Tuesday, March 10, 2009

Tazkiyatun Nafs (1)

Mensucikan Jiwa (SA’ID HAWA)


Warisan kenabian adalah acuan pembaruan yang benar, karena misi utama para Rasul ‘alaihimus salam adalah tadzkir, ta’lim, dan tazkiyah. Karena itu, pewaris kenabian yang utuh adalah orang yang mampu menjaga hal-hal ini tetap utuh dan sempurna, melaksanakannya, dan menunaikan hak-hak Allah padanya.

Jarang sekali ketiga hal ini berhimpun pada seseorang. Ada seorang yang piawai dalam menyampaikan nasehat tetapi tidak banyak berilmu. Ada seorang yang banyak berilmu tetapi tidak piawai dalam menyampaikan nasehat. Ada seorang yang berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasehat tetapi tidak mampu melakukan tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini maka dia telah memiliki “obat mujarab” kehidupan. Jika tidak, maka proses tajdid tetap harus berlangsung di kalangan mereka yang menginginkan dan yang melaksanakannya.

Hal terpenting yang harus menjadi perhatian nasehat para pemberi nasehat ialah mengingatkan (tadzkir) kepada ayat-ayat Allah di ufuk dan jiwa. Mengingatkan kepada perbuatan dan hari-hari Allah. Mengingatkan kepada berbagai hukuman dan sanksi-Nya. Mengingatkan kepada apa yang dijanjikan, disiapkan dan diancamkan Allah kepada orang yang bermaksiat atau ta’at kepada-Nya.

“Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali Imran: 79)

Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:
“Sebagaimana Kami telah Mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (al-Baqarah: 151)

Pikiran yang terpencar pada berbagai hal yang berserakan adalah seperti sungai kecil yang airnya berpencar kemudian sebagiannya diserap tanah dan sebagian lagi dihisap udara sehingga tidak ada yang terkumpul dan sampai ke ladang tanaman.

Ilmu pengetahuan adalah barang milik kaum Muslimin yang hilang, ia harus memungutnya dimana saja ditemukan, dan merasa berutang budi kepada orang yang membawanya kepada dirinya siapa pun orangnya.

Ilmu enggan terhadap pemuda yang congkak. Seperti banjir enggan terhadap tempat yang tinggi.

Ilmu tidak bisa didapat kecuali dengan tawadhu’ dan menggunakan pendengaran (berkonsentrasi).

Seorang penuntut ilmu tidak boleh meninggalkan suatu cabang ilmu yang terpuji, atau salah satu jenis ilmu, kecuali ia harus mempertimbangkan matang-matang dan memperhatikan tujuan dan maksudnya. Kemudian jika usianya mendukung maka ia berusaha mendalaminya, tetapi jika tidak, maka ia harus menekuni yang paling penting di antaranya dan mencukupkan diri dengannya. Karena ilmu pengetahuan saling mendukung dan saling terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Ia juga harus berusaha dengan segera untuk tidak memusuhi ilmu tersebut dikarenakan kebodohannya, sebab manusia memusuhi apa yang tidak diketahuinya. Allah berfirman, ”Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: ’Ini adalah dusta yang lama.’ (al-Ahqaf:11)

Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orang tetapi kenalilah kebenaran pasti kamu akan mengetahui orangnya.

Ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan ilmu tentang jalan yang mengantarkan kepada ilmu-ilmu ini.

Dan barang siapa dengan ilmunya, ilmu apa saja, bermaksud mencari ridha Allah, maka pasti ilmu itu akan bermanfaat baginya dan mengangkat derajatnya.

Jika berprofesi sebagai seorang guru, seharusnya kita tidak merasa berjasa atas para murid, sekalipun jasa itu merka rasakan, tetapi memandang mereka juga memiliki jasa karena mereka telah mengkondisikan hati mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan menanamkan ilmu ke dalamnya.

Kemudian mengingatkan murid bahwa tujuan mencari ilmu adalah taqarrub kepada Allah ta’ala bukan untuk meraih kekuasaan, kedudukan, dan persaingan.

Apa yang diperbaiki oleh guru yang fasiq, tidak lebih banyak dari apa yang dirusaknya.

