Oleh: Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy
•Pemberangkatan Sariyah ke Berbagai Kabilah dan Pengiriman surat kepada Para Raja.
Selanjutnya mulailah Rasulullah S’AW memberangkatkan beberapa sariyah (pasukan kecil dari para sahabatnya) ke berbagai kabilah Arab yang tersebar di Jazirah Arabia guna menunaikan tugas dakwah (seruan) kepada Islam; jika mereka menolak, mereka akan diperangi. Pemberangkatan Sariyah ini berlangsung selama tahun ke-9 Hijriah dan jumlahnya mencapai sepuluh sariyah. Pada periode ini pulalah Nabi S’AW mulai mengirim beberapa surat kepada para raja dan pemimpin dunia. Mengajak mereka untuk memeluk Islam dan meninggalkan agama-agama kebatilan yang mereka anut. Ibnu Sa’ad meriwayatkan di dalam Thabaqat-nya, “Sekembalinya dari Hudaibiyah pada bulan Dzulhijjah tahun keenam Hijriah, Rasulullah SAW mengirim beberapa utusan kepada raja dan menulis beberapa surat; mengajak mereka untuk menganut Islam. Dikatakan kepada Rasulullah S’AW, ‘Sesungguhnya, para raja tidak mau membaca surat yang tidak distempel.’ Karena itu, sejak itu, Rasulullah S’AW membuat stempel (cincin) terbuat dari perak yang bertuliskan tiga kata
“Muhammad Rasul Allah”
Dengan cincin inilah, Rasulullah S’AW menstempel surat-suratnya.
Pada bulan Muharram tahun ke-9 Hijriah, berangkatlah dalam satu hari sebanyak enam utusan. Masing-masing utusan menguasai bahasa negeri dan kaum yang hendak didatanginya.
Utusan yang pertama dikirim oleh Rasulullah S’AW adalah Amr bin Umaiyyah adh-Dhamri, Ia dikirim menemui Najasyi. Najasyi menerima surat Nabi S’AW kemudian meletakkannya di hadapannya dan ia turun dari tempat tidurnya lalu duduk di atas tanah dengan penuh tawadhu’ dan akhirnya masuk Islam. Ketika itu, ia berkata, “Seandainya aku bisa datang menemuinya (Nabi S’AW), niscaya aku berangkat menemuinya.
Rasulullah S’AW juga mengutus Dahyah bin Khalifah al-Kalbi kepada Heraclius, Raja Romawi. Surat Rasulullah S’AW ini disampaikan oleh Dahyah kepada Gubernur Bashra untuk selanjutnya diteruskan kepada Heraclius. Terjemahan Surat itu berbunyi,
“Dari Muhammad Rasul Allah kepada Heraclius Raja Romawi. Keselamatan atas orang yang hidup mengikuti hidayah Ilahi. Amma ba’du. Anda kuajak supaya memeluk Islam. Peluklah Islam, tentunya anda akan selamat dan Allah akan Melimpahkan dua kali lipat imbalan pahala kepada anda. Akan tetapi, jika anda menolak, anda memikul dosa para petani (rakyat). Dan, “Wahai para Ahli Kitab, marilah kita bersatu kata, antara kalian dan kami bahwa kita tidak bersembah sujud selain kepada Allah, dan bahwa kita tidak akan menjadikan siapa pun di antara kita sendiri tuhan-tuhan selain Allah. Apabila mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, ‘Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Muslim.’”
Selanjutnya, Ibnu Sa’ad berkata di dalam Thabaqat-nya, “Setelah membaca surat tersebut, Heraclius berkata kepada para pembesar dan stafnya, ‘Wahai bangsa Romawi, adakah kalian menghendaki kemenangan, kelurusan, kelanggengan kerajaan kalian, dan mengikuti apa yang dikatakan oleh Isa Putra Maryam?’ Mereka menjawab, ‘Apa itu wahai paduka raja? Ia menjelaskan, ‘Kalian mengikuti Nabi dari Arab ini.’ Mendengar ini, bangkitlah kemarahan mereka. Bahkan mereka menentang hal ini seraya mengangkat salib. Melihat sikap ini, Heraclius pun merasa putus asa mengharapkan keislaman mereka dan takut akan keselamatan diri dan kerajaannya. Ia kemudian berkata, ’Hal ini kukatakan kepada kalian hanyalah sekadar menguji sejauh mana keteguhan kalian terhadap agama kalian. Sesungguhnya, aku telah melihat sikap kalian yang sangat menyenangkan.’ Akhirnya, mereka bersembah sujud kepadanya.”
Rasulullah S’AW mengutus Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi kepada Kisra untuk menyampaikan surat dan mengajaknya masuk Islam. Abdullah bin Hudzafah berkata, ”Surat itu kemudian dirobek-robeknya.” Setelah mendengar berita ini, Rasulullah S’AW berdo’a, ”Semoga Allah merobek-robek kerajaannya.” Selanjutnya, Kisra menulis surat kepada Badzan, Gubernur Yaman, yang isinya memerintahkan supaya Badzan mengutus dua orang lelaki perkasa untuk menangkap Nabi S’AW. Perintah ini dilaksanakan Badzan dengan mengutus dua orang lelaki perkasa ke Madinah guna menyampaikan surat Badzan kepada Nabi S’AW. Nabi S’AW menyambutnya seraya tersenyum dan berkata, ”Kembalilah dulu hari ini. Besok saja kalian menghadapku karena aku ingin mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang aku inginkan.” Keesokan harinya, kedua orang tersebut menghadap Nabi S’AW lalu Nabi S’AW berkata kepada keduanya, ”Sampaikan kepada gubernur kalian bahwa Rabbku telah membunuh tuannya, Kisra, pada malam ini, tepatnya enam jam yang lalu. Ibnu Sa’ad berkata, ”Yaitu pada malam selasa, 10 Jumadil ’Ula tahun ke-9. Allah Menggerakkan Syirawaih, anak Kisra, untuk membunuhnya.” Akhirnya, kedua orang itu kembali menemui Badzan guna menyampaikan berita tersebut. Setelah mendengar berita ini, Badzan beserta anak buahnya masuk Islam.
Harits bin Umair al-Azdi diutus kepada penguasa Romawi di Bashra, Syurahbil bin Amr al-Ghassani, yang kemudian mengikat al-Harits bin Umair dan membunuhnya. Para ulama sirah berkata, ”Tidak ada utusan Rasulullah S’AW yang dibunuh selain al-Harits bin Umair.” Selain itu, Rasulullah S’AW juga mengutus beberapa utusan yang lain kepada pemimpin Arab di berbagai wilayah. Di antara mereka ada yang menolak, tetapi sebagian besar menerimanya dan masuk Islam.
Di tahun ini pula, Rasulullah S’AW menerima banyak utusan yang berdatangan dari berbagai daerah guna menyatakan keislaman mereka. Di antara pemimpin Arab yang masuk Islam pada masa ini ialah Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
Ibnu Ishaq meriwayatkan dari Amr bin Ash, ia berkata, ”Aku sengaja keluar untuk menemui Rasulullah S’AW. Di tengah perjalanan, aku bertemu dengan Khalid bin Walid yang datang dari Makkah. Peristiwa ini terjadi sebelum penaklukan Makkah. Aku kemudian bertanya, ’Hendak kemana wahai Abu Salman?’ Ia menjawab, ’Demi Allah, aku sedang pergi untuk masuk Islam. Kapan lagi?’ Aku katakan padanya, ’Aku juga datang untuk masuk Islam.’ Akhirnya, kami berangkat bersama-sama. Khalid maju untuk masuk menyatakan diri masuk Islam kemudian aku mendekat dan berbaiat kepada Nabi S’AW.
