Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
FAT-HU MAKKAH (Periode Baru dalam Dakwah)
Perdamaian Hudaibiyah
Perdamaian ini merupakan salah satu bentuk tadbir Ilahi (rekayasa Ilahi) untuk menampakkan tindakan kenabian dan pengaruhnya. Kesuksesan perdamaian ini merupakan rahasia yang berkait erat dengan perkara ghaib yang tersimpan dalam pengetahuan 4wl semata. Hikmah yang tampak secara jelas bahwa perdamaian Hudaibiyah ini merupakan pintu dan kunci bagi penaklukan kota Makkah. Apabila 4wl Menghendaki terjadinya satu perkara besar, Dia senantiasa memperlihatkan beberapa “muqaddimah”-nya terlebih dahulu sebagai isyarat kepadanya. Kaum Muslimin pada saat itu tidak memahami isyarat tersebut karena masalah ini termasuk masa depan yang ghaib bagi mereka. Tapi tak lama kemudian, kaum muslimin merasakan urgensi perdamaian ini dan sejumlah kebaikan yang terkandung di dalamnya. Dengan perdamaian ini, setiap orang merasa aman dari gangguan orang lain. Kaum muslimin dapat lebih leluasa bergaul dengan orang-orang kafir guna menyampaikan dakwah Islam dan memperdengarkan ayat-ayat al-Quran kepada mereka. Bahkan orang-orang yang tadinya menyembunyikan keislamannya, dengan perdamaian ini, mereka berani memunculkannya. Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Ibnu Ishaq dari az-Zuhri, ia berkata, “Belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Islam penaklukan (futuh) yang lebih besar dari Perdamaian Hudaibiyah. Sebelumnya selalu dicapai melalui peperangan. Perjanjian Hudaibiyah ini telah berhasil menghindarkan peperangan dan memberikan keamanan kepada manusia sehingga mereka bisa melakukan dialog dan perundingan. Selama masa perdamaian ini, tak seorang pun yang berakal sehat yang diajak bicara tentang Islam kecuali segera masuk Islam. Selama dua tahun tersebut, orang-orang yang masuk Islam sebanyak jumlah orang-orang Islam sebelum peristiwa tersebut atau mungkin lebih banyak. Karena itu al-Quran menyebut peristiwa ini dengan istilah fat-h (kemenangan). Firman 4wl:
“Sesungguhnya, 4wl akan Membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya 4wl dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedangkan kamu tidak merasa takut. Maka 4wl Mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia Memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (al-Fat-h [48]:27)
Hikmah lainnya ialah bahwa 4wl SWT, dengan perdamaian tersebut, ingin menampakkan perbedaan yang sangat jelas antara wahyu kenabian dan rekayasa pemikiran manusia, antara bimbingan (taufiq) Nabi yang diutus dan tindakan seorang pemikir jenius, antara ilham Ilahi yang datang dari luar alam sebab akibat. Allah ingin Memenangkan nubuwwat Nabi-Nya, Muhammad SAW, di hadapan penglihatan setiap orang yang cerdas dan berpikiran mendalam. Barangkali ini merupakan sebagian dari penafsiran firman 4wl SWT, ‘Dan supaya Allah Menolongmu dengan pertolongan yang kuat.’ (al-Fat-h [48]:3). Maksudnya, pertolongan yang unik caranya sehingga akan menyentakkan akal-akal yang lalai dan pikiran yang tertutup.
Karena itu, Nabi S’AW memberikan semua persyaratan yang diminta kaum musyrikin. Nabi S’AW menyetujui beberapa perkara yang menurut para sahabat kurang menguntungkan. Tergambar bagaimana Umar R.’A. merasa cemas dan bersempit dada menanggapi masalah tersebut, sampai di kemudian hari Umar R.’A berkata tentang dirinya-sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan lainnya,
‘Aku terus berpuasa, sholat, bersedekah, dan membebaskan budak (sebagai kafarat) dari apa yang pernah aku lakukan karena takut akan ucapanku yang pernah aku ucapkan pada hari itu.’
