Thursday, May 14, 2015

Standar Mematuhi Para Pemimpin

Salah satu perkara fundamental yang terkait dengan akidah seorang muslim ialah ihwal kepatuhan atau ketaatan. Di dalam ucapan kalimat tauhid Laa ilaaha ill-Allah terdapat kata ilaah yang seringkali diterjemahkan dengan Tuhan.

Padahal terjemahan ini tidak terlalu menjelaskan makna kata ilaah tersebut. Dalam bahasa Arab terdapat banyak arti dari kata ilaah. Setidaknya ada tiga makna mendasar, yakni (1) mahbuub (yang dicintai); (2) matbuu' (yang dipatuhi/ditaati); dan (3) marhuub (yang ditakuti). Bila seorang muslim membaca kalimat syahadat, maka pernyataan tersebut setidaknya harus mengandung arti sebagai berikut: Aku bersaksi bahwasanya tidak ada yang kucintai, lalu kupatuhi, dan kutakuti selain daripada Allah SWT.

Seorang muslim dituntut untuk memfokuskan kepatuhan atau ketaatannya hanya kepada Allah SWT. Ia harus berusaha sekuat mungkin untuk selalu menjadikan Allah Ta'aala semata sebagai pihak yang ia taati. Apakah ini berarti ia samasekali tidak dibenarkan menaati pihak selain Allah Ta'ala? Tentu tidak. Ia boleh menaati orangtuanya atau pemimpin di kantor/organisasinya atau menaati guru/ustadznya. Namun ketaatan kepada semua selain Allah Ta'ala bersyarat: (1) Ketaatan tersebut harus dilandasi ketaatannya kepada Allah Ta'aala dan (2) Prioritas utama ketaatannya haruslah senantiasa kepada Allah Ta'aala sebelum yang lainnya.

Jangankan dalam kehidupan sehari-hari, sedangkan dalam tradisi kemiliteran Islam saja tidak ada ceritanya bahwa seorang prajurit diharuskan menaati komandannya tanpa reserve. Ia hanya dibenarkan menaati komandan bila perintahnya benar dan selaras dengan perintah Allah ta'aala. Ia hanya dibenarkan menjauhi larangan komandan bila larangannya selaras dengan larangan Allah Ta'ala. Adapun suatu perintah atau larangan dari komandan bila mengandung kemaksiatan maka gugurlah kewajiban prajurit untuk menaatinya. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf, bukan dalam perkara yang mungkar.

Nabi S'AW mengutus pasukan dan menunjuk seseorang menjadi komandan mereka. Maka komandan itu menyalakan api dan berkata:

"Masuklah ke dalamnya." Maka mereka siap untuk memasukinya. Dan berkata sebagian lainnya, "Sesungguhnya kami lari dari api." Maka hal ini dilaporkan kepada Nabi S'AW. Beliau bersabda kepada yang ingin melakukannya, "Andaikan mereka memasukinya, niscaya mereka akan selamanya berada di dalam api itu hingga hari kiamat." Lalu beliau bersabda kepada yang lainnya, "Tidak ada ketaatan dalam kemaksiatan. Sesungguhnya ketaatan hanyalah dalam perkara yang ma'ruf." (HR. Bukahri)

Itulah sebabnya hingga Nabi S'AW memperingatkan kita bahwa kelak di akhir zaman akan muncul para pemimpin yang bermasalah. Para pemimpin bermasalah itu tampaknya sesuai dengan gambaran sebagian pemimpin yang muncul di panggung kekuasaan dewasa ini. Kita diperintahkan untuk waspada dan bersikap istiqomah betapapun situasi dan kondisinya.

Rasulullah S'AW bersabda, "Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya. Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa)." Mereka bertanya, "Apakah kami perangi mereka? Nabi S'AW bersabda, "Tidak, selagi mereka masih sholat." (HR. Muslim)

Maka saudaraku, pandai-pandailah menyikapi para pemimpin. Kita dewasa ini sedang menjalani zaman penuh fitnah. Zaman di mana umat Islam laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Sejak runtuhnya khilafah Islamiyah di tahun 1924/1324 H, umat Islam menjadi laksana anak-anak yatim tanpa ayah. Tidak ada Nabi Muhammad S'AW bersama kita. Tidak ada khulafa ar-rasyidin seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan atau Ali bin Abi Thalib R'A bersama kita. Bahkan tidak ada mulkaan aadhdhon alias para raja-raja yang menggigit (Al Quran dan as-Sunnah) seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz atau khalifah Sultan Abdul Hamid II Rahimahullah di tengah-tengah kita. Yang ada hanyalah para mulkaan jabriyyan (penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak).


sumber: Suara langit_Penetrasi Ideologi_Ihsan Tanjung




No comments:

Post a Comment