•Beberapa ’Ibrah dari Umrah Qadha (tahun ke-7 Hijriah)
Umrah ini dianggap sebagai penunaian janji Allah kepada Rasulullah S’AW dan para sahabatnya bahwa mereka akan masuk Makkah dan thawaf di Ka’bah. Umar pernah bertanya kepada Rasulullah S’AW pada waktu perdamaian Hudaibiyah, ”Bukankah engkau pernah menjanjikan bahwa kita akan thawaf di Ka’bah?” Nabi S’AW menjawab, ”Ya, tetapi apakah aku menyatakan bahwa engkau akan melaksanakannya tahun ini? Umar mengakui, ”Tidak.” Nabi S’AW menegaskan, ”sesungguhnya, kamu akan datang ke sana dan thawaf di Ka’bah.”
Ini adalah penunaian janji Rasulullah S’AW tersebut, di samping Allah juga mengingatkan kepada para hamba-Nya akan penunaian janji ini di dalam firman-Nya,
”Sesungguhnya, Allah pasti membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya4wl dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka 4wl Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui dan Dia Memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.” (al-Fat-h[48]:27)
Selain itu, umrah ini mengandung arti pengkondisian dan pendahuluan bagi ”kemenangan besar” (al-fat-hul kabir) yang datang sesudahnya. Pemandangan berupa sejumlah besar dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mengelilingi Rasulullah S’AW dengan penuh semangat dalam thawaf, sa’i, dan seluruh upacara pelaksanaan ibadah umrah yang disaksikan oleh kaum Musyrikin ini mempunyai pengaruh yang sangat mendalam terhadap jiwa mereka. Mereka telah dicekam rasa takut terhadap kaum Muslimin setelah dikejutkan oleh kenyataan yang sama sekali bertentangan dengan gambaran yang selama ini mereka percayai tentang kaum Muslimin. Digambarkan bahwa kaum Muslimin dalam keadaan lemah dan pemalas akibat penyakit panas dan jeleknya cuaca Yatsrib. Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa kaum Muslim berlari kecil di sekitar Ka’bah dan Mas’a (tempat sa’i). Sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain, ”Itukah mereka yang kalian sangka loyo akibat penyakit panas...?! mereka lebih gagah dari ini dan itu!”
Tak pelak lagi bahwa umrah ini-dengan sedemikian rupa pelaksanaannya-memiliki pengaruh besar dalam jiwa kaum musyrikin dan menjadi ”persiapan” untuk ”Fat-hu Makkah” (Penaklukkan Makkah) secara damai.
Pelajaran lain yang dapat diambil adalah sebagai berikut:
Pertama, ketika thawaf disunnahkan menampakkan lengan dan berlari-lari kecil pada tiga putaran yang pertama karena mengikuti Rasulullah S’AW. Hal ini disunnahkan bagi thawaf yang dilanjutkan dengan Sa’i. Demikian pula disunnahkan berlari-lari kecil antara dua tanda di Mas’a (tempat sa’i antara Shafa dan Marwah), tetapi tidak disunnahkan bagi wanita.
Kedua, sebagian fuqaha membolehkan akad nikah dalam keadaan ihram haji atau ihram umrah, berdasarkan riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi S’AW melaksanakan akad nikahnya dengan Maimunah dalam keadaan ihram.
Akan tetapi, jumhur fuqaha tidak membolehkan seseorang yang sedang ihram untuk melangsungkan akad nikah untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Hanafiah berpendapat bahwa seorang yang sedang ihram tidak boleh mewakili akad nikah untuk orang lain yang tidak dalam keadaan ihram.
Demikianlah Rasulullah S’AW telah menunaikan empat kali umrah dan satu kali haji. Imam Muslim meriwayatkan dari Anas R’A bahwa Rasulullah S’AW menunaikan empat kali umrah yang semuanya dilaksanakan pada bulan Dzulqa’idah kecuali yang dilaksanakan bersama hajinya: pertama, umrah dari Hudaibiyah di bulan Dzulqa’idah; kedua, umrah pada tahun berikutnya di bulan Dzulqa’idah; ketiga, umrah dan Ji’ranah di mana dibagikan rampasan Hunain di bulan Dzulqa’idah; keempat, umrah bersama hajinya.
•Perang Mu’tah
Peperangan ini terjadi pada bulan Jumadil ’Ula tahun ke-18 Hijriah. Mu’tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa ini sekarang bernama Kirk.
Yang menjadi sebab terjadinya peperangan ini adalah terbunuhnya al-Harits bin Umair al-Azdi, utusan Rasulullah S’AW kepada Raja Bashra. Setelah Rasulullah S’AW menyerukan kaum Muslimin agar berangkat menuju Syam, dengan serta merta berkumpullah sebanyak tiga ribu tentara kaum muslimin yang siap berangkat ke Mu’tah.
Rasulullah S’AW tidak ikut serta bersama mereka. Dengan demikian kita tahu bahwa ini bukan ghazwah, melainkan hanya sariyah. Akan tetapi hampir semua ulama sirah menamakannya ghazwah karena banyaknya jumlah kaum Muslimin yang berangkat dan arti penting yang dikandungnya. Rasulullah S’AW berpesan kepada mereka, ”Yang bertindak sebagai amir (panglima perang) adalah Zaid bin Haritsah. Jika Zaid gugur, Ja’far bin Abu Thalib penggantinya. Bila ja’far gugur, Abdullah bin Rawahah penggantinya. Jika Abdullah bin Rawahah gugur, hendaklah kaum Muslimin memilih penggantinya (Diriwayatkan oleh Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Sa’ad di dalam Thabaqat-nya. Akan tetapi, di dalam Bukhari tidak ada tambahan, ”Jika ia terbunuh, hendaklah kaum Muslimin mengangkat salah seorang di antara mereka.”). Selanjutnya, Nabi S’AW mewasiatkan kepada mereka agar sesampainya di sana, mereka menyerang dan meminta pertolongan kepada Allah.
Beberapa Ibrah:
Di antara hal yang menimbulkan decak kekaguman dalam peperangan ini ialah perbedaan besar antara jumlah pasukan kaum Muslimin dan jumlah pasukan Romawi yang didukung oleh orang-orang musyrikin Arab. Jumlah pasukan musyrikin itu mencapai 200.000 personil, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Sa’ad, dan kebanyakan penulis sirah. Perbandingan jumlah yang sangat tidak seimbang ini, jika direnungkan, menjadikan pasukan Muslimin berada di hadapan mobilisasi pasukan secara besar-besaran dari Romawi dan sekutunya (musyrikin Arab). Laksana parit kecil menghadapi lautan besar yang bergelombang. Dari segi peralatan dan senjata perang pun, pasukan musyrikin jauh lebih besar dan canggih, sedangkan kaum Muslimin justru tengah menghadapi kekurangan dan paceklik.
Subhanallah, semua ini-padahal mereka berangkat tanpa Nabi S’AW dalam sebuah sariyah-tidak menggentarkan kaum Muslimin, bahkan semua kekuatan tersebut sama sekali tidak dijadikan masalah berat. Padahal kalau mereka melihat pasukan yang mengepungnya, niscaya mereka akan seperti sebuah batu kecil di tengah padang pasir.
Kekaguman kita akan semakin bertambah besar manakala kita melihat kaum Muslimin dengan tegar dan berani menghadapi peperangan yang tidak seimbang ini. Amir (panglima) perang mereka yang pertama, kedua, dan ketiga gugur, tetapi mereka tetap tegar menerjang pintu syahadah sehingga Allah memasukkan rasa takut ke dalam hati pasukan musyrikin tanpa adanya sebab yang terlihat dan akhirnya pasukan Muslimin berhasil memukul mundur pasukan musyrikin dan membunuh sejumlah besar tentara mereka.
