Dulu, pas masih kuliah S1 di Unpad Jatinangor, ada seorang teman yang menderita istihadhah. Beberapa waktu yg lalu baca buku tentang fiqh wanita, jadi ada ide buat posting tentang istihadhah di blog bulan ini. Semoga bermanfaat baik buat pembaca yang mustahadhah atau pun yang bukan mustahadhah.
Istihadhah ialah darah yang keluar dari bagian bawah rahim pada selain waktu haid dan nifas.
Jadi darah yang keluar melebihi masa haid atau nifas terpanjang, atau kurang dari masa haid atau nifas terpendek, itulah darah istihadhah. Dan juga darah yang keluar dari perempuan sebelum mencapai umur dewasa (9 tahun).
Penderita istihadhah (mustahadhah) adalah termasuk mereka yang kena udzur, seperti penderita mimisan, beser, dll.
MACAM-MACAM DARAH ISTIHADHAH
Darah istihadhah ada 6 macam:
1. Darah yang keluar kurang dari ukuran masa haid yang terpendek.
2. Yang keluar melebihi masa haid terpanjang.
3. Yang kurang dari ukuran masa nifas terpendek.
4. Yang melebihi ukuran masa nifas terpanjang.
5. Yang melebihi kebiasaan haid dan nifas yang sudah-sudah, yakni melebihi kebiasaan keduanya yang terpanjang; yang kalau tidak terjadi demikian maka disebut haid atau nifas.
6. Menurut Ahmad dan para Ulama Hanafi, termasuk juga darah yang keluar dari wanita hamil karena tersumbatnya mulut rahim; yang InsyaALLAH nanti akan diterangkan lebih lanjut.
HUKUM DARAH ISTIHADHAH
Istihadhah adalah peristiwa yang tidak menentu kesudahannya. Oleh karena itu bukan merupakan penghalang (mani') bagi sholat, puasa, dan ibadah-ibadah lain yang tak boleh dilaksanakan ketika haid dan nifas. Dalilnya:
"Dari Aisyah R.'A. dia berkata: "Fatimah binti Abi Hubaisy pernah datang kepada Rasulullah S'AW, lalu bertanya: "Sesungguhnya saya ini menderita istihadhah hingga aku tak kunjung bersih, haruskah aku meninggalkan sholat?" Maka sabda Rasul kepadanya: "Jangan! Tinggalkanlah sholat hanya pada hari-hari (yang biasanya) kamu haid saja. Kemudian mandilah dan berwudhu' tiap kali hendak sholat. Kemudian tetaplah sholat, sekalipun darah menetes pada tikar." (H.R. At Tirmidzi, Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad, dan Ibnu Hibban)
Menurut Asy-Syaukani, hadits di atas hanya menunjukkan wudhu' untuk setiap sholat, sedang mandi hanya wajib dilakukan satu kali saja ketika habisnya masa haid, sekalipun darah masih mengalir.
MENYETUBUHI WANITA MUSTAHADHAH
Sabda Rasulullah S'AW:
"Dari Ikrimah R'A ia berkata: "Ummu Habibah menderita istihadhah, sedang suaminya tetap menyetubuhinya." (HR. Abu Daud)
Hadits menunjukkan tentang bolehnya bersetubuh dengan wanita mustahadhah, sekalipun darah masih mengalir. Demikian pendapat jumhur, yang diriwayatkan pula oleh Ibn Al-Mundzir dari Ibnu Abbas, Ibn Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, 'Atha, Sa'id bin Jabir, dll.
Akan tetapi, ada juga yang mengharamkan perbuatan tersebut, berdasarkan riwayat Al-Khallal dengan sanad sampai ke 'Aisyah R'A, kata beliau:
"Wanita mustahadhah tidak boleh disetubuhi suaminya."
Mereka memandang, karena dalam darah istihadhah itu terdapat penyakit, maka haram pula menyetubuhi wanita mustahadhah seperti halnya wanita haid. Bukankah larangan ALLAH terhadap persetubuhan di waktu haid itu dikarenakan darah haid memuat penyakit? sedang penyakit itu terdapat pula dalam darah istihadhah. Maka dapat ditetapkan, wanita mustahadhah pun haram disetubuhi.
Hanya menurut yang zhahir (tersurat) dari hadits di atas, memang tak ada halangan untuk menyetubuhi wanita mustahadhah. Namun, menghindarinya tentu lebih utama, sampai terhenti istihadhahnya.
KEADAAN WANITA MUSTAHADHAH
Penderita istihadhah dapat kita golongkan ke dalam empat keadaan:
1. Mubtadi'ah Mumayyizah, baru mengalami mengeluarkan darah, tapi sudah pandai membedakan jenis darah. Sehingga ia tahu hari ini ia mengeluarkan darah kuat, dan hari yang lain darah lemah. Dalam keadaan demikian, darah yang lemah itulah darah istihadhah, sedang yang kuat itu darah haid, asal keluarnya tidak kurang dari masa haid terpendek dan tidak melebihi masa haid terpanjang.
2. Mubtadi'ah Ghairu Mumayyizah, wanita yang menganggap sama darah yang keluar dari rahimnya, tanpa dapat membeda-bedakan. Dalam keadaan demikian, haid wanita ini dianggap hanya sehari semalam, sedang sisa bulan itu (29 hari) adalah suci.
3. Mu'tadah Mumayyizah, pernah mengalami haid sebelumnya, lalu suci, dan dia tahu persis kadar haid yang keluar dan berapa hari dia suci. Dalam keadaan demikian, hendaknya ia berpegang pada ukuran dan waktu haid yang baru saja ia alami. Dengan catatan bahwa pengalaman haid sekalipun baru sekali, sudah bisa dianggap adat (kebiasaan yang dijadikan pedoman).
4. Mu'tadah Ghairu Mumayyizah, pernah mengalami haid tetapi tak mampu membedakan, bahkan pada saat keluar darah kali ini pun ia menganggap sama, tak ada perbedaan di antara darah-darah yang keluar tiada hentinya itu. Ia tak mengerti mana darah haid dan mana yang istihadhah. Bagi dia, hendaklah berpegang pada pengalamannya yang telah lalu. Karena menurut riwayat Ummu Salamah: "Bahwa seorang perempuan mengeluarkan darah begitu deras pada masa Rasulullah S'AW. Maka saya tanyakan hal itu kepada Rasulullah S'AW yang beliau jawab: "Wanita itu hendaklah mengingat-ingat berapa malam dan hari haid yang pernah dia alami pada bulan lalu sebelum dia menderita istihadhah. Maka tinggalkanlah olehnya sholat sepanjang hari-hari itu tiap bulan." (HR. Malik, An-Nasa'i, Abu Daud, dan Al-Baihaqi, dan oleh At-Tirmidzi, dinilai hasan.)
Wallahu a'lam bish showwab...
No comments:
Post a Comment