Di beberapa tempat,,, kita melihat banyak pengusaha yang mengalami kegagalan dan kekalahan lebih banyak, tapi mereka tetap tegar dan bersemangat untuk menjalankan bisnisnya. Di sinilah sebenarnya kita melihat perbedaan antara mereka yg cerdas emosinya dengan yang tidak, dalam menghadapi krisis finansial.
Orang yang tidak cerdas emosinya, membiarkan dirinya tidak berdaya (helpless) dan berbagai emosi negatif menguasai diri mereka. Sedangkan mereka yang cerdas emosinya, menyadari bahwa krisis dan masalah tidak perlu ditakutkan. Mereka tidak membiarkan diri mereka tak berdaya. Mereka justru memilih untuk tetap menguasai emosinya dan menggunakannya sebagai tenaga pendorong untuk berpikir kreatif, berusaha lebih keras, memperluas networking, dan berbagai usaha lainnya.
Coba berkaca pada kisah Sirivat Voravetvutikhun, seorang pengusaha real estate asal Thailand yg pada masa krisis moneter 1997 sampai nekat jualan sandwich di jalan. Tatkala ditanya soal langkah beraninya, ia hanya menjawab, "Saya lahir sebagai orang miskin. Maka visi saya adalah menjadi orang sukses dan saya bekerja keras untuk berhasil. Dan terpenting, dalam masa krisis di Thailand ini, saya berusaha mengatasi rasa malu, gengsi, dan takut. Itulah musuh terbesar saya. Setiap hari bangun, saya membayangkan bahagianya saya ketika saya sukses dulu. Itu memberi saya semangat luar biasa."
Bagaimana dengan kita? Bagaimana kita menghadapi krisis yg ada di depan mata? Kita bisa memilih untuk berjuang dan terus mencari terobosan baru. Atau, kita pun bisa menjadi seperti anjing dalam eksperimen Seligman, yang hanya bisa meratap, merintih, dan mengeluh. Yang jelas, marilah kita menata emosi lebih baik, supaya tidak disamakan dengan seekor anjing.
(Dikutip dari tulisan Anthony Dio Martin dalam mini magazine 'Intisari')
No comments:
Post a Comment