Dapat kita ketahui bagaimana rasa sedih campur enggan melanda para sahabat ketika diperintahkan Rasulullah S’AW agar mencukur rambut dan menyembelih binatang qurban untuk kembali ke Madinah, sampai Rasulullah S’AW mengulangi perintah tersebut tiga kali. Sebabnya ialah para sahabat R.’A waktu itu mengamati dan menganalisis tindakan-tindakan Nabi S’AW dalam kapasitas mereka sebagai manusia biasa dan didasarkan kepada pengalaman-pengalaman empiris. Sementara itu, Nabi S’AW dalam mengambil tindakan-tindakan berpijak di atas pijakan kenabian (perintah Ilahi). Hal ini tampak jelas dari jawaban Nabi S’AW kepada Umar R.’A ketika mendatangi Nabi S’AW untuk menanyakan atau meragukan tindakan tersebut. Nabi S’AW menjawab kepada Umar R.’A,
‘Sesungguhnya, aku adalah Rasul Allah. Aku tidak menyalahi-Nya dan Dia pasti akan Membelaku.’
Hukum-hukum yang berkaitan dengan Perdamaian Hudaibiyah
1.Meminta Bantuan kepada non-muslim bukan dalam keadaan perang.
Nabi S’AW pernah mengutus Basyar bin Sufyan sebagai ”intel” untuk mencari berita tentang Quraisy. Waktu itu, Basyar bin sufyan adalah seorang musyrik dari kabilah Khuza’ah. Hal ini menunjukkan bahwa meminta bantuan kepada non-muslim itu tergantung kepada kondisi dan situasi orang yang dimintai bantuannya. Jika tidak dapat dipercaya, kita tidak boleh meminta bantuannya. Yang pernah dilakukan Nabi S’AW ialah meminta bantuan non-muslim bukan dalam keadaan perang, seperti pengiriman intel ke dalam barisan musuh, untuk meminjam senjata dari mereka, dan sebagainya. Tampaknya, meminta bantuan non-muslim dalam masalah perdamaian juga dibolehkan, di antaranya dalam tugas-tugas pertempuran dan peperangan.
2.Tabiat Syura dalam Islam
Dalam perdamaian Hudaibiyah ini, Nabi S’AW meminta pandangan para sahabatnya kemudian Abu Bakar pun mengemukakan pandangannya. Ia berkata kepada Nabi S’AW, ”Sesungguhnya, engkau, wahai Rasul Allah, keluar hendak melaksanakan thawaf di Ka’bah. Berangkat saja! Siapa yang menghalangi maka kita akan perangi.”
Pada mulanya, Rasulullah S’AW menyetujui pendapat Abu Bakar ini kemudian bersama-sama para sahabatnya menuju Makkah sampai unta beliau mogok pertanda tidak boleh terus. Nabi S’AW lalu meninggalkan pendapat yang telah dikemukakan Abu Bakar R.’A seraya mengumumkan,
”Demi Allah. Jika mereka meminta kepadaku suatu langkah (persyaratan) yang akan menghormati Tanah Haram, pasti aku kabulkan.”
Sejak itulah, pandangan yang dikemukakan Abu Bakar R.’A ditinggalkan dan beralih kepada masalah perdamaian dan menyetujui persyaratan-persyaratan kaum musyrikin tanpa meminta pandangan siapa pun dalam hal ini, bahkan tanpa mempedulikan berbagai keberatan yang dilontarkan oleh sebagian sahabat.
Ini berarti masalah syura harus tunduk kepada hukum wahyu yang sekarang adalah berupa al-Quran, as-sunnah, dan ijma’ para imam. Ia juga menunjukkan bahwa syura itu disyariatkan hanya untuk mendapatkan pandangan, bukan untuk voting suara.
3.Tabarruk dengan Bekas Pakai Nabi S’AW
Urwah bin Mas’ud memandangi para sahabat Nabi S’AW dengan kedua matanya seraya berkata, ”Demi Allah, tidaklah Rasulullah meludah kecuali ludah itu jatuh ke telapak tangan seseorang di antara mereka lalu mengusapkan ke muka dan kulit mereka. Apabila dia (Nabi S’AW) memerintahkan sesuatu kepada mereka, mereka berebut untuk melakukannya. Apabila dia berwudhu, mereka berebut untuk mendapatkan sisa air wudhunya. Apabila mereka berbicara di hadapannya, mereka berbicara dengan menundukkan kepala dan merendahkan suaranya demi menghormatinya.
Itu adalah gambaran hidup dari Urwah bin Mas’ud tentang sejauh mana cinta para sahabat kepada Rasulullah S’AW. Ia mengandung sejumlah pelajaran penting yang harus diperhatikan oleh seorang muslim.
