Waspada!!! Limbah Medis Bisa Jadi ada di Dekat kita
Setelah pengangkatan tumor, pemakaian jarum suntik, atau pembedahan organ tubuh, ke mana peralatan yang terkontaminasi virus HIV atau hepatitis? Ke mana sisa organ tubuh yang mengandung penyakit, botol infus, dan jarum-jarum suntik? Siapa yang menjamin bahwa limbah medis itu telah dimusnahkan secara sempurna?
Yuyun Ismawati terkejut dengan fakta yang ditemuinya di lapangan. Sepanjang Juli sampai Desember 2009, ia dan Lembaga Bali Fokus telah berkeliling ke enam rumah sakit (RS) di tiga kota. Mereka menelilti pengelolaan limbah di RS berinisial AM dan MH di Medan, BM dan HS di Bandung, serta SM dan LB di Makasar.
"Sampah dari keenam RS itu dibawa oleh pengangkut sampah lokal dengan izin dan fasilitas seadanya. Rata-rata, RS ini
juga tidak mengemas limbah medis sesuai aturan. Harusnya limbah medis dibungkus dengan kantong plastik khusus berwarna kuning, waterproof, tapi bahkan kantongnya saja tidak ada di pasaran. Nyatanya, dua RS sama sekali tidak melakukan pemisahan sampah. Yang satu memakai kantong plastik biasa dan satu RS lagi malah memakai kardus bekas," urai Yuyun, aktivis lingkungan peraih Goldman Prize 2009.
Kita mungkin berkata, 'so what'? Tapi coba pikir, Sampah medis yang seharusnya dipisahkan dan selanjutnya dibakar di ncinerator adalah limbah yang terkena infeksi dan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun). Limbah B3 ini antara lain sisa obat, organ-organ tubuh, misalnya sisa amputasi atau pengangkatan tumor atau peralatan yang terkontaminasi virus, antara lain jarum suntik.
Limbah medis ini, bila RS tidak membakarnya, maka akan dibawa ke tempat pembuangan sampah biasa. Pemulung yang mengais-ngais sampah atau kucing yang mencari makan di tempat samapah pun berisiko tinggi terkena penyakit.
Seorang pemulung yang biasa mengais rejeki di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) Bantargerbang pernah merasakan dampak dari pembuangan limbah medis yang tak tepat. Pak Soleh -sebut saja begitu- beberapa tahun lalu tertusuk jarum suntik bekas ketika sedang memilah sampah. Malamnya, Pak Soleh meriang, panas dingin. Tubuhnya panas tapi ia menggigil kedinginan. Sampai beberapa malam, kondisinya tak membaik. Hingga saat ini, ia tak bisa menjelaskan apa yang terjadi.
Kejadian tertusuk jarum suntik bekas tak cuma terjadi pada Pak Soleh. Beberapa pemulung pun pernah mengalaminya, meskipun mereka tak lantas panas dingin. Karena faktor ekonomi, mereka tak pernah memeriksakan diri ke dokter bila jatuh sakit. Namun, dengan risiko setinggi itu, tak mengherankan bila di antara mereka ada yang mengidap HIV atau Hepatitis C.
Yang mengenaskan, para pemulung yang bekerja di TPS (Tempat Pembuangan Sementara) atau TPA tentu bukan hanya orang dewasa. Marie Claire melihat beberapa anak pemulung sedang membantu orang tua mereka mengais sampah.
Terkadang, para pemulung bahkan tidak perlu mengais. Ada oknum RS yang berpraktek menjual botol infus pada mereka, atau pada tukang sampah. Padahal, botol infus juga termasuk kategori limbah B3.
BUkan cuma manusia yang berisiko terpapar virus atau penyakit dari limbah medis. Kucing dan anjing yang dilihat Marie Claire mencari makan di tempat-tempat sampah pun memiliki risiko tinggi. Cerita soal kucing atau anjing yang menggondol 'potongan daging' aneh pun menyebar di antara komunitas pemulung. Entah virus atau penyakit apa yang bisa menjangkit mereka, dan pada akhirnya masuk kembali ke sekitar kita.
Soal pemilahan limbah medis dan non medis serta ke mana mereka dibuang sudah menjadi suatu masalah. Namun masalah lain yang tak kalah penting adalah mengenai pembakaran sampah.
Limbah infeksius dan B3 harus dibakar dengan incinerator khusus. Panasnya pun harus mencapai 1000-1200 derajat Celcius. Yang benar-benar harus dibakar antara lain jarum suntik, botol infus bekas, kateter, dan sarung tangan bekas.