Akan tetapi, semua kekaguman dan keheranan ini akan segera sirna manakala kita mengingat apa yang dapat dilakukan oleh keimanan kepada Allah, sikap tawakal semata-mata kepada-Nya, dan yakin akan janji-Nya.
Selain itu, peperangan ini mengandung sejumlah pelajaran penting:
Pertama, taushiah (pesan) Nabi S’AW tersebut menunjukkan bahwa seorang khalifah atau pemimpin kaum Muslimin boleh mengangkat seorang Amir dengan suatu syarat atau beberapa amir bagi kaum Muslimin secara berurutan, sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah S’AW dalam pengangkatan Zaid, kemudian Ja’far dan Abdullah bin Rawahah. Para ulama berkata, ”Yang benar, apabila seorang khlaifah telah melakukan pengangkatan beberapa amir, pengangkatan semuanya dinyatakan sah dalam waktu yang sama secara serentak, tetapi tidak dilaksanakan kecuali sesuai urutan.” (Fat-hul Bari, 7/361)
Kedua, taushiah Rasulullah S’AW juga menunjukkan disyariatkannya ijtihad kaum Muslimin dalam memilih amir mereka. Apabila amir mereka tidak ada (meninggal) atau seorang khalifah menyerahkan pemilihannya kepada mereka. Berkata ath-Thahawi, ”Ini adalah dasar yang menegaskan bahwa kaum Muslimin wajib mengajukan seorang imam guna menggantikan imam yang tidak ada sampai ia datang.”
Taushiah ini juga menunjukkan disyariatkannya beberapa ijtihad bagi kaum Muslimin di masa hidup Rasulullah S’AW.
Ketiga, seperti kita ketahui, bahwa Nabi S’AW menyampaikan berita gugurnya Zaid, Ja’far, dan Ibnu Rawahah kepada para sahabatnya seraya kedua matanya meneteskan air mata, padahal jarak antara Nabi S’AW dan pasukan kaum Muslimin sangat jauh.
Ini menunjukkan bahwa Allah telah melipat bumi untuk Nabi-Nya sehingga beliau bisa melihat keadaan kaum Muslimin yang sedang berperang di perbatasan Syam dan peristiwa-peristiwa yang dialami para sahabatnya. Ini termasuk perkara luar biasa yang banyak dikaruniakan Allah kepada kekasih-Nya.
Hadits itu sendiri menunjukkan betapa besar kasih sayang Nabi S’AW kepada sahabatnya. Bukan hal kecil, seorang Nabi menangis di hadapan para sahabatnya saat menyampaikan berita para syuhada tersebut. Kita tentunya memahami bahwa menangisnya Rasulullah S’AW atas kematian mereka ini tidak bertentangan dengan sikap ridha terhadap qadha dan qadhar Allah, karena sebagaimana dikatakan Nabi S’AW, mata ini bisa meneteskan air mata dan hati pun bisa bersedih. Itu adalah kelembutan alami dan rahmat yang diftrahkan Allah kepada mereka.
Keempat, hadits mengenai penyampaian Nabi S’AW tentang berita ketiga orang syuhada tersebut mencatat keutamaan khusus bagi Khlaid bin Walid R’A. Rasulullah S’AW di akhir sabdanya menegaskan kepada mereka, ”...sehingga panji itu diambil oleh ’Pedang Allah’ dan akhirnya mengalahkan mereka.” Peristiwa ini merupakan peperangan yang pertama diikuti oleh Khalid bin Walid dalam barisan kaum Muslimin sebab belum lama ia menyatakan dirinya masuk Islam. Dari sini diketahui bahwa Nabi S’AW-lah yang memberikan panggilan ”Pedang Allah” kepada Khalid bin Walid R’A.
Di dalam peperangan ini, Khalid R’A telah menunjukkan suatu kegigihan yang sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan dari Khalid sendiri bahwa ia berkata, ”Dalam Perang Mu’tah, sembilan bilah pedang patah di tanganku kecuali sebilah pedang kecil dari Yaman.” Ibnu Hajar berkata, ”Hadits ini menunjukkan bahwa kaum Muslimin telah banyak membunuh musuh mereka.”
Ada pun tentang sebab ucapan kaum Muslimin kepada pasukan mereka ketika kembali ke Madinah, ”Wahai orang-orang yang lari! Kalian lari dari jalan Allah,” adalah karena mereka tidak mengejar terus orang-orang Romawi yang sudah kalah itu dan meninggalkan daerah yang telah direbut melalui peperangan, sebab, hal semacam ini tidak lumrah di kalangan mereka dalam peperangan-peperangan yang lain. Khalid menilai cukup sampai sebatas itu saja kemudian kembali ke Madinah. Akan tetapi, seperti kita ketahui, tindakan tersebut merupakan langkah bijaksana yang diambil oleh Khalid R.’A. demi menjaga pasuka Muslimin dan kesan kehebatan mereka (tentara Muslimin) di hati orang-orang Romawi itu. Karena itu, Rasulullah S’AW membantah mereka dengan sabda beliau, ”Mereka tidak lari (dari medan perang), tetapi mereka mundur untuk menyerang balik, insya4wl.”
•Penaklukan Kota Makkah (Fat-hu Makkah) → bulan Ramadhan 8 H
Peristiwa-peristiwa kemenangan besar ini mengandung banyak pelajaran dan hukum, di antaranya sbb:
Pertama: Hal yang berkaitan dengan Perjanjian damai dan Pelanggarannya.
1.Penyebab Fat-hu Makkah menunjukkan bahwa Ahlul ’Ahdi (orang yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin) apabila memerangi orang-orang yang berada di bawah jaminan perlindungan dan keamanan kaum muslimin, ia boleh diperangi dengan sebab tindakan pengkhianatan tersebut. Perjanjian antara mereka dan kaum Muslimin menjadi batal. Inilah yang disepakati para ulama secara umum.
2.Cara yang ditempuh Rasulullah S’AW dalam menaklukkan Makkah menunjukkan bahwa seorang imam kaum Muslimin dan pemimpin mereka boleh melancarkan serangan dan serbuan secara mendadak terhadap musuh disebabkan oleh pengkhianatan terhadap perjanjian tanpa memberitahukan terlebih dahulu. Nabi S’AW memutuskan keberangkatan ke Makkah seraya berdo’a,
”Ya Allah, tutuplah mata orang-orang Quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-tiba.”
Demikianlah kesepakatan para ulama secara umum.
Apabila tidak ada pengkhianatan, hanya dikhawatirkan akan terjadinya pengkhianatan, berdasarkan beberapa bukti dan tanda yang sangat kuat, seorang imam tidak dibolehkan langsung membatalkan dan menyerbu atau menyerang mereka secara tiba-tiba. Tapi mereka semua harus diberitahukan terlebih dahulu dengan dalil firman Allah,
”Dan jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (al-anfal [8]: 58)
Artinya, beritahukanlah pembatalan kamu tentang perjanjian itu kepada mereka.
3.Di dalam amalan Rasulullah S’AW ini juga terdapat dalil bahwa tindakan pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian mereka (musuh) dianggap sebagai tindakan mereka semua, selama tidak ada orang lain yang menolak tindakan tersebut secara jujur. Nabi S’AW menilai diamnya orang-orang Quraisy dan pengakuan mereka terhadap tindakan serbuan yang dilakukan oleh sebagian mereka kepada sekutu kaum Muslimin, sebagai bukti bukti bahwa mereka telah sama-sama melakukan pengkhianatan. Hal ini karena ketika orang-orang Quraisy itu masuk dalam ikatan perjanjian damai adalah karena mengikuti para pemimpin mereka. Demikian pula dalam soal pengkhianatan perjanjian ini.
Selain itu, Rasulullah S’AW juga pernah menyerbu semua pembangkang bani Quraizhah tanpa menanyakan kepada masing-masing mereka apakah ia mencederai perjanjian atau tidak. Demikian pula tindakan Nabi S’AW terhadap bani Nadhir. Beliau telah mengusir mereka semua dengan sebab pengkhianatan yang dilakukan oleh sebagian mereka.