Guru yang menekuni sebagian ilmu hendaknya tidak mencela ilmu-ilmu yang tidak ditekuninya.

Seorang guru yang hanya menekuni satu ilmu harus memperluas wawasan murid pada orang lain.

Hati orang-orang yang sangat baik (al-abrar) adalah kuburan berbagai rahasia. Takarlah setiap orang dengan takaran akalnya, dan timbanglah dia dengan timbangan pemahamannya, agar engkau selamat darinya dan dia bisa mengambil manfaat darimu.

Memberi ilmu kepada orang bodoh adalah kesia-siaan. Tidak memberikannya kepada orang yang berhak adalah kezhaliman.

Hendaknya guru melaksanakan ilmunya. Yakni perbuatannya tidak mendustakan perkataannya,karena ilmu diketahui dengan mata hati (bashirah) dan amal diketahui dengan mata, sedangkan orang yang memiliki mata jauh lebih banyak. Jika amal perbuatan bertentangan dengan ilmu maka tidak akan memiliki daya bimbing.

Perumpamaan guru pembina terhadap para murid laksana bayangan dengan tongkat; bagaimana bayangan bisa lurus jika tongkatnya bengkok?

Siapa yang memprakarsai suatu tradisi yang buruk maka ia mendapat dosanya dan dosa orang yang melakukannya.

Sholat adalah salah satu sarana tazkiyah dan merupakan wujud tertinggi dari ’ubudiyah dan rasa syukur.

Sholat yang dilakukan secara sempurna merupakan tanda bahwa jiwa dan hati tersucikan.

Tazkiyatun nafs bermakna pembebasan jiwa dari berbagai najis yang mengotorinya, berbagai hawa nafsu yang keliru, berbagai perangai kebinatangannya yang nista, penentangannya terhadap rububiyah, dan berbagai macam kegelapan.

Taklif Ilahi yang terpenting adalah apa yang bisa membersihkan jiwa.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.” (al-Fajr: 27-28)

”Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. (al-’ankabut: 69)

”Dan rendahkanlah sayap-sayapmu kepada orang-orang yang beriman.” (al-Hijr: 88)

Ibadah utama dalam Islam akan menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai bathiniah tersebut diperhatikan, Ia akan dapat menerangi dan mensucikan jiwa tergantung kepada sejauh mana nilai-nilai bathiniahnya tersebut diperhatikan. Ia akan dapat memberikan pengaruh yang sempurna apabila ditunaikan secara sempurna, yakni amal-amal lahiriyah disertai dengan amal-amal batiniyah. Seperti sholat disertai khusyu’, zakat disertai niat yang baik, tilawah al-Qur’an disertai dengan tadabbur yang baik, dan dzikir disertai kehadiran hati (hudhur).

Sesungguhnya khusyu’ merupakan manifestasi tertinggi dari sehatnya hati. Jika ilmu khusyu’ telah sirna maka berarti hati telah rusak.

Cinta dunia menimbulkan persaingan untuk mendapatkannya, sedangkan persaingan terhadap dunia tidak layak menjadi landasan tegaknya urusan dunia dan agama.
Hilangnya khusyu’ merupakan tanda hilangnya kehidupan dan dinamika hati sehingga membuatnya tidak bisa menerima nasehat dan didominasi oleh hawa nafsu.

Bila kita telah menemukan orang yang khusyu’ yang bisa mengantarkan kita kepadanya maka berpegang teguhlah kepadanya karena sesungguhnya ia orang yang benar-benar berilmu. Sebab itulah tanda ulama’ akhirat.

Sesungguhnya imu khusyu’ berkaitan dengan ilmu pensucian hati dari berbagai penyakit dan upaya merealisasikan kesehatannya. Masalah ini merupakan tema yang sangat luas sehingga para ulama’ akhirat memulainya dengan mengajarkan dzikir dan hikmah kepada orang yang berjalan menuju Allah sehingga hatinya hidup. Bila hatinya telah hidup berarti mereka telah membersihkannya dari berbagai sifat yang tercela dan menunjukkannya kepada sifat-sifat yang terpuji.

”Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (al-A’raf:205)

”Sesungguhnya sholat itu ketetapan hati dan ketundukan diri.” (al-Hadits)

Apa arti permohonan dalam firman-Nya, ”Tunjukilah kami ke jalan yang lurus” (al-Fatihah: 6) jika hati tetap lalai? Jika tidak dimaksudkan sebagai tadharru’ (kerendahan hati) dan do’a, maka betapa mudahnya diucapkan lisan dengan hati yang lalai, terutama bila telah menjadi kebiasaan? Itulah hukum dzikir.

”Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapai-Nya.” (al-Hajj: 37)

Kehadiran hati adalah ruh sholat. Batas minimal keberadaan ruh ini ialah kehadiran hati pada saat takbiratul ihram. Bila kurang dari batas minimal ini berarti kebinasaan. Semakin bertambah kehadiran hati semakin bertambah pula ruh tersebut dalam bagian-bagian sholat. Berapa banyak orang hidup yang tidak punya daya gerak sehingga mirip dengan mayit. Demikian pula sholat orang yang lalai dalam seluruh pelaksanaan sholatnya kecuali pada waktu takbiratul ihram, seperti orang hidup yang tidak punya daya gerak sama sekali. Kita memohon pertolongan yang sebaik-baiknya dari Allah.

Bila hati tidak bisa hadir pada waktu munajat kepada Maha Diraja yang di tangan-Nya segala kerajaan, kekuasaan, manfaat dan bahaya, maka janganlah kita mengira bahwa hal tersebut memiliki sebab lain selain kelemahan iman. Karena itu, mari kita berjuang untuk memperkuat keimanan.

Manusia dalam masalah hati dibagi menjadi:
1. Orang lalai yang mendirikan sholat tetapi hatinya tidak hadir sama sekali.
2. Orang yang mendirikan sholat sedang hatinya tidak pernah lalai sama sekali.
Tipe ke-2, sangat berkonsentrasi dalam sholat, sehingga tidak merasakan apa yang tengah terjadi di hadapannya. Bahkan sebagian orang wajahnya sampai pucat dan dadanya berguncang (karena takut).

“Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)

Apa yang diperoleh setiap orang dari sholatnya sesuai dengan kadar rasa takut, khusyu’, dan ta’zhim-nya, karena tempat penilaian Allah adalah hati.

Siapa yang kuat himmahnya (perhatian utama/cita2), maka apa yang terjadi pada panca inderanya tidak akan membuatnya lalai, tetapi orang yang lemah, pasti pikirannya akan berpencar.


Bila kita mengucapkan, ”...Hanifan Musliman” (berlaku lurus dan memberi keselamatan), maka hendaklah terbayang dalam benakmu bahwa orang muslim adalah orang yang kaum muslimin terselamat dari gangguan lidah dan tangannya.

Allah SWT Berfirman: ”Dan jiwa (manusia) itu menurut tabiatnya kikir” (an-Nisa’:128). Infaq fi sabilillah merupakan hal yang akan membersihkan jiwa dari kekikiran sehingga dengan demikian jiwa menjadi bersih.

Allah Berfirman: ”Dan kelak akan dijauhkan orang yang taqwa dari neraka itu, (yaitu mereka) yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan hartanya.” (al-Lail: 17-18).

Allah Berfirman: ”Jika Dia Meminta harta kepadamua lalu Mendesak kamu (supaya memberikan semuanya) niscaya kamu akan kikir dan Dia akan menampakkan kedengkianmu.” (Muhammad:37). Makna ”mendesak kamu” yakni menuntut agar memberikannya secara optimal, dan ini merupakan salah satu makna perintah Allah kepada para hamba-Nya agar memberikan harta.

Hendaknya termasuk orang yang menyembunyikan keperluannya; tidak banyak mengeluh; termasuk orang yang menjaga harga diri (muru’ah). Firman Allah: ”Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan meilhat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.” (al-Baqarah:273)

Urgensi puasa dalam tazkiyatun-nafs menduduki derajat ke-3 (setelah sholat dan zakat), karena di antara syahwat besar yang bisa membuat manusia menyimpang adalah syahwat perut dan kemaluan. Sedangkan puasa merupakan pembiasaan terhadap jiwa untuk mengendalikan kedua syahwat tersebut. Oleh sebab itu, puasa merupakan pembiasaan jiwa untuk bersabar.



No comments:

Post a Comment