Pertama, ini menunjukkan bahwa tidak mungkin beriman kepada Rasulullah S’AW tanpa mencintainya. Cinta kepadanya bukan sekedar dalam pikiran, melainkan cinta yang memberikan kesan mendalam di dalam hati sehingga membentuk kepribadiannya, seperti yang digambarkan oleh Urwah bin Mas’ud tentang para sahabat Rasulullah S’AW.
Kedua, menunjukkan bahwa tabarruk dengan benda-benda bekas pakai Nabi S’AW adalah perkara yang disyariatkan. Di dalam beberapa hadits shahih disebutkan bahwa para sahabat pernah tabarruk dengan rambut, keringat, sisa air wudhu, dan ludah Nabi S’AW.
4.Hukum Berdiri terhadap Orang yang Duduk
Mughirah bin Syu’bah mengawal Rasulullah S’AW dengan membawa pedang. Setiap kali Urwah bin Mas’ud ingin memegang jenggot Rasulullah S’AW, ia menepisnya dengan gagang pedangnya seraya berkata, ”Jauhkan tanganmu dari jenggot Rasulullah S’AW sebelum kutampar mukamu.
Dalam bahasan tentang perang bani Quraizhah, telah disebutkan bahwa berdiri kepada orang yang duduk adalah dilarang karena hal itu termasuk bentuk takzim (penghormatan) yang dipraktikkan oleh orang-orang asing dan diingkari Islam. Ia termasuk tamatstsul (cara penghormatan) yang dilarang Nabi S’AW, ”Barangsiapa ingin dihormati orang dengan berdiri maka hendaklah ia mempersiakan tempat duduknya di neraka.”
Adakah kontradiksi dalam masalah ini?
Jawabannya bahwa larangan secara umum itu dikecualikan dalam kondisi khusus. Dalam kondisi kedatangan utusan para musuh kepada seorang imam atau khalifah, tidak dilarang bila seorang pengawal atau seorang prajurit berdiri guna menampakkan izzah Islamiyah, kemuliaan sang Imam, dan melindunginya dari segala kejahatan yang mungkin akan dilancarkan kepadanya secara tiba-tiba. Apabila dalam kondisi biasa, hal itu dilarang karena bertentangan dengan konsekuensi tauhid dan aqidah Islamiyah. Hal ini sama dengan masalah cara jalan Abu Dujanah dalam Perang Uhud. Semua bentuk kesombongan dan keangkuhan dalam cara berjalan terlarang secara syariat, tetapi khusus dalam kondisi peperangan, hal itu diperbolehkan, sebagaimana penegasan Nabi S’AW tentang cara berjalan Abu Dujanah, ”Itu adalah cara berjalan yang dimurkai Allah kecuali di tempat ini.”
5.Disyariatkan Perjanjian Damai antara Kaum Muslimin dan Musuh Mereka
Para Ulama dan Imam menjadikan Perdamaian Hudaibiyah ini sebagai dalil bolehnya mengadakan perjanjian damai antara kaum Muslimin dan musuh mereka selama waktu tertentu, baik dengan ada ganti rugi yang diambil oleh kaum muslimin maupun tidak. Sebab dalam Perdamaian Hudaibiyah ini, kaum Muslimin tidak mendapatkan ganti rugi. Jika tanpa ganti rugi saja dibolehkan, apalagi dengan adanya ganti rugi yang diperoleh oleh kaum Muslimin.
Namun jika perdamaian itu mengharuskan kaum muslimin membayar harta, menurut jumhur tidak dibolehkan karena hal itu merendahkan martabat kaum muslimin di hadapan musuh; di samping karena tidak adanya dalil al-Quran dan as-Sunnah yang membolehkannya. Para ulama berkata, ”Kecuali dalam keadaan sangat darurat dan tidak ada jalan lain, seperti dikhawatirkan kaum Muslimin akan binasa atau jatuh menjadi tawanan, sebagaimana seorang yang ditawan boleh menebus dirinya dengan harta.”
6.Imam Syafi’i, Ahmad, dan sejumlah Imam yang lainnya berpendapat bahwa perjanjian damai harus dibatasi jangka waktunya dan tidak boleh lebih dari satu tahun; karena selama masa sepuluh tahun itulah Nabi S’AW mengadakan perjanjian damai dengan Quraisy pada tahun Hudaibiyah.