•Kedua: Hathib bin Abi Balta’ah dan Hal yang Berkaitan dengan Tindakannya
1.Di sini kita menemukan salah satu bukti dari kenabian Muhammad S’AW. Beliau mengatakan kepada sebagian sahabatnya, ”Berangkatlah sampai kalian tiba di kebun Khak karena di kebun ini ada seorang wanita yang sedang membawa surat. Ambillah surat itu darinya.” Siapakah kiranya yang memberitahukan tentang surat ini kepadanya? Ia adalah wahyu... dengan demikian, ia adalah dukungan Ilahi kepada Nabi-Nya agar rencana Ilahi untuk Mengkaruniakan kemenangan besar kepada Nabi-Nya berjalan dengan baik.
2.Pendapat yang benar menurut semua imam yang empat dan jumhur ulama: tidak dibolehkan menyiksa tertuduh yang belum terbukti kejahatannya dengan bukti-bukti yang sah dan cukup demi mendapatkan pengakuannya. Orang yang tertuduh tetap bebas selama belum terbukti kesalahannya (praduga tak bersalah). Di dalam al-Mudawwanah dari riwayat Sihnun dari Malik R.A. terdapat perkataannnya, ”Aku tanya, ’Apa pendapat anda jika ia mengakui sesuatu dari hukum hadd setelah diancam atau diborgol atau diteror atau dipukul atau dipenjarakan, apakah harus dikenakan hukum hadd atau tidak?” Ia berkata bahwa Malik menjawab, ”Barangsiapa memberikan pengakuan setelah diancam maka ia tidak boleh dikenakan hukuman. Teror, borgol, ancaman, penjara, dan pukulan menurut saya adalah ancaman.” Selanjutnya, ia berkata, ”Aku tanyakan, ’Jika orang itu dipukul dan diancam kemudian mengemukakan orang yang terbunuh atau menunjukkan barang yang dicuri, apakah dikenakan hukum hadd atas dasar pengakuannya itu atau tidak?’ Ia menjawab, ’Tidak boleh dikenakan hukum hadd atasnya kecuali jika ia mengakui hal tersebut dalam keadaan aman atau tidak takut sesuatu.’”
3.Hadits tentang teguran Rasulullah S’AW kepada Hathib dan jawabannya kepada Nabi S’AW kemudian ayat al-Quran yang diturunkan dengan sebab peristiwa tersebut menunjukkan bahwa kaum Muslimin – dalam kondisi apa pun – tidak dibolehkan menjadikan musuh-musuh Allah sebagai teman-teman setia yang diberi berbagai informasi perjuangan berdasarkan rasa kasih sayang atau mengulurkan kepada mereka tangan persaudaraan dan kerja sama. Hukum ini tetap berlaku kendatipun Nabi S’AW memaafkan Hathib bin Abi Balta’ah yang berdalih memiliki hubungan sangat erat dengan Quraisy.
Ayat-ayat al-Qur’an yang diturunkan mengenai peristiwa ini secara tegas memerintahkan kaum Muslimin agar memberikan wala’ (kesetiaan) mereka hanya kepada Allah dan menjalin hubungan mereka dengan manusia, siapa pun mereka, atas dasar wala’ mereka kepada agama yang hanif ini. Jika tidak, bagaimana bisa dibayangkan kaum Muslimin akan bersedia mengorbankan harta, jiwa, syahwat, dan hawa nafsu mereka di jalan Allah?
Itulah persoalan sebagian besar orang-orang yang menyatakan dirinya Muslim di abad ini. Mereka pergi ke masjid menunaikan sholat, banyak membaca dzikir, dan tangan mereka tidak pernah lepas dari tasbih, tetapi mereka menjalin hubungan dengan manusia atas dasar wala’ kepada keluarga dan kerabat atau kepentingan harta dan dunia ataupun keinginan syahwat dan ambisi pribadi. Tidak penting apakah hal itu benar atau bathil. Mereka bahkan menjadikan agama Allah sebagai sampul bagi ambisi duniawi yang rendah!
Mereka adalah orang-orang munafik yang lantaran ulah mereka, kaum Muslimin harus mengalami berbagai keterbelakangan, perpecahan, dan kelemahan.
•Ketiga: Abu Sufyan dan Sikap Rasulullah S’AW terhadapnya
Sungguh ajaib, di hari kemenangan besar ini, Abu Sufyan merupakan orang yang pertama memperingatkan kaumnya dari usaha melakukan perlawanan kepada Rasulullah S’AW dan pelopor orang-orang yang masuk ke dalam agama Allah secara berduyun-duyun pada hari itu, padahal Abu Sufyan adalah penggerak dan pemimpin utama setiap peperangan yang dilancarkan Makkah terhadap Rasulullah S’AW di masa Jahiliyah.
Barangkali hikmah Ilahiah menghendaki penaklukkan Makkah tanpa peperangan sama sekali dan tunduknya para penduduk Makkah kepada Rasulullah S’AW-padahal mereka pernah mengusir dan menyiksanya-tanpa perjuangan berat atau petualangan dari kaum muslimin. Karena itu, terjadilah Islamnya Abu Sufyan sebelum yang lainnya setelah pertemuannya dengan Rasulullah S’AW di Marrurzhahran, agar ia kembali kepada kaumnya di Makkah kemudian mencabut gagasan peperangan dari benak mereka dan mengkondisikan suasana Makkah untuk suatu kedamaian yang menguburkan kehidupan jahiliyah dan kemusyrikan kemudian menggantinya dengan kehidupan tauhid dan Islam.
Di antara bentuk pendahuluan untuk hal di atas adalah pernyataan Rasulullah S’AW, ”Barangsiapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan maka ia selamat.” Pernyataan ini dikeluarkan oleh Rasulullah S’AW setelah Abu Sufyan menyatakan diri masuk Islam, di samping untuk ”mengikat” hatinya kepada Islam dan meneguhkannya. Kita tentunya tahu bahwa Islam berarti penyerahan diri (istislam) kepada rukun-rukun Islam, baik yang bersifat amaliah maupun i’tiqadiah. Selanjutnya seorang Muslim harus memperkokoh keislaman dan keimanan di dalam hatinya melalui komitmennya secara terus-menerus kepada prinsip-prinsip dan rukun-rukun Islam. Di antara faktor-faktor yang akan memotivasi seseorang untuk tetap komitmen ialah ”penjinakan” yang dilakukan kaum Muslimin terhadap hatinya dengan berbagai sarana dan cara yang dibolehkan, sampai akar-akar keimanan di hatinya menjadi kuat dan keislamannya pun mantap tak mudah dihempas oleh badai kehidupan.
Hikmah ini tidak disadarai oleh sebagian sahabat Anshar ketika mereka mendengar Rasulullah S’AW mengumumkan, ”Barangsiapa masuk ke rumah Abu Sufyan maka ia selamat,” sehingga mereka mengira bahwa Rasulullah S’AW mengatakan demikian dan memberikan pengampunan karena rasa cintanya kepada negeri dan kaumnya.
Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah R.’A bahwa ketika Nabi S’AW mengumumkan hal tersebut, sebagian orang Anshar berkata pada sebagian yang lain, ”Ia telah terpengaruh oleh rasa cintanya kepada kampung halamannya dan kasih sayang terhadap keluarganya.” Abu Hurairah R.’A. melanjutkan, ”Kemudian wahyu turun. Jika wahyu sedang diturunkan, kami biasa mengetahuinya dan tidak seorang pun di antara kami yang berani mengangkat kepala kepada Rasulullah S’AW sampai wahyu itu selesai diturunkan. Tak lama kemudian, Rasulullah S’AW berkata, ’Hai kaum Anshar!’ Mereka menjawab, ’Kami sambut panggilanmu, wahai Rasulullah S’AW!’ Nabi S’AW melanjutkan, ’Kalian mengatakan bahwa ia (Nabi S’AW) telah terpengaruh rasa cintanya kepada kampung halamannya.’ Mereka menjawab, ’Ya, kami telah mengatakannya.’ Sabda Nabi S’AW, ’Tidak! Sesungguhnya, aku adalah hamba Allah dan Rasul-Nya. Aku telah berhijrah kepada Allah dan kepada kalian. Aku hidup di tengah-tengah kalian dan aku akan mati di tengah-tengah kalian!’ Mereka kemudian datang kepada Rasulullah S’AW sambil menangis dan berkata, ’Demi Allah, kami tidak mengatakan itu kecuali karena rasa cemburu kami kepada Allah dan Rasul-Nya.’”
Demikianlah perbedaan antara Islam dan Iman. Perbedaan inilah yang akan menghilangkan kemuskilan di sekitar proses Islamnya Abu Sufyan R.’A. Seperti yang kita tahu, ketika Nabi S’AW bertanya kepadanya, ”Belum tibakah saatnya bagi anda untuk menyadari bahwa aku adalah Rasul Allah?” Ia menjawab, ”Demi Allah, mengenai hal yang satu ini sampai sekarang di dalam diriku masih ada sesuatu yang mengganjal!” Abbas R.’A kemudian berkata kepadanya, ”Celaka kamu! Masuklah Islam dan bersaksilah bahwa tiada Ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, sebelum lehermu dipenggal!” Saat itu, baru Abu Sufyan mengucapkan syahadat secara benar.
Kemuskilan yang mungkin timbul dari hal ini adalah, apa nilai keislaman yang tidak lahir kecuali setelah adanya ancaman? Hal ini karena ia baru saja mengatakan bahwa di dalam dirinya ada sesuatu ganjalan untuk mengakui kenabian Rasulullah S’AW. Tetapi kemuskilan itu dapat dihilangkan dengan penjelasan bahwa yang dituntut di dunia ini dari seorang musyrik atau kafir bukanlah kemantapan iman secara sempurna di dalam hatinya pada saat ia diharapkan masuk ke dalam Islam. Pada saat itu, ia hanya dituntut menyerahkan (istislam) diri dan lisannya kepada agama Allah kemudian tunduk untuk mentauhidkan Allah dan mengakui kenabian Rasul-Nya serta segala sesuatu yang dibawanya dari Allah. Adapun keimannya, ia akan tumbuh setelah itu seiring dengan kesinambungan komitmennya kepada Islam.
Itulah sebabnya, Allah Berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia,
”Orang-orang Arab Badui itu berkata, ’Kami telah beriman.’ Katakanlah (kepada mereka), ’Kamu belum beriman, tetapi katakanlah, ’Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu...’ ” (al-Hujurat [49]: 14)
Karena itu pula, pada saat peperangan, seorang Muslim tidak boleh menganggap Islamnya salah seorang di antara orang-orang kafir di tengah pertempuran sebagai sekadar takut dari pedang atau ingin mendapatkan rampasan atau menampakkan sesuatu yang tidak diyakininya, betapapun tanda-tanda yang membuktikannya. Hal ini karena yang dituntut darinya bukan langsung membersihkan apa yang ada di dalam hatinya, melaihkan memperbaiki (ishlah) apa yang tampak. Karena itu, Allah Menegur tindakan sebagian sahabat Rasulullah S’AW yang membunuh seseorang yang telah menyatakan keislamannya dalam suatu pertempuran karena keislamannya itu dinilai sekadar takut pada pedang.
”Hai orang-orang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan ’salam’ kepadamu, ’Kamu bukan seorang Mukmin.’ (Lalu kamu membunuhnya), dengan masuk mencari harta benda kehidupan dunia, karena di sisi Allah ada harta yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan nikmat-Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya, Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (an-Nisa’ [4]: 94)
Perhatikanlah bagaimana Allah Mengingatkan mereka tentang keadaan mereka dahulu ketika masuk Islam. Kebanyakan mereka pada waktu itu seperti orang yang keislamannya tidak mereka akui sekarang. Allah kemudian Mengkaruniakan nikmat-Nya kepada mereka sehingga keislaman mereka menjadi baik dan bersih, seiring dengan pengalamannya yang terus-menerus bertambah terhadap hukum-hukum Islam.
Di antara kebijaksanaan Rasulullah S’AW setelah Abu Sufyan menyatakan keislamannya ialah memerintahkan Abbas supaya membawanya ke mulut lembah, tempat lewatnya tentara-tentara Allah agar dia menyaksikan dengan kedua matanya bagaimana besarnya kekuatan Islam dan orang-orang yang dahulu berhijrah dari Makkah sebagai orang-orang tertindas! Di samping agar pelajaran ini menjadi penguat pertama bagi keislamannya dan peneguh bagi aqidahnya.
Karena itu, Abu Sufyan pun menyaksikan parade militer pasukan demi pasukan dengan penuh ketakjuban..., sehingga ia beberapa kali menoleh kepada Abbas R.’A. seraya berkata (sebagai orang yang masih dipengaruhi oleh sisa-sisa jahiliyah),
”Kemenakanmu kelak akan menjadi maharaja besar!”
Abbas kemudian menyadarkannya dari sisa-sisa kelalaiannya terdahulu seraya berkata,
”Wahai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian.”
Kerajaan apakah yang ia maksud? Ia pernah menampik kerajaan, harta kekayaan, dan kedudukan ketika semua itu kalian tawarkan kepadanya di Makkah dahulu, padahal ketika itu ia tengah mengalami penderitaan dan penyiksaan dari kalian. Tidakkah kalian memaksanya berhijrah dari negerinya hanya karena ia menolak kerajaan yang kalian tawarkan kepadanya dengan kenabian yang diserukannya agar kalian mengimaninya?
Sesungguhnya, ia adalah kenabian...!
Itulah ungkapan yang dikehendaki oleh hikmah Ilahiah melalui lisan Abbas R.’A sehingga menjadi jawaban abadi sampai hari kiamat atas setiap orang yang menuduh dakwah Nabi S’AW sebagai dakwah yang ingin merebut kekuasaan atau menginginkan kerajaan atau ingin menghidupkan nasionalisme. Ungkapan ini menjadi tema utama bagi kehidupan Rasulullah S’AW dari awal hingga akhir kehidupannya. Setiap saksi berbicara bahwa beliau diutus hanyalah untuk menyampaikan risalah Allah kepada umat manusia, bukan untuk mendirikan kerajaan bagi dirinya sendiri di muka bumi.
•Keempat: Renungan tentang Cara Rasulullah S’AW Memasuki Makkah
1.Telah kita ketahui dalam Riwayat Bukhari dari Abdullah bin Mughaffal bahwa ketika memasuki Makkah, Rasulullah S’AW membaca surat al-Fat-h berulang-ulang dengan suaranya yang merdu sekali. Ini menunjukkan bahwa Nabi S’AW tengah hanyut dalam suasana syuhud ma’allah (khusyuk mengingat akan karunia Allah), bukan dengan kecongkakan dan kesombongan. Demikianlah kaum Muslimin tidak boleh merendahkan diri di hadapan Allah hanya pada waktu sulit dan musibah saja, sehingga ketika semua kesulitan itu telah sirna, mereka dimabuk kegembiraan sampai melupakan ajaran-ajaran Allah, seolah-olah mereka tidak pernah berdo’a dengan khusyuk kepada Allah meminta agar mereka dibebaskan dari kesulitan yang membelitnya.
