Film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mulai bermunculan kembali. Namun hingga kini, perdebatan seputar film Indonesia belum berakhir. Apakah film Indonesia itu? Adakah ciri-ciri khusus dari film yang berasal dari Indonesia atau dibuat oleh sineas Indonesia?
Pencarian identitas keindonesiaan dalam dunia perfilman Indonesia sudah berlangsung panjang. Tetapi kenyataannya, hingga saat ini, film nasional yang menghadirkan identitas "kultural pribumi" masih bisa dihitung dengan jari. Padahal, dalam Mukaddimah Anggaran Dasar Karyawan Film dan Televisi 1995 dijelaskan bahwa film memiliki fungsi yang amat mulia. Film dan televisi bukan semata-mata barang dagangan, tetapi merupakan alat pendidikan dan penerangan yang mempunyai daya pengaruh yang besar sekali terhadap masyarakat. Sebagai alat revolusi dapat menyumbangkan darma baktinya dalam menggalang kesatuan dan persatuan nasional, membina nation dan character building mencapai masyarakat sosialis Indonesia berdasarkan Pancasila.
Jika fungsi ini bekerja secara normal, seharusnya identitas kultural bangsa Indonesia akan hadir dalam setiap film yang dibuat orang Indonesia.
Menurut beberapa teori film, film adalah arsip sosial yang menangkap jiwa zaman (zeitgeist) masyarakat saat itu. Seorang pakar film, Siegfried Kracauer menyatakan bahwa pada umumnya dapat dilihat kalau teknik, isi cerita, dan perkembangan film suatu bangsa hanya dapat dipahami secara utuh dalam hubungannya dengan pola psikologis aktual bangsa itu. Artinya, perkembangan film Indonesia hanya dapat dipahami dengan baik jika perkembangan itu dilihat dalam hubungannya dengan latar belakang sosial budaya bangsa itu.
Wajah Indonesia, dalam film yang baik, seharusnya tampak. Apakah itu menangkap keseluruhan jiwa ataukah penggalan-penggalan tertentu, seperti suku, agama, atau kelas sosial tertentu. Artinya, identitas kultural sebuah bangsa atau masyarakat seharusnya tampak di layar kaca.
Dimulai oleh Usmar Ismail, pada tahun 1950, Usmar Ismail, yang di kemudian hari dikenal sebagai Bapak Perfilman Indonesia, mendirikan Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) dengan 'Darah dan Doa' sebagai produksi pertama. Film ini bukan film pertama Usmar, sebelumnya dia menyutradarai 'Harta Karun dan Tjitra' untuk perusahaan South Pacific Film, tetapi dia selalu menyatakan bahwa film 'Darah dan Doa' merupakan film pertamanya.
Dalam tulisannya, 'Pengantar ke Dunia Film', Usmar Ismail menjelaskan alasannya mengatakan demikian, "Karena buat pertama kalinya, sebuah film diselesaikan seluruhnya, baik secara teknis-kreatif maupun secara ekonomis, oleh anak-anak Indonesia. Buat pertama kalinya pula film Indonesia mempersoalkan kejadian-kejadian yang nasional sifatnya." Dewan Film Nasional, dalam konferensinya 11 Oktober 1992 lalu, menetapkan hari pertama pengambilan gambar pertama film ini -30 Maret- sebagai Hari Film Nasional.
Menurut Asrul Sani, para sineas pada masa pascakemerdekaan itu berambisi membantu 'revolusi Indonesia' dengan film. Dengan demikian, impian mereka adalah membuat film yang memiliki relevansi sosial budaya. Mereka tidak ingin film Indonesia jadi alat untuk lari dari kenyataan. Film ditujukan untuk mendorong dialog dalam diri setiap penonton sehingga dapat memperoleh gambaran yang lebih jernih tentang kenyataan yang ada di sekitarnya.
Perjuangan mencari identitas film Indonesia dilanjutkan oleh para sineas setelahnya, seperti Asrul Sani, Sjuman Djaya, Teguh Karya, Arifin C.Noer, hingga Garin Nugroho, Riri Riza, dll.
Beberapa film yang berhasil mengangkat identitas kultural adalah karya-karya Usmar Ismail (Darah dan Doa dan Lewat Djam Malam), Asrul Sani (Bulan di Atas Kuburan dan Para Perintis Kemerdekaan), Sjuman Djaya (Si Doel Anak Modern dan Si Doel Anak Sekolahan), Nyak Abbas Akub (Cintaku di Rumah Susun dan Inem Pelayan Seksi), M.T. Risjaf (Naga Bonar), Chairul Umam (Kejarlah Daku kau Kutangkap serta Ramadhan dan Ramona), dan Riri Riza (Eliana, Eliana).
Skenario film yang bagus adalah timeless, tidak dimakan oleh waktu. Ada gagasan besar di dalamnya, tetapi di saat yang sama, ada persoalan-persoalan kecil yang pasti makin akan ada di masa apa pun. Itulah skenario-skenario dari Asrul Sani. Bagaimana penulisan skenario pascakepergian Asrul? Apakah Indonesia bisa mencetak penulis skenario sekaliber Asrul dalam iklim industri film dan televisi sekarang ini?
"Jika ada lembaga yang mendidik 5 produser masa depan dan memodali masing-masing Rp. 5 M, kemudian membiarkan mereka bekerja dan memproduksi filmnya, mungkin dalam 10 tahun ke depan, barulah Indonesia memiliki skenario-skenario film bagus" harap Riza.
Seorang penulis skenario harus paham betul ladang yang harus dia masuki. Dengan menguasai format, berarti kita mengerti bahwa film adalah masalah tempo dan irama. Kalau kita mengandalkan hidup dari menulis, harus tahu industrinya atau kita akan menjadi orang yang mengeluh dan menyalahkan orang lain.
Menurut Prananto, untuk menulis skenario yang bagus dalam iklim industri seperti sekarang ini, ada beberapa langkah. Pertama, mengasah diri sendiri habis-habisan. Kedua, harus ketemu dengan orang yang cocok dan mempunyai kesadaran bahwa film atau sinetron adalah kerja bareng, bukan personal.
"Mengubah mutu skenario di Indonesia tidak segampang yang dikira. Tidak bisa mengubah industri sinetron hanya bermodal 13 episode masterpiece, dengan produser yang juga idealis. Apalagi kalau ternyata ditayangkan jam 14.30 WIB, habis sudah! Bagaimana menaikkan jam tayang menjadi jam 19.30 WIB, itu butuh uang." Tambah Prananto.
Riza memberi masukan tips menulis skenario bagus, "kita menulis bukan dengan perasaan, tetapi dengan apa yang dilihat oleh kamera dan didengar oleh suara." Umam memberikan syarat bagi penulis skenario yang ingin memberikan karyanya kepadanya. "Saya akan melihat temanya, perkembangan atau progresi cerita, karakter yang jelas perbedaannya, dan solusi yang beralasan, endingnya bukan tiba-tiba saja berhenti atau muncul tanpa proses. Tetapi seharusnya ada building dramatic. Sementara, Dinata menyatakan bahwa penulis yang baik haruslah punya cerita yang orisinil, pengkarakteran yang jelas, dan alur cerita yang mengalir.
Trims, ya
ReplyDelete