Hadirnya RUU tentang Desa benarkah untuk menjawab persoalan kesejahteraan Desa? RUU desa merupakan satu dari tiga rancangan perundang-undangan yang diinisiasi oleh Democratic Reform Support Program (DRSP) - program pendorong pembaruan demokrasi - USAID.
Kalau ada suatu daerah/wilayah yg minim sarana dan prasarana, itu identik dengan desa. Masyarakat Pedesaan identik dengan kemiskinan, rendah pendidikan, rendah kesehatan, rendah pendapatan, dst. Semua itu bukan karena mereka malas. Mereka pekerja keras dan pantang menyerah. Mereka rela bekerja apa saja, memeras keringat, dan membanting tulang. Bahkan mereka rela berjuang hingga harus pergi ke kota tanpa akses dan pengetahuan yang memadai. Termasuk mereka juga harus tertipu oleh para calo yg mengirimnya keluar negeri kemudian mendapat siksaan.
Kondisi desa yang tertinggal dari berbagai bidang itu mendorong masyarakatnya yang bermental pejuang untuk pergi mengubah nasibnya. Maka semakin hari penduduk yg tinggal di pedesaan dari waktu ke waktu semakin menurun jumlahnya. Data statistika yang ada menunjukkan 2009 itu tinggal 56 persen. 2015 itu tinggal 44 persen. Nah 2025 proyeksinya hanya kira-kira 20 persen saja yang tinggal di pedesaan.
Hadirnya RUU tentang desa apakah memang untuk menjawab persoalan kesejahteraan desa? Padahal, kita tahu bahwa RUU Desa merupakan satu dari tiga rancangan perundang-undangan yang diinisiasi oleh Democratic Reform Support Program (DRSP)-Program pendorong pembaruan demokrasi- USAID dalam rangka memuluskan proses desentralisasi di Indonesia. RUU ini berkutat pada masalah tata kelola pemerintahan desa dan lebih menyoroti desa dari aspek ketatanegaraan-menentukan posisi, peran, dan kewenangan pemerintahan desa dalam pemerintahan.
Hasil Penelitian Pusat Penelitian Politik LIPI menunjukkan penerapan otonomi daerah di Indonesia gagal. Indikatornya adalah rendahnya pelayanan publik dan masih banyaknya penduduk miskin yakni 32,7 juta pada tahun 2010. Sebagaimana disampaikan Pengamat Politik LIPI Siti Zuhro.
Hasil riset lembaga survei Indonesia (LSI) di 33 provinsi menunjukkan indikasi yang sama dengan LIPI bahwa kebijakan otonomi yang bergulir sejak tahun 2001 itu telah gagal. Keadaan daerah sesudah otonomi tidak dirasakan menjadi lebih baik oleh mayoritas responden. Tentang keadaan kemiskinan setelah otonomi daerah, sebanyak 34 persen responden menjawab lebih buruk dan 34 persen yang lain menjawab sama saja. Hanya 27 persen yang mengaku lebih baik dan empat persen memilih menjawab tidak tahu.
Selain itu, untuk pertanyaan tentang keadaan pengangguran setelah otonomi daerah, sebanyak 40 persen responden menjawab lebih buruk. Sebanyak 33 persen menjawab sama saja, 23 persen lebih baik, dan empat persen mengaku tidak tahu.
Jika Undang-Undang tentang otonomi daerah telah dianggap gagal menyejahterakan rakyat itu dulunya pembahasannya didorong oleh lembaga-lembaga asing. Kita patut waspada atas kepentingan asing yang selalu mendorong berbagai kebijakan dan undang-undang di negeri ini. Memang kita tidak boleh anti asing, tapi tetap harus lebih cinta pada rakyat dan negeri ini.
Taken From: Pamong Readers
No comments:
Post a Comment