2.Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari ini juga menunjukkan disyariatkannya membaca al-Qur’ an dengan suara merdu (tarannum) sesuai hukum bacaan yang ada. Suatu tata cara membaca yang diungkapkan oleh Abdullah bin Mughaffal dengan istilah tarji’. Pendapat ini disepakati oleh semua ulama syafi’iyah, Hanafiah, sebagian besar ulama Malikiyah, dan lainnya.
3.Kebijaksanaan Rasulullah S’AW yang memerintahkan para sahabatnya agar memasuki Makkah dari berbagai arah adalah suatu tadbir (strategi) yang sangat bijaksana. Dengan demikian, para penduduk Makkah tidak memiliki kesempatan untuk melancarkan peperangan jika mereka menginginkannya karena mereka terpaksa harus memencar orang-orang mereka dan menempatkan kekuatan mereka ke berbagai penjuru Makkah sehingga kekuatan perlawanan mereka menjadi lesu. Rasulullah S’AW mengambil tindakan ini demi menghindarkan terjadinya pertumpahan darah dan memelihara makna keselamatan dan keamanan bagi tanah Harom. Karena itu, Nabi S’AW memerintahkan kaum Muslimin agar tidak melancarkan peperangan kecuali kepada orang yang memulai peperangan dan mengumumkan siapa yang memasuki rumahnya dan menutup pintu rumahnya maka ia selamat.
Kelima: Hukum-hukum yang Khusus Berkaitan dengan Tanah Suci Makkah
1.Larangan Berperang di dalamnya. Kita tahu bahwa Nabi S’AW tidak senang kepada peperangan yang dilakukan Khalid bin Walid terhadap sebagian penduduk makkah yang diketahuinya melalui kilatan pedang dari kejauhan. Setelah diberitahukan kepada beliau bahwa Khalid bin Walid diserang terlebih dahulu kemudian mengadakan perlawanan, beliau bersabda, ”Ketentuan (qadha) Allah itu baik.” Selain dari yang dilakukan Khalid bin Walid ini, tidak terjadi peperangan lainnya di Makkah. Rasulullah S’AW juga pernah bersabda:
”Sesungguhnya, Makkah telah diharamkan oleh Allah, bukan manusia yang mengharamkannya; tidak boleh bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir menumpahkan darah dan mencabut pohon di Makkah. Seandainya ada orang yang berdalih bahwa Rasulullah pernah melakukan peperangan di Makkah, katakanlah kepadanya, ’Sesungguhnya, Allah Mengizinkan hal itu kepadanya hanya sebentar. Sekarang, keharoman (kehormatan)nya telah kembali sebagaimana semula.’ ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Para ulama kemudian membahas tentang bagaimana cara pelaksanaan hal ini dan cara mengkompromikan dengan nash-nash yang memerintahkan agar memerangi kaum musyrikin, para pemberontak, dan orang-orang yang telah divonis qishash. Mereka berkata, ”Berkenaan dengan orang-orang musyrik dan atheis, tidak ada masalah dengan mereka ini, sebab sesuai syariat, mereka tidak dibolehkan tinggal di Makkah. Bahkan, sekedar masuk saja, menurut Syafi’iah dan kebanyakan ulama mujtahidin, mereka tidak dibolehkan. Hal ini berdasarkan firman Allah,
”...Sesungguhnya, orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (at Taubah [9]: 28)
Para penduduk Makkah diharuskan memerangi mereka sebelum mereka sampai dan masuk ke Makkah. Selain itu, Allah telah menjamin akan Memelihara kehormatan Makkah dari adanya orang musyrik atau kafir yang tinggal di dalamnya. Ini merupakan salah satu bentuk kemukjizatan agama ini karena hal tersebut terbukti kebenarannya sebagaimana tertera di dalam Kitab-Nya dan melalui lisan Nabi-Nya.
Sementara itu, tentang para pemberontak dan orang-orang yang mengumumkan pembangkangan terhadap Imam yang shahih, jumhur Fuqaha berpendapat bahwa mereka harus diperangi karena pembangkangan mereka apabila mereka tidak dapat disadarkan kecuali melalui peperangan. Sebab, memerangi para pemberontak itu termasuk Hak Allah yang tidak boleh diabaikan, terlebih lagi di dalam tanah Harom. Imam Nawawi berkata, ”Inilah pendapat yang dikutip dari jumhur. Pendapat ini benar dan dinyatakan oleh Syafi’i di dalam kitab Ikhtilaful Hadits.
Syafi’i berkata, ”Tentang zahir hadits-hadits yang melarang peperangan secara mutlak (termasuk peperangan dengan para pemberontak) dapat dijawab (dibantah) bahwa peperangan yang dimaksudkan itu adalah terhadap mereka dengan menggunakan alat seperti manjaniq dan lainnya. Apabila dapat diatasi dengan cara lain, boleh diperangi dari segala penjuru dan dengan segala bentuk.”
Sebagian fuqaha berpendapat, ”Para pemberontak tidak boleh diperangi, tetapi mereka harus didesak dan dipersulit di segala penjuru sehingga mereka terpaksa harus keluar dari tanah suci atau kembali taat.”
Adapun mengenai pelaksanaan hukum hadd, Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa hukum Hadd boleh dilaksanakan (sekalipun) di tanah Harom Makkah berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari bahwa Nabi S’AW bersabda,
”Sesungguhnya, tanah Harom tidak melindungi orang yang berbuat maksiat dan orang yang lari (dari tempat lain untuk berlindung di Makkah) setelah membunuh atau melakukan pencurian.
Abu Hanifah berpendapat-yaitu sebuah riwayat dari Ahmad- bahwa ia aman selama berada di tanah Harom, tetapi harus didesak dan dipersulit agar ia keluar darinya. Setelah keluar darinya, baru dilaksanakan hukum hadd atau qishash terhadapnya. Dalil mereka ini adalah keumuman sabda Nabi S’AW dalam khotbah pada hari penaklukkan Makkah tersebut.
Az-Zarkasyi berkata, ”Jadi, faktor kekhususan ini untuk tanah Harom Makkah. Orang-orang kafir apabila berlindung selain di kota Makkah, mereka boleh diperangi dengan suatu peperangan yang umum dan menyeluruh dari segala penjuru dan dengan segala cara yang menjadi tuntutan kemaslahatan. Akan tetapi, seandainya mereka berlindung di tanah Makkah, mereka tidak boleh diperangi dengan cara tersebut.”
2.Larangan Berburu di dalamnya, hal ini telah ditetapkan dengan ijma berdasarkan sabda Rasulullah yang muttafaq ’alaih,
”Pepohonannya tidak boleh ditebang dan buruannya tidak boleh dikejar.”
Kalau mengejar saja tidak dibolehkan, apalagi membunuhnya. Jika seseorang menangkap buruannya, ia wajib melepaskannya, sedangkan jika mati di tangannya, ia harus membayar diat seperti orang yang sedang ihram. Dikecualikan dari keumuman binatang yang tidak boleh dibunuh ini lima jenis binatang yang disebut fawasiq: burung gagak, elang, kalajengking, tikus, dan anjing liar. Para ulama mengqiaskan kepada lima jenis binatang ini, binatang-binatang lain yang mempunyai sifat sama (membahayakan), seperti ular dan binatang buas yang berbahaya.