7.Syarat dalam mengadakan perjanjian damai ada yang sah dan ada pula yang batil. Syarat yang sah ialah setiap syarat yang tidak bertentangan dengan nash al-Quran atau sunnah Nabi-Nya. Misalnya, mensyaratkan agar pihak musuh membayar harta atau mensyaratkan kepada pihak musuh agar mengembalikan orang-orang muslim yang datang kepada mereka atau menjamin keamanannya. Para Imam menyepakati keabsahan syarat yang terakhir ini kecuali Imam Syafi’i yang mempersyaratkan adanya keluarga yang melindunginya di antara kaum kafir. Sebab, menurut Imam Syafi’i, Nabi S’AW menyetujui persyaratan Quraisy itu dengan catatan tersebut.
Syarat yang batil adalah setiap persyaratan yang bertentangan dengan hukum syariat yang ada, misalnya mempersyaratkan pengembalian wanita-wanita Muslimat atau mahar-maharnya kepada mereka (musuh) atau memberikan sebagian senjata atau harta kaum muslimin kepada mereka. Hal ini didasarkan kepada sikap nabi S’AW yang tidak mau mengembalikan wanita-wanita Muslimat yang lari membawa agamanya. Al-Qur’an bahkan secara tegas melarang hal tersebut.
Apakah dengan demikian tidak berarti Rasulullah mengingkari janjinya sendiri? Bukankah Nabi S’AW telah menyepakati untuk mengembalikan setiap Muslim yang datang dari Makkah? Jawabannya bahwa dalam perjanjian tersebut tidak disebutkan secara eksplisit termasuk kaum wanita, bahkan ada kemungkinan hanya berlaku untuk kaum lelaki. Kita pun tahu bahwa tindakan-tindakan Nabi S’AW tidak memiliki kekuatan hukum syar’i kecuali setelah ”dilegalisasi” oleh al-Qur’an dengan mendiamkannya atau mempertegasnya. Ternyata dalam masalah ini, al-Qur’an telah mengakui semua butir perjanjian damai kecuali yang berkaitan dengan pengembalian wanita (muslimat) ke negeri kafir-ini pun seandainya hal tersebut dimasukkan dalam butir-butir kesepakatan dan persyaratannya.
8.Hukum Ihshar (Membatalkan) Penunaian Haji dan Umrah
Amalan Rasulullah berupa tahallul, menyembelih qurban, dan bercukur, setelah menyelesaikan urusan perjanjian damai, menunjukkan bahwa orang yang muhshar (membatalkan haji karena suatu halangan) dibolehkan tahallul dengan menyembelih kambing di tempat pembatalannya dan mencukur rambut kemudian berniat tahallul, baik dari haji maupun umrah.
Amalan Rasulullah S’AW tersebut juga menunjukkan bahwa orang yang bertahallul tidak diwajibkan meng-qadha’ haji atau umrah apabila merupakan haji atau umrah sunnah. Hal ini karena Nabi S’AW tidak pernah memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk meng-qadha’ setelah itu. Ketika Rasulullah S’AW melakukan umrah pada tahun berikutnya, tidak semua orang yang keluar pada tahun Hudaibiyah ini ikut umrah bersama Nabi S’AW.
Perang Khaibar
Para Ulama telah menyimpulkan beberapa pelajaran dan hukum dari peperangan Khaibar ini, di antaranya sebagai berikut:
1.Boleh menyerang orang yang telah memperoleh dakwah Islam dan hakikatnya, tanpa peringatan terlebih dahulu atau dakwah lagi. Ini adalah mazdhab Syafi’i dan jumhur fuqaha. Itulah yang dilakukan Nabi S’AW dalam serbuannya terhadap Khaibar. Sampainya dakwah Islam dan dipahaminya Islam secara benar merupakan syarat yang disepakati para ulama.
2.Pembagian Ghanimah berdasarkan Hadits yang disebutkan di sini, yaitu pembagian empat per lima kepada mereka yang berperang satu saham bagi yang berjalan kaki dan tiga saham bagi yang menunggang kuda; satu saham untuk dirinya dan dua saham untuk kudanya. Sementara itu, sisa khumus (seperlimanya) dibagikan kepada mereka yang ditegaskan oleh ayat,
”Ketahuilah sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan Ibnu Sabil...” (al Anfal [8]:41)
Saham Rasulullah S’AW dari khumus ini dibagikan, sepeninggal beliau, kepada kemaslahatan kaum Muslimin sebagaimana pendapat Syafi’iyah dan Hanafiah. Ada juga yang berpendapat, diserahkan kepada khalifah pemanfaatan dan pendistribusiannya. Kedua pendapat ini hampir sama.