Di sini, segala macam masalah bisa timbul. Dari enam RS di atas, hanya dua yang memiliki incinerator sendiri. Dua RS lain sebenarnya memiliki incinerator, tapi sekarang sudah tidak beroperasi lagi. Pasalnya, masyarakat sekitar protes karena asap hasil pembakaran mulai mengganggu mereka. Akhirnya, dua RS ini dan dua lagi sisanya mengirim limbah medis mereka untuk diolah di RS lain, atau ke perusahaan pengolahan limbah swasta.
Di dua RS yang memiliki incinerator pun, pembakarannya tidak sempurna karena limbahnya tak hancur seluruhnya. Abunya masih mengandung sampah medis yang berbentuk.
Hal semacam ini disaksikan sendiri oleh Marie Claire ketika berkunjung ke salah satu RS di daerah Jakarta Pusat. Sore itu, para petugas sedang membakar sampah medis dengan suhu 600 dan 800 derajat Celcius. "Panas segini saja sudah cukup, kok. Sampahnya sudah hancur," kata seorang petugas. Dia tidak menjawab ketika Marie Claire bertanya, 'bukankah limbah medis harus dibakar dalam suhu minimal 1000 derajat Celcius?"
Masalahnya, bahan plastik atau karet yang tidak dibakar sempurna akan menghasilkan dioxin atau racun. Jika lokasi pembakaran berdekatan dengan pemukiman, asap yang dihasilkan akan mencemari udara.
Soal pengangkutan limbah juga menjadi persoalan. Dua RS dari enam RS di atas bahkan mengangkut limbahnya dengan ambulans. Pasien yang selanjutnya diangkut oleh ambulans pun berisiko terkontaminasi. Bayangkan bila kita atau anggota keluarga kita yang berada di atas ambulans yang baru saja mengantar limbah medis berbahaya.
Limbah medis yang telah dibakar dengan incinerator tetap meninggalkan pekerjaan rumah. Abu hasil pembakaran limbah medis adalah toxic yang harus dikumpulkan dan diolah di instalasi pengolahan limbah B3. Namun, di seluruh Indonesia hanya ada satu, yaitu PPLI (PT Prasadha Pamunah Limbah Industri) di Cileungsi, Bogor. Karena cuma satu, sebagian Rs di Batam dan Sumatera Utara biasanya mengirimkan limbah mereka untuk diolah di Singapura. Tapi sebagian besar RS lainnya hanya menumpuk abu di belakang RS atau membawanya ke TPA dan bercampur dengan sampah kota. Masalahnya, biaya pengangkutan limbah dan pengolahan perkilonya mahal.
Lalu siapa sebenarnya yang bertanggung jawab untuk mengawasi masalah ini? Pada kenyataannya, baik kementrian Lingkungan Hidup (KLH) maupun Departemen Kesehatan (DepKes) tidak memiliki data tentang pengolahan limbah RS. Memang ada data tentang 1751 RS di Indonesia. Tapi sama sekali tidak ada cerita soal diapakan dan ke mana limbah medis dan non medis RS itu pergi. Itulah yang membuat Yuyun dan Tim Bali Fokusnya membuat assesment sendiri ke enam RS di tiga kota.
Mengawasi RS yang sedemikian banyaknya saja sudah sulit. Belakangan semakin marak pula klinik perawatan, klinik colon teraphy dan Laboratorium yang beroperasi di dalam mal atau bangunan perkantoran. Ke mana perginya semua jarum suntik bekas dan sampah lainnya? Kita bisa melangkah ringan, shopping di mal yang kinclong dan sejuk, tapi kita tentu tak pernah melirik tempat sampah di belakang mal. Seharusnya tak boleh ada medical treatment facility di tempat-tempat umum. Dan harus ada cluster serta aturan ketat untuk lokasi RS.
Semua masalah ini tentu tak bisa diselesaikan oleh satu pihak saja. Depkes, KLH, dan semua pihak terkait perlu duduk bersama untuk membahas soal pengolahan limbah medis. Selanjutnya harus ada pengawasan yang lebih ketat. Bila tak segera diselesaikan, masalah ini akan menjadi bom waktu yang merugikan kita semua. Dan Rumah Sakit, tak hanya menjadi tempat untuk mengobati penyakit, tapi juga sumber terjadinya penyakit, langsung maupun tidak.
Sumber: Artikel yang ditulis oleh Sherly Puspita dalam majalah Marie Claire (Setelah membaca artikel ini, bunga merasa berkewajiban untuk ikut menyebar luaskan informasi kepedulian ini pada masyarakat, mungkin diawali dengan komunitas pembaca blog) ^_^
No comments:
Post a Comment