Buku Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan Pendidikan Tinggi Indonesia.)
Perguruan tinggi wajib melakukan terobosan baru supaya unggul dalam persaingan di era global yang disebut sebagai era disruptive innovation. Pada era ini, perguruan tinggi tak terkecuali kampus swasta harus mampu menciptakan inovasi agar bertahan bahkan menjadi juara dalam berkompetisi.
Demikian disampaikan Staf Khusus Menristekdikti KH Dr Abdul Wahid Maktub dalam seminar dengan tema "Strategi Pengelolaan PTS di Era Digital Disruption" di kampus STIE Putra Bangsa Kebumen, Senin (5/3). Seminar ini mengawali kegiatan Pelatihan Program Peningkatan Keterampilan Dasar Teknik Instruksional (Pekerti) yang diselenggarakan oleh Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah bersama STIE Putra Bangsa.
Dalam kesempatan itu, Abdul Wahid Maktub mendorong para dosen untuk terus belajar pada sumbernya. Sebab, masih banyak ilmu-ilmu yang belum diperoleh, tak terkecuali ilmu-ilmu kehidupan. Begitu pula bagi pengelola perguruan tinggi untuk memikirkan ulang kurikulum termasuk mata kuliah yang sebenarnya sudah tidak perlu lagi diberikan.
Konsep disruptive innovation sangat berpeluang untuk dikembangkan dalam dunia pendidikan tinggi. Dalam tingkat dunia, sudah banyak dikembangkan konsep disruptive innovation dalam pendidikan tinggi.
Perguruan tinggi memikirkan kembali keseluruhan model pendidikan tinggi melalui disruptive innovation serta menawarkan cara-cara baru terkait kurikulum, fakultas, pendaftaran, retensi mahasiswa, tingkat kelulusan, pemanfaatan fasilitas kampus dan isu mendesak lainnya.
Perguruan tinggi harus selalu bergerak menemukan berbagai hal yang baru agar dapat menjadi pemimpin dari disruptive innovation atau adaptif ketika menjadi bagian dalam perubahan yang radikal. Hal ini agar tidak tertinggal dan tergantikan oleh yang baru.
Transformasi perguruan tinggi yang lebih baik, lebih mudah, lebih sederhana dan lebih nyaman merupakan usaha terus-menerus yang tidak boleh berhenti. Dengan begitu, perguruan tinggi dapat menjadi lingkungan yang terus berkembang dan menginspirasi semua warga di dalamnya.
Salah satu sarana peningkatan kompetensi di Era Disrupsi ini adalah melalui Pelatihan Pekerti. Pelatihan Pekerti merupakan program yang dirancang oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi untuk peningkatan kompetensi pedagogik bagi para dosen. Untuk itu setelah mengikuti pelatihan ini, diharapkan dosen mampu merancang program pembelajaran di antaranya Silabus, RPP dan RPS, menguasai dasar-dasar komunikasi dan keterampilan dasar mengajar, melaksanakan pembelajaran berdasarkan paradigma baru pembelajaran di perguruan tinggi, mampu merancang, menyusun dan mengembangkan bahan ajar serta melaksanakan evaluasi hasil belajar dengan baik.
Dosen merupakan pendidik profesional yang memiliki tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Sumber: Supriyanto dalam www.suaramerdeka.com
Proses Pembelajaran di Era Disrupsi dan Era Revolusi Industri 4.0 lebih menonjolkan ciri pendekatan pembelajaran dan penelitian yang bercorak multidisiplin, interdisiplin, dan transdisiplin, bukan lagi monodisiplin. Oleh karenanya, Arts Education dan General Education menjadi bagian penting bagi mahasiswa perguruan tinggi. Satu permasalahan yang sring dihadapi oleh umat manusia didekati, dianalisis, dan diselesaikan dari berbagai perespektif keilmuan secara terpadu-terintegrasi. Inilah inti model berpikir dan pembelajaran di pendidikan tinggi di masa depan. Perubahan Kurikulum sebenarnya telah didahului oleh perubahan telah didahului oleh perubahan dalam metode pembelajaran. Kepentingan siswa dan mahasiswa yang seharusnya menjadi pusat perhatian dan menentukan metode pengajaran.
Perancangan perbaikan sistem Perguruan Tinggi perlu memperhatikan dua hal berikut: Pertama, bgaimanan mengarahkan hal yang harus dikerjakan perguruan tinggi dalam pencarian kebaruan, dan kedua, bagaimana mengelola dan memanfaatkan berbagai kebaruan yang dihasilkan kampus.