Friday, November 5, 2010

Cut Nyak Dien...

Nanggroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan yang gigih tidak kenal kompromi dalam melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah satu dari perempuan berhati baja, di mana pada usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda dan akhirnya ditangkap.

Cut Nyak Dien merupakan pahlawan kemerdekaan nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848 yang sampai akhir hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini, juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya, dan Teuku Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan, bahkan juga pahlawan kemerdekaan nasional.

Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Cut Nyak Dien memperoleh pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi atau melayani suami, dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana lingkungannya, Cut Nyak Dien memiliki sifat tabah, teguh pendirian, dan tawakal.

Cut Nyak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana Perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Perlawanan yang keras itu semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap kepada kaum kafir.

Cut Nyak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku Ibrahim Lamnga, putra dari Uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang mendengarkannya. SEtelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka dikaruniai seorang anak laki-laki.

Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam suasana memburuknya hubungan antara Kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa patriotnya.

Ketika Perang Aceh meletus tahun 1873, suami Cut Nyak Dien turut aktif di garis depan sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. karena itu, Teuku Ibrahim jarang berkumpul dengan istri dan anaknya. Cut Nyak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Cut Nyak Dien tak lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.

Dua tahun setelah kematian suami pertamanya, atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah dengan pria yang bersedia membantu membebaskan tanah Aceh dari penjajahan kaum kafir terkabul, karena Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang juga terkenal banyak mendatangkan kerugian bagi pihak Belanda. Teuku Umar bersama dengan Cut Nyak Dien berjuang membebaskan Aceh dari penjajahan Belanda.

Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda berhasil direbutnya. Dengan menikahi Cut Nyak Dien, Teuku Umar kian mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Cut Nyak Dien lah yang paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan kebiasaan buruknya.

Teuku Umar sendiri terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak taktik. Pada tahun 1893, ia pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur.

Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Cut Nyak Dien mengkoordinasikan serangan besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi. Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan istilah berdamai sekalipun. Perlawanannya yang dilakukan secara bergerilya itu dirasakan Belanda sangat mengganggu, bahkan membahayakan pendudukan mereka di tanah Aceh, sehingga pasukan Belanda selalu berusaha menangkapnya tapi sekali pun tidak pernah berhasil.

Keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh tampak sekali ketika terjadi pembakaran terhadap Masjid Besar Aceh. Dengan amarah dan semangat yang menyala-nyala berserulah ia, "Hai sekalian mukmin yang bernama orang Aceh! Lihatlah! Saksikan sendiri dengan matamu masjid kita dibakar! Mereka menentang ALLAH! Tempatmu beribadah dibinasakan! Nama ALLAH dicemarkan! Camkanlah itu! Masih adakah orang Aceh yang suka mengampuni dosa si kafir yang serupa itu? Masih adakah orang Aceh yang suka menjadi budak Belanda?"

Lama-lama pasukan Cut Nyak Dien melemah. Kehidupan putri bangsawan ini kian sengsara akibat selalu hidup di dalam hutan dengan makanan seadanya. Usianya kian lanjut, kesehatannya kian menurun, seiring dengan bertambahnya usia, Cut Nyak Dien pun semakin tua. Penglihatannya mulai rabun dan berbagai penyakit tua seperti encok pun mulai menyerang. Di samping itu, jumlah pasukannya pun semakin berkurang, ditambah lagi situasi yang semakin sulit memperoleh makanan. Tapi ketika Pang Laot Ali, tangan kanan sekaligus panglimanya, menawarkan untuk menyerah sebagai jalan pembebasan dari kehidupan yang serba terpencil dan penuh penderitaan ini, Cut Nyak Dien menjadi sangat marah. Tapi Pang Laot Ali tetap tak sampai hati melihat penderitaan pimpinannya. Akhirnya ia berkhianat dan kepada Belanda ia melaporkan persembunyiannya dengan beberapa syarat, di antaranya jangan melakukan kekerasan dan harus menghormatinya.

Begitu teguhnya pendirian Cut Nyak Dien sehingga ketika sudah terkepung dan hendak tertangkap pun dia masih sempat mencabut rencong dan berusaha melawan pasukan Belanda. Pasukan Belanda yang begitu banyak akhirnya berhasil menangkap tangannya.

Ketika tertangkap, wanita yang sudah tak berdaya dan rabun ini, mengangkat kedua belah tangannya. Dari mulutnya terucap kalimat, "Ya ALLAH ya Tuhan, inikah nasib perjuanganku? Di dalam bulan puasa aku diserahkan kepada kafir."