3.Boleh memberikan ghanimah kepada orang-orang yang tidak ikut berperang, tetapi hadir di tempat peperangan. Tentunya hal itu dilakukan sesudah meminta izin kepada yang memiliki hak. Nabi S’AW telah memberikan ghanimah kepada Ja’far dan orang-orang yang datang bersamanya, dengan izin dari para sahabat, ketika mereka datang dari Habasyah dan Yaman.
4.Disyariatkannya ’Aqdul Musaqat
Yaitu seorang pemilik tanah menyerahkan pengelolaan kebunnya kepada orang lain dengan perjanjian bagi hasil. Malik, Syafi’i, dan Ahmad menganggap akad ini sah berdasarkan perlakuan Nabi S’AW terhadap penduduk Khaibar. Akan tetapi Abu hanifah tidak membolehkannya
5.Boleh mencium dan merangkul orang yang baru datang.
6.Haramnya Riba Kelebihan dalam Pertukaran makanan (pokok), yaitu dua orang saling bertukar makanan dari jenis yang sama dengan adanya kelebihan (timbangan).
Dalam peperangan ini terjadi dua peristiwa, keduanya disebutkan oleh hadits shahih yang merupakan peristiwa luar biasa yang dijadikan Allah sebagai dukungan kepada Nabi Muhammad S’AW. Pertama, Nabi S’AW mengobati mata Ali R.’A dengan meludahinya kemudian seketika itu juga kedua mata Ali R.’A sembuh. Kedua, Allah Memberikan wahyu kepadanya tentang kambing beracun pada saat beliau hendak memakannya. Karena qadha 4wl jualah Basyar bin Barra’ menelan suapannya sebelum Rasulullah S’AW menyatakan bahwa itu beracun. Para perawi berselisih pendapat apakah wanita yahudi yang meracuni daging kambing tersebut (Zainab binti al-Harits, istri Sallam bin Misykan) masuk Islam atau tidak. Riwayat yang lebih kuat seperti yang dipastikan oleh az-Zuhri dan lainnya menegaskan bahwa wanita itu kemudian masuk Islam. Karena itu, Nabi S’AW tidak membunuhnya sebagaimana ditegaskan oleh Riwayat Muslim. Tidak boleh dikatakan bahwa hukum qishash mengharuskan dibunuhnya wanita tersebut, sebab kaidah yang disepakati menegaskan, ”Islam menghapus apa yang sebelumnya.” pembunuhan yang harus diqishash adalah pembunuhan yang terjadi setelah Islamnya si pembunuh itu. Adapun sebelum keislamannya, masalah itu dikategorikan kepada masalah hirabah (peperangan). Seperti diketahui bahwa hirabah akan berakhir dengan masuknya seseorang tersebut ke dalam Islam. Orang-orang yahudi khaibar itu kemudian diizinkan tinggal di khaibar sambil menggarap tanah khaibar dengan system bagi hasil (paron) sampai masa khilafah Umar Radhiyallahu’anhu. Karena mereka membunuh salah seorang Anshor dan melukai kedua tangan Abdullah bin Umar. Khalifah Umar mengumumkan keputusan pengusiran mereka. Katanya,
”Sesungguhnya, Rasulullah S’AW dahulu memperlakukan orang-orang yahudi dengan syarat kita boleh mengusir mereka jika kita menghendaki hal itu. Sesungguhnya, mereka telah menyerang Abdullah bin Umar dan melukai kedua tangannya, sebagaimana kalian dengar. Sebelum itu, mereka juga telah menyerang seorang Anshar. Kami tidak meragukan bahwa yang berbuat kejahatan itu adalah teman-teman mereka sebab di sana tidak ada musuh selain mereka (yahudi khaibar). Karena itu, barangsiapa di antara kalian mempunyai titipan harta di khaibar hendaklah segera dibereskan. Aku akan mengusir orang-orang yahudi itu.
Demikianlah akhirnya mereka diusir dari Jazirah Arabia. Kalau bukan karena kejahatan dan kesombongan mereka sendiri, niscaya mereka tidak akan diusir. Akan tetapi bumi ini diwariskan kepada hamba-hamba-Nya yang sholeh. Kemenangan pada akhirnya berada di tangan orang-orang yang bertaqwa.
No comments:
Post a Comment