3.Larangan Menebang Pepohonannya ...Dalilnya adalah sabda Rasulullah S’AW di atas, yakni menebang pohon-pohon yang ditumbuhkan Allah tanpa ditanam oleh manusia, selama pohon itu masih basah. Jadi, tidak diharamkan menebang pohon yang ditanam oleh manusia, sebagaimana tidak diharamkannya menyembelih binatang ternak, menggembalakan binatang ternak di padang rumputnya, dan menebang pohon-pohon atau kayu-kayunya yang sudah kering. Az-Zarkasyi meriwayatkan dari Abu Hanifah dan Ahmad tentang larangan menggembalakan ternak di tanah Harom (Lihat I’lamus Sajid, Zarkasyi, hal 157)
Para jumhur mengecualikan dari keumuman tetumbuhan ini jenis tumbuhan yang berbahaya, sebagaimana qias dengan lima jenis binatang fawasiq yang dikecualikan Nabi S’AW di atas. Ini termasuk mengkhususkan nash dengan qias. (Lihat Dhawabithul Mashlahah fisy-Syar’iyah al-Islamiyah, al-Buthy, hlm 200)
4.Wajib Berihram pada Waktu Memasukinya, Barangsiapa yang bermaksud masuk Makkah-atau datang ke salah satu tempat tanah Harom, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi-dan ia termasuk orang yang sering mondar-mandir (keluar masuk) seperti pedagang, pencari kayu, dan pekerja, maka tidak dibolehkan memasukinya kecuali dengan berihram haji atau umrah.
Para ulama berselisih pendapat apakah tuntutan itu bersifat wajib atau sunnah? Yang masyhur menurut tiga imam serta difatwakan dalam Hanafiyah dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ia adalah wajib, tetapi jumhur Syafi’iyah berpendapat sunnah.
Sebab timbulnya perbedaan ini ialah karena Nabi S’AW ketika memasuki Makkah pada Fat-hu Makkah tidak memakai pakaian ihram, sebagaimana riwayat yang dikeluarkan oleh Muslim dan lainnya bahwa Nabi S’AW memasuki Makkah pada hari penaklukkannya dengan memakai sorban hitam dan tanpa ihram.
Para ulama yang mengatakan bahwa ihram itu sunnah berpegang dengan hadits ini, sementara para ulama mengatakan wajib beralasan bahwa Nabi S’AW memasukinya pada saat itu dalam keadaan khawatir akan pengkhianatan orang-orang yang melancarkan serangan terhadap dirinya. Hal semacam ini termasuk keadaan yang dapat mengecualikan keumuman wajibnya.
5.Haram Mengizinkan Non-Muslim Tinggal di dalamnya
6.Renungan tentang apa yang dilakukan Nabi S’AW di Ka’bah
a.Sholat di dalam Ka’bah
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Abbas bahwa Nabi S’AW tidak mau masuk Ka’bah kecuali setelah semua berhala dan lukisan Ibrahim dan Isma’il dikeluarkan...Setelah semua berhala dikeluarkan, baru Nabi S’AW memasukinya kemudian takbir di seluruh penjurunya, tetapi tidak melakukan sholat.
b.Hukum Membuat Gambar (Lukisan) dan Memasangnya
Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi S’AW memerintahkan Umar R.’A., waktu itu di Bath-ha, agar datang ke Ka’bah lalu menghapuskan semua gambar (lukisan) yang ada di dalamnya. Nabi S’AW tidak memasukinya sebelum semua gambar itu dihapuskan. Bukhari juga meriwayatkan di dalam kitab ”Haji” dari Usamah bahwa Nabi S’AW memasuki Ka’bah kemudian melihat gambar (lukisan) Ibrahim lalu Nabi S’AW meminta air untuk menggosoknya sampai bersih. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Nabi S’AW memerintahkan penghapusan semua lukisan yang ada di dinding, sebagaimana beliau juga memerintahkan dikeluarkannya semua patung yang ada di dalamnya. Tampaknya ketika masuk, beliau masih mendapatkan bekas-bekas lukisan itu di dinding Ka’bah sehingga beliau meminta air untuk membersihkannya secara tuntas. Ini secara jelas menunjukkan hukum Islam tentang foto dan gambar (lukisan) yang berbadan ataupun yang tidak berbadan. Berikut ini kutipan teks Imam Nawawi dalam Syarah-nya atas Shahih Muslim.
”Rekan-rekan kami dan lainnya dari para ulama berkata, ’Menggambar makhluk yang bernyawa sangat diharamkan. Ia termasuk dosa besar karena diancam dengan suatu ancaman yang sangat keras di beberapa hadits, baik dibuat dengan suatu bentuk yang menghinakannya maupun tidak. Membuat gambarnya dalam bentuk apa pun adalah haram karena mengandung unsur menyamai ciptaan Allah, baik di atas kain, tikar, dirham, dinar, bejana, dinding, maupun lainnya.’ ”
Adapun menggambar pohon atau pelana unta atau sejenisnya yang tidak berbentuk makhluk bernyawa tidak diharamkan.
Hukum memasang gambar makhluk yang bernyawa, jika diletakkan di dinding, pakaian, atau sorban, dan sebagainya di tempat yang ’mulia’, hal tersebut diharamkan. Jika diletakkan di tikar yang diinjak atau bantal dan sejenisnya, di tempat yang ’hina’, tidak diharamkan.
Tidak ada bedanya antara yang mempunyai bayangan atau tidak. Demikianlah penjelasan ringkas beberapa madzhab dalam masalah ini. Al-Qadhi berkata, ’Kecuali mainan ’boneka’ anak-anak; dalam soal ini adalah rukhshah.’ ”
Tentang hukum fotografi di masa sekarang, apakah sama dengan hukum gambar dan lukisan yang diolah oleh kepiawaian tangan atau memiliki hukum lain?
Sebagian mereka memahami sebab diharamkannya gambar yang disebutkan oleh Imam Nawawi dalam kutipan di atas bahwa fotografi tidak sama hukumnya dengan lukisan tangan. Di dalam fotografi tidak terlihat faktor menyamai ciptaan Allah sebagaimana dalam lukisan tangan. Dengan menekan alat tertentu di dalam kamera telah dapat ditangkap bayangan di dalamnya. Suatu kerja yang sangat sederhana, bahkan bisa dilakukan oleh anak kecil sekalipun. Sebenarnya kita tidak perlu mencari-cari apa perbedaan antara semua bentuk gambar tersebut jika kita mau bersikap hati-hati dan memperhatikan lafal hadits yang bersifat mutlak tersebut. Ini berkaitan menggambar. Adapun tentang memasangnya, tidak ada perbedaan antara fotografi dan lainnya.
Akan tetapi, jenis gambar yang hendak diambil juga memiliki pengaruh bagi hukum menggambar (melukis) dan memasangnya. Jika yang digambar itu termasuk yang diharamkan, seperti gambar wanita dan sejenisnya, ia diharamkan. Jika termasuk hal yang sangat diperlukan demi kemaslahatan, mungkin ada rukhshah di dalamnya. Wallahu a’lam.
c.Pemegang Kunci Ka’bah
Sesuai hadits, Nabi S’AW mengembalikan kunci Ka’bah kepada Utsman bin Thalhah seraya bersabda, ”Terimalah kunci ini untuk selamnya. Sesungguhnya, tidak seorang pun akan mencabutnya dari kalian – bani Abdud Dar dan bani Syaibah – kecuali seorang yang zhalim.”
Pada umumnya, ulama berpendapat bahwa seseorang tidak boleh mencabut hak memegang kunci Ka’bah dan pengurusannya dari mereka hingga kiamat. Imam Nawawi berkata dengan mengutip perkataan al-Qadhi Iyadh, ”Hak itu telah diberikan Rasulullah S’AW kepada mereka dan akan tetap berlaku terus sepanjang masa sampai kepada anak keturunan mereka. Hak itu tidak boleh dirampas atau dikurangi dari mereka selama mereka tetap ada dan layak untuk itu.”
Sampai sekarang, hak itu masih tetap berada di tangan mereka sebagaimana wasiat Nabi S’AW.
d.Penghancuran berhala
Ini merupakan pemandangan indah dari pertolongan Allah dan dukungan-Nya Yang Sangat Agung kepada Rasul-Nya. Nabi S’AW menghancurkan tuhan-tuhan palsu di sekitar Ka’bah dengan tongkatnya seraya bersabda, ”Telah datang kebenaran dan lenyaplah kebatilan. Telah datang kebenaran dan tidak akan datang lagi kebatilan.” Ibnu Ishaq dan lainnya meriwayatkan bahwa setiap berhala diremukkan bagian bawahnya kemudian ditegakkan di tanah, lalu Nabi S’AW memukulnya dengan tongkat, menghancurkan mukanya atau menjungkalkannya ke tanah! berhala-berhala itu dihancurkan oleh Nabi S’AW sebagaimana tiran Quraisy dihancurkan dan dihinakan oleh Allah sehingga seluruh Makkah tunduk kepada agama yang dibawa Nabi S’AW.
•Keenam: Renungan tentang Pidato Nabi S’AW pada Hari Penaklukan
Makkah, negeri yang pernah ditinggalkan Nabi S’AW selama delapan tahun, sekarang telah tunduk kepadanya dan beriman kepada risalah dan petunjuknya. Mereka yang pernah mengusir dan menyiksanya kini berhimpun di sekitarnya dengan penuh khusyuk dan penantian. Apakah kiranya yang akan diucapkannya pada hari ini?
Pertama, beliau harus memulainya dengan memanjatkan puji kepada Allah yang telah Menolong, Mendukung, dan menepati janji kepadanya. Demikianlah beliau membuka khotbahnya, ”Tiada Ilah kecuali Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dia telah Menepati janji-Nya, Membela hamba-Nya, dan Mengalahkan musuh-musuh sendirian.”
Selanjutnya beliau harus mengumumkan di hadapan Quraisy dan seluruh umat manusia tentang masyarakat baru dan syiarnya yang tertuang dalam firman Allah,
”Hai manusia, sesungguhnya Kami Menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya saling mengenal. Sesungguhnya, orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu...” (al-Hujurat [49]: 13)
Dengan demikian, semua sisa tradisi dan ajaran jahiliyah, seperti kebanggaan terhadap nenek moyang dan kabilah, harus dikuburkan di bawah telapak kaki kaum Muslimin. Semua berasal dari Adam dan Adam berasal dari tanah.
Sejak itulah jahiliyah Quraisy telah dikuburkan bersama dengan seluruh tradisi dan ajarannya yang busuk di “kuburan masa lalu”. Quraisy harus mencuci sisa-sisa “daki”-nya untuk bergabung dan berjalan bersama-sama dengan kafilah baru karena tidak lama lagi akan memasuki singgasana pusat peradaban yang memancarkan kebahagiaan ke seluruh penjuru dunia dan bagi semua umat manusia.
Demikianlah, pada detik-detik itu, sisa-sisa kehidupan jahiliyah telah dikuburkan dan Quraisy pun berbaiat kepada Rasulullah S’AW menyatakan sumpah setianya untuk membela Islam, tidak ada keutamaan orang Arab atas orang ‘ajam kecuali taqwa, tidak ada kebanggaan kecuali kebanggaan terhadap Islam dan komitmen kepada aturan-aturannya. Atas dasar baiat inilah Allah menyerahkan kendali dunia kepada mereka.
Akan tetapi, aneh bin ajaib, bangkai busuk yang telah tertimbun semenjak empat belas abad yang lampau itu kini hendak dibongkar oleh orang-orang tertentu.
•Ketujuh: Baiat Kaum Wanita dan Hukum-hukum yang Berkaitan dengannya
Pertama, kaum wanita ikut serta atas dasar persamaan sepenuhnya bersama kaum lelaki dan semua tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap Muslim. Karena itu, seorang khalifah atau penguasa Muslim harus mengambil dari kaum wanita baiat untuk bekerja menegakkan masyarakat Islam dengan segala sarana yang dibenarkan, sebagaimana ia mengambil baiat yang sama dari kaum lelaki. Tidak ada perbedaan dalam masalah ini.
Karena itu, kaum wanita berkewajiban mempelajari urusan agamanya sebagaimana kaum lelaki. Mereka harus menempuh segala sarana yang mempersenjatai diri dengan senjata ilmu, kesadaran, dan kewaspadaan terhadap segala tipu daya musuh-musuh Islam yang senantiasa membuat makar jahat, sehingga mereka dapat menunaikan baiat yang telah dilakukannya.
Akan tetapi, kaum wanita tidak akan dapat melaksanakan hal ini jika mereka tidak mengetahui hakikat agamanya dan tidak memahami permainan tipu daya musuh-musuh Islam yang ada di sekelilingnya.
Kedua, dari pembaiatan Nabi S’AW kepada kaum wanita tersebut, kita tahu bahwa baiat mereka adalah dengan ucapan saja tanpa jabat tangan. Tidak sebagaimana baiat kaum lelaki. Ini menunjukkan bahwa lelaki tidak boleh menyentuh kulit wanita “asing”. Saya tidak mengetahui adanya ulama yang membolehkannya kecuali jika dalam keadaan darurat seperti pengobatan, cabut gigi, dan sebagainya.
Tersebar luasnya tradisi berjabat tangan antara lelaki dan wanita asing bukan termasuk darurat, sebagaimana anggapan sebagian orang. Hal ini karena tradisi tidak mempunyai kekuatan untuk mengubah hukum yang ditetapkan oleh al-Qur’ an atau Sunnah kecuali hukum yang pada asalnya lahir didasarkan kepada tradisi yang berlaku umum. Jika tradisi itu berubah, perubahan itu akan mempengaruhi hukum bersayarat yang terkait dengan keadaan tertentu.
Ketiga, hadits-hadits baiat menunjukkan bahwa dalam keadaan diperlukan, orang lelaki boleh mendengar pembicaraan wanita asing dan bahwa suara wanita itu bukan aurat. Ini adalah pendapat jumhur fuqaha di antaranya Syafi’iyah. Sebagian Hanafiah berpendapat bahwa suaranya adalah aurat bagi lelaki asing. Akan tetapi, pendapat mereka ini terbantah dengan hadits-hadits shahih mengenai baiat kaum wanita ini.
•Kedelapan: Apakah Makkah Ditaklukkan secara Damai atau dengan Kekuatan?
Dalam masalah ini, para ulama berselisih pendapat. Syafi’i, Ahmad, dan lainnya berpendapat bahwa Nabi S’AW memasukinya secara damai. Wakil dari Quraisy dalam perdamaian ini adalah Abu Sufyan, dengan suatu kesepakatan dan syarat: barangsiapa menutup pintu rumahnya maka ia selamat; barangsiapa masuk Islam maka ia selamat; dan barangsiapa masuk ke dalam rumah Abu Sufyan maka Ia selamat kecuali enam orang.
Sementara itu, Abu Hanifah dan malik berpendapat bahwa Nabi S’AW memasukinya dengan kekuatan. Mereka berdalil dengan cara yang ditempuh kaum Muslimin dalam memasuki kota Makkah, yaitu dengan membawa senjata dan persiapan perang.
Akan tetapi, semuanya sepakat bahwa Nabi S’AW tidak menjarah harta sebagai rampasan perang dan tidak menjadikan penduduknya sebagai tawanan perang. Alasan mereka yang beranggapan bahwa Makkah ditaklukan secara damai sudah sangat jelas. Adapun mereka yang menilai Makkah ditaklukan dengan kekuatan mengemukakan alasan bahwa hal yang menghalangi Nabi S’AW untuk membagi barang jarahannya adalah kekhususan Quraisy sebagai negeri peribadahan dan tanah suci, seolah-olah ia waqaf dari Allah kepada seluruh alam. Karena itu, sebagian ulama, di antaranya Abu Hanifah, mengharamkan penjualan tanah dan rumah-rumah Makkah. (Lihat al-Ahkamus Sulthaniah, hlm. 164 dan Zadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 2/174.)
No comments:
Post a Comment