Cut Nyak Dien marah luar biasa kepada Pang Laot Ali. Sedangkan kepada Letnan Van Vureen yang memimpin operasi penangkapan itu, sikap menentang mujahidah ini masih tampak dengan mencabut rencong hendak menikamnya. Tapi walaupun di dalam tawanan, dia masih terus melakukan kontak atau hubungan dengan para pejuang yang belum tunduk. Tindakannya itu kembali membuat pihak Belanda berang sehingga Cut Nyak Dien pun akhirnya dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, yang berarti Belanda mengingkari salah satu butir perjanjiannya dengan Pang Laot Ali.

Di Sumedang tak banyak orang yang tahu perempuan ini. Tua renta dan bermata rabun. Pakaiannya lusuh, dan hanya itu saja yang melekat di tubuhnya. Sebuah tasbih tak lepas dari tangannya, juga sebuah periuk nasi dari tanah liat. Dia datang ke Sumedang bersama dua pengikutnya sebagai tahanan politik Belanda, yang ingin mengasingkannya dari medan perjuangan di Aceh pada 11 Desember 1906.

Perempuan tua itu lalu dititipkan kepada Bupati Sumedang, Pangeran Aria Suriaatmaja, yang digelari Pangeran Makkah. Melihat perempuan tua yang amat taat beragama itu, Bupati tak menempatkannya di penjara, tetapi di rumah H. Ilyas, seorang tokoh agama, di belakang Kaum (masjid besar Sumedang). Di rumah itulah perempuan itu tinggal dan dirawat.

Di antara mereka yang datang, banyak membawakan makanan atau pakaian, selain karena mereka menaruh hormat dan simpati yang besar, juga karena ibu Perbu (sebutan masyarakat untuk Cut Nyak Dien) tak bersedia menerima apa pun yang diberikan oleh Belanda. Keadaa ini terus berlangsung hingga 6 November 1908, saat Ibu Perbu meninggal dunia. Dimakamkan secara hormat di Gunung Puyuh, sebuah kompleks pemakaman para bangsawan pangeran Sumedang, tak jauh dari pusat kota Sumedang. Sampai wafatnya, masyarakat Sumedang belum tahu siapa sesungguhnya perempuan yang banyak memberikan manfaat bagi masyarakat itu, bahkan hingga kemerdekaan Indonesia.

Ketika masyarakat Sumedang beralih generasi dan melupakan Ibu Perbu, pada tahun 60-an, berdasarkan keterangan pemerintah Belanda baru diketahui bahwa Cut Nyak Dien, seorang pahlawan wanita Aceh yang terkenal, telah diasingkan ke Pulau Jawa, Sumedang, Jawa Barat. Pengasingan itu berdasarkan Surat Keputusan No.23. Akhirnya, dengan mudah dapat dipastikan bahwa Ibu Perbu tak lain adalah Cut Nyak Dien yang diasingkan Belanda bersama seorang Panglima berusia 50 tahun dan seorang kemenakannya bernama Teungku Nana berusia 15 tahun.

Perjuangan Cut Nyak Dien menimbulkan rasa takjub para pakar sejarah asing, sehingga banyak buku yang melukiskan kehebatan pejuang wanita ini. Zentgraaff mengatakan, para wanitalah yang merupakan de leidster van het verzet (pemimpin perlawanan) terhadap Belanda dalam perang besar itu. Aceh mengenal Grandes Dames (wanita-wanita besar) yang memegang peranan penting dalam berbagai sektor.

Dari Malahayati hingga Cut Nyak Dien adalah cermin zaman yang membuat kita harus bersyukur bahwa dari nenek moyang kita ada yang menjadi pahlawan zamannya dengan penuh ketulusan untuk membela kehormatan agama dan tanah air dari tindak kesewenangan dan ketidak adilan.

Berangkat dari perjuangan yang telah dilakukan oleh perempuan pada masa lampau maka dapat dikatakan bahwa perempuan muslimah zaman lampau memiliki keberanian yang tinggi. Mereka membuktikan bahwa perempuan bukan makhluk lemah dalam mempertahankan cita-cita, agama, dan hak asasinya, walaupun tidak melupakan tugas utama kodrat mereka sebagai ibu yang melahirkan anak-anak negeri penerus perjuangan. Hal inilah yang penting untuk terus diingatkan kepada perempuan muslimah pada saat ini, khususnya bagi perempuan muslimah dan bagi perempuan di seluruh Indonesia pada umumnya. Dengan demikian, jelaslah bahwa perjuangan perempuan telah dilakukan sejak zaman dahulu. Hal ini dibuktikan dari adanya sejarah yang bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat dijadikan sebuah semangat untuk membangun jiwa perempuan yang kuat dan berkarakter.